Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI REFLEKSI KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2021


UNIVERSITAS TADULAKO PALU

“MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


TUMOR MAMMAE DEXTRA MENGGUNAKAN TEKNIK LARYNGEAL
MASK AIRWAY (LMA)”

Disusun Oleh:

Zerry Reza Syahrul

N 111 19 004

Pembimbing Klinik:

dr. Muh. Nahir, Sp. An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2021
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap tindakan pembedahan pasti memerlukan anestesi. Berdasarkan
analisa kata “anestesi” berasal dari bahasa Yunani an-“tidak, tanpa” dan aestheos,
“persepsi, kemampuan untuk merasa”, secara umum artinya merupakan suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit atau nyeri ketika melakukan pembedahan.1
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar tanpa
nyeri yang reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa
sakit seluruh tubuh secara sentral yang ditandai dengan hilangnya kesadaran
(sedasi), hilangnya persepsi nyeri (anelgesi), hilangnya memori (amnesi) dan
relaksasi.2
Perbedaan dengan anestesi lokal adalah anestesi pada sebagian tubuh,
keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran, berfungsi untuk menekan impuls
nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Anestesi umum merupakan
teknik anestesi yang paling sering digunakan dibandingkan dengan teknik anestesi
lain. 70-80 persen kasus pembedahan memerlukan tindakan anestesi umum.3
Teknik anestesi umum dapat dilakukan antara lain anestesi inhalasi,
anestesi intravena, ataupun kombinasi kedua teknik tersebut. Saat memilih teknik
dan obat yang akan digunakan dalam anestesi umum perlu dipertimbangkan
berbagai hal, antara lain adalah keamanan dan kemudahan dalam melakukan
teknik tersebut, kecepatan induksi dan pemulihan, stabilitas hemodinamik, efek
samping yang ditimbulkan, serta biaya yang diperlukan. 4
LMA (Laryngeal Mask Airway) merupakan salah satu terobosan terbaru
yang digunakan sebagai salah satu alternatif manajemen jalan nafas yang telah
diterima secara luas pada praktik anestesia. Pemasangan LMA dianggap lebih
mudah dan paling sering digunakan. Penggunaan sungkup laring mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan penggunaan intubasi endotrakeal dan sungkup
muka. Salah satu yang menjadi kelemahan penggunaan sungkup muka adalah
tidak dapat melindungi jalan napas dari kemungkinan regurgitasi isi lambung.
Dalam pemasangannya, sungkup laring tidak memerlukan laringoskop, tidak perlu
pemberian pelumpuh otot, tidak merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat
rendah dibanding intubasi endotrakea.5
Tumor payudara merupakan benjolan di payudara. Timbulnya benjolan
pada payudara dapat merupakan indikasi adanya jenis tumor/kanker payudara.
Namun, untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan patologis. Kanker
payudara adalah keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan
jaringan penunjang payudara yang ditandai dengan adanya benjolan di payudara,
dan pada stadium lanjut terasa sakit.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jalan Napas

Gambar 1. Anatomi Jalan Napas Atas7


2.2 Evaluasi Jalan Napas
Tujuan evaluasi jalan napas adalah untuk menghindari gagalnya
penanganan jalan napas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang
diduga akan sulit diventilasi dan/atau diintubasi.8
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau kesulitan
intubasi endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan anestesi harus
menjalani anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan napas yang komprehensif.
Pasien harus ditanyai mengenai komplikasi jalan napas pernah terjadi
sewaktu dianestesi dulu. Riwayat trauma selama penanganan jalan napas
sebelumnya pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat menandakan
adanya kesulitan jalan napas.8
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien
untuk menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang
disebut Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini
digunakan untuk prediksi kesulitan intubasi menilai secara fungsional rasio
ukuran lidah seseorang terhadap rongga mulutnya.8

Gambar 2. Sitem Klasifikasi Mallampati


2.3 Alat-alat yang Digunakan dalam Manajemen Airway
1. Oral dan Nasal Airway
Untuk mempertahankan jalan napas bebas, jalan napas buatan
(artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan faring bagian
posterior. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan napas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100
mm/Guedel no 5).9
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara
lubang hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih Panjang dari
oral airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak
boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan
adenoid. Nasal airway juga jangan digunakan pada pasien degan fraktur
basis cranii.9
2. Face Mask
Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan
cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila face
mask dan ikatan masker digunakan dalam jangka lama maka posisi harus
sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan
mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.7
3. Intubasi Endotrakeal
Tujuan dilakukan tindakan intubasi endotrakeal ialah untuk
membersihkan saluran tracheobronchial, mencegah aspirasi,
mempertahankan jalan napas agar tetap paten, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Intubasi
endotrakeal diindikasikan pada berbagai keadaan saat sakit ataupun pada
prosedur medis untuk mempertahankan jalan napas seseorang,
pernapasan, dan oksigenasi darah.8
4. Laryngeal Mask Airway
Penggunaan LMA menungkat untuk menggantikan pemakaian
face mask dan Endotrakeal tube (ETT) selama pemberian anestesi, untuk
memfasilitasi ventilasi dan pemasangan ETT pada pasien dengan jalan
napas yang sulit, dan membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic,
juga pemasangan bronkoskop.7

3 Laryngeal Mask Airway (LMA)


1. Definisi
Laryngeal Mask Airway (LMA) adalah alat supraglotis airway
modern, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian
dalam laring untuk ventilasi spontan memungkinan ventilasi kendali pada
mode level tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk
neonates, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.9
Ukuran Berat Badan (kg) Volume cuff
1 <5 4
1,5 5 - 10 7
2 10 – 20 10
2,5 20 - 30 14
3 30 – 50 20
4 30
50 – 70
5 >70 40
Bentuk anatomi pipa jalan napas berbentuk bulat panjang
melengkung dan kaku, pada pipa saluran pernapasan dengan diameter 15
mm yang pangkalnya terdapat konektor yang berfungsi sebagai
sambungan ke sirkuit mesin anestesi dan pada ujungnya berposisi di laring
proximal. Pada saluran pipa satunya berujung pada pangkal saluran
pencernaan berfungsi sebagai saluran ke saluran pencernaan berposisi di
depan sphinter esophagus. Terlihat pada saat dimasukkan dengan
rekomendasi teknik insersi.9

Gambar 3. Bagian-bagian LMA


LMA memberikan alternative untuk ventilasi selain face mask atau
ETT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring
(misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya
kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit
restriksi jalan napas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih
besar dari 25 cm H2O.9

2. Jenis-jenis LMA :
a) LMA Klasik
Suatu metode pemasangan LMA klasik dengan teknik standar
direkomendasikan oleh Dr. Archie Brain yaitu dengan cara setelah
deflasi cuff secara penuh maka LMA dimasukan dengan bantuan indek
jari dengan menekan masker ke arah cranioposterior melewati
palatofaringeal dilanjutkan kearah kaudal sampai dirasakan adanya
tahanan.
Saat ujung masker memasuki upper eshopageal spinter yang
berbahan semirigid sehingga memungkinkan insersi yang atraumatik
dan berbahan semitransparan, sehingga dapat untuk mengetahui
adanya material regurgitan, terdapat garis hitam disepanjang punggung
pipa nafas untuk membantu orientasinya. Kelemahan utama dari teknik
pemasangan LMA classic standar adalah jari-jari operator akan
terhalang oleh gigi pasien dan pembukaan mulut pasien yang kurang
maksimal.9,10
Gambar 4. LMA Classic
b) LMA Proseal
LMA Proseal adalah LMA yang paling serba guna yaitu double
cuff selang drainase makanan dan pernafasan terpisah. Bentuk ini di
buat bersamaan dengan selang jalan nafas fleksibel, memungkinkan
waktu ventilasi yang lama dengan kerusakan minimal dinding
posterior faring. LMA ini merupakan LMA yang paling kompleks.
Pada LMA ini terdapat cuff yang dimodifikasi dan tube untuk drain.
LMA ini memiliki dua sungkup, satu untuk saluran nafas, dan satu
untuk saluran pencernaan. LMA ini dibuat untuk mencegah aspirasi
dan regurgitasi yang tidak terduga.11
LMA proseal menjadi alternatif yang lebih baik pada operasi
elektif yang menggunakan LMA klasik dengan ventilasi kendali dan
pada resusitasi kardiopulmonal. Pemasangan LMA proseal
dikontraindikasi pada pasien dengan risiko aspirasi sebelum induksi.11

Gambar 5. LMA Proseal

c) LMA Fleksibel
Pada tahun 1990, dilaporkan terjadinya kinking pada tube LMA,
sehingga dr. Brain mendesain LMA fleksible dan diluncurkan tahun
1992 untuk mencegah terjadinya oklusi tube, meningkatkan akses
pembedahan, dan mencegah bergesernya LMA selama pembedahan
kepala, leher, dan orofaring.
Ukuran tube yang lebih panjang memungkinkan LMA ini
dipasangkan pada sirkuit nafas dengan jarak yang lebih jauh dari
medan operasi. Diameter yang lebih kecil memungkinkan menambah
luas ruang medan operasi didalam mulut. LMA jenis ini lebih dipilih
untuk tindakan operasi intra oral, khususnya adenotonsilektomi.12

Gambar 6. LMA Fleksibel

d) LMA Fastrach
LMA fastrach merupakan jenis LMA yang diciptakan untuk
memfasilitasi intubasi, sehingga tidak diperlukan manipulasi kepala
leher yang besar. LMA fastrach terdiri dari tiga komponen, yaitu LMA
itu sendiri, tube trakhea, dan batang stabilisator. LMA fastrach kaku,
berbentuk melekuk mengikuti anatomi jalan nafas. Pada tube LMA
fastrach cukup besar untuk ukuran tube trakhea hingga nomor 8,0 dan
tidak terlalu panjang sehingga dapat untuk memastikan bahwa ETT
masuk melalui pita suara. Alat ini memiliki handle yang kaku untuk
memfasilitasi intubasi, ekstubasi, dan untuk memposisikan lubang
LMA sehingga menghadap rimaglotis. LMA fastrack digunakan untuk
resusitasi jantung paru dan sebagai antisipasi kesulitan jalan nafas
yang tidak terduga dan untuk memfasilitasi intubasi buta tanpa
menggerakan kepala atau leher. Pemasangan LMA fastrach dengan
maneuver Chandi terdiri dari dua langkah yaitu memposisikan
sungkup LMA di laring untuk mendapatkan seal yang baik diikuti
dengan sedikit mengangkat handel menjauhi dinding posterior laring.
Intubasi dengan LMA fastrach direkomendasikan untuk menggunakan
tube khusus yang terbuat dari silikon, lunak, lurus, diperkuat dengan
wire, dan memiliki cuff. Untuk melepaskan LMA fasrach setelah
pemasangan ETT, operator harus terlebih dulu melepas konektor,
kemudian mengeluarkan LMA sambil mempertahankan ETT.untuk
mempertahankan LMA, digunakan batang stabilisator.10

Gambar 8. LMA Fastrack

e) LMA Supreme (sLMA)


LMA jenis ini adalah LMA gabungan antara pLMA dan LMA
fastrach yang diperkenalkan tahun 2007.9
Gambar 9. LMA Suprame
f) LMA C Trach
LMA C Trach dibuat untuk meningkatkan keberhasilan intubasi
pada jalan nafas yang sulit, LMA ini tetap dapat memberikan ventilasi
selama dilakukan percobaan intubasi dan saat ETT memasuki trakhea
dapat dimonitor.LMA c-trach merupakan modifikasi teknik intubasi
bind-on-blind seperti pada LMA fastrach dengan mengintegrasikan
fiberoptik. Dengan alat ini laring dapat tervisualisasi secara langsung.12

Gambar 10. LMA C Trach


g) . I-gel
LMA ini dibuat dari bahan thermoplastic elastone. LMA jenis ini
diperkenalkan tahun 2003. LMA jenis ini unik karena tidak
menggunakan balon kembang. LMA akan lentur ketika menyentuh
tubuh pasien. Poros dari i-gel mencegah rotasi dari LMA dan
naiknya cairan lambung.9

Gambar 11. LMA I-gel


3. Indikasi Penggunaan LMA
a) Alternatif face mask dan intubasi endotrakheal untuk penanganan
jalan nafas sulit.
b) Penanganan airway selama anastesi umum pada :rutin ataupun
emergency, radioterapi, CT-Scan/MRI, resusitasi luka bakar,
ESWL, adenotonsilektomi, bronkoskopi dengan fiberoptik
fleksibel, resusitasi neonatal.
c) Situasi jalan nafas sulit: terencana, penyelamatan jalan nafas,
membantu intubasi endotrakeal.

4. Kontraindikasi Penggunaan LMA


a) Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (tidak puasa).
b) Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher
(misalnya artitis rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis),
menyebabkan memasukkan LMA lebih jauh ke hipofaring sulit.
c) Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar.
d) Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya.
e) Kelainan pada orofaring (misalnya hematoma, dan kerusakan
jaringan).
f) Ventilasi satu paru.
5. Teknik Pemasangan LMA
a) LMA mempunyai manset yang dikempiskan benar sebelum
dimasukkan, dan pompa setelah penempatannya benar.
b) Bagian belakang masker dilumasi secara menyeluruh.
c) Tingkat anestesi atau tidak sadar harus sama dengan tingkatan
untuk memasukkan LMA.
d) Kepala dan leher berada dalam posisi seperti pada intubasi trakea
dan asisten membuka mulut pasien selebar mungkin.
e) Ujung masker ditekankan pada palatum durum dengan ujung
terbuka, masker mengarah ke lidah tanpa boleh menyentuhnya.
f) Masker didorong sejauh mungkin. Masker ini terlalu lebar untuk
ujungnya berada di atas sfingter esofagus. Bagian samping masker
berada di atas fossae pyriformis dan tepi atasnya berada di dasar
lidah.

6. Komplikasi LMA
a) Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :
 Gagal insersi (0,3 – 4%)
 Ineffective seal (<5%)
 Malposisi (20 – 35%)
b) Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
 Tenggorokan lecet/nyeri tenggorokan (0 – 70%)
 Disfagia (4 – 24%)
 Disartria (4 – 47%)
c) Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
 Batuk (<2%)
 Muntah (0,02 – 5%)
 Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
Nyeri tenggorok pascaoperasi atau postoperative sore throat
(POST) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien yang
menjalani operasi dengan anestesi umum. Kekerapan nyeri tenggorok
pascaoperasi lebih sering terjadi pada anestesi umum dengan
pemasangan pipa endotrakea dibandingkan dengan penggunaan
Laryngeal Mask Airway (LMA).9

4 Jalur Pemberian Anestesi Umum


a) Pramedikasi
Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama periode
sebelum dilakukannya induksi anesthesia, sebagai tambahan dari obat-
obat yang biasanya dikonsumsi pasien. Tujuan dari premedikasi adalah
untuk ansiolisis, amnesia, antiemetik, antasida, antiautonomik, dan
analgesia.3
Tujuan pemberian terapi pre medikasi :
a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas dan mempermudah
konduksi anestesi.Untuk anak prasekolah dan usia sekolah yang
tidak bisa tenang dan cemas, pemberian penenang dapat dilakukan
dengan pemberian midazolam. Dosis yang dianjurkan adalah
0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10
menit setelah pemberian.
b. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau
dengan latar belakang analgesia selama dan sesudah operasi.
c. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan ketamine
(dipakai atropine (Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan
maksimal 0,5 mg), yang dapat digunakan untuk mencegah
bradikardia, khususnya pada anak-anak).
d. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika pengosongan
diragukan, misalnya pada kehamilan (pada kasus ini diberikan
antasida peroral).3

b) Induksi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama operasinya,
untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi
saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis
tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah
tindakan selesai pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh
penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery.3
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.
Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi
karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan
angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea
yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-
intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi
laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan
terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari
terjadinya hipertensi.3

c) Maintenance
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai
obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan
obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat
diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum
sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita
yang tingkatan algesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot,
maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul:

a) Gerakan lengan atau kaki


b) Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang
memakaipipa endotrakeal
c) Adanya lakrimasi
d) Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor
laryngeal,broncospasme
e) Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi
bertambah cepat,
f) Tekanan darah meningkat, berkeringat
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias
anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur
dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini
disebut balance anestesi.4
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka
otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat
bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena
itu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali
ataucontrol respiration.4
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-
12mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.4

d) Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut
oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang
seblumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian
tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,
sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat
anestesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anestesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan
tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar
obat anestesi dalam darah.3
Bagi penderita yang mendapat anestesi inhalasi pada akhir
pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun dan
mampu membuka mulut sesuai perintah, dimana refleks proteksi jalan
napas telah normal kembali. Melakukan penghisapan pada faring secara
umum tidak diperlukan dan malah dapat menstimuli dan meningkatkan
komplikasi jalan nafas seperti laryngospasm. Saat pasien dapat
membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan
terjadi saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat
dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan secret
tersebut.

e) Skor Pemulihan Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
Recovery room (RR).3
a) Aldrete Score
Aldrete score adalah skor pemulihan pasca anestesi yang
dikembangkan oleh J.Antonio Aldrete, MD dan diterbitkan
pertama kali pada tahun 1979 dan diperbaharui pada tahun 1995.
Score ini merupakan criteria yang menyatakan stabil atau tidaknya
pasien setelah anestesi yang diukur berdasarkan pengukuran
kesadaran, aktivitas, respirasi, sirkulasi (tekanan darah dan laju
pernafasan), dan warna kulit.3
Score yang diperoleh dari criteria ini berkisar 1-10. Pasien
akan dinilai saat masuk ke Recovery Room, setelah itu dilakukan
penilaian kembali setiap 15 menit sekali secara berkala selama 4
kali, kemudian skor total akan dihitung dan dicatat pada catatan
penilaian.3

Tabel 1. Skor Pemulihan Post Anestesia dari Aldrete.


No. Kriteria Score
1 Warna Kulit Merah/Normal 2
Pucat 1
Sianosis 0
2 Pergerakan/Motorik Gerak rmpat anggota tubuh 2
Gerak dua anggota tubuh 1
Tidak ada gerak 0
3 Pernafasan Nafas dalam, batuk dan tangis kuat 2
Nafas dangkal dan adekuat 1
Nafas apnea / nafas tidak adekuat 0
4 Tekanan darah TD berbeda ± 20 mmHg dari Pre- 2
Op
TD berbeda 20-50 mmHg dari 1
Pre-Op
TD berbeda ± 50 mmHg dari Pre- 0
Op
5 Kesadaran Sadar penuh mudah dipanggil 2
Bangun jika dipanggil 1
Tidak ada respon 0
Score ≥ 9, Pasien boleh pindah ke ruang perawatan.
Score < 9 pasien dipindahkan ke ICU
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Nn. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 21 tahun
Berat badan : 50 kg
Alamat : Moutong
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Diagnosa Pra Anestesi : Tumor mammae dextra
Jenis Pembedahan : Pro eksisi tumor
Tanggal Operasi : 21/05/2021
Jenis Anestesi : General Anesthesia
Anestesiologi : dr. Muh. Nahir, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Gusti Purnomo, Sp.B
3.2 PENGKAJIAN MEDIS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Benjolan di payudara sebelah
kanan.
2. Riwayat Penyakit sekarang : Pasien perempuan masuk rumah
sakit dengan keluhan benjolan di payudara sebelah kanan. Benjolan
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan dirasakan semakin lama
semakin membesar. Benjolan dirasakan tidak nyeri. Mual dan muntah
tidak ada. BAK (+) lancar dan BAB (+) biasa.
3. Riwayat Penyakit dahulu :
 Riwayat penyakit Asma (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Diabetes Melitus (-)
 Riwayat alergi makanan dan obat-obatan (-)

4. Riwayat penyakit keluarga :


 Riwayat Penyakit Jantung (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Asma (-)
 Riwayat Alergi Obat dan Makanan (-)
 Riwayat Diabetes Melitus (-)

5. Anamnesis tambahan :
Gigi goyang (-), gigi palsu (-), riwayat operasi sebelumnya (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
BB : 50 kg
2. Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82x/menit
Repirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5oC

3. Pemeriksaan Fisik Pre Operatif


B1 (Breath)
Inspeksi : Bentuk Simetris, gerakan pernafasan statis dan diamis,
retraksi (-)
Palpasi : Vokal Fremitus dan taktil simetris kanan dan kiri, tidak
teraba masa, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor (+) Pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas Vesikular (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
4. B2 (Blood)
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi Ictus cordis teraba di SIC V Midclavicula sinistra
Perkusi :
Batas Atas : SIC II Linea Parasternal Sinistra
Batas Kanan: SIC IV Linea Parasternal Dextra
Batas Kiri : SIC V Linea Midclavicula Sinistra
Auskultasi : BJ S1/S2 Murni reguler, bising (-)
5. B3 (Brain)
Kesadaran : Compos Mentis GCS 15 (E4V5M6)
Kepala : Normochepal
Mata :
Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil Isokor (+/+)
Refleks Cahaya (+/+)

6. B4 (Bladder)
BAK lancar, produksi kesan normal, warna terang

7. B5 (Bowel)
Inspeksi : Perut simetris kanan dan kiri, datar, tidak ada ditemukan
siktarik dan massa
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Tympani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-), Turgor kulit baik, hepar tidak teraba
Membesar
8. B6 Back & Bone
Status Lokalis Regio Clavicula Dextra
Inspeksi : Tidak tampak edema di atas clavicula
Tidak tampak deformitas
Palpasi : Didapatkan krepitasi dan nyeri tekan pada clavicula, pulasasi
arteri radialis teraba
Pergerakan ekstremitas atas kanan (terbatas)
Pergerakan ekstremitas atas kiri (bebas)
Pergerakan ekstremitas bawah kanan (bebas)
Pergerakan ekstremitas bawah kiri (bebas)
Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema (-), turgor < 3 detik, CRT < 2
detik.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin (20/05/2021)
White Blood Cell (WBC) 5,10 x 103μL Normal
Red Blood Cell (RBC) 4,77 x 106 μL Normal
Hemoglobin (Hb) 12,2 g/dl Normal
Hematokrit (HCT) 38,3 % Normal
Platelet (PLT) 329 x 103 μL Normal
Prothrombin Time (PT) 16,30 detik Normal
Activated Partial 36,20 detik Normal
Trombolastin Time
(APTT)
Pemeriksaan Laboratorium lain (20/05/2021)
IgM anti-SARS-Cov 2 Non-Reaktif
IgG anti-SARS-Cov 2 Reaktif
Pemeriksaan Laboratorium lain (20/05/2021)
Rapid Test Antigen Sars Negatif
Cov-19
HbsAg Non-Reaktif
Pemeriksaan USG Mammae (19/04/2021)
Lesi hipochoic diameter 2,2x1,9 cm arah jam 7 dan 8
Pemeriksaan Foto Thorax (18/04/2021)
Corakan bronchovasculer normal
D. Diagnosis
Tumor Mammae Dextra
E. Penatalaksanaan Pembedahan
 Medikamentosa :
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Ceftriaxone 1 gr injeksi/8 jam
Metamizole 1 gr injeksi/8 jam
 Operatif :
Jenis Pembedahan : Pro eksisi tumor

F. ASSESMENT
 Status fisik ASA 1
 Rencana Anestesi : General Anestesi

G. PLAN
 Jenis anestesi : General Anestesi
 Teknik anestesi : General Anestesi Laryngeal Mask Airway

H. Tatalaksana Anestesi
Saat pasien berada di ruangan pre operasi, pasien diberikan obat-obatan
yaitu :
a. Premedikasi
Sedative : Midazolam 1 mg/IV
Analgetik : Fentanyl 80 µg/IV
Antiemetik : Ondancentron 4 mg/IV
b. Induksi
Induksi : Propofol 80 mg/IV
c. Maintenance
O2 5 lpm via LMA
Sevoflurance 2 vol % via LMA
d. Post Operasi
Dexamethasone 10 mg/IV
Metamizole 1 g/IV
I. PERSIAPAN PRE-OPERATIF
Di ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 8 jam pre operasi
c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 20 tpm
Di Kamar Operasi
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter”
i. Kartu catatan medis anestesia.
Persiapan alat (STATICS)
a. Scope : Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
LaringoScope : pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukup terang.
b. Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
c. Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
g. Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya

J. Prosedur General Anestesia Laryngeal Mask Airway (LMA) :


a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan
cairan RL 20 tpm
b. Memasang monitor untuk melihat heart rate,saturasi oksigen dan laju
respirasi
c. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Midazolam 1 mg/iv, Ondansentron 4
mg/iv, Fentanyl 80 mcg/iv
d. Diberikan obat induksi yaitu propofol 80 mcg/iv
e. Insersi: LMA nomor 4, auskultasi BP: kiri=kanan, bunyi tambahan:
rhonki -/-, wheezing -/-, fiksasi.
f. Maintenance selama operasi : O2 5 liter/menit via LMA , sevoflurane 2
vol%
g. Emergence : tuntun ke napas spontan dan adekuat, stop sevoflurane O2 5
liter/menit
h. Ekstubasi : ekstubasi dalam keadaan sadar/teranestesi, suction lender,
pasien ke RR

K. LAPORAN ANESTESI
a) Diagnosis pra-bedah : Tumor Mammae Dextra
b) Diagnosis post-bedah :-
c) Jenis pembedahan : Pro eksisi tumor
d) Jenis anastesi : General anastesi
e) Teknik anastesi : Laryngeal Mask Airway (LMA)
f) Posisi : Supine
g) Preoksigenasi : O2 5 L/menit via Laryngeal mask
h) Premedikasi anestesi : Midazolam 1 mg/iv
Fentanyl 80 mcg/iv
i) Induksi : Propofol 80 mg/iv
j) Medikasi tambahan :-
k) Maintenance : O2 5 lpm via LMA
Sevoflurance 2% via LMA
l) Respirasi : Terkontrol
m) Anestesi mulai : 09.15 WITA
n) Operasi mulai : 09.30 WITA
o) Lama operasi : 1 Jam
p) Lama anestesi : 1 jam 10 menit
Tabel 2. Laporan Monitoring Anestesi

Tekanan Frekuensi Saturasi


Jam Terapi
darah denyut nadi oksigen

09.15 120/80 59 100 Midazolam 1 mg/iv


Fentanyl 80 mcg/iv
09.20 120/80 47 100
Propofol 80 mg/iv
09.25 110/70 55 100
09.30 110/70 60 100
09.35 120/80 65 100
09.40 120/70 60 100
09.45 130/70 73 100
09.50 109/67 92 100
09.55 120/70 77 100
10.00 120/70 70 100
10.05 130/80 80 100
10.10 120/70 90 100
10.15 110/70 96 100
10.20 130/90 100 100
10.25 130/90 97 100
Tabel 3. Terapi Cairan
Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 50 Kg Input:
Operasi - Maintenance Kebutuhan cairan per jam RL: 200 cc
- Perempuan = 35 cc/kgBB/hari
= 35 cc x 50 kg
= 1750 cc/24 jam
= 73 cc/jam
= 24 tetes/menit

- Kebutuhan Cairan Pengganti puasa 8 jam


Puasa 8 jam x 73 cc
= 584 cc
Defisit cairan puasa
Input – Output :
200-704 cc
= - 384 cc
Durant Estimate Blood Volume (EBV): Input:
e = 65 cc x BB - RL: 500 cc
Operasi = 65 cc x 50 Kg - Total
= 3.250 cc Perdarahan:
Jumlah perdarahan: ± 50 cc ±50 cc

% Perdarahan

= Jumlah perdarahan: EBV x 100%

= 50 : 3250 x 100%

= 1,5%

Perdarahan yang terjadi pada durante operasi


adalah 1,5% karena tidak melebihi 10-20 %
maka tidak perlu transfuse

Jumlah perdarahan selama operasi ±50 cc x 3 =


150cc (untuk mengganti kehilangan darah 50 cc
diperlukan 150 cc cairan kristaloid)

Stress operasi:
Operasi ringan : 4cc/kgbb/jam
4 x 50 = 200 cc/jam

Lama operasi 1 jam = 200 x 1 jam = 200 cc

Cairan Defisit Darah


= 50 cc (Cairan diganti dengan kristaloid)
= 50 cc x 3 = 150 cc

Kebutuhan Cairan Selama 1 Jam Selama


Operasi
1 Jam = 73 cc/jam

Total Cairan Masuk


Preoperatif + Durante Operatif
= 200 + 500cc
= 700 cc

Total Kebutuhan Cairan Selama Operasi


Kebutuhan Cairan Pengganti Puasa + Stres
Operasi + Cairan Defisit Darah Selama Operasi
(Cairan diganti dengan kristaloid) + Kebutuhan
Cairan Selama Operasi
= 384 + 200 + 150 + 73
= 807 cc

Keseimbangan kebutuhan:
= Total cairan masuk – Total cairan keluar
= 700 – 807
= -107 cc
Post Maintenance BB: 50 Kg
Operasi - Kebutuhan cairan per jam:
= 35 cc x 50 kg
= 1750 cc/24 jam
= 73 cc/jam
= 24 tetes/menit

L. POST OPERATIF
Tekanan Darah : 120/70mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
SpO2 : 99 %
Glasgow coma scale E4V5M6.
Skor Pemulihan Pasca Anestesi (Aldrete score)
Warna Merah/Normal 2
Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Sirkulasi Tekanan darah menyimpang <20% 2
dari normal
Kesadaran Sadar penuh mudah dipanggil 2
Aktivitas Gerak dua anggota tubuh 2
Total 10

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien perempuan usia 21 tahun dengan diagnosis Tumor
Mammae Dextra dilakukan operasi dengan metode eksisi tumor. Tindakan yang
digunakan pada operasi ini yaitu, General Anestesi LMA. Pemilihan anestesi yang
dilakukan adalah jenis general anestesi dikarenakan lokasi yang dilakukan operasi
adalah daerah thoraks yaitu pada regio mammae dextra sehingga tidak
memungkinkan untuk dilakukan anestesi spinal.
Evaluasi pra anestesi dilakukan sebelum operasi yang meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya,
konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital untuk menentukan
status fisik ASA serta ditentukan rencana jenis anastesi yang dilakukan, yaitu
general anestesi. American Society of Anestesiology (ASA) membuat klasifikasi
status fisik pra anastesi menjadi 5 kelas yaitu:4
 ASA 1 : Pasien sehat normal
 ASA 2 : Pasien dengan penyakit sistemik ringan (tanpa keterbatasan
fungsional)
 ASA 3 : Pasien dengan penyakit sistemik yang parah (beberapa
keterbatasan fungsional)
 ASA 4 : Pasien dengan penyakit sistemik parah itu adalah ancaman
konstan terhadap kehidupan (fungsionalitas lumpuh)
 ASA 5 : Pasien yang hampir mati yang tidak diharapkan bertahan hidup
tanpa operasi
 ASA 6 : Pasien mati otak yang organnya sedang dihapus untuk tujuan
donor
 E : Jika prosedurnya darurat, fisik status diikuti oleh "E" (misalnya,
"2E")
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien
digolongkan pada PS ASA I karena pada pemeriksaan pasien sehat normal.
Setelah penentuan ASA, kemudian menentukan jenis anestesi yang digunakan.
Pada kasus ini diputuskan untuk melakukan general anestesi dengan teknik
Laryngeal Mask Airway (LMA) No. 4. Pilihan anestesi yang dilakukan adalah
jenis general anestesi dikarenakan lokasi yang dilakukan operasi adalah pada
thoraks yaitu pada regio Mammae Dextra sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan anestesi spinal.
Pada persiapan periopeatif, dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa
preoperatif pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume
lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif yang
disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk
makanan berat dan 2 jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama
berdampak pada kondisi pasien preoperatif serta pascaoperatif. Pada pasien ini
diminta untuk berpuasa selama 8 jam sebelum operasi. Hal ini sudah sesuai teori
dimana anjuran puasa perioperative adalah selama 8 jam sebelum operasi.11
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih dahulu.
Pasien diberikan premedikasi berupa sedacum 1 mg/iv yang berisi midazolam
termasuk golongan benzodiazepine dan fentanyl 80 mcg/iv. Telah diketahui
bahwa tujuan pemberian premedikasi ialah untuk menurunkan serta
menghilangkan kecemasan pada pasien karena sekitar 70% pasien diperkirakan
mengalami stres dan juga kecemasan prabedah. Berdasarkan panduan nasional
pelayanan kedokteran anastesiologi dan terapi intensif menyatakan bahwa
midazolam 2 mg/iv digunakan untuk premedikasi dalam intubasi endotrakeal.12
Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesik
dan bisa bersifat induksi. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan
mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Lamanya efek
depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.4
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi. Opioid dosis tinggi yang diberikan selama
operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian
dapat mengganggu ventilasi secara akut. Dosis fentanyl yang digunakan selama
operasi yang aman yaitu 2-50 mcg/kgBB.4
Pada pasien ini diberikan ondansetron 4 mg sebagai obat premedikasi yang
merupakan obat selektif terhadap reseptor antagonis 5-Hidroksi-Triptamin (5-
HT3) di otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Di mana selektif
dan kompetitif untuk mencegah mual dan muntah setelah operasi dan radioterapi.
Ondansetron memblok reseptor di gastrointestinal dan area postrema di CNS.
Pada intravena diberikan dosis tunggal ondansetron 0,1 mg/BB sebelum
operasi atau bersamaan dengan induksi. Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler
sampai batas 3 mg/kgBB masih aman, clearance ondansetron pada wanita dan
orang tua lebih lambat dan bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-
76%, metabolisme di hepar, diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5
jam. Mula kerja kurang dari 30 menit, lama aksi 6-12 jam.7
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu propofol 80
mcg I.V karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi
yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi neuron yang
hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan
dapat dicapai dalam 30 detik. Penggunaan premedikai pada pasien ini bertujuan
untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan
mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Pada kasus ini tidak
diberikan pelemas otot saat pemasangan LMA.8
Untuk menjamin jalan nafas pasien selama tidak sadar, maka dilakukan
pemasangan LMA, karena dinilai lebih aman dan lebih tidak invasive dibanding
dengan pemasangan Endotracheal Tube (ET). Dipilih manajemen jalan nafas
dengan LMA karena pertimbangan lama operasi yang tidak begitu lama. LMA
tidak dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi dalam
jangka waktu lama. LMA juga tidak dapat dilakukan pada pasien dengan reflek
jalan nafas yang intak, karena insersi LMA akan mengakibatkan laryngospasm.
LMA sebagai alternative dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management.9
LMA bukan suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu
indikasi. Keuntungan penggunaan LMA disbanding ET adalah kurang invasif,
mudah penggunaannya, minimal, trauma pada gigi dan laring, efek laryngospasm
dan bronkospasme minimal, dan tidak membutuhkan agen relaksasi otot untuk
pemasangannya. LMA diesktubasikan ketika pasien sadar, pasien bangun dan
mampu untuk membuka mulut sesuai perintah. Esktubasi LMA dilakukan pada
keadaan pasien sadar karena dimana refleks proteksi jalan nafas telah normal
pulih kembali.9
Pada pasien ini obat anestesi inhalasi yang digunakan adalah sevoflurane 2
vol %. Sevoflurane merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cair, tidak
berwarna, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik untuk inhalasi. Proses
induksi dan pemulihan cepat dari semua obat anesthesia inhalasi yang lain.
Terhadap kardiovaskuler relative stabil dan tidak menimbulkan aritmia selama
anesthesia. Tahanan vascular dan curah jantung menurun sehingga tekanan darah
sedikit menurun.5
Aliran oksigen sekitar 5 lpm sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan
dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan menjelang operasi hampir selesai. Kemudian dilakukan ekstubasi LMA
secara cepat dan pasien dalam keadaan sadar untuk menghindari penurunan
saturasi lebih lanjut.4

Terapi cairan berfungsi untuk mengganti cairan saat puasa, sebelum dan
sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, dan
mengganti perdarahan yang terjadi. Pemberian maintenance cairan sesuai dengan
berat badan pasien, BB pasien 50 kg yaitu sehingga kebutuhan cairan maintenance
pasien adalah (M): 35 cc/kgBB/24jam x 50 = 1.750 cc/24jam atau 73 ml/jam atau
24 tetes/menit. Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam,
namun pasien telah diberikan cairan kristaloid Ringer Lactat sebanyak 200 ml
sebelum operasi. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat
efek samping dari obat-obat anestesi yang diberikan sehingga refleks laring
mengalami penurunan selama anestesi.
Sebelum dilakukan operasi, pasien di anjurkan untuk puasa 8 jam, dimana
kebutuhan cairn pengganti puasa = 8 jam x 73 cc = 584 cc. Namun sebelum
pembedahan pasien diberikan cairan Ringer Lactat dimana cairan yang masuk
pada pasien hanya sejumlah 200 cc. Kemudian pasien akan dilakukan eksisi tumor
dimana operasi ini merupakan operasi yang ringan, sehingga diperoleh stres
operasi = 4 cc x 50 Kg = 200 cc/jam.
Pasien telah kehilangan darah ± 50 cc. Menurut perhitungan, perdarahan
yang lebih dari 20% EBV harus dilakukan transfusi darah. Pada kasus ini tidak
diberikan pemberian penggantian cairan dengan darah karena perkiraan
perdarahan sekitar 50 cc, dimana EBVnya adalah 3.250cc jumlah perdarahan
(%EBV) adalah 1,5% sehingga tidak diperlukan transfusi darah dan dapat di ganti
dengan cairan kristaloid. Jika dilakukan penggantian cairan dari jumlah
perdarahan yang keluar di ganti dengan cairan kristaloid maka = 50 cc x 3 = 150
cc.
Lama pasien menjalani operasi yaitu 09.15-10.25 jika kebutuhan cairan
pasien selama 1 jam operasi yaitu 200 cc. Cairan yang masuk saat pasien
menjalani operasi yaitu Ringer Lactat 500 cc. Total kebutuhan cairan pasien
selama operasi yaitu kebutuhan cairan pengganti puasa selama 8 jam, ditambah
dengan stres selama operasi, ditambah dengan cairan defisit darah selama operasi
yang di ganti dengan kristaloid, ditambah dengan kebutuhan cairan selama operasi
= 384 + 200 + 150 + 73 = 807 cc. Jadi total kebutuhan cairan pasien selama
operasi yaitu 807 cc dimana keseimbangan kebutuhan cairan yang masuk – total
kebutuhan cairan selama operasi = 700 – 807 = - 107 cc. Jadi defisit cairan pasien
yaitu 107 cc yang akan di ganti setelah operasi selesai di recovery room.
Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan lama anestesi
09.15 – 10.40 (1 jam 10 menit). Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(Recovery Room). Cairan defisit 107 cc di ganti sebelum pasien di pindahkan ke
ruang perawatan. Selanjutnya dilakukan monitoring sampai keadaaan pasien stabil
dan dilakukan penilaian Aldrette score sebelum pasien dipindahkan ke ruangan.
Aldrette score ≥9 pasien dapat dipindahkan ke ruangan. Pada pasien ini aldrette
score sebelum dipindahkan keruang perawatan yaitu 10, maka dapat dipindah ke
ruangan perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Emanuel Ileatan Lewar. Efek Pemberian Obat Anestesi Inhalasi


Sevofluran terhadap Perubahan Frekuensi Nadi Intra Anestesi di Kamar
Operasi Rumah Sakit Umum Daerah Umbu Rara Meha Waigapu. Jurnal
Info Kesehatan. 14(2). 2015.
2. Muhammad Gufran, Diana L, Lucky K. Perbandingan Skor Ramsay
Anestetika Inhalasi Isofulran dibanding Sevofluran pada Pasien Pasca
Operasi Abdomen. Jurnal E-Biomedik. 1(1). 2013. Hlm: 748-754
3. Wiwi H, Dino I, Dina F. Gambaran Kejadian Kegagalan Anestesi Spinal
pada Pasien Seksio Sesarea di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad
Provinsi Riau Periode Mei- Juni 2014. Jom FK. 1(2). 2014.
4. Arvianto,. Oktaliansah, E,. Surahman, E. Perbandingan antara Sevofluran
dan Propofol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia Target
Controlled Infusion terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan Pasien
pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara. Jurnal Anestesi Perioperatif.
5(1). 2017 : 24-31.
5. Emanuel IL, Agus BS, Dwi AS. Efektifitas Bilateral Packing pada
Pemasangan Laryngeal Mask Airway Klasik pada Pasien dengan General
Anesthesia Inhalasi. Jurnal Kesehatan Primer. 5(1). 2020.
6. Marice S, Aprildah NS. Faktor Risiko Tumor Payudara pada Perempuan
Umur 25-65 Tahun di Lima Kelurahan Kecamatan Bogor Tengah. E-
Journal Litbang. 2012
7. Mc Lafferty et al. Respiratory system part 1 : Pulmonary Ventilation.
Nursing Standard. 27(22). 2013 : 40-47.
8. Hsin HH. Meii SL, Yu LS, Heng C, Tien H, Tsai YH. Modified
Mallampati Classification as A Clinical Predictor of Peroral
Esophagogastroduodenoscopy Tolerance. BMC Gastroenterology. 11(12).
2011
9. David E Longnecker. Anesthesiology. Second Edition. McGraw-Hill.
2012.
10. Daniel GO, Marianne GH. Supraglottic Airways: The History and Current
State Of Prehospital Airway Adjuncts. Pre Hospital Emergency Care. 2013
TM
11. Timothy MC. The Proseal Laryngeal Mask Airway: A review of the
Literature. Canadian Journal of Anaesthesia. 2005.
12. Morgan Ge et al. Clinical Anesthesiology. 5th Edition. New York: Lange.
2013

Anda mungkin juga menyukai