Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi merupakan penyebab kematian kedua di dunia setelah

penyakit kardiovaskular dengan presentase 15,6% pada perempuan dan 16,7% pada

laki-laki diikuti oleh kanker dengan presentase 11,8% pada perempuan dan 13,4%

pada laki-laki. Penyakit infeksi diperkirakan menyebabkan kematian 11 juta anak

setiap tahunnya. 99% dari kematian ini terjadi dinegara berkembang. Dan 4 juta

diantaranya kematian terjadi pada satu tahun pertama kehidupan.1

World Health Oranization membagi diare menjadi tiga kelompok yaitu diare

cair akut, diare berdarah (disentri) dan diare persisten. Diare berdarah dapat

disebabkan disentri basiler (Shigella) dan amuba, enterokolitis (misalnya cows milk

allergy), trichuriasis, EIEC, (Campylobacter jejuni dan virus (rotavirus) diantaranya,

penyebab yang paling sering mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian

adalah disentri basiler.2

Laporan epidemiologi menunjukkan terdapat 600.000 dari 140 juta pasien

mengalami Shigellosis meninggal setiap tahun di seluruh dunia. Data diIndonesia saat

ini memperlihatkan 29% kematian diare terjadi pada kelompok umur 1 sampai dengan

4 tahun disebabkan oleh disentri basiler.3

Disentri adalah diare yang disertai darah. Sebagian besar disebabkan oleh

shigella dan hampir semua memerlukan pengobatan antibiotic.4 Disentri merupakan

tipe diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan kematian dibandingkan

dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri

basiler) dan amoeba (disentri amoeba).2.3

Disentri basiler atau shigellosis merupakan suatu penyakit infeksi yang terjadi

di kolon yang disebabkan oleh bakteri genus shigella.4 Shigella merupakan penyebab
utama terjadinya disentri basiler, yaitu suatu penyakit yang ditandai dengan nyeri perut hebat,

diare yang sering dan sakit, dengan volume tinja sedikit disertai dengan adanya lendir dan

darah. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada anak umur 1-10 tahun dan menjadi suatu

masalah kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan, karena pada penyakit ini,

penderita dapat mengalami diare yang hebat hingga 20-30 kali sehari yang dapat

mengakibatkan terjadinya dehidrasi, dan bila tidak segera diatasi dehidrasi tersebut akan

dapat mengakibatkan terjadinya kematian.5


BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 DEFINISI

Disentri basiler atau shigellosis merupakan suatu penyakit infeksi yang terjadi

dikolon yang disebabkan oleh bakteri genus shigella. Gejala klinis shigellosi ditandai

dengan diare cair akut (tinja bercampur darah, lendir dan nanah), pada umumnya

disertai demam, nyeri perut dan tenesmus.3

2.2. ETIOLOGI

Shigella sp. sebagai penyebab terbanyak disentri basiler merupakan kuman

yang unik di antara enteropatogen lainnya. Ambang infeksinya rendah yaitu 10 - 200 (

< 103 ) kuman sudah cukup untuk menularkan penyakit tersebut dari penderita ke

orang lain. Dengan demikian, penyebarannya yang sangat cepat melalui fekal oral dan

epidemi penyakit ini sulit dicegah pada penduduk yang kesehatan perorangannya

buruk. Hal lain yang juga unik adalah sifat basil ini yang rapuh (fragile, cepat mati

diluar tubuh hospesnya), menyebabkan penyakit ini lebih banyak tertular dengan cara

kontak langsung (person to person). Sehingga penyakit ini sering disebut sebagai

hand washing disease, yaitu bahwa penularan penyakit ini dapat dicegah dengan cuci

tangan yang benar.6,7

Shigella sp termasuk kedalam jenis bakteri gram negatif dalam klasifikasi

kingdom bakteriae, phylum proteobakteri, class gamma proteobakteria, Order

enterobakterioles. Family Enterobacteriaceae, genus Shigella, spesies shigella

disentriae.1 Shigella adalah bakteri gram negatif, ukuran 0,5-0,7 um x 2-3 um, batang

ramping, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, basil nonmotil, fakultatif anaerob

tetapi dapat tumbuh baik secara anaerob, dan termasuk dalam famili

enterobacteriaceae.6
Gambar : Morfologi shigella sp

Sifat pertumbuhan adalah aerob dan fakultatif anerob, pH pertumbuhan 6,4-

7,8 suhu pertumbuhan optimum 370C kecuali S.sonnei dapat tumbuh pada suhu 450C.

Sifat koloni kuman adalah sebagai berikut: kecil halus tidak berwarna bila ditanam

pada agar SS,EMB, Endo, Mac conkey.6

Disentri basiler disebabkan oleh kuman shigella dysentriae yang terdiri dari 3

golongan besar yaitu :

1. Shigella shiga yang banyak terdapat di daerah tropis termasuk indonesia,

shigella ambigua, shigella boydii.

2. Shigella flexneri yang sering disebut shigella paradysentriae, yang terutama

terdapat di daerah garis lintang utara.


3. Shigella sonnei ( Basilus Sonne-Duvel).

Sifat organisme ini iayalah tidak bergerak, gram negatif, tidak bersimpai dan

tidak tahan asam.8

2.3. FAKTOR RESIKO

faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya diare adalah:

1. pada usia 4 bulan bayi sudah tidak diberikan ASI eklusif lagi. (ASI eklusif

adalah pemberian ASI saja sewaktu usia 0-4 bulan). Hal ini akan meninkat

resiko terjadi kesakitan dan kematian karena diare. ASI banyak mengandung

zat-zat kekebalan tubuh terhadap infeksi

2. Memberi susu formula dalam botol pada bayi. Pemakaian botol akan

meningkat resiko pencemaran terkontaminasinoleh kuman dari botol kuman

akan cepat berkembang bila susu tidak segera diminum.

3. Menyimpan makanan pada suhu kamar. Kondisi tersebut akan menyebabkan

permukaan makanan mengalami kontak dengan peralatan makan yang

merupakan media sangat baik untuk perkembangan mikroorganisme.

4. Tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan, atau sesudah buang air

besar (BAB) akan mungkin terkontaminasi langsung.9

2.4. EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, gejala disentri basiler lebih banyak disebabkan oleh Shigella

sonnei dibandingkan spesies lainnya. Pada tahun 1989, terdapat 25.010 kasus shigellosis yang

dilaporkan ke Center of Disease Control (CDC), 80% disebabkan oleh Shigella sonnei,

sisanya terutama disebabkan oleh Shigella flexneri, sedangkan Shigella dysenteriae dan

Shigella boydii menyebabkan kurang dari 2% dari seluruh infeksi Shigella di Amerika

Serikat.

Hal ini berkebalikan dengan kejadian di Negara-negara yang sedang berkembang yang

higien dan sanitasinya jelek, Shigella dysenteriae dan Shigella boydii merupakan spesies yang
lebih sering diisolasi, diikuti Shigella flexneri dan Shigella sonnei. Data tahun 2000-2004 dari

enam Negara di Asia (banglades, cina, Pakistan, Indonesia, Vietnam, dan Thailand)

menunjukan insidensi shigellosis masih stabil meskipun angka kematiannya menurun,

mungkin disebabkan karna membaiknya standar nutrisi.5

Infeksi dengan shigella terjadi paling sering selama bulan-bulan panas didaerah

beriklim sedang dan selama musim hujan di daerah beriklim tropis, jenis kelamin yang

terkena sma walaupun infeksi dapat terjadi pada setiap umur, paling sering pada usia ke-2 dan

ke-3. 7

Prognosa disentri basiler menjadi lebih buruk apabila bakteri penyebabnya adalah

Shigella disentriae dan terjadi pada anak-anak. Diperkirakan dari sekitar 140 juta kasus

shigellosis pada anak dengan usia dibawah 5 tahun di dunia setiap tahunnya, sekitar 600.000

diantaranya meninggal dunia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa disentri basiler

merupakan masalah kesehatan yang serius dan harus diberikan penanganan yang tepat.5 Data

di Indonesia memperlihatkan 29% kematian diare terjadi pada umur 1 sampai 4 tahun

disebabkan oleh disentri basiler.2

2.5. CARA PENULARAN

Cara penularan disentri basiler ini sama dengan diare yang lainnya yaitu:

1. Melalui air yang merupakan media penularan utama. Dimana diare dapat terjadi bila

seseorang mengunakan air minum yang terkontaminasi, baik terkontaminasi dari

sumbernya atau perjalanan sampai kerumah atau tercemar pada saat disimpan

dirumah. Dimana tercemar terjadi bila air tidak ditutup, tangan tercemar menyentuh

air.

2. Melalui tinja yang terinfeksi. Tinja yang terinfeksi mengandung kuman gram negatif

atau shigellosis dalam jumlah yang besar. Dihinggapi oleh binatang seperti lalat

kemudian binatang tersebut hinggap dimakanan maka makanan tersebut menjadi

agent penularan disentri basiler.9


2.6. PATOFISIOLOGI

Shigella infeksi usus akut yang sembuh dengan sendirinya, shigela ini dapat

menyebabkan 3 bentuk diare yaitu: 1. Disentri klasik dengan tinja yang persisten lembek

disertai darah, mucus dan pus. 2. Watery diarrhea dan 3. Kombinasi keduanya. Dengan masa

inkubasi 2-4 hari, atau bias lebih lama sampai 1 minggu.6 perubahan patologis shigellosis

terjadi terutama pada kolon sebagai organ sasarannya, secara umum patolongi Shigella

mampu menginvasi permukaan sel epitel kolon, jarang menembus sampai melewati mukosa,

sehingga tidak ditemukan pada biakan darah walaupun ada gejala hiperpireksia dan toksemia.

Setelah menginvasi enterosit kolon, terjadilah perubahan permukaan mikrovili dari brush

border yang menyebabkan pembentukan vesikel pada membran mukosa.6.7

Gambar pathway disentri

Selanjutnya dapat menghancurkan vakuola fagositik intraselular, memasuki

sitoplasma untuk memperbanyak diri dan menginvasi sel yang berdekatan. Kemampuan

menginvasi sel epitel ini dihubungkan dengan adanya plasmid besar (120-140 Md) yang

menyebabkan sistesis kelompok polipeptida yang terlibat pada invasi dan pembunuhan sel.
Sel epitel akan mati dan terjadi ulserasi serta inflamasi mukosa. Dari bagian yang mengalami

inflamasi tersebut shigella menghasilkan ekso-toksin yang berdasarkan cara kerja toksin

dikelompokkan menjadi neurotoksik, enterotoksik, dan sitotoksik. Toksin yang terbentuk

inilah yang menimbulkan berbagai gejala shigellosis, seperti demam, malaise, dan nyeri otot.

Shigella dysenteriae tipe 1 menghasilkan suatu sitotoksin protein poten yang dikenal dengan

toksin Shiga yang terdiri dari dua struktur subunit, yaitu:2.7

1. Subunit fungsional. Pada sitoplasma subunit fungsional akan mengkatalisasi dan

menghidrolisis RNA 28S dari subunit 60S ribosom, sehingga menyebabkan

hambatan pada sintesis protein yang bersifat permanen sehingga mengakibatkan

kematian sel.

2. Subunit pengikat. Bagian subunit pengikat merupakan suatu glikolipid Gb3

(globotriaosilseramid) yang berfungsi untuk mengikat reseptor seluler spesifik.

Pengikatan ini akan diikuti oleh pengaktifan mediator reseptor endositosis dari

toksin yang dihasilkan. Shiga toksin dapat menyebabkan terjadinya sindrom

hemolitik uremik dan trombotik trombositopenik purpura. Kejadian tersebut sering

dihubungkan dengan reaksi silang akibat infeksi serotype E.coli yang juga dapat

menghasilkan toksin yang mirip dengan toksin Shiga. Mekanisme dari efek

patogenisitas ini mungkin melibatkan suatu toksin pengikat sel endotel (binding

toxin endothelial cell), yang dapat menyebabkan mikroangiopati hemolisis dan lesi

pada glomerulus.2

2.7. MANIFESTASI KLINIS


Masa inkubasi sanagat berfariasi anatara beberapa jam smapai 8 hari. Mula-

mula gejalanya seperti infeksi umun yaitu kelemahan umum yang diikuti oleh

demam, kemudian diare yang mengandung lendir dan darah, tenesmus. Bila penyakit

menjadi berat dapat disertai dengan tanda septisemia yaitu panas tinggi disertai

kesadaran menurun.8
Kadang-kadang dalam masa akut disertai dengan gejala perangsangan

meningeal seperti kaku kuduk. Bila penyakit menjadi kronis, maka suhu akan

menurun menjadi subfebris dengan disertai tinja yang selalu bercampur lendir dan

darah.8 Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang

berat. Khasnya adalah Sakit perut, demam tinggi, muntah, anoreksia, toksisitas

menyeluruh, mendadak ingin buang air besar, dan terjadi nyeri fekasi.7

Diare munkin berair dan banyak pada mulanya, berkembang menjadi sering

dan sedikit-sedikit, tinja berlendir darah; namun beberapa anak tidak pernah menjelek

sampai stadium diare berdarah, sedang pada yang lain tinja pertama berdarah. Dapat

terjadi juga dehidrasi yang berat yang terkait dengan kehilangan cairan dan elektrolit

pada tinja maupun muntah. Diare yang tidak diobati dapat berakhir 1-2 minggu;

hanya sekitar 10% penderita menderita diare menetap selama lebih dari 10 hari. Diare

kronis jarang kecuali pada bayi dengan keadaan malnutrisi.7

Tanda neurologis adalah manifestasis ekstrainstestinal disentri basiler yang

paling sering yang terjadi sebanyak 40 % anak terinfeksi yang dirawat inap. Kejang-

kejang, nyeri kepala, lesu, bingung, kaku kuduk atau halusinasi mungkin ada sebelum

atau sesudah diare. Penyebab tanda-tanda neurologis ini belum dimengerti. Dahulu

gejala ini dianggap berasal dari neirotoksitasshigatoksin, tetapi sekarang jelas bahwa

penjelasan tersebut salah. Kejang terjadi ketika ada demam memberikan kesan bahwa

kejang demam sederhana tidak menjelaskan kemunculanya. Hipokalsemia atau

hiponatremia dapat disertai dengan kejang pada sejumlah penderita walaupun gejala

sering memberikan kesan infeksi SSP.7

Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma

uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka

ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat misalnya kelaparan.
Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi

memerlukan waktu penyembuhan yang lama.

2.8. PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik disentri basiler atau shigellosis saat ini dapat

menunjukan perut kembung dan nyeri, suara usus hiperaktif, dan nyeri rektum pada

pemeriksaan digital kalau terjadi dehidrasi maka akan menimbulkan tanda dari

dehidrasi: mata cekung, turgor kulit melambat dan gelisah.7.9

2.9. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan atas dasar ananmnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang berupa laboratorium. Walaupun tanda-tanda klinis

memberikan kesan shigellosi tanda-tanda ini tidak cukup untuk memberikan diagnosis

yang menyakinkan. Pemeriksaan laboratorium yang sangat menentukan ialah

ditemukanya basil dalam pemeriksaan tinja atau diketahui dari biskan tinja. Basil ini

sangat sukar ditemukan berhubung dengan sifat-sifatnya. Bauer membuat dignosi

dengan pemeriksaan tinja yang diwarnai dengan eosin dan bila ditemukan leokosit

serta eritrosit lebih dari 5/LP ( lapangan pandang besar), maka hal ini sangat

menyongkong diagnoosis. Untuk membantu juga dapat dilakukan rektosigmoidoskopi

dengan melihat tukak yang disertai dengan tanda peradangan.8.7

Diagnosis spesifik infeksi shigella adalah dengan mengisolasi organisme

tersebut dengan pemeriksaan kultur feses atau hapus rectal. Pada beberapa negara

tropis uji mikrobiologis tidak tersedia, diagnosis didasarkan pada gambaran klinis dan

uji laboratorium sederhana. Gambaran klinis, laboratorium dan pemeriksaan feses

antara shigellosis dan amobiasis adalah berbeda. Onset penyakit yang cepat sebelum

masuk rumah sakit, demam yang tinggi dan leokosit yang banyak di feses (> 50

neutrofit / lapangan pandang) sangat menyongkong kearah shigellosis sedang


pemeriksaan apus feses secara mikroskopis infeksi E.Histolityka akan menunjukan

trofozoid eritrofagositik denagn beberapa sel PMN pada infeksi.

Untuk membiakkan shigella diperlukan media pembiakan khusus seperti Mac

Conkey, Shigella Salmonella (SS) agar, atau xylose lysine deoxycholate (XLD).

Media transport harus digunakan jika spesimen tidak dapat dibiakkan segera. Harus

menggunakan media yang tepat untuk mengesampingkan campy lobacter dari agen

yang lain. Biakan merupakan standar emas untuk diagnosis tetapi tidak absolut.

Pembiakan ini sulit dilakukan di Negara berkembang karena fasilitas laboratorium

yang tidak memadai di samping membutuhkan waktu beberapa hari, dan shigella

mempunyai batas waktu hidup di luar tubuh manusia.7

2.9. PENATALAKSANAAN

Tata laksana shigelosis sama dengan tata laksana pada kelainan gastroentritis

sebab lain, perhatian pertama terhadap anak dengan dicurigai shigellosis harus

dikoreksi dengan cairan dan elektrolit dan rumatan. Obat-obat yang memperlambat

mortalitas usus tidak boleh diberikan karena resiko memperlama sakit.7

Anak dengan gizi buruk dan disentri dan bayi muda (umur <2 bulan) yang

menderita disentri harus dirawat di rumah sakit. Selain itu anak yang menderita

keracunan, letargis, mengalami perut kembung dan nyeri tekan atau kejang, akan

mempunyai resiko tinggi terhadap sepsis dan harus di rawat dirumah sakit.

Ditingkat pelayanan primer semua diare berdarah selama ini dianjurkan untuk

diobati sebagai shigellosis dan diberi anti biotik kotrimoksazol. Jika dalam 2 hari

tidak ada perbaikan, di anjurkan untuk kunjungan ulang dengan kemungkinan

mengganti antibiotiknya. Penangan dehidrasi dan pemberian makan sama dengan

diare akut. Pengobatan sebaiknya didasarkan pada hasil pemeriksaan tinja rutin,

apakah terdapat amuba vegetatif. 4 Jika positif maka diberikan metrodinazole dengan
dosis 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 5 hari, jika tidak ada amuba, maka dapat

diberikan pengobatan shigella. Pemberian antibiotik oral selama 5 hari yang sensitif

terhadap strain shigella di indonesia adalah siprofloxaxin, sefiksim dan asam

nalidiksat. pemberian zink sebagaimna pada anak yang diare tanpa dehidrasi.4

Menentukan derajat dehidrasi baik pada anak maupun dewasa.

Derajat dehidrasi pada anak dapat dilihat berdasarkan tanda dan gejala berikut:

1. dehidrasi berat: terdapat dua atau lebih dari tanda ini: letargis/tidak sadar, mata

cekung, tidak bisa minum atau malas minum, cubitan kulit perut kembali

sangat lambat (> 2 detik). Pengobatan berikan cairan untuk diare dengan

dehidrasi berat terapi plan C

2. Dehidrasi ringan/sedang: terdapat dua atau lebih tanda dibawah ini: rewel,

gelisah, mata cekung, minum dengan lahap, haus, cubitan kulit kembali lambat.

Pengobatan beri cairan dan makanan terapi plan B

3. Tanpa dehidrasi: tidak terdapat cukup tanda untuk dilkasifikasikan sebagai

dehidrasi ringan atau berat. Pengobatan beri cairan dan makanan terapi plan A.

Tatalaksana mencakup penggantian kehilangan cairan tubuh secara cepat dan

cermat. Rehidrasi dilaksanakan pada 2 tahap, yaitu tahap terapi rehidrasi dan rumatan.

Pada kedua tahap ini diperhitungkan kebutuhan harian akan cairan dan nutrisi. Pada

dehidrasi berat yang disertai renjatan hipovolemik, dan muntahan tidak terkontrol

terapi rehidrasi diberikan secara infus intravena. Pada kasus ringan dan sedang dapat

dilakukan secara peroral dengan cairan rehidrasi oral atau oral rehidration solution

(ORS). Untuk keperluan rumatan dapat diberikan cairan dengan konsentrasi garam

yang rendah seperti air minum biasa, atau susu yang diencerkan, dan air susu ibu

terutama untuk bayi dan anak-anak.


Petunjuk Terapi Rehidrasi pada Anak10:

1. Plan A (Tanpa dehidrasi, Rehidrasi untuk kehilangan cairan < 5%):

Cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan new oralit diberikan 5-10

ml/kgBB setiap diare atau berdasarkan usia yaitu:

Usia <1 tahun 50-100 mL

Usia 1-5 tahun 100-200 mL

Umur > 5 tahun semaunya

Dapat diberikan cairan rumah tangga semaunya, ASI harus diberikan. Pasien

dapat dirawat dirumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain (tidak mau

minum, muntah terus menerus, diarefrekuen dan profus).

2. Plan B (dehidrasi ringan-sedang):

Cairan rehidrasi oral (CRO) diberikan 75 mL/kgBB dalam 3 jam untuk

mengganti kehilangan cairaan yang terjadi dan sebanyak 5-10 mL/kgBB setiap

diare cair. Rehidrasi parenteral diberikan bila anak muntah, cairan RL atau

KaEN 3B atau NaCL IV dengan jumlah cairan dihutung berdasarkan berat

badan

Berat badan 3-10 kg: 200 mL/kgBB/hari

Berat badan 10-15 kg: 175 mL/kgBB/hari

Berat badan > 15 kg: 135 mL/kgBB/hari

Pasien dipantau di puskesmas/rumah sakit selama proses rehidrasi sambil

memberi edukasi tentang melakukan rehidrasi kepada orang tua.

3. Plan C : (Dehidrasi berat, Kehilangan cairan > 10%):

Diberikan cairan rehidrasi parenteral dengan RL dan Ringer asetat 100

mL/kgBB dengan cara pemberian:


Usia Tahap I: Tahap II: Jumlah :

30 ml/kg 70 ml/kg 100 ml/kg

> 1 tahun 30 menit 2,5 jam 3 jam

< 1 tahun 60 menit 5 jam 6 jam

Ulangi sekali lagi jika nadi sangat lemah dan tidak teraba. Periksa kembali

anak setiap 15-30 menit. Jika belum membaik beri tetesan intravena lebih

cepat. Masukkan cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat

minum, dimula dengan 5 mL/kgBB selama proses rehidrasi. Biasanya sesudah

3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri anak tablet zink sesuai dosis dan

jadwal yang di anjurkan. Periksa kembali sesudah 6 jam (bayi) atau anak

sesudah 3 jam. Kemudian jika ada perbaikan pilih rencana terapi selanjutnya

terapi B atau A. 4.10

Perhatian berikutnya adalah keputusan tentang penggunaan antibiotic,

walaupun beberapa pakar menganjurkan tidak memberikan terapi anti bakteri karena

sifat infeksi yang sembuh sendiri, biaya obat dan resiko timbulnya resisten,

merupakan logika yang menyakinkan yang menyongkong pengobatan emperik semua

anak yang di curigai shigellosis.7 kemoterapi dengan preparat sulfa misalnya gantrisin

100-200 mg/kgbb/hari bila kesulitan pemberian peroral berikan kotrimoksazol IV.

Antibiotic yang diberikan kloramfenikol dengan dosi 50-100 mg/kgbb/hari per oral

dibagi 3 dosis. Tetrasiklin dengan dosis 30-50 mg/kgbb/hari peroral dibagi 4 dosis.

Neomisin dengan dosis 50-100 mg/kgbb/hari per oral dibagi 4 dosis.8

2.10. KOMPLIKASI

komplikasi utama pada shigellosis adalah komplikasi pada kasus ( megakolon

toksik, perforasi usus dan prolaps rectum) atau metabolik (hipoglikemia, dehidrasi)
bakteremia sering dilaporkan pada anak dengan malnutrisi, pasien HIV dan pasien

dengan sistem innate daya tahan tubuh. Komplikasi lain adalah sindrom hemolitik

uremik yaitu suatu mikro angiopati trombotik yang ditandai dengan anemia hemolitik,

trombositopenia dan gagal ginjal oligurik.

Komplikasi sistemik innfeksi shigellosis lainya adalah kejang terutama pada

anak-anak. Kejang lebih sering ditemukan pada infeksi s.sonnei, selain itu pasien

shigellosis dapat mengalami penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan

metabolik hipoglikemia dan hiponatremia.4.7.8

2.11. PENCEGAHAN

Pencegahan shigellosis pada anak ada dua cara:

1. mendorong pemberian ASI yang lama pada kelompok dimana shigellosis

sering ada. ASI menurunkan resiko shigellosis bergejala dan mengurangi

keparahanya pada bayi yang mendapatkan infeksi walaupun dengan ASI

2. mendidik keluarga dalam teknik mencuci tangan, terutama sesudah buang air

besar sebelum mempersiapakan dan mengkomsumsi makanan.(nelson)

Pencegahan terhadap aspek hygiene perorangan adalah:

1. Mencuci tangan dengan sabun setelah keluar kamar kecil dan sebelum

menjamah makanan.

2. Mengkonsumsi air minum yang sudah dimasak (mendidih). Jika minum air

yang tidak dimasak, dalam hal ini air minum kemasan hendaknya diperhatikan

tutup botol atau gelas yang masih tertutup rapi dan tersegel dengan baik.

3. Tidak memakan sayuran, ikan dan daging mentah atau setengah matang.

4. Mencuci sayuran dengan bersih sebelum dimasak.

5. Mencuci dengan bersih buah-buahan yang akan dikonsumsi.

6. Selalu menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan secara teratur dan
menggunting kuku.

7. Mencuci alat makan (piring, sendok, garpu) dan alat minum (gelas, cangkir)

dengan menggunakan sabun dan dikeringkan dengan udara. Jika

menggunakan kain lap, hendaknya menggunakan kain lap yang bersih dan

kering.

8. Mencuci dengan bersih alat makan-minum bayi/anak-anak dan merendam

dalam air mendidih sebelum digunakan.

9. Segera berobat ke petugas kesehatan jika frekuensi buang air meningkat, sakit

pada bagian abdomen dan kondisi tinja encer, berlendir dan terdapat darah.

Sebelum berobat atau minum obat, minum cairan elektrolit guna mencegah

timbulnya kekurangan cairan tubuh.10


DAFTAR PUSTAKA

1. Asep, E. Sukmayadi, Sri A. dkk. Jurnal Aktivitas Imunomodulator Ekstrak

Etanol Daun Tempuyung (Sonchusarvensis Linn). Fakultas Farmasi,

Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat, Indonesia. Volume 1, Nomor

2, Oktober 2014

2. Nafianti,S, Atan B Sinuhaji. Jurnal Resisten Trimetoprim Sulfametoksazol

terhadap Shigellosis. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1, Juni 2005: 39-44

3. Yane Bangkele,E, Nursyamsi1, Silvia Greis. Jurnal Efek Anti Bakteri Ektrat

Lengkuas Putih. (Alpinia galangal[L] Swartz) Terhadap Shigella dysenteriae.

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Tadulako. Jurnal

Kesehatan Tadulako Vol. 1 No. 2, Juli 2015 : 1- 78

4. Word health organization. Pelayanan Kesehatan Anak dirumah Sakit.

Pedoman rumah sakit rujukan tingkat pertama dikabupaten/kota. 2005

5. Prihantoro,T, indra R, dkk. Jurnal Efek Entibakteri ekstrat Buah Delima

(Punica Granatum) terhadap Shigella desintriae in vitro. Jurnal Kedokteran

Brawijaya, Vol. XXII, No. 3, Desember 2006

6. Syahruman A, Mariam, T, dkk. Mikrobiologi kedokterann. Edisi revisi. FKUI.

Jakarta.

7. Kligman A Berman. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson. Vol 2. Edisi 15. EGC.

Jakarta : 1999

8. Hasan,R, Alatas H, Buku kuliah ilmu kesehatan Anak. Fkui. Jakarta: 1985

9. Widoyono, MPH. Penyakit Tropis, epidemiologi penularan pencegahan dan

pemberantasannya. Edisi2;Erlanga: Jakarta.2011

10. Pudjiadi H, A, hegar badrul, dkk. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter

Anak Indonesia. IDAI.2009

Anda mungkin juga menyukai