Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“KONSELING ANAK BERBAKAT”

DISUSUN OLEH :
WILDAN HAFIZ HARAHAP
33153093

DOSEN PENGAMPUH:
Rizky Ananda, M.Pd

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
T.A 2020/2021

i
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... i
MIND MAPPING .............................................................................................................. 1
PEMBAHASAN
A. Masalah Anak Berbakat dan Keperluan Bimbingan Konseling ......................... 2
B. Pengatasan Masalah Underachievement ............................................................... 8
C. Konseling Karir Anak Berbakat ............................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 26

ii
Labeling

Berbagai Granding
masalah Anak Underchievement
Berbakat
Konsep Diri
Masalah anak berbakat Labeling
dan keperluan Bimbingan
Isu – isu Konseling Orang Tua
Konseling konseling dalam Anak Berbakat
Keberbakatan

Fungsi Bimbingan
Konseling Anak
Berbakat
Efek Labelling
Terhadap Anak

Prestasi kurang
dipandang dari
Pengatasan Masalah Dua Sisi
Interaksi Orang Tua -
Underachievement
Sekolah
Hubungan
Upaya dan
Hasil

Pengertian Karir dan Tahap Karir Anak Berbakat


Konseling Karir Anak
Berbakat Model Konseling Karir Holistik

Pendidikan Karir Bagi Anak Berbakat

Kecemasan dan Aspek Emosional Lainnya dalam Konseling Karir

Pengembangan Kepribadian dan Kreativitas dalam Konseling Karir

Mengenali Keberbakatan yang Tersembunyi dalam Diri Seseorang 1


PEMBAHASAN

A. Masalah Anak Berbakat dan Keperluan Bimbingan Konseling


1. Berbagai Masalah Anak Berbakat
Kepedulian terhadap ciri-ciri dari anak manusia yang
berkualifikasikan istimewa tumbuh dari kepedulian terhadap sifat-sifat
istimewa manusia tersebut.
Seperti sudah diutarakan dalam pengatar, bab ini bermaksus
mendiskusikan dan mendisseminasikan berbagai informasi terhadap
berbagai masalah yang amat khusu dalam pendidikan dan
pengembangan keberbakatan.
Jadi disini masalahnya dilihat dari sudut pandang manusia, apa
yang ia alami dan apa yang ia hayati dan menjadikan situasi baginya,
maupun bagi lingkungannya.
Kita ketahui bahwa didalam kegiatan bimbingan dan konseling,
yang mengadakan konseling itu selalu pertama-pertama harus melihat
persoalan itu dari kacamat yang mengalami konseling atau konsele, jadi
berbagai permasalahan \yang di ketengakan disini juga pertama-tama
dilihat dari sudur pandang konsele.
a. Labeling
Memberikan label pada anak berbakat bahwa ia berbakat
menimbulkan harapan terhadap kemampuan anak tersebut dan bisa
menjadi beban mentalnya, bahkan sering mengakibatkan frustasi.
Dengan demikian perlu di perhatikan beberapa hal :
1) Dalam identifikasi keberbakatan perlu di rumuskan dengan
jelas, apa arti atau rumusan keberbakatan tersebut.
2) Guru seluruh staf, maupun murid harus memperoleh
penjelasan tentang apa yang dimaksud keberbakatan itu.
3) Harus ada rencana dan disain yang jelas tentang keberbakatan
tiu.

2
4) Harus ada pertemuan khusus dengan orang tua agar mereka
mengerti mengapa anak mereka disebut berrbakat dan bakat
yang dimilikinya serta bagaimana melatihkannya.
Dengan demikian labeling ini tidak mengandung berbagai
harapan yang ditujukan kepada anak berbakat yang tidak dapat
dipenuhinya. Dengan komunikasi yang baik, kita dapat merancang
suatu program dan mempengaruhi sikap-sikap yang menaruh
harapan semu, bahkan akan mungkin tercapainya suatu persepsi
dan sikap uang mendukung. Suatu pengalaman belajar harus dapat
meningkatkan kemampuan anak berbakat tanpa menderita efek
yang negatif karena dicap berbakat.
b. Memberi nilai (granding) dalam bentuk angka.
Granding ini sudah menjadi sistem yang terintegrasikan
dalam sistem persekolahan kita sebagai suatu lambang tentang
keberhasilan dan kemajuan belajar anak-anak. Meskipun nilai
angka tidak meningkatkan proses belajar bahkan sering
menghambatnya (apalagi kalau salah angkanya), kita tidak dapat
memikirkan sistem persekolahan tanpa pemeberian angka.
c. Underchievement adalah masalah yang paling menyolok dari
berbagai masalah yang diderita anak berbakat, karena itu akan
dibicarakan secara tersendiri dalam sub sub berikutnya.
d. Konsep diri
Konsep diri anak berbakat ialah bidang yang sangat signifikan.
Dalam penelitian konsep diri dapat diibaratkan dalam kekuatan
dari struktur kognitif yang merupakan interpretasi dan respon
terhadap kejadian tertentu yang melibatkan individu (Nurius, 1986,
dalam Colangelo 1991).
2. Isu-Isu dalam Konseling Keberbakatan
Sebenarnya secara implisit, dengan diketengahkannya berbagai
masalah anak berbakat, telah terpapar juga berbagai isu konseling.
Namun begitu dalam sub-sub ini akan di tambahkan beberapa isu lain

3
yang terkait dengan konseling keberbakatan.
a. Konseling orang tua anak berbakat
Meskipun orang tua diberitahu anaknya berbakat, namun pola
asuhnya tetap sama seperti pola asuh terhadap anak “normal”.
Kendatipun demikian, orang tua menjadi cemas karena takut tidak
dapat memenuhi kebutuhan. Orang tua bahkan mengira bahwa
karena tidak terpenuhi kebutuhannya anak dianggap tidak bisa
menyesuaikan dirinya (maladjusted).
Bisa juga orang tua merasa tidak mampu mendidik anak yang
dibedakan dari anak “biasa”.
Ketidakmampuan itu terkait dengan bantuan emosional yang
dirasakannya tidak dapat diberikan pada anak yang berbeda
tersebut, dan terkait dengan stimulasi intelektual yang tidak
terpenuhi. Kesemuanya anak seperti ini dalam pengalaman
pendidikan.
b. Efek Labelling terhadap keluarga
Anak yang memperoleh label tertentu biasanya dikaitkan
dengan “cap” yang ia peroleh dalam sifat atau perilakunya.
Seandainya ia mengalami kesukaran belajar, kendatipun ia
berbakat, maka “cap” tersebut terkait dengan kesukaran belajar
tersebut kalau di muka dijelaskan betapa hal tersebut
berpengarunya pada keluarga dan kehidupan keluarga.
Cornel (1983, dalam Colangelo 1991), menemukan bahwa
orang tua tidak terlalu setuju dengan kecermatan label yang
“dicapkan” kepada anaknya. Kalau kedua orang tuanya setuju
dengan cap tersebut maka reaksi terhadap cap tersebut positif,
tetapi bila salah seorang tidak setuju, sudah timbul sikap-sikap
yang negatif terhadap cap tersebut. Kalau kedua orang tua tersebut
tidak setuju, maka cap tersebut tidak dapat diterima sebagai
sesuatu yang positif. Colangelo dan Brower (1987a, 1987b, dalam
Colangelo 1991), memperluas penelitian Cornel dan menemukan

4
bahwa orang tua sering tidak setuju dengan label gifted, dan bahwa
alasannya adalah karena ketidaksamaan pengertian terhadap
konseptualisasi keberbakatan (gifted). Kesukaran yang dihadapi
orang tua terutama pada kala anaknya pada permulaan diberi label
berbakat, dan kemudian setelah lima tahun tak terlihat dampak
apapun dari keberbakatan tersebut.
Pengatasan masalah ini oleh konselor sekolah harus
diantisipasikan pada kala anak tersebut diidentifikasikan sebagai
berbakat.
1) Konselor sendiri harus yakin bahwa orang tua memahami
mengapa perannya diindetifikasikan sebagai berbakat.
2) Konselor harus membantu orang tua mengantisipasikan
perubahan komunikasi yang baik, dan dalam hal ini akan
membantu orang tua dan seluruh kehidupan keluarga
memainkan perannya masing-masing. Setelah komunikasi
itum orang tua dan keluarga akan tergugah kesadarannya
untuk bersikap positif terhadap identifikasi keberbakatan itu.
c. Interaksi orang tua-sekolah
Salah satu isu penting dalam konseling keterbakatan yang
dihadapi oleh konselor adalah hubungan antara orang tua dan
sekolah (Colangelo dan Dettman, 1983, 1985 b; Dettman dan
Colangelo 1980, dalam Colangelo, 1991).
Alasan yang mendasari isu ini berkenaan dengan peranan
sekolah dalam memberikan kesempatan untuk memperoleh
pembelajaran yang sifatnya khusus. Mereka
mengkonspetalisasikan empat tipe interaksi orang tua-sekolah
berkenaan dengan identifikasi keberbakatan.
Tipe I yaitu kerjasama, adalah interaksi yang didasarkan
pada sikap orang tua maupun sekolah, bahwa sekolah harus aktif
dalam pendidikan keberbakatan. Kecendrungan untuk saling
memberikan informasi dan kerjasama yang baik menurut pendapat

5
mereka adalah cara yang paling efektif untuk mengembangkan
kemampuan-kemampuan khusus melalui pertimbangan pendidikan
yang khusus dan nyata.
Tipe II menyajikan pertentangan (conflict yang didasarkan
pada sikap pertentangan orang tua yang aktif dan sekolah yang
pasif berkenaan dengan peranan sekolah. Orang tua berpendapat
bahwa anak mereka yang berbakat memerlukan perlakuan khusus
untuk mengembangkan kemampuannya. Namun sekolah
berpendapat bahwa kurikulum sekolah yang berlaku umum sudah
memenuhi kebutuhan tersebut. Interaksi ini adalah yang paling
sulit bagi orang tua maupun sekolah karena orang tua sering
menyalahkan sekolah terhadap acara-acara yang membosankan,
sehingga kurang mengundang motivasi dalam kemajuan belajar
anak. Ada tiga polla dalam tipe ini yaitu :
1) Orang tua terus menerus “menyerang” sekolah.
2) Orang tua menyelenggaralam program khusus sendiri yang
mencakup kunjungan ke museum, pengadilan tuto dan mentor,
dsb.
3) Orang tua merasa putus asa dan tidak berkomunikasi dengan
sekolah.
Tipe III adalah interferensi (inteference), yang didasarkan juga
pada konflik, namun keadaan sebaliknya dan dinamisme tipe II. Di
sini justrus sekolah ingin secara aktif menyelenggarakan kegiatan
bagi anak yang berbakat, tetapi orang tua tidak setuju.
Tipe IV yaitu perkembangan wajar (natural development),
yang merupakan kemufakatan dari kedua belah pihak bahwa
biarpun sekolah pasif, anak berbakat akan dengan sendirinya
tumbuh kembang sesuai potensi kemampuannya, tanpa perlakuan
khusus. Kedua belah pihak percaya bahwa sekolah dengan
kurikulum yang berdifat umum cukup bervariasi untuk
menstimulasikan anak berbakat akan mencapai perkembangan

6
optimal.
3. Fungsi Bimbingan Konseling Anak Berbakat
Setelah menjelajah berbagai masalah khas anak berbakat dan
mendikusikan berbagai isu konseling, sebenarnya sudah dapat ditarik
kesimpulan tentang fungsi bimbingan konseling anak berbakat
dibedakan dari fungsi konseling anak lainnya: ada 2 hal penting yang
perlu diperhatikan dalam kaidah dan fungsi konseling keberbakatam,
yaitu:
a. Konseling tersebut menjangkau lebih banyak orang daripada
konselor dan konseling sendiri, bahkan mencakup juga
orang-orang yang tidak profesional dalam rangka membangun
komunikasi yang baik antar lingkungan dan mereka yang berbakat.
b. Rentangan waktu konseling tersebut juga mencakup jangka waktu
yang lebih panjang, artinya penyelesaian persoalan memakan
waktu lebih panjang dan bahkan lebih sering menuntut tindak
lanjut di luar jam konseling itu sendiri, bahkan bisa mencakup
seluruh waktu hidupnya.
Ciri khas keberbakatan dalam kaitan dengan kehidupan emosinya
adalah bawah sensivitas dan intesitasnya luar biasa dan pada sementara
anak hal tersebut tidak tampak nyata, namun berpengaruh terhadap
seluruh kemajuan belajar maupun perkembangan kepribadiannya.
Dalam pengertian tentang hal ini ini telah ditemukan bahwa faktor
tersebut lebih banyak tidak tampak nyata dari pada merupakan realitas
yang dapat diamati secara langsung, namun tentu tatap memerlukan
penanganannya.
Diskontinulitas dalam perkembangan disebabkan ketidakrataan
dari akselarasinya tetap menuntut aktualisasi diri.
Oleh karena itu fungsi utama dari konseling keterbakatam adalah :
a. Membantu perkembangan pribadia anak berbakat dan membantu
mengatasi kendala-kendala emosional, maupun kendala
lingkungan.

7
b. Membantu memaksimalkan belajarnya dan penempatannya pada
perguruan tinggi, serta kemudian menempuh karir profesional
sesuai bakat dan misalnya (Gourau, 1979 dalam Gallagham, 1979).
Tugas tersebut cukup kompleks, juga di negara kita, dimana
konselor profesional masih dapat dihitung dengan jari. Perguruan tinggi
di Indonesia yang belum menampung sebagian besar remaja kita belum
juga selalu merupakan tempat dimana anak kita memotivasikan secara
instrisik untuk belajar. Untuk dapat menyelesaikan studi tersebut.
Dengan pemaparan tentang masalah-masalah anak berbakat dan
berbagai isu konselor, jeals dalam fungsi konseling keberbakatan yang
diketengahkan disini, perlu motivasi dari masing-masing fungsi tersebut
dan upaya dalam meningkatkan motivasi belajar anak berbakat.

B. Pengatasan Masalah Underachievement


1. Prestasi Belajar Kurang (Underachievement) Dipandang dari Dua
Sisi.
Keberbakatan tidak selalu menjamin sukses pendidikan atau
produktivitas dan kreativitas. Ada resiko dan tekanan (Rimm, 1987,
dalam Colangelo, 1991) yang menyertai intelegensi tinggi dan yang
sering mengarahkan anak yang berpotensi tinggi untuk menjadi anak
yang sikapnya defensif. Yang menjadi faktor tertentu agar anak berbakat
akan mencapai prestasi belajar tinggi (superachievement) atau prestasi
belajar kurang (underachievement), tergantung dari rumah, sekolah atau
teman sebaya. Dengan demikian prestasi belajar ini dapat dipandang
dari dua sisi.
Tekanan-tekanan yang dialami anak berbakat adalah antara lain:
a. Perasaan bahwa ia harus menjadi manusia sempurna dan sangat
inteligen.
b. Keinginan untuk menjadi sangat kreatif dan luar biasa, yang
kemudian diterjemahkan sebagai manusia lain dari yang lain.
c. Kepedulian untuk dikagumi oleh teman sebaya karena

8
penampilannya dan popularitasnya (Colangelo, 1991).
Meskipun orang tua sering dipersalahkan bahwa mereka menekan
anak-anaknya yang berbakat, tekanan-tekanan tersebut muncul karena
keberbakatan anak-anaknya. Stress tersebut diinternalisasikannya
karena orang-orang sekitarnya telah mengagumi mereka karena
keluarbiasaan kemampuannya dan ide-ide yang cemerlang maupun
penampilannya yang berbeda dari anak lainnya. Memang, pujian bisa
meningkatkan motivasi belajar, namun bila pujiannya terlalu sering
atau terlalu ekstrim, mereka merasa tertekan untuk dapat mencapainya,
bahkan gandrung untuk menarik perhatian terus menerus agar dipuji
(Rimm dalam Colangelo, 1991).
Jadi, mereka merasa sulit untuk mencapai kemajuan kalau tidak
dipuji. Kekuatan pengulang intrinsik (intrinsic reinforcement)
tergantung pada kekuatan pengulang ekstrinsik (extrinsic
reinforcement).
Home Gaskill Hutchkin, (1998, dalam Colangelo, 1991),
menyatakan bahwa yang disebut underachievement diantara anak
berbakat adalah kinerja yang secara signifikan berada di bawah
potensinya (Kitano dan Kirty, 1986).

2. Hubungan Antara Upaya dan Hasil


Lingkungan sekolah yang kurang menghargai hasil belajar tinggi
akan menyebabkan anak-anak berbakat tidak memperoleh kepuasan
intrinsik dari hasil upayanya.
Lingkungan sekolah seperti itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Suasana sekolah yang mencanangkan prioritasnya untuk status
sosial atau olahraga, tetapi tidak untuk pencapaian prestasi
intelektual yang tinggi dan untuk menanjak pada pendidikan tinggi.
b. Suasana yang menganggap program keberbakatan terlalu elit dan
eksklusif dan lebih mengutamakan penyesuaian diri
(well-adjustment) dari semua siswa.

9
c. Lingkungan sekolah yang ketat yang menginginkan semua anak
belajar materi sama (identik) dengan kecepatan belajar dan gaya
belajar sama.
d. Guru yang kurang memperhatikan kualitas karya anak, karena
perbedaan nilai, prasangka budaya, atau “sara”, yang menyebabkan
anak-anak merasa kurang mampu mencapai kualitas kerja yang
baik, meskipun ikhtiarnya optimal.
Lingkungan sekolah yang menyebabkan ikhtiar negatif, hasil
positif merupakan tahap transisional prestasi belajar kurang, yang
berkenaan dengan tugas yang kurang menantang atau ikhtiar yang
berkelanjutan. Sering kali karena tugasnya terlalu mudah sehingga
menghasilkan unjuk kerja yang sangat baik.
Anak-anak merasa positif terhadap sekolahnya, tetapi kurang
tertantang. Namun, selama mereka termasuk kelompok pintar tak ada
masalah perilaku. Ciri-ciri mereka adalah bangga bisa disebut pintar
tanpa belajar betul. Bila mereka kemudian tercampur dengan populasi
sebaya yang secara intelektual lebih kompetitif, mereka akan merasa
tidak sepandai yang diperkirakan semula, dan akibatnya adalah bahwa
mereka kurang peduli tentang hasil kerjanya, tidak menyelesaikan
tugas-tugasnya dan “semerawut” dalam unjuk kerjanya (disorganized).
Lingkungan sekolah dapat dipersalahkan karena tidak
mengajarkannya proses mencapai prestasi.
Lingkungan rumah yang menjadikan salah satu faktor mengapa
anaknya mencapai underachievement adalah karena meskipun tidak
disadari dan tidak disengaja, tidak ada contoh-contoh baik dari motivasi
intrinsik, belajar mandiri maupun keterletakan pada karir atau anggapan
bahwa sekolah itu berharga.
Di Indonesia pun dapat diamati bahwa berbagai aktivitas waktu
kanak-kanak dan masa anak sering terisi dengan les-les privat yang
tidak menentu, menjenuhkan dan menyita waktu berlebihan. Berbagai
perbedaan antara orang tua tentang standar-standar maupun

10
harapan-harapan terhadap anak-anaknya menambah persoalan-persoalan
yang dihadapi dalam masalah ini.
Secara ideal orang-orang ini harus memiliki :
a. Latar belakang dalam pengukuran.
b. Punya sensitivitas terhadap berbagai cara belajar dan gaya motivasi
serta masalahnya.
c. Memahami teori belajar perilaku, dan
d. Sadar tentang ciri-ciri khusus anak berbakat dan kreatif.
Untuk asesmen pertama diperlukan tes intelegensi individual untuk
menjadi dasar dari harapan-harapan yang terkait dengan kemampuan
anak, karena tes kelompok telah kurang menilai potensi-potensi
intelektualnya. Tes WISC-R atau Standford Binet harus secara
individual dinilai oleh psikolog.
Selama testing penting diperhatikan gejala-gejala ketegangan,
perhatian terhadap tugas, ketekunan terhadap tugas, respons terhadap
frustasi, pendekatan pengatasan masalah dan respons terhadap upaya
mendorong oleh pengetes.
Selain tes intelegensi individual diperlukan tes hasil belajar
individual untuk menilai kekuatan dan kekurangan dalam keterampilan
dasar, terutama matematika dan membaca.
Kalau ada kemungkinannya juga diambil tes kreativitas yang
mengacu pada norma (norm reference creativity test) sehingga diperoleh
deskripsi tentang berbagai kemampuan, ciri-ciri dan interes yang
relevan dengan pemahaman kepribadian anak.
Berbagai skor tersebut akan memberikan berbagai pemahaman dan
pesan pada orang tua tentang kemajuan belajarnya. Singkatnya, asesmen
tentang kemampuan siswa di rumah dan di sekolah sangat penting bagi
langkah ke-2, yang juga perlu disertai interview dengan orang tua.
Hasil diskusi orang tua harus mencapai kesepakatan tentang tujuan
jangka panjang dan sasaran jangka pendek untuk memastikan sukses
segera, betapapun kecil kemajuannya.

11
Ganjaran untuk anak penting sehingga ganjaran tersebut harus
bermakna. Jangan sampai ganjaran itu terlalu besar namun memberikan
kepuasan pada anak. Jangan sampai memberikan ganjaran kalau
pekerjannya tidak selesai. Perhatian orang dewasa terhadap hasil
kerjanya merupakan ganjaran yang dapat meningkatkan motivasi
intrinsik anak dan lebih baik daripada berbagai ganjaran yang
menjadikan motivasi ekstrinsik

C. Konseling Karir Anak Berbakat


1. Pengertian Karir dan Tahap Karir Anak Berbakat.
Pengertian karir adalah proses adaptasi seumur hidup yang terkait
dengan penyiapan diri terhadap kerja, dunia kerja, dan berganti posisi
kerja, maupun meninggalkan dunia kerja. Pengertian ini mencakup
peningkatan progresif dan modifikasi dari kemampuan seseorang dan
disposisinya (kemungkinannya) untuk perilaku terrtentu yang terkait
dengan kerja.
Konsep pengembangan karir beranjak dari postulat bahwa karir
dibangun atas apa yang pernah dilakukan seseorang, apa yang
diperbuatnya kini, dan apa yang ingin diperbuatnya melaui berbagai
tahap perkembangan (Healy,1982). Jadi pengembangan karir bersifat
kontinu dan bisa berubah, meskipun masa lalu seseorang adalah bagian
dari dirinya hari ini, yang kemudian bisa mempengaruhi masa yang
akan datang. Kendatipun demikian, berbagai perbaikan dalam
pengembangan karir melalui konseling karir yang mungkin terjadi.
Pengembangan karir menunjuk pada terarahnya energi dan
penghalusan kemampuan namun juga berarti makin menuju pada
pilihan tertentu dan alternatif yang tersedia. Kendatipun demikian,
pilihan pekerjaan tertentu itu harus dilihat dalam cakupan yang lebih
luas daripada dipandang semata-mata dari kesesuaian antara
kemampuan yang dimiliki seseorang dengan kecocokan dari tuntutan
pekerjannya.

12
Ada sementara pihak berpendapat bahwa karir bisa diciptakan
sendiri. Memang orang mempunyai lebih dari satu pilihan, namun
temuan kunci dalam pengembangan karir adalah pemahaman,
kemampuan dan ketetapan hati. Untuk itu seseorang yang menempuh
karir harus :
a. Terbuka dan awas untuk mengenal kemungkinan-kemungkinan
yang ada.
b. Mempergunakan kesempatan yang sesuai dengan kemampuan
yang ada.
c. Menerapkan kemampuan dan mewujudkan diri, usai memilih.
Tahap karir
Super (1957, dalam Healy 1982) mengajukan lima tahap karir yang
umum berlaku yaitu:
a. Pertumbuhan 0 - 14
b. Penjelajahan 15 - 24
c. Penegakan 25 - 44
d. Mempertahankan 45 - 65
e. Penurunan 65
Tahap-tahap ini tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat dinamis
dan memperlihatkan ikhtiar utama seseorang dalam fase tertentu,
meskipun fungsi karir yang dinyatakan di sini berlanjut pada masa-masa
tersebut.
Pada masa pertumbuhan, si anak perlu memiliki peralatan,
kebiasaan teratur, kesadaran, pembentukan sikap dan kesempatan untuk
mulai meminati suatu karir tertentu. Sebaliknya tahap eksplorasi adalah
masanya dimana si adolesen mengkaji berbagai kesesuaian dari
berbagai kemungkinan dalam mempersiapkan alternatif tertentu. Pada
tahap penegakan, manusia dewasa muda meningkatkan keterampilan
dan kemampuannya untuk memastikan posisinya. Setelah itu adalah
masa mempertahankan diri, yaitu, masa konsolidasi dan penyempurnaan,
kemampuan, pekerjaan dan kedudukannya. Selanjutnya usia lanjut

13
berarti mengurangi kegiatan dan mempersiapkan diri meninggalkan
pekerjaan, sehingga bisa menggunakan sisa energinya untuk berbagai
aktivitas dasar kehidupan yang lain (Healy, 1982).
Setiap tahap memiliki tugas yang luas namun tertentu untuk bisa
berlanjut pada tahap berikutnya, meskipun tahap-tahap tersebut juga
saling tumpah tindih.
2. Model Konseling Karir Holistik
The Guidance Institute for Talented Students (GIFTS) yang
dikembangkan di University of Wisconsin (Madison). Guidance
Laboratoty merupakan model holistik development – motivational
(Perrone Karshner & Male, 1979, dalam Khatena, 1992) dan terkenal
dengan istilah GIFTS career model. Model ini merupakan nasional
teoretis yang mengacu pada berbagai pola karir yang dijabarkan dari
teori tahap perkembangan Erikson dan motivasi kebutuhan
(need-motivation) Maslow, serta memiliki dua matra, yaitu yang
pertama terdiri dari tiga komponen, yaitu :
a. Kesadaran diri dan orang lain
b. Orientasi tindakan
c. Pencapaian tujuan
Yang kedua terdiri dari kebutuhan :
a. Rasa aman
b. Kasih sayang
c. Harga diri
d. Aktualisasi diri
Beberapa permasalahan tambahan yang dialami anak berbakat dan
yang bersumber dari teori ini yang terkait dalam bimbingan karir GIFTS
adalah sebagai berikut (Khatena, 1992) :
a. Kesalah fahaman bahwa anak berbakat mampu mencapai apapun
yang dicita-citakan.
b. Kesukaran yang dialami anak berbakat dalam menyesuaikan sistem
nilai yang ada pada dirinya dengan sistem nilai masyarakat.

14
c. Suatu komitmen ynag terlalu dini terhadap pilihan karir yang
didasarkan pada keberhasilan belajar yang luar biasa dalam
beberapa mata pelajaran tertentu, yang ternyata kemudian
mempeloleh kendala dalam perwujudan diri dan karirnya.
d. Pencarian karir sebagai prinsip untuk memperoleh tunjangan
(beasiswa).
e. Konflik antara perolehan penghargaan luar biasa dan penerimaan
dirinya.
f. Kebutuhan besar bagi anak berbakat menguasai detail secara
sempurna, sehingga garis besarnya (Gestalt) tak tampak olehnya.
g. Penundaan pemenuhan kebutuhan psikososial, karena ingin
memperoleh tambhan dan perluasaan pendidikan.
h. Suatu perpanjangan dari konflik kemandirian-ketergantungan
karena terlalu sibuk mempersiapkan diri bagi persiapan karir.
i. Perubahan penting pada individu dan sifat pekerjaan yang muncul
pada perpanjangan persiapan karir siswa.
j. Khususnya bagi wanita berbakat kadang kala ada persepsi bahwa
penikahan dan karir adalah secara timbal balik eksklisif, sehingga
terjadi kompromi-kompromi yang tak perlu dalam perencanaan
karir.
k. Kemampuan atau ketakmampuan menyesuaikan diri pada
kelompok baru bila beralih dari sekolah menengah ke perguruan
tinggi.
l. Kebutuhan untuk menyesuaikan perilakunya sebagai orang
berbakat dalam konteks baru.
Arah karir dipengaruhi dan terkait dengan masalah kebutuhan
motivasi, tujuan dan interaksinya dengan orang lain dalam berbagai
fase kehidupannya.
3. Pendidikan Karir bagi Anak Berbakat
Di dalam berbagai kesempatan telah terungkapkan bahwa berbagai
upaya pendidikan, bimbingan maupun latihan adalah semuanya

15
mengacu pada sasaran untuk mengembangkan bakat anak berbakat,
sehingga tercapai kemandirian. Demikian pula pendidikan karir
memiliki arah yang sama, dengan catatan bahwa dalam upaya
pengembangan bakat ini diharapkan aspek kreatif keberbakatan terus
menerus mencapai kemekarannya.
Sebagaimana juga sudah dikemukakan pendidikan sekolah
(formal) pada umumnya terutama menekankan pada berfikir konvergen
dengan akibat bahwa tradisi dan overcommitment terhadap tradisi
menjadi kendala dalam berfungsinya berfikir kreatif. Namun begitu
berfikir kreatif sangat responsive terhadap prosedur latihan, dan
pengalaman bisa diatur untuk meningkatkan individu dari taraf berfikir
luwes dan luas (elaborative), menjadi berfikir original dengan
menggunakan imaginasi kreatif, sehingga sebenarnya pertumbuhan
keberbakatan tak perlu mengorbankan perkembangan kreatifitas. Yang
dimaksudkan dengan pendidikan karir adalah seluruh upaya pendidikan
umum untuk memperkenalkan individu dengan nilai masyarakat yang
berorientasi kerja dan mengintegrasikan nilai tersebut dalam system
nilai personal serta mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupannya sendiri, sehingga menjadi bermakna dan diperoleh
kepuasan (Hoyt, Evans, Mackinz Mangum, 1974, dalam Khatena,
1992).
Sebagaimana dikemukakan di muka, konselor dalam membantu
peserta didik mengambil keputusan, harus menggunakan pendekatan
multipotensial yang memiliki 5 fase, yaitu:
a. Kesiapan (readiness)
Adalah fase pertama dalam mengambil keputusan.
b. Kesadaran (awareness)
Adalah tahap berikutnya dalam proses pengambilan keputusan
yang beranjak dari asumsi bahwa kesadaran diri dan juga terutama
karena ada kesadaran dunia kerja yang memotivasikan minat

16
individu untuk memperoleh sikap dan keterampilan yang
diperlukan untuk pengembangan karir yang bermakna.
c. Eksplorasi (exploration)
Mencakup rencana sistematis inkuiri yang menuntut reviu dan
pengkajian berbagai alternative okupasi.
d. Kajian realitas (reality-testing)
Terkait dengan pemantapan pilihan okupasi berdasarkan dasar
pengkajian risiko sumber dan semangat personal yang terkait. Juga
mencakup pengalaman kerja yang disimulasikan ataupun yang
nyata.
e. Konfirmasi (confirmation)
Adalah tahap terakhir dalam proses keputusan tentang karir,
yang disertai persiapan yang sesuai untuk memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan pekerjaan
tertentu.
4. Kecemasan dan Aspek Emosional Lainnya dalam Konseling Karir
Beberapa petunjuk kunci dalam mengatasi kendala emosional ini
diberikan antara lain oleh Jahoda (1958, dalam Khatena, 1992) yang
mensugestikan adanya penyesuaian yang cocok terhadap kesehatan
mental sebagai berikut:
a. Sikap seseorang individu terhadap dirinya (adanya kesadaran diri)
kecermatan, perasaan tentang diri dan identitas.
b. Pertumbuhan, perkembangan atau aktualisasi diri (konsep diri,
proses motivasi dan investasi dalam kehidupan).
c. Integrasi (keseimbangan dan kekuatan psikis dalam individu, suatu
pandangan hidup yang menyeluruh, tekanan pada integrasi aspek
kognitif dan penolakan terhadap stress).
d. Otonomi (pengaturan perilaku diri “dalam” menjadi perilaku
mandiri).
e. Persepsi dari realita (persepsi dari distorsi kebutuhan dan
sensitivitas sosial).

17
f. Penguasaan lingkungan kemampuan menyayangi pekerjaan dan
permainan, pandai bergaul, efisien dalam memenuhi tuntutan
situasional kemampuan beradaptasi dan efisien dalam pengatasan
masalah.
Mencegah kendala-kendala emosional antara lain yaitu dengan:
a. Pengembangan keterampilan interpersonal
Makin ia mencapai kematangan intelektual, makin cermat ia
mengamati sikap, interes dan kemampuan orang lain, sehingga
terjadi interaksi dengan cara yang konstruktif.
b. Penggunaan kemampuan intelektual
Kognisi bisa membantu seseorang mengenali situasi serius
dengan mengambil tindakan adaptif dengan mengidentifikasi
komponen-komponennya. Memori adalah kemampuan yang
sangat penting terkait dengan stress, dengan mengingat kembali
pengalaman yang menyebabkan stress dan perlakuannya pada kala
itu. Berfikir konvergen adalah cara yang termudah dan tercepat
untuk mengatasi stress karena konformitas kelompok. Berfikir
divergen peranannya dalam menguasai stress, berkenaan dengan
kemampuan menghadapi perubahan yang cepat dan bertubi-tubi
dalam dunia dimana ia berada. Berfikir evaluative peranannya
untuk menghadapi stress paling penting, sebab adalah masalah
esensial bagi seseorang untuk mengenali seberapa serius
(seriousness) adanya suatu situasi itu, karena bukan hanya kognisi
dan memori yang berbicara, tetapi evaluasi daripada suatu situasi,
sehingga dapat diambil keputusan untuk tindak adaptif yang
seperlunya.
c. Mekanisme pengatasan masalah yang lain
1) Mengambil risiko atau menghindarinya
Disini konseling harus menjaga agar siswa belajar meng
ambil keputusan sementara (tentative), sebelum sampai pada
keputusan terakhir. Cara ini yang disebut technique of limited

18
commitment dalam memberi kesempatan kepada siswa untuk
tidak menggunakan semua sumber yang ada, melainkan
beberapa alternative seperlunya.
2) Memberi muatan melebihi kekuatan atau “membongkar
muatan”
Memberi muatan melebihi kekuatan (overloading)
disebabkan akumulasi stress yang menjadi beban bagi
seseorang. Dalam melepaskan diri dari situasi ini, yaitu
mengatasi tegangan, digunakan istilah membongkar muatan,
yaitu dengan cara membiarkan seseorang berbicara bebas
menyatakan isi hatinya.
3) Menguasai atau mengalami kegagalan
Metoda yang baik dalam konteks ini adalah menstruktur
berbagai pengalaman kerja dengan memberikan berbagai
informasi terhadap pengalaman yang akan datang.
4) Menyangkal kebutuhan atau berdamai
Konflik antara kebutuhan dan tuntutan situasi yang
mengakibatkan frustasi, kelelahan atau bahkan permusuhan
sering berbentur dengan berfungsinya secara efektif
kemampuan berfikir evaluative.
5) Mendorong melanjutkan upaya mengatasi masalah
Dorongan dan bantuan kelompok sangat membantu
individu untuk tidak putus asa dan melanjutkan upaya
pengatasan masalah.
5. Pengembangan Kepribadian dan Kreativitas dalam Konseling
Karir
Dalam menelaah konseling karir dalam keberbakatan dalam kaitan
dengan perkembangan kepribadian dan kreativitas tidak dapat
melepaskan diri kita dari pengaruh – pengaruh sosial budaya dan
kondisi lingkungan.
Menurut Ariety (1976, dalam Khatena 1992), individu dan

19
masyarakat adalah dua sistem terbuka dalam petukaran energi (two open
system in dymamic energy exchange). Sampai seberapa masyarakat
membentuk kreativitas individu banyak ditentukan oleh integrasi dari
nilai dan predisposisi kreatif masyarakat tersebut menjadi sinesta yang
magis (magic synthesis).
Selain pengaruh tersebut ada model peran untuk menyamai (role
models for emulation). Manusia unggul (eminent) banyak
mempengaruhi kepribadian anak berbakat. Konseling karir role models
emulatin ini sangat penting, karena selain memiliki nilai historis,
berbagai perlakuan dan pengolahan dapat diatur dalam bidang ini
sehingga muncul potensi sifat-sifat dari model-model yang diupayakan
untuk disamai. Apalagi kalau hal ini terjadi dalam latar belakang
pendidikan yang sama, maka dalam fase perkembangan anak berbakat,
kepribadiannya amat terpengaruh oleh model- model tersebut.
Bloom dan Sosniak (1981, dalam Colangelo 1991),
mendeskripsikan betapa mereka yang mencapai berbagai keunggulan,
terutama dalam tiga bidang :
a. Aristik (pemain konser piano dan pemahat),
b. Psikomotor (juara renang olimpic dan pemain tenis) dan serta,
c. Kognitif (peneliti matematik dan peneliti neorolog), yang terkait
dengan pengembangan karir dipengaruhi oleh tokoh-tokoh
tersebut.
Hasil penelitian membuktikan bahwa pengembangan kepribadian
dalam kaitan dengan perkembangan karir terpengaruh dan terjadi
sebagai berikut :
a. Majoritas sangat terlibat dalam meneladani orang unggul ini
sebelum umur 12 dan orang tuanyapun menaruh minat besar dalam
bidang ini.
b. Pengalaman belajar di rumah dan di tempat latihan atau sekolah
sangat mendukung.
c. Kebanyakan pembelajaran bersifat individual.

20
d. Para orang tua sangat menyesuaikan diri pada kehidupan anak
untuk menguasai bidangnya.
e. Lebih banyak ditekankan menguasai bidangnya dari pada
mnyayangi orang lain dalam bidang tersebut.
f. Bagi para remaja instrutornya bukan orang tuanya.
g. Pertunjukan konser, kontes, kinerja banyak mendukung
pengembangan keterampilan dan berbagai sifat kepribadian.
h. Sekali anak mendalami salah satu bidang, bidang lainnya agak
dikesampingkan.
i. Pada kala masa remaja, latihan dalam bidang tersebut mencakup 15
sampai 25 jam.
Holland (dalam Perrone, Colangelo, 1991), memperluas teori
Gottfredson tentang aspirasi karir yang beranjak dari asumsi bahwa
individu mencari kerja yang cocok dengan gambaran tentang dirinya,
berkesimpulan bahwa kelas sosial, intelegensi dan gander adalah faktor
penentu dalam konsep diri dari aspirasi karir. Holland menemukan 6
tipe yang terkait dengan tipe lingkungan.
a. Investigative (I) : Tipe penelitian ini lebih gemar kegiatan dimana
ia bisa mengamati, menggunakan lambang untuk komunikasi dan
berbuat kreatif. Fenomena yang diteliti bisa fisik, biologis atau
sosiokultural.
b. Aristic (A) : Tipe aristic ingin lebih bebas dalam memanipulasikan
satu atau berbagai model ekspresi manusia dalam bentuk kreatif
aristik.
c. Sosial (S) : Tipe kepribadian ini lebih gemar latihan dan mengajar
serta membantu dari pada aktivitas sistematis yang bersifat khas.
d. Enterprising (E) : Tipe ini lebih mengutamakan pencapaian tujuan
organisasinya melalui kerjasama dengan orang lain dan
menghindari prosedur sistematis yang bersifat eksplisit.
e. Conventional (C) : Tipe ini menghendaki sesuatu secara eksplisit,
mengatur data dan kurang setuju dengan makna ganda atau

21
aktivitas yang tidak sistematis.
f. Realistic (R) : Tipe ini menyayangi hal-hal yang bersifat eksplisit,
data, hewan, peralatan yang teratur dan hampir tidak memiliki
toleransi untuk makna ganda (Holland, dalam Perrone. Collangelo,
1992).
6. Mengenali Keberbakatan yang Tersembunyi dalam Diri Seseorang
Menggali keberbakatan dalam diri seseorang adalah tugas suci
konselor untuk membantu setiap insan setiap makhluk manusia unggul
mewujudkan daimon yang ada pada dirinya, yang terjawantahkan dalam
seluruh gaya hidup, propesi ataupun karirnya. Untuk dapat menggali
potensi yang paling baik yang tersembunyi pada diri seseorang agar
dalam hidupnya menjalankan propesi yang sesuai dengan daimonnya,
perlu kita ketahui bahwa arah suatu karir banyak yang ditentukan oleh
gaya hidup dari pribadi individu yang menjalankan okupuasi tersebut,
dan ini bermula dari aspirasi okupusional sejak kanak-kanak sampai
dewasa.
Gottfredson (1991, dalam Colangelo) dalam hal ini telah
meringkas sepuluh tahap perkembangan kognisi Van den Daele
(Porrone dalam Colangelo, ’91), menjadi petunjuk untuk memperoleh
pemahaman terhadap seseorang terhadap dunia, sebagaimana secara
reflektif tercermin dari situasi kemanusiaannya. Petunjuk terdiri dari
lima tahap yaitu :
a. Umur 3 – 5 tahun : Orientasi terhadap ukuran dan kekuatan
sebagaimana anak kecil memnadang orang dewasa sebagai
aktivitas pemuasan diri. Kedewasaan yang dipandang penguasaan
terhadap sumber yang diinginkan sebagaimana yang ditampilkan
orang dewasa.
b. Umur 6 – 8 tahun : Orientasi terhadap peran seks. Konsep diri
sangat berbicara disini dan terkait dalam perkembangan kognitif.
Cita-cita pada tahap ini banyak mereflesikan kecocokan dengan
peran seks.

22
c. Umur 9 – 13 tahun : Orientasi terhadap nilai sosial kelas dan
kemampuan menjadi penentu dalam perilaku dan harapan pengaruh
teman sebaya sangat besar pada masa ini. Makin tinggi kelas sosial
makinluas rintangan pilihan okupasi tertentu.
d. Umur 14 – 18 tahun : Orientasi terhadap diri yang unik krisis
identitas mulai pada umur ini dan asesmen serta seleksi dan
rentangan profesi yang ada bermula melalui berbagai pergaulan.
e. Umur dewasa muda : Orientasi terhadap dunia yang terintegrasikan
dengan konsiderasi reflektif terhadap situasi terhadap kemanusiaan.
Pengalaman kaya dan berkualitas akan sangat menentukan corak
hidup sesuai identitasnya

23
DAFTAR PUSTAKA

Semiawan, Conny. 1995. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

24

Anda mungkin juga menyukai