Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

SKROFULODERMA

Disusun Oleh :
Basofi Amrullah (18710010)
Muhamad Tariq Akbar (19710101)

Pembimbing :
dr. Dyah Ratri Anggraini, Sp.KK.

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSU DR WAHIDIN SUDIRO HUSODO KOTA MOJOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

“Skrofuloderma”

Oleh:
Basofi Amrullah 18710010
Muhamad Tariq Akbar 19710101

Referat ini telah diujikan dan dipresentasikan di depan dokter pembimbing SMF Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin kepaniteraan klinik RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo
kota Mojokerto pada :

Hari :

Tanggal :

Mengetahui

Dokter Pembimbing

dr. Dyah Ratri Anggraini, Sp.KK.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat dengan topik

”Skrofuloderma”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada dr. Dyah Ratri Anggraini, Sp.KK. Selaku pembimbing

yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan

semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian ini. Penulis menyadari

sepenuhnya bahwa dalam penyusunan telah ilmiah ini masih banyak terdapat

kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang

bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Mojokerto, 24 Agustus 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

COVER i
LEMBAR PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar belakang………….….....……………………………………………1
B. Rumusan masalah....……………………………………………………....1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

BAB III KESIMPULAN 18


DAFTAR PUSTAKA 19

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia

hinggasaat ini. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefekpada

paru-paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, ususdan organ

lainnya. Salah satu dari jenis tuberkulosis ini adalah tuberkulosis kutis.

Tuberkulosis kutis adalah tuberkulosis pada kulit yangdisebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dan mikobakteria atipikal.1,2 Kadang-kadang dapat

juga disebabkan oleh vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG).3,4

Skrofuloderma merupakan bentuk Tuberkulosis Kutis yang tersering di

indonesia. Sekitar 84% menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto

Mangunkusumo (RSCM), disusul Tuberkulosis Kutis Verukosa yaitu 13%,

sedangkan bentuk tuberkulosis kutis lainnya jarang ditemukan. Lupus Vulgaris

merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.

Meskipun tuberkulosis kutis merupakan bagian kecil dari tuberkulosis

ekstrapulmoner, namun di negara berkembang termasuk Indonesia masih sering

dijumpai, seperti halnya tuberkulosis paru. Manifestasi klinisnya beragam,

bergantung pada cara inokulasinya di kulit yang dapat bersifat internal maupun

eksternal.

B. Rumusan Masalah

1
“Bagaimana penegakkan diagnosis dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang, serta tatalaksana pada penderita Skrofuloderma ?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan

perluasan langsung dari tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang

kemudian membentuk abses dingin yang makin lama makin membesar dan

pecah pada kulit diatasnya (Barakbah, 2007).

2. Epidemiologi

Insidens tuberkulosis kutis yang tercatat masih rendah. Di negara

seperti Cina atau India di mana prevalen tuberkulosis tercatat masih tinggi,

manifestasi tuberkulosis pada kulit kurang dari 0,1% individu yang

berkunjung ke klinik-klinik dermatologi.Skrofuloderma biasanya mengenai

anak-anak dan dewasa muda terutama pada pria. Sumber lain menyebutkan

bahwa dapat terjadi pada semua umur dan perbedaan banyaknya insidens

pada pria dan wanita tidak bermakna.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering

terkait dengan faktor lingkungannya ataupun pekerjaannya. Biasanya

penyakit ini sering ditemukan pada pekerjaan seperti ahli patologi, ahli

bedah, orang-orang yang melakukan autopsi, peternak, juru masak, anatomis,

3
dan pekerja lain yang mungkin berkontak langsung dengan M. tuberculosis

ini, seperti contohnya pekerja laboratorium. Pada negara-negara yang belum

berkembang, daerah dengan sanitasi yang kurang baik dan gizi kurang,

penyakit lebih mudah meluas dan lebih berat. Penyebaran lebih mudah terjadi

pada musim penghujan (Siregar, 2003).

3. Etiologi

Penyebab utama TBC kutis adalah Mycobacterium tuberculosis yaitu


91,5% menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Sisanya (8,5%) disebabkan oleh mikobakteria atipikal. M.Bovis dan M. Avium
belum pernah ditemukan, demikian pula mikobakteria golongan lain.
Skrofuloderma disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
M. Tuberculosis merupakan kuman aerob yang patogen pada manusia.
Mempunyai sifat sebagai berikut : berbentuk batang, panjang 2-4/µ dan lebar
0,3-1,5/m , tahan asam dan hidupnya intraseluler fakultatif, tidak bergerak, tidak
membentuk spora dan suhu optimal pertumbuhan pada 370C (Djuanda, 2010).
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 (lima) macam, yaitu :1

4
1. Sediaan Mikroskopik
2. Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada
pewarnaan dengan Ziehl-Neelsen atau modifikasinya, jika positif kuman akan
tampak berwarna merah pada dasar yang biru.
3. Kultur
Kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu
370C. Jika positif koloni akan tumbuh dalam waktu 8 minggu.
4. Binatang Percobaan
a. Memakai binatang marmot. Percobaan ini membutuhkan waktu 8 minggu.
5. Tes biokimia
a. Ada beberapa macam, contohnya tes niasin yang dipakai untuk
membedakan jenis human dengan yang lain.
b. Percobaan Resistensi

4. Patofisiologi

Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari

organ dibawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering

berasal dari KGB.,juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu

tempat predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati KGB

Superfisialis, yang tersering ialah pada leher, kemudian disusul ketiak dan

yang terjarang pada lipat paha (James, 2006).

Port d’entrée skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru.

Jika di ketiak, kemungkinan port d’entrée pada apex pleura, bila dilipat paha

pada ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut

diserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipat paha, kemungkinan

besar terjadi penyebaran hematogen.1,2

5
5. Gejala klinis dan efloresensi

 Gejala klinis : Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis

tuberkulosis, berupa pembesaran kelenjar getah bening, tanpa tanda-tanda

radang akut, selain tumor. Mula-mula hanya beberapa KGB yang diserang,

lalu makin banyak dan sebagian berkonfluensi. Selain limfadenitis juga

terdapat periadenitis yang menyebabkan perlekatan KGB tersebut dengan

jaringan sekitar. Kemudian kelenjar-kelenjar tersebut mengalami perlunakan

tidak serentak, menyebabkan konsistensinya menjadi bermacam – macam,

yaitu didapati kelenjar getah bening melunak dan membentuk abses yang

akan menembus kulit dan pecah, bila tidak disayat dan dikeluarkan nanahnya.

Abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut tidak panas maupun

nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan, menandakan

bahwa isinya cair). Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan

perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar dengan menembus kulit di

atasnya dengan demikian membentuk fistel. muara fistel kemudian meluas

hingga menjadi ulkus yang mempunyai sifat khas, yakni bentuk memanjang

dan tidak teratur, disekitarnya berwarna merah kebiru-biruan (livid), dinding

bergaung; jaringan granulasinya tertutup oleh pus seropurulen, jika

mengering menjadi krusta berwarna kuning. Ulkus-ulkus tersebut dapat

sembuh spontan membentuk sikatriks yang memanjang dan tidak teratur dan

6
diatasnya kadang-kadang terdapat jembatan kulit (skin bridge). Basil tahan

asam banyak dijumpai pada lesi/jaringan. Tes tuberkulin biasanya positif.

 Lokasi predileksi : tempat yang banyak di daerah parotis, submandibular,

subclavicular, dan bagian lateral leher.

 Efloresensi : Terdapat nodul subkutan yang mudah digerakkan, Abses akan

memecah membentuk fistel yang kemudian menjadi ulkus khas: bentuk

memanjang dan tidak teratur, sekitarnya livid, dinding bergaung, jaringan

granulasi tertutup pus seropurulen atau kaseosa yang mengandung M.

tuberculosis. Ulkus dapat sembuh spontan menjadi sikatriks/parut

memanjang dan tidak teratur (cord like cicatrices), dapat ditemukan jembatan

kulit (skin bridge) di atas sikatrik.

Gambar 5.1 : Nodul subkutan

7
Gambar 5.2 : Abses

pecah membentuk

fistel yang kemudian

menjadi ulkus khas

6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis skrofuloderma adalah :

1. Tes Tuberkulin

Tes ini bergantung dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap

tuberculoproteins, yang diperantarai oleh sel limfosit yang tersensitisasi. Bahan tes

tuberkulin juga dapat diperoleh dari ekstrak protein yang mengandung basil tuberkel.

Purified Protein Derivative (PPD) merupakan campuran protein, karbohidrat dan

lemak yang diperoleh dari presipitasi culture supernatant dari M. tuberculosis yang

sudah mengalami proses autolisis akibat pemanasan.2

Sensitivitas terhadap tes ini mulai tampak dalam beberapa minggu sejak onset

infeksi M.tuberculosis, dan biasanya bertahan seumur hidup. Jika reaksi yang terjadi

sangat kuat, mengindikasikan telah terjadi tuberkulosis yang aktif. 2,5

8
Teknik tes kulit ini ada 2 (dua) jenis, yaitu :

1.) Tes Mantoux

PPD diinjeksikan secara intradermal pada bagian volar lengan bawah. Tes ini

dibaca setelah 48-72 jam dan diperhitungkan diameter area indurasi yang terbentuk,

bukan area eritemanya.2

Jika indurasi yang terjadi berdiameter lebih dari 10 mm maka interpretasinya adalah

telah atau sedang terjadi infeksi TB.2

2.) Tes Heaf

PPD dipenetrasikan sedalam 1,2 mm pada permukaan kulit lengan bawah

bagian fleksor. Interpretasinya adalah sebagai berikut :

Grade I : muncul 4-6 papul di kulit

Grade II : timbul indurasi berbentuk bulat penuh

Grade III : terbentuk plak dengan ukuran 12 mm

Grade IV : bila muncul tanda-tanda grade III ditambah adanya vesikulasi

dan ulserasi.

Grade I dan II dihubungkan dengan adanya riwayat vaksinasi BCG

sebelumnya atau ada infeksi mikobakteria jenis lain. Sedangkan Grade III dan IV

dihubungkan dengan adanya infeksi TB saat ini atau yang telah lampau.

2. Pemeriksaan Laboratorium Dasar

Hasil pemeriksaan laboratorium dasar mungkin menunjukan hasil yang tidak

spesifik, dengan hasil hitung darah (blood count) yang normal. Hanya saja pada

9
sebagian besar penderita TB kutis termasuk skrofuloderma terjadi peningkatan laju

endap darah (LED) sampai mencapai >100 mm/jam.

3. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan ini diakukan dengan excision biopsy pada limfonodi yang mengalami

pembesaran. Gambaran yang tampak adalah jaringan granulasi, yaitu akumulasi

histiosit yang menyerupai epitel (epiteliod) dan sel-sel raksasa Langerhans

diantaranya, tampak pula infiltrat sel-sel mononuklear mengelilinginya. Pada bagian

tengahnya dapat dijumpai nekrosis caseosa. Gambaran ini biasanya tampak pada

dermis yang lebih dalam.

Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen (ZN) dapat dijumpai basil tahan asam. Namun

karena pada sediaan biopsi kulit, jumlah basil relatif sedikit kadang sulit untuk

menentukan basil tahan asan meskipun dengan pewarnaan ZN. Kelemahan lain

prosedur ini adalah tindakan yang dilakukan bersifat invasif.2

4. Pemeriksaan Sitologi

Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC) merupakan salah satu teknik diagnostik

yang telah diterima dengan baik dalam rangka penatalaksanaan penderita dengan

pembesaran kelenjar limfe, seperti halnya pada penderita skrofuloderma. 2,5

Prosedur pengerjaannya lebih sederhana dan relatif tidak menimbulkan rasa sakit

sehingga FNAC dapat menggantikan metode excision biopsy yang lebih traumatik

dan invasif. Pewarnaannya adalah dengan Haematoxylin and Eosin (H&E) dan /atau

ZN. 2,5

10
Gambaran yang tampak adalah lesi granulomatous, terdiri dari sel-sel epiteloid

dengan atau tanpa nekrosis kaseosa. Sel-sel epiteloid tampak sebagai sel yang

memanjang atau semilunar dengan inti kromatin halus atau granuler. Dapat pula

dijumpai sel-sel raksasa Langhans bersama sel epiteloid atau yang berdiri sendiri. 2

5. Kultur Jaringan

Kultur jaringan untuk melihat pertunbuhan M. tuberculosis. Media yang digunakan

adalah Lowenstein-Jensen. Pertumbuhan M. tuberculosis membutuhkan waktu

sekitar 2 sampai 8 minggu karena pertumbuhannya memang lambat pada media

laboratoris.2,5

6. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode PCR yang dikenal adalah Lymph Node PCR (LN-PCR), dimana spesimen

diambil dari sisa spesimen yang masih ada dalam syringe pada saat dilakukan

tindakan FNAC atau dari jaringan hasil biopsi kelenjar getah bening yang kemudian

dihomogenisasikn. 2,5

Keunggulan metode ini adalah sensitivitas dan spesivisitasnya tinggi, hasilnya dapat

diperoleh dalam waktu relatif singkat yaitu sekitar 8 jam, dapat membedakan

mikroorganisme penyebab yaitu M.tuberculosis dengan mikobakteria lainnya, dan

dapat mengetahui adanya mutasi gen M tuberculosis yang dikaitkan dengan

resistensi terhadap pengobatan.2

7. Pemeriksaan Lain

11
Yang termasuk disini adalah pemeriksaan radiologi (foto thoraks posteroanterior)

dan pemeriksaan bakteriologi dari spesimen sputum pagi hari sebanyak 3 hari

berturut-turut.

7. DIAGNOSA BANDING

Skrofuloderma didaerah leher biasanya memiliki gambaran klinis


yang khas, sehingga tidak perlu membuat diagnosis banding. Walaupun
demikian aktinomikosis sering dijadikan diagnosis banding terhadap
skrofuloderma di leher. Aktinomikosis biasanya menimbulkan deformitas
atau benjolan dengan beberapa muara fistel produktif. Selain itu
skrofuloderma di daerah leher juga harus dibedakan dengan Limfadenitis
Bakterial Non Tuberkulosis, limfosarkoma dan limfoma maligna.

Gambar 7.1 Aktinomikosis

12
Gambar 7.2 Limfoma
Lesi pada daerah axilla dibedakan dengan Hidradenitis supurativa,
yaitu infeksi bakteri piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut
bersifat akut disertai tanda-tanda radang akut yang jelas, dengan gejala
konstitusi dan leukositosis. Hidradenitis supurativa biasanya menimbulkan
sikatriks sehingga terjadi tarikan – tarikan yang mengakibatkan retraksi
ketiak.1,2

Gambar 7.3 Hidradenitis Supurativa

Lesi di daerah lipat paha kadang mirip seperti limfogranuloma


venereum (LGV). Perbedaan yang paling penting di antara keduanya adalah
pada LGV terdapat riwayat coitus suspectus, gejala konstitusi (demam,
malaise dan artralgia) dan kelima tanda radang akut. Stadium lanjut dari LGV

13
dijumpai bubo yang bertingkat yang berarti terjadi pembesaran kelenjar getah
bening inguinal medial dan fossa iliaka, sedang pada skrofuloderma kelenjar
limfe yang terlibat adalah kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral.
Pada LGV tes frei positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.1,2

Gambar 7.4 Limfogranuloma Venerum


Lesi Skrofuloderma yang supuratif juga harus dibedakan dengan
supurative lymphadenitis dengan adanya sinus track misalnya Blastomycosis
dan Coccidiomycosis. M. avium- intracellulare lymphadenitis dan M.
scrofulaceum lymphadenitis dapat dibedakan dengan limfadenitis
skrofuloderma melalui kultur bakteri. 2

Gambar 7.5 Blastomycosis

14
8. TATALAKSANA

Prinsip penatalaksanaan skrofuloderma adalah sama seperti pengoobatan


TB paru yaitu harus secara teratur, menggunakan kombinasi dengan minimal 3
(tiga) macam obat anti-TB dan perbaikan keadaan umum.
Obat-obat anti-TB yang antara lain:
1. Isoniazid
Merupakan anti-TB yang bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosidal.
Dosis : 5- 10 mg/kg BB/ hari, dosis maksimal 400 mg.
Efek samping : demam, erupsi kulit, neuritis perifer, hepatotoksik dan
komplikasi hematologi ( agranulositosis, eosinofilia, anemia dan
trombositopenia).
2. Rifampisin
Merupakan salah satu obat anti-TB yang paling efektif namun cepat
mengalami resistensi.
Dosis : 10 mg/ kg BB, dosis maksimal 600 mg/hari.
Efek samping : ekskresi saliva dan urin akan berwarna jingga sampai
kemerahan, gangguan hepar (hepatotoksik).

3. Pyrazinamid
Dosis : 20-35 mg/kg BB, dosis maksimal 2 gram/ hari
Efek samping : gangguan hepar (hepatotoksik).1
4. Ethambutol
Merupakan anti-TB yang bersifat bakteriostatik dan paling sering
dikombinasi dengan rifampisin dan isoniazid.
Dosis : 15-25 mg/kg BB
Efek samping : gangguan nervus II.
Sebaiknya tidak diberikan pada penderita berusia dibawah 13 tahun.

15
5. Streptomycin
Merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal.
Dosis : 25 mg / kg BB, intramuskular. Dikombinasi dengan 2 (dua)
obat anti-TB lainnya.
Tidak dapat digunakan dalam jangka panjang oleh karena efek
sampingnya yaitu : gangguan vestibular dan gangguan pendengaran,
disfingsi nervus optikus, dermatitis eksfoliatif dan diskrasia darah.

Saat ini telah ditetapkan regimen pengobatan tuberkulosis kutis oleh The
American Thoracic Society dan Center for Disease Control and Prevention.
Regimen ini terdiri dari fase inisial, fase intensif dan fase lanjutan. Pemberian
fase inisial dan fase intensif bertujuan untuk membunuh dengan cepat populasi
mikobakteria yang sangat besar, terdiri dari isoniazid, rifampisin, pyrazinamid,
dan ethambutol atau streptomycin (diberikan setiap hari dalam jangka waktu 8
minggu). Pemberian fase lanjutan bertujuan untuk membunuh sisa-sisa
mikobakteria yang mungkin dorman dalam tubuh, dengan obat rifampisin dan
isoniazid baik setiap hari, tiga kali seminggu atau dua kali seminggu selama 16
minggu (Jawas, 2007).

16
9. PROGNOSIS

Prognosa skrofuloderma secara umum adalah baik. Lesi

skrofuloderma dapat sembuh secara spontan, namun memakan waktu yang

sangat lama, sebelum lesi inflamasi dan ulserasi secara lengkap dapat

digantikan dengan jaringan parut.

17
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit infeksi parasit pada kulit adalah keluhan pada kulit yang

disebabkan oleh sesuatu parasit dari luar tubuh, yang tersering di Indonesia

adalah creeping eruption (cutaneus larva migrans), skabies (gudik/budukan), dan

dermatitis insect bite.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin .

Rumah Sakit Umum Dr Sutomo. Surabaya.

2. PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan

Kelamin di Indonesia. Jakarta.

3. Barakbah J, Pohan SS, Sukonto H, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Atlas Penyakit

Kulit dan Kelamin. Cetakan V. Surabaya : Airlangga University Press, 2007. Hal

23-24.

4. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC, 2003. Hal

148-149.

5. James WD, Berger TG, Elston DM. Mycobacterial Disease. In : Andrews’

Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10 th Edition. USA : Elsevier Inc.,

2006. Chapter 16.

6. Djuanda, Adhi. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Editor: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Edisi V. cetakan V.

Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 64-72.

7. Jawas FA, Martodihadjo Soenarko, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Berkala Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol. . Surabaya : Airlangga University Press,

2007. Hal 56-60.

19

Anda mungkin juga menyukai