Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

BELL’S PALSY

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara

Oleh :

Imam Al Rasyidi, S. Ked


NIM: 2006112037

Preseptor :

dr. Ichwanuddin, Sp.S

BAGIAN/SMF ILMU NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA

2021
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN)

akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak

diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit

neurologis lainnya. Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering

yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis

fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.

Prevalensi Bell’s Palsy di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan

Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Data

yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia diperoleh frekuensi Bell’s Palsy

sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan terbanyak terjadi pada usia 21-30

tahun. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes.

Bell’s Palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Pada

kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya

BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, dan setiap saat tidak didapatkan

perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin. Meskipun begitu pada

beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara dingin, baik kendaraan dengan

jendela terbuka, tidur di lantai, atau bergadang sebelum menderita Bell’s Palsy

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : Mr.N

Umur : 35 tahun

Alamat : Baktiya

Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga

Agama : Islam

Tanggal MRS : 03 Agustus 2021

Rekam medis : 16.93.73

1 Anamnesis
.

Keluhan utama

Pasien datang dengan keluhan mulut merot sejak 2 hari yang lalu.

2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSUD Cut Meutia Aceh Utara

pukul 10.30 WIB dengan keluhan mulut merot sejak 2 hari yang lalu dan

mata kiri susah di pejamkan. Pasien mengaku keluhan ini terjadi secara tiba-

tiba. Pasien juga mengeluhkan pusing, kedua tangan terasa kesemutan, perut

kembung, adanya mual dan tidak disetai dengan muntah.

3. Riwayat penyakit terdahulu

 Riwayat gejala serupa : disangkal

 Riwayat epilepsi : disangkal

 Riwayat gangguan jiwa : disangkal

 Operasi sebelumnya : disangkal


2
 Trauma : disangkal

4. Riwayat penggunaan obat

Tidak ada yang terkait dengan keluhan pasien

5. Riwayat penyakit keluarga

 Hipertensi : disangkal

 Diabetes Mellitus : disangkal

 Riw. Alergi obat : disangkal

2.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Compos mentis GCS=𝐸4 𝑀6𝑉5=15

Kooperasi : Kooperatif

Sikap : Berbaring aktif

Keadaan gizi : Baik

Postur : Atletikus

Tanda Vital : T: 130/80

mmHg N: 80 x/i

RR: 20 x/i

Suhu : 36,50C

1. Status Generalis :

Kepala : Normochepal

Mata : Konjungtiva anemis (-/-) , Sklera ikterik (-/-)

Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), mukosa hiperemis

(-/-), konka hipertrofi (-/-)

Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-), gigi karies (-),


Tenggorok : Faring hiperemis (-) tonsil T1-T1

Telinga : Normoauricula, deformitas (-), serumen (-/-), sekret (-/-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

2. Thorax
Pulmo Dextra Sinistra
Depan
Inspeksi Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Palpasi Stem fremitus ka < ki Stem fremitus ka = ki
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi SD Vesikuler, Ronki (-/-), SD Vesikuler, Ronki (-/-),
Wheezing (-/-) Wheezing (-/-)
Belakang
Inspeksi Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Palpasi Stem fremitus ka < ki Stem fremitus ka = ki
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi SD Vesikuler, Ronki (-/-), SD Vesikuler, Ronki (-/-),
Wheezing (-/-) Wheezing (-/-)

3. Abdomen :

Inspeksi : Defans muscular (-), distended (-)

Auskultasi : Peristaltik (-) , metalic sound (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali

(-) Perkusi : Pekak sisi (-), pekak alih (-), hipertympani (-)

4. Ekstremitas Superior Inferior


Oedema -/- -/-

Sianosis -/- -/-


Akral dingin -/- -/-

Clubbing finger -/- -/-

Gerak +/+ +/+

Kekuatan 5/5 5/5

Tonus N/N N/N

Refleks fisiologis +2/+2 +2/+2

Refleks Patologis -/- -/-

5. Status Neurologis:

GCS : E4 V5 M6 (Compos Mentis)

Pupil : Isokor, RCL (+/+) dan RCTL (+/+)

Tanda Rangsang Menings

– Kaku kuduk (-)

– Kernig sign (>135◦/>135◦)

– Laseuge sign (>70◦/>70◦)

– Brudzinki 1 (-)

– Brudzinki 2 (-)

Nervus Cranialis

1. Nervus I (Nervus Olfaktorius) : Normosmia

2. Nervus II (Nervus

Optikus) Pupil

Bentuk/ukuran : Bulat, (2mm/2mm)


Isokor/Anisokor :Isokor/Isokor

RCL/RCTL : (+/+)

Ketajaman penglihatan : 1/60 (Diplopia)

Lapang pandang penglihatan :

Normal Melihat Warna :

Normal

3. Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trockhealis, Abducens)

- Celah kelopak mata : Ptosis (-/+)

Exoftalmus (-/-)

Nistagmus (-/-)

- Gerakan Bola Mata : Normal

- Reaksi akomodasi : Normal

- Reaksi konvergensi : Normal

4. Nervus V

(Trigeminus) Motorik

Membuka Mulut : Normal

Menggerakkan rahang: Normal

Jaw reflex : Normal

Sensorik

Oftalmikus : +/-

Maksilaris : +/-

Mandibularis : +/-

5. Nervus VII
(Facial) Motorik
Orbitofrontal : Kesan parese (-+)

Orbicularis okuli : Kesan parese (-+)

Orbicularis oris : Kesan parese (-+)

Sensorik

Chovstek : Negatif

Pengecapan 2/3 lidah : tidak

dilakukan

6. Nervus VIII

(Vestibulokokhlearis) Vestibular

Vertigo : negatif

Nistagmus :

(-/-) Cochlear

Dengar suara berbisik : positif

Tes Rinne : Tidak dilakukan

Tes Weber : Tidak dilakukan

Tes Scwabach : Tidak dilakukan

7. Nervus IX (Glossofaringeus)

Pengecap 1/3 lidah : tidak

dilakukan Gag reflek : tidak

dilakukan

8. Nervus X (Vagus)

Arkus Faring : Normal

Berbicara : Normal
Menelan : Normal

9. Nervus XI (Aksesorius)
Memalingkan kepala : (+/+)

Mengangkat bahu : (+/+)

10. Nervus XII (Hipoglosus)

Pergerakan lidah : lidah di

tengah Atrofi :-

Fasikulasi :-

Tremor :-

Motorik

5555 5555

5555 5555

Reflek Fisiologis

+2 +2

+2 +2

Reflek Patologis

- -

- -

Hoffman-Tromner : (-/-)

Babinski : (-/-)

Chaddock : (-/-)
Gordon : (-/-)

Scuffner : (-/-)

Openheim : (-/-)

Sensorik

Nyeri : Normal

Suhu : Normal

Raba : Normal

Rasa sikap : Normal

Fungsi Otonom

Miksi : Inkontinesia (-)

Defekasi : Inkontinensia (-)

Sekresi keringat : Normal

Fungsi cerebellar dan keseimbangan

Jari- jari : Normal

Tumit-Lutut : Normal

Rebound-phenomenon:

Normal

Fungsi luhur
Afasia : negatif
Apraksia : negatif

2.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

03 Agustus 2021

Hematologi Rutin

Hemoglobin 10,2 g /dL 13-18

Eritrosit 4,04 juta/ mm3 4,5-6,5

Leukosit 6,67 ribu/ mm3 4,0-11,0

Hematokrit 32,6 % 37,0-47,0

Index Eritrosit

MCV 80,7 fl 79-99

MCH 25,2 pg 27-32

MCHC 31,3 g% 33-37

RDW-CV 13,7% 11-15

Trombosit 342 ribu/mm3 150-450

Kimia Klinik

Glukosa Darah Sewaktu 86 mg/dL <180

Hitung Jenis

Eosinofil 0,6% 2-4

Basofil 0,3% 0-1

Neutrofil 63,5 50-70

Limfosit 32,5 25-40

Monosit 3,1 2-8

Golongan darah A
2.4 Diagnosa
Diagnosa Klinis : Bell’s

Palsy

2.5 Diagnosa Banding


Infeksi Saluran Kemih, Tumor traktur urogenital, kolelithiasis, tumor
caput pankreas dan crohn disease.

2.6 Rencana Terapi


Medikamentosa Non medikamentosa
IVFD Asering 20 gtt/i - Fisioterapi

Inj. Citicolin 250 mg /12jam

Inj. Omeprazole 1amp /8jam

Inj. Ondancetron /12 jam

paracetamol fls /12 jam

Aspilet tab 1x1


2.7 Prognosis
Ad functionam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam

2.8 Follow Up
Tanggal 04 Agustus 2021

S Pasien mengeluhkan mulut merot, bibir susah dirapatkan, nyeri

kepala berkurang, dan kesemutan pada kedua tangan

O TD: 120/70 mmHg,

N: 98x/menit

RR: 20x/menit

Sp02: 98%
A Bell’s Palsy

P – Fisioterapi

– IVFD Asering 20 gtt/i

– Inj. Citicolin 250 mg /12jam

– Inj. Omeprazole 1amp /8jam

– Inj. Ondancetron /12 jam

– paracetamol fls /12 jam

– Aspilet tab 1x1

Tanggal 05 Agustus 2021

S Pasien mengeluhkan mulut merot, bibir susah dirapatkan, nyeri

kepala berkurang, dan kesemutan pada kedua tangan serta sulit

untuk berekspresi
O TD: 110/70 mmHg,

N: 80x/menit

RR: 20x/menit

Sp02: 98%
A Bell’s Palsy
P – Fisioterapi

– IVFD Asering 20 gtt/i

– Inj. Citicolin 250 mg /12jam

– Inj. Omeprazole 1amp /8jam

– Inj. Ondancetron /12 jam

– Metylprednisolon 3x1

– PDA 2x1

– Forneuro 2x1
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Struktur Anatomi

Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu

akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih

lateral) (gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi

membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius

yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut

parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius

juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan

lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (gambar 2).(7)

Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara

lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf vestibulocochlearis

menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1 centimeter (cm),

dibungkus dalam periosteum dan perineurium.(6)

Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis


Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis

Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi)

memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang

berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan

cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada

di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi

pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini.

Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya

yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum,

memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen

lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar

lakrimal dan palatina. Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di

sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan

percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal,

terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas

foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani


merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran

timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf

tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan

didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah.(7)

Korda timpani mengandung serabut-serabut sekretomotorik ke kelenjar

sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan

sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan

berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitaries). Setelah keluar dari foramen

stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang kecil ke auricular posterior

(mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari

meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar

parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu

temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok

saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot-

otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator

dan m. Platysma (Gambar 3).(7)

Gambar 3. Saraf fasialis ekstrakranial


3.2 Definisi
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN)

akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak

diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit

neurologis lainnya. Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering

yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis

fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.(1)

3.3 Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial

akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden

terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy

setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.

Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per100.000 populasi. Penderita diabetes

mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai

laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang

berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur

yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi

pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca

persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak

hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.(2,3)


3.4 Etiologi

Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis

dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi iskemik. Peningkatan

kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan reaktivasi herpes

zoster dari ganglia nervus kranialis.(1)

3.5 Patofisiologi

Patofisiologi bell’s palsy masih merupakan perdebatan. Nervus fasialis

melewati suatu bagian tulang temporalis yang serig disebut kanalis fasialis. Teori

umum yang diterima adalah edema atau iskemia menyebabkan kompresi pada nervus

fasialisdi dalam kanal ini. Penyebab edema dan iskemia itu sendiri belum diketahui

secara pasti.

Labyrinthine segment adalah bagian pertama dari kanalis fasialis yang

merupakan bagian tersempit. Lokasi ini merupakan lokasi tersering kompresi nervus

fasialis. Pada bell’s palsy, jejas pada nervus fasialis terletak perifer dari nucleus

nervus tersebut. Jejas diduga terjadi dekat atau pada ganglion geniculate. Jika lesi

terletak proksimal dari ganglion tesebut, paralisis motoric disertai kelainan gustatorik

(gangguan pengecapan 2/3 anterior lidah dan produksi air liur) dan gangguan

lakrimasi akan timbul. Jika lesi terletak diantara ganglion geniculate dan proksimal

korda timpani, keluhan sama akan timbul, tetapi tanpa gangguan lakrimasi. Jika lei

terletak pada foramen stylomastoideus, maka hanya akan menyebabkan paralisis otot

motoric wajah saja.(13)


3.6 Gambaran Klinis

.Perasaan nyeri, pegal, linu, dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya

sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot

wajah berupa:

a. Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipata dahi hanya terlihat pada sisi

yang sehat.

b. Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh

(lagopthalmus).

c. Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata

yang berputar kearah atas bila memjamkan mata (bell’s sign).

d. Sudur mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada

sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

Gambar 4; gambaran klinis bell’s palsy

Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai

antara lain: gangguan fungsi pengecapan, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.(13)

22
3.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan

neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy adalah

diagnosis eksklusi.

Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan

penyebab lain dari paralisis fasialis:

a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral

b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit

cerebellopontin angle.

Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan motorik

dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus dipikirkan (misalnya:

stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).

Klasifikasi Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann

dengan skala I sampai VI.

1. Grade I adalah fungsi fasial normal.

2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:

a. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.

b. Sinkinesis ringan dapat terjadi.

c. Simetris normal saat istirahat.

d. Gerakan dahi sedikit sampai baik.

e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.

f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.

3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:

a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.

b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan

23
c. Simetris normal saat istirahat.

d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.

e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.

f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.

4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai

berikut:

a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.

b. Simetris normal saat istirahat.

c. Tidak terdapat gerakan dahi.

d. Mata tidak menutup sempurna.

e. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.

5. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:

a. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.

b. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.

c. Tidak terdapat gerakan pada dahi.

d. Mata menutup tidak sempurna.

e. Gerakan mulut hanya sedikit.

6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:

a. Asimetris luas.

b. Tidak ada gerakan.(1)

3.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti MRI Kepala atau CT- Scan

dan elektrodiagnosis dengan ENMG dan uji kecepatan hantar saraf serta pemeriksaan

laboratorium. Uji ini hanya dilakukan pada kasus-kasus dimana tidak terjadi

kesembuhan sempurna atau untuk mencari etiologi parese nervus fasialis.

Pemeriksaan ENMG ini dilakukan terutama untuk menentukan prognosis.(2)

24
Pada pemeriksaan laboratorium diukur Titer Lyme (IgM dan IgG), gula darah

atau hemoglobin A1C (HbA1C), pemeriksaan titer serum HSV2. CT-Scan digunakan

apabila paresis menjadi progesif dan tidak berkurang. MRI digunakan untuk

menyingkirkan kelainan lainnya yang menyebabkan paralisis. MRI pada penderita

Bell’s palsy menunjukkan pembengkakan dan peningkatan yang merata dari saraf

fasialis dan ganglion genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya

pembengkakan saraf facialis akibat schwannoma, hemangioma, atau meningioma.(2)

3.9 Penatalaksanaan

Gambar 5; Algorima penatalaksaan bell’s palsy

Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan

menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4

hari onset.

Hal penting yang perlu diperhatikan:

25
1. Pengobatan inisial

a. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan

Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).

b. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf

kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).

c. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari,

diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.

d. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama

10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5

kali/hari.

2. Lindungi mata Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada

siang hari) dapat mencegah corneal exposure.

3. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan menurunkan

sequele.(1)

3.10 Komplikasi

Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:

1. Penderita terserang palsy komplit, sehingga paralisis di satu sisi wajah.

2. Usia lebih dari 60 tahun

3. Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala.

4. Hipertensi

5. Diabetes

6. Kehamilan

7. Saraf facialis rusak berat

8. Tidak ada perbaikan setelah dua bulan terlewati

Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan Sekitar 14% penderita

mungkin terserang Bell’s palsy di kemudian hari pada sisi wajah lain. Hal ini

26
cenderung muncul apabila ada riwayat Bell’s palsy pada keluarga.

3.11 Prognosis

Prognosis umumnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf

menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang

dibutuhkan bervariasi. Dengan atau tanpa pengobatan, sebagian besar individu

membaik dalam waktu dua minggu setelah onset gejala dan membaik secara penuh,

fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk beberapa penderita

bisa lebih lama. Pada beberapa kasus, gangguan bisa muncul kembali di tempat yang

sama atau di sisi lain wajah.(12)

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSUD Cut Meutia Aceh Utara pukul

10.30 WIB dengan keluhan mulut merot sejak 2 hari yang lalu dan mata kiri susah di

pejamkan. Pasien mengaku keluhan ini terjadi secara tiba-tiba. Pasien juga

mengeluhkan pusing, kedua tangan terasa kesemutan, perut kembung, adanya mual

dan tidak disetai dengan muntah.

Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan

kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra nuclear di

atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan. Muskulus

orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi bilateral pada level batang otak.

Inspeksi awal pasien memperlihatkan lipatan datar pada dahi dan lipatan nasolabial

pada sisi kelumpuhan.

Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan lateralisasi

pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan. Pada saat pasien diminta untuk

mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan

salivasi pada sisi yang lumpuh. Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah,

penyebab sentral harus dipikirkan (supranuklear).

Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral atau diplopia berkaitan

dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear, stroke atau lesi intra serebral

harus sangat dicurigai. Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi

kontralateral, atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis fasial

harus sangat dipertimbangkan. Progresifitas paresis masih mungkin,namun biasanya

tidak memburuk pada hari ke 7 sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10 dicurigai

diagnosis yang berbeda. Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi

28
sebagai Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, dan meningitis.

Nyeri auricular posterior Hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai

akibat kelumpuhan sekunder otot stapedius.

Gangguan pengecapan Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan

gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan.

Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain

tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan mengindikasikan

penyembuhan komplit.

Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan

penyebab lain dari paralisis fasialis:

c. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral

d. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit

cerebellopontin angle.

Diagnosa kerja pada pasien yaitu bell’s palsy dilihat dari klinis pasien dan

pemeriksaan neurologis yang dilakukan, dimana terdapat kelemahan pada nervus

fasialis. Untuk prognosis dari kasus ini dubia ad bonam yang mana dengan atau tanpa

pengobatan, sebagian besar individu dapat membaik dalam waktu dua minggu setelah

onset gejala dan membaik secara penuh, fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6

bulan.

29
BAB V
KESIMPULAN

Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN)

akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak

diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit

neurologis lainnya. Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering

yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis

fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.

Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada

umur 20-40 tahun. Peluang untuk terjadinya Bell’s palsy pada laki-laki sama dengan

wanita. Dalam sebagian besar kasus, Bell’s palsy secara bertahap membaik dari

waktu ke waktu namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh

dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur dan spasme

spontan. Secara garis besar, pengobatan Bell’s palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu:

medikamentosa, bedah, dan terapi fisik. Semua pengobatan ditujukan untuk

mengurangi inflamasi, edema dan kompresi saraf.


DAFTAR PUSTAKA

1. Panduan Praktik Klinis (PPK) Neurologi di Indonesia dari seluruh Kelompok Studi

di lingkungan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2016.

2. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and

Victor’s Principles of Neurology.8th ed. New York : McGraw Hill,2005.p.1181-4.

3. Bell’s palsy. Available at: http://www.nhs.uk/Conditions/Bells-

palsy/Pages/Symptoms.aspx. Accessed on: March 16th, 2016.

4. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, de Vincentiis M. Bell’s palsy

and autoimmunity. Elsevier: Autoimmunity Reviews 2012:12:323–328.

5. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2008.p.59-68.

6. Berg T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s Palsy. USU Institutional

Repository. Universitas Sumatera Utara.

7. Monkhouse S. Cranial Nerve Functional Anatomy. Cambridge: Cambridge

University Press; 2006.

8. Tiemstra DJ, Khatkhate N. 2007. Bell’s Palsy Diagnosis and Management. Amerika

Academy of Family Physicians. Volume 76: Hal 997-1002.

9. Mardjono M. Sidharta P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,

5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005.p.159-63.

10. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, Schwartz SR, Drumheller CM, Burkholder R, et al.

Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy. SAGE: American Academy of


Otolaryngology—Head and Neck Surgery Foundation 2013:149:1-27.

11. Teixeira LJ, Valbuza J, Prado GF. Physical therapy for Bell s palsy (idiopathic

facial paralysis). Cochrane Database Syst Rev. 2012.

12. NINDS, 2014. Bell’s palsy Fact Sheet, http://www.ninds.nih.gov/disord

ers/bells/detail_bells.htm.

13. Kapita selecta kedokteran/editor, chris tanto (et.al). Ed.4. Jakarta: Media

Aesculapius, 2014.

Anda mungkin juga menyukai