Anda di halaman 1dari 41

PRESENTASI KASUS FARMASI

KEJANG DEMAM

Oleh:
Aisyah Retno Puspawardani G992003010

Pembimbing :
Siti Marufah, S.Farm., MPH., Apt

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS UNS SURAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis hati
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38℃) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam merupakan kasus kejang yang sering terjadi
pada anak-anak. Biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Kejang yang terjadi pada anak dengan usia kurang dari 6 bulan atau lebih dari
5 tahun yang didahului demam, dapat dipikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi sistem saraf pusat, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam.
Anak dengan kejang demam memiliki ambang kejang yang berbeda
dimana anak dengan ambang dengan ambang kejang yang rendah terjadi
apabila suhu tubuh 38℃ tetapi pada anak yang memiliki ambang kejang
yangtinggi terjadi pada suhu 40℃ bahkan bisa lebih dari itu.

B. Epidemiologi Kejang Demam


Kejang demam merupakan gangguan neurologis umum pada kelompok
usia pediatri, yang mengenai 2-5% anak-anak pada usia diantara 6 bulan
sampai 5 tahun di Amerika Serikat dan Eropa barat dengan insidensi tertinggi
yaitu pada usia 12-18 bulan. Walaupun kejang demam dapat terjadi pada
semua kelompok etnis, namun lebih sering didapati pada populasi Asia (5-
10% anak-anak di India dan 6-9% anak-anak di Jepang). Rasio perbandingan
antara laki-laki dibandingkan wanita yaitu 1.6:1. Kondisi ini lebih sering
terjadi pada anak-anak dengan status sosioekonomi yang lebih rendah, dan
akses yang kurang terhadap fasilitas kesehatan.

C. Etiologi Kejang Demam


Penyebab kejang demam adalah multifaktorial. Kejang demam dipercaya
terjadi akibat kerentanan dalam perkembangan sistem saraf pusat terhadap
suatu efek demam, dengan kombinasi kecenderungan genetik yang mendasari
dan faktor lingkungan. Kejang demam bergantung pada usia respons otak
yang belum matang terhadap demam. Selama proses pematangan, ada suatu
rangsangan yang meningkat yang menjadi predisposisi anak terhadap kejang
demam, sehingga kejang demam terjadi terutama pada anak-anak sebelum
usia 3 tahun ketika ambang kejang rendah. Studi keluarga dan kembar
menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting, sekitar sepertiga dari
anak-anak dengan kejang demam memiliki riwayat keluarga yang positif.
Risiko kejang demam pada anak yaitu 20% dengan saudara yang terkena dan
sekitar 33% apabila terdapat riwayat kejang demam pada orang tua,
sementara sekitar 35-69% dan 14-20% pada kembar monozigot dan kembar
dizigotik.
Pada anak dengan kejang demam memiliki ambang batas kejang yang
rendah. Infeksi virus merupakan penyebab dari 80% kasus. Roseola infantum,
influenza A, dan coronavirus HKU1 yang paling sering menyebabkan kejang
demam. Selain itu, infeksi virus saluran napas atas, faringitis, otitis media,
Shigella gastroenteritis merupakan penyebab kejang demam yang sering
dijumpai juga selain infeksi virus.
Anak dengan kelahiran prematur juga rentan terhadap kejang demam dan
perawatan pasca salin dengan kortikosteroid meningkatkan risiko juga.
Paparan nikotin/alkohol saat prenatal diasosiasikan juga terhadap risiko
terjadinya kejang demam, karena dapat menurunkan ambang batas kejang dan
meningkatkan rasang eksitasi.

D. Klasifikasi Kejang Demam

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 1993,


kejang demam terbagi menjadi kejang demam sederhana (Simple febrile
seizure) dan kejang demam kompleks (Complex febrile seizure). Kejang
demam sederhana ditandai dengan kejang demam yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri, kejangnya
berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80%
diantara seluruh kejang demam.
Kejang demam kompleks diantandai oleh salah satu ciri berikut ini yaitu
kejang lama > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum
didahului parsial, kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang
berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan
kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% kasus kejang demam.
E. Patofisiologi Kejang Demam

Infeksi
Kejang demam dapat dipengaruhi oleh predisposisi genetik dimana risiko
terjadinya kejang demam dengan sodara yang terkena yaitu sekitar 20%.
Beberapa gen yang dipetakan oleh kromosom 19q, 19p13.3, 18p11.2, 8q13-
21, 6q22-24, 5q14-15, 2q23-24 dikaitkan dengan peningkatan risiko
terjadinya kejang demam. Selain itu mutasi pada gen pengkode gamma-
aminobutyric acid (GABA) A reseptorγ2subunit. GABA merupakan sebuah
neurotransmitter inhibisi, dimana melawan eksitasi neuronal. Faktor
lingkungan seperti paparan terhadap infeksi perider, dimana termasuk infeksi
bakteri pada telinga tengah dan tenggorokan serta infeksi virus seperti
influenza, dilaporkan dapat membuat respon inflamasi, yang mengubah
temperatur set pad tubuh, yang akhirnya meningkatkan suhu inti tubuh dan
memicu terjadinya kejang demam. Selama infeksi bakteri pada area lokal,
pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) diekspresikan pada
patogen, sebagai contoh lipopolisakarida (LPS). Toll like receptor (TLR)
ditemukan dalam sel yang terinfeksi yang akan terdeteksi oleh makrofag dan
netrofil, dan mengaktivasi respon imun innate (natural). Kemudian, terjadi
suatu respon inflamasi yaitu dengan mengeluarkan sitokin yaitu TNF-α, IL-6
dan IL-1β, apabila kontrol inflamasi lokal buruk, inflamasi akan menyebar ke
seluruh tubuh dan dapat menembus sawar darah atau blood brain barrier
(BBB) yang memfasilitasi masuknya sitokin-sitokin ini ke sistem saraf pusat.
Demam
Ada 3 tipe sel glia pada sistem saraf pusat: Astrosit, oligodendrosit, dan
mikroglia, yang mempunyai mekanisme seluler masing-masing. Astrosit dan
mikroglia berperan sebagai sel imun dalam SSP selama inflamasi, namun
mikroglia merupakan sel utama dalam mengatasi infeksi. Sitokin yang masuk
melalui BBB mengaktivasi mikroglia. Mikroglia pada SSP ketika dalam
keadaan istirahat mempunyai karakter badan sel yang kecil, namunmikroglia
memnunjukan ekspresi TLRs seperti TLR-3 dan TLR-4 yang merekognisi
PAMPs termasuk komponen dari infeksi virus atau LPS yang menyebabkan
mikroglia teraktivasi sehingga dapat merubah morfologi dari mikroglia,
ketika teraktivasi mikroglia akan berubah ukuran yaitu menjadi tebal dan
mmeproduksi sitokin seperti TNF-α, IL-6 dan IL-1β. Dalam kondisi normal,
sitokin mempunyai peranan penting dalam fungsi SSP regular termasuk
regulasi tidur dan perkembangan neuronal. Namun, naiknya level dari sitokin
dalam keadaan infeksi telah menunjukkan mempunyai peranan penting dalam
terjadinya aktivasi dari kejang demam. Sitokin seperti IL-1β mengaktivasi
endotelium otak yang dalam hal ini akan mengaktivasi enzim untuk
memproduksi prostaglandin proinflamasi, seperti prostaglandin E2 (PGE2).
PGE2 diproduksi dari asam arakidonat (AA) yang merupakan derivat lipid
dari membran fosfolipid yang dikatalisasi oleh phospolipase A2. Ketika AA
di produksi, IL-1β menempel pada reseptor Il-1 yang memediasi aktivasi dari
cyclooxygenase-2 (COX-2), sebuah enzim yang diekspresikanpada endotelial
otak yang ditemukan pada regio preoptik hipotalamus. COX-2 mengkatalisasi
produksi prostaglandin, secara spesifik mengoksidasi AA untuk memproduksi
PGE2. PGE2 kemudian berikatan dengan EP3 reseptor prostaglandin yang
diekspresikan pada neuron termoregulasi pada nukleus preoptik media pada
hipotalamus untuk menginduksi demam. Pada keadaan tidak demam, tubuh
akan menghasilkan mekanisme feedback negatif yaitu dengan memproduksi
anti inflamasi IL-1Ra yang memblok dan mengikat IL-1β bebas yang
akhirnya menurunkan produksi PGE2. Namun saat terjadi kejang demam IL-
1β dan IL-1Ra dilepaskan secara bersamaan sehingga terjadi
ketidakseimbangan dengan IL-1β memainkan peran utama dalam
menyebabkan eksitasi dan inhibisi yang memacu kejang.

Konvulsi
Sitokin memiliki peran dalam plastisitas sinaptik di area otak seperti
hipokampus, dan efek sinaptik pada neuron SSP termasuk mereka yng terlibat
dalam kontrol otonom pusat demam dan kontrol gastrointestinal. IL-1β dan
IL-1Ra dilepaskan secara simultan dan bersaing untuk berikatan dengan
binding site yaitu IL-1 tipe 1 reseptor (IL-1RI). Namun pengikatan lebih erat
pada IL-1β daripada IL-1Ra, sehingga terjadi ketidakseimbangan. IL-1β
bekerja pada sirkuit rangsang (glutamatergik) dan penghambatan
(GABAergik) otak. Glutamat adalah neurotransmiter asam amino rangsang
yang dilepaskan oleh neuron di SSP. Glutamat menjalankan fungsinya
dengan berinteraksi dengan reseptor ionotropik: reseptor amino-3-hydroxy-5-
methyl isoxazolopropionic acid (AMPA), reseptor kainate serta reseptor N-
metil-D-aspartat (NMDA). IL-1β dan IL-1Ra merangsang interaksi reseptor
glutamat ionotropik, antara reseptor glutamat dan AMPA. Pengikatan
glutamat ke reseptor AMPA menghasilkan influks dari banyak ion sodium ke
dalam sel dan sedikit ion potasium ke luar sel sehingga terjadi depoalrisasi
dari membran. Magnesium yang ditemukan pada pori-pori channel ion
reseptor NMDA, tertarik ke dalam sel selama depolarisasi. Ikatan antara
glutamat dengan reseptor NMDA bersamaan dengan ekspulsi dari magnesium
menyebabnya channel ion terbuka dan menyebabkan influks dari kalsium dan
sodium ke dalam sel. Peningkatan ion klasium ke dalam sel memicu suatu
kaskade reaksi yang akhirnya menyebabkan konvulsi atau kejang. Sebagai
mekanisme feedback negatif, GABA, sebuah neurotransmiter inhibisi,
melawan eksitasi neuronal dari glutamat dengan cara berikatan ke salah satu
dari 2 resepetor GABA A dan GABA B. GABA A meregulasi masuknya klorida
ke dalam sel sedangkan GABA B meregulasi masuknya kalsium dan
keluarnya potasium. Meningkatnya level dari IL-1β telah menunjukkan,
menurunkan influx kalsium dan efluks dari potasium, hal ini terjadi karena
konsentrasi IL-1β menurunkan level dari interaksi GABA terhadap GABA A.

Selain itu, penurunan reseptor GABA A dapat disebabkan oleh hipertermia


akibat dari infeksi.
F. Penatalaksanaan Kejang Demam
Kejang demam dapat berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang mungkin sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat
yang pa;ing cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat praktis yang dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg
untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3
tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan
ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila dengan fenitioin kejang belum berhenti maka
pasien harus dirawat di runag rawat intensif.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
jenis kejang demam apakah sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

Pemberian obat pada saat demam


1. Antipiretik
Antipiretik tetap dapat diberikan dengan dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula
dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu >
38,5℃, dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel
dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
3. Pemberian obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat : pengobatan rumah hanya diberikan jika
kejang menunjukkan ciri sebagai berikut:
 Kejang lama > 15 menit
 Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnnya hemiparesis, palsi serebral, retardasi mental,
hidrosefalus
 Kejang fokal
 Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
- Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
- Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
- Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumatan: pemberian obat
fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang
demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping, maka pengobatan rumatan hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek.
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini
adalah asam valproat, dimana dosis yang disarankan adalah 15-40
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2
dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
G. Prognosis
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila ada seluruh faktor tersebut kemungkinan berulang kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor-faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya
kejang demam paling besar pada tahun pertama
Faktor risiko terjadinya epilepsi
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
BAB III

PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An.A
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Alamat : Sambi, Boyolali

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Demam dan kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS UNS dengan keluhan demam sejak 1
hari SMRS. Keluhan disertai kejang 2x. Pasien kejang pertama jam
17.00 (15 Agustus 2021) kemudian dibawa ke bidan. Jam 02.00 (16
Agustus 2021) pasien kejang lagi dan dibawa ke RS Banyubening
diberikan Paracetamol puyer. Kejang pada seluruh tubuh, saat kejang
sadar, setelah kejang sadar. Lama masing-masing kejang kurang dari 5
menit.
Keluhan lain seperti batuk, pilek disangkal. Keluhan serupa
sebelumnya disangkal. BAK dan BAB dalam batas normal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Peny. Jantung : disangkal
Riwayat Diabetes : disangkal
Riwayat Mondok : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Keluhan Serupa : kakak (+)
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Alergi : (+) ibu seafood
Riwayat Peny. Jantung : (+) ibu, dan nenek
Riwayat Hipertensi : (+) bapak ibu

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien menggunakan BPJS

6. Riwayat Perinatal
Lama Kehamilan : 9 bulan/ minggu
Komplikasi kehamilan : tidak ada
Persalinan : sectio caesarea
Penyulit persalinan : tidak ada

7. Riwayat tumbuh kembang dan imunisasi


BB saat lahir : 3100 gram
ASI sampai : 2 tahun
Susu formula mulai :-
Makanan tambahan : 6 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 9 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Masalah Neonatus : tidak ada
Imunisas 1 2 3 4 5 6 Imunisasi 1 2 3 4 5 6 9
i
Hepatitis ⅴ ⅴ ⅴ ⅴ Influenza
B
Polio ⅴ ⅴ ⅴ ⅴ Campak ⅴ
BCG ⅴ MMR
DPT ⅴ ⅴ ⅴ Thypoid
Hib ⅴ ⅴ ⅴ Hepatitis
A
PCV ⅴ ⅴ Varicella
Rotaviru ⅴ ⅴ HPV
s
C. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum Sakit sedang, GCS E4V5M6, compos mentis

B. Tanda Vital Berat badan: 13 kg

Nadi : 130 x/ menit


RR : 25 x/menit

SpO2 : 96%
Suhu : 39,20C
C. Kulit Warna kuning langsat, massa (-), hiperemis (-)
eritema (-), petekie (-)

D. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam

E. Mata konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), mata


cowong (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
F. Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri

tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)


G. Hidung NCH (-), deformitas (-), secret (-/-) Epistaksis (-)

H. Mulut Sianosis (-), Mukosa bibir kering (-), tonsil T1-T1,


stomatitis (-), gigi goyang (-), perdarahan gusi (-)

I. Leher JVP 5+2 cmH2O, hepatojugular reflux (-),


pembesaran KGB (-), Benjolan pada daerah tiroid
(-), nyeri tekan (-), Bising karotis (-)
J. Thorax simetris kanan kiri, retraksi (-)

K. Jantung :
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak

Palpasi Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi S1-S2 I-II regular, intensitas normal, suara jantung


tambahan (-), bising (-)

L. Pulmo :

Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga

mendatar (-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela


iga melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, peranjakan

dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri


Perkusi Sonor / Sonor

Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara


tambahan wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-),

ronki basah halus basal paru (-/-), krepitasi (-/-)


M Abdomen :

Inspeksi Dinding perut sama dengan dinding thorak,

distended (-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-),


caput medusae (-)
Auskultasi BU (+) normal 18x/menit, bising daerah epigastric
(-)
Perkusi timpani, undulasi (-), pekak alih (-), liver span
normal (pada linea midklavikula 10 cm dan linea
midsternal 7 cm)
Palpasi nyeri tekan (-), pembesaran hepar (-), pembesaran
lien(-)

Regio flank : nyeri ketok costovertebrae (-/-)

Regio supra pubik : nyeri tekan suprapubic (-)

Regio genitalia : (-)


N. Ekstremitas CRT <2 detik, akral hangat, oedema (-), clubbing
finger (-), sianosis (-)

D. RESUME
1. RESUME ANAMNESA
Pasien dengan keluhan kejang demam 1 hari SMRS, dengan 2 kali
kejang dalam 24 jam, dengan kejang didahului demam.

2. RESUME PEMERIKSAAN
Hasil pemeriksaan : suhu RR : 25 x/menit .SpO2 : 96% Suhu : 39,20C

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 16 Agustus 2021
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai
Normal
Hemoglobin 10.4 L g/dL 11.5 – 13.5
Hematokrit 30 L % 34-40
Trombosit 159 10^3/uL 150-450
Leukosit 5.49 L 10^3/uL 5.50 – 17.00
Eritrosit 3.8 L 10^6/uL 3.90 – 5.30
MCV 80 /UM 80.0-96.0
MCH 27.4 L Pg 28.0-33.0
MCHC 34.2 g/dl 33.0-36.0
RDW-CV 12.4 % 11.6-14.6
MPV 9.2 Fl 7.2-11.1
PDW 9 % 9-13
Neutrophyl 4.33
Lymphocyte Ratio
HFLC 0.4 % 0-1.4
Absolute 900 ABNORMAL >1500.00
Lymphocyte Ratio
Limfosit 16.8 L % 60-66
Monosit 11.8 H % 2-8
Neutrofil 71.4 % 55-80
Eosinofil 0.0 % 0-4
Basofil 0.0 % 0-2

Pemeriksaan Hasil satuan Nilai


Normal
ANALISA FESES
makroskopis
Warna Coklat
Konsistensi Lembek
Darah Negatif - Negatif
Lendir Negatif - Negatif
Lemak Negatif - Negatif
Makanan tidak Negatif - Negatif
tercerna
Parasit Negatif - Negatif
Pus Negatif - Negatif
Mikroskopis
Sel epitel Negatif - Negatif
Lekosit 0-2 Negatif
eritrosit 0-1 Negatif
Makanan tidak positif + Negatif
tercerna
Kista Negatif - Negatif
Telur cacing Negatif - Negatif
Bakteri positif + Negatif

F. DIAGNOSA
Kejang demam kompleks ec infeksi bakteri
Anemia

G. PENATALAKSANAAN
1. 16 Agustus 2021 (IGD)
- Infus asering loading 500 cc dalam 3 jam
- Injeksi antrain 100 mg
2. 16 Agustus 2021
- Infus D ½ NS 60 cc / jam
- Injeksi ceftriaxone 350 mg/ 8 jam
- Injeksi Paracetamol 150 mg (apabila suhu > 37,5 0)
- Injeksi antrain 150 mg (apabila suhu > 38,50C)
3. 17 Agutus 2021
- Infus D ½ NS 60 cc / jam
- Injeksi ceftriaxone 350 mg/ 8 jam
- Injeksi Paracetamol 150 mg (apabila suhu > 37,5 0)
- Injeksi antrain 150 mg (apabila suhu > 38,50C)
- Injeksi diazepam 5 mg IV (apabila kejang)
4. 18 Agustus 2021
- Infus D ½ NS 60 cc / jam
- Injeksi ceftriaxone 350 mg/ 8 jam
- Injeksi Paracetamol 150 mg (apabila suhu > 37,5 0)
- Injeksi antrain 150 mg (apabila suhu > 38,50C)
- Injeksi diazepam 5 mg IV (apabila kejang)
5. 19 Agustus 2021
- Infus D ½ NS 60 cc / jam
- Injeksi ceftriaxone 350 mg/ 8 jam
- Injeksi Paracetamol 150 mg (apabila suhu > 37,5 0)
- Injeksi antrain 150 mg (apabila suhu > 38,50C)
- Injeksi diazepam 5 mg IV (apabila kejang)
6. 20 Agustus 2021
- Infus D ½ NS 60 cc / jam
- Injeksi ceftriaxone 350 mg/ 8 jam
- Injeksi Paracetamol 150 mg (apabila suhu > 37,5 0)
- Injeksi antrain 150 mg (apabila suhu > 38,50C)
- Injeksi diazepam 5 mg IV (apabila kejang)
Obat pulang
- Curvit syr 1 x 1C
- Paracetmol syrup 3x1C (kalau perlu)
- Stesolid suppositoria 10 mg (apabila kejang)
- Cefixime syrup 2 x ½ C
Penulisan Resep

RS UNS Surakarta
16 Agustus 2021
Dokter: dr. X (IGD)
R/ Asering inf 500 cc No. I
Cum IV kateter No. 20 No. I
Threeway No. I
Infus set No. I
IV 3000 No. I
S.i.m.m. Intravena 60 tpm
R/ Antrain inj 100 mg/2ml amp No. I
Cum spuit 3 cc No. I
S.i.m.m. Intravena No. I
Pro: An. A (3 tahun)
Alamat: Boyolali

RS UNS Surakarta
16 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 NS 0,45% inf. 500 ml fl No. III
Cum IV kateter No. 20 No. I
Threeway No. I
Infus set No. I
S.i.m.m. Intravena 20 tpm
R/ Ceftriaxone inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. III
S.i.m.m. Intravena 350 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 150 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 150 mg/24
jam
R/ Antrain inj mg 50 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena No. I
R/ Diazepam inj 10mg/2ml amp No. I
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 5 mg No. I
Pro: An. A (3 tahun)
Alamat: Boyolali

RS UNS Surakarta
17 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 NS 0,45% inf. 500 ml fl No. III
Cum IV kateter No. 20 No. I
Threeway No. I
Infus set No. I
S.i.m.m. Intravena 20 tpm
R/ Ceftriaxone inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. I
S.i.m.m. Intravena 350 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 150 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 150 mg/24
jam
R/ Antrain inj mg 50 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena No. I
R/ Diazepam inj 10mg/2ml amp No. I
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 5 mg No. I
Pro: An. A (3 tahun)
Alamat: Boyolali

RS UNS Surakarta
18 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 NS 0,45% inf. 500 ml fl No. III
Cum IV kateter No. 20 No. I
Threeway No. I
Infus set No. I
S.i.m.m. Intravena 20 tpm
R/ Ceftriaxone inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. I
S.i.m.m. Intravena 350 mg / 8 jam
R/ Antrain inj mg 50 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena No. I
R/ Diazepam inj 10mg/2ml amp No. I
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 5 mg No. I
Pro: An. A (3 tahun)
Alamat: Boyolali

RS UNS Surakarta
19 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 NS 0,45% inf. 500 ml fl No. III
Cum IV kateter No. 20 No. I
Threeway No. I
Infus set No. I
S.i.m.m. Intravena 20 tpm
R/ Ceftriaxone inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. I
S.i.m.m. Intravena 350 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 150 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 150 mg/24
jam
R/ Antrain inj mg 50 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena No. I
R/ Diazepam inj 10mg/2ml amp No. I
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 5 mg No. I
Pro: An. A (3 tahun)
Alamat: Boyolali

RS UNS Surakarta
20 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A
R/ D5 NS 0,45% inf. 500 ml fl No. III
Cum IV kateter No. 20 No. I
Threeway No. I
Infus set No. I
S.i.m.m. Intravena 20 tpm
R/ Ceftriaxone inj mg 1000 No. I
Cum aquabidest fl No. I
spuit 10 cc No. I
S.i.m.m. Intravena 350 mg / 8 jam
R/ Paracetamol inj 150 mg amp No. I
Cum spuit 5 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 150 mg/24
jam
R/ Antrain inj mg 50 amp No. II
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena No. I
R/ Diazepam inj 10mg/2ml amp No. I
Cum spuit 3 cc No. I
S p.r.n i.m.m. Intravena 5 mg No. I
Pro: An. A (3 tahun)
Alamat: Boyolali
RS UNS Surakarta
20 Agustus 2021
Dokter: dr. X, Sp.A (RESEP PULANG)
R/ Curvit syr No I
S 1 dd C I
R/ Paracetamol syr No I
S 3 dd C I
R/ Stesolid clysma 10 mg/2,5 ml No I
S p.r.n 1-2 dd per rectal
R/ Cefixime 100mg/5ml syr No I
S 2 dd C ½
Pro: An .A(3 tahun)
Alamat: Boyolali

H. FOLOW UP
1. 16 Agustus 2021 (IGD)
Pasien mengeluhkan kejang disertai demam berulang, kejang 2 kali
a. Swab antigen

2. 17 Agutus 2021
Pasien sudah tidak demam
- Observasi KUVS
- Planning EEG tanggal 20 Agustus 2021
3. 18 Agustus 2021
Pasien sudah tidak ada keluhan
- Observasi KUVS
4. 19 Agustus 2021
Pasien sudah tidak ada keluhan
- Observasi KUVS
5. 20 Agustus 2021
Pasien sudah tidak ada keluhan
-EEG
- BLPL
- kontrol poli Anak tanggal 31 Agustus 2021

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Malam
BAB IV
PEMBAHASAN

A. D5 ½ NS (cari)
D5 ½ NS infusi diindikasikan untuk perawatan cairan dan nutrisi pengganti
dengan kadar natrium yang rendah, kadar kalium rendah, kadar magnesium
yang rendah, kalsium rendah

B. Asering
Larutan infus yang mengandung kalsium klorida, potasium klorida, sodium
klorida dan sodium asetat. Digunakan untuk menggantikan cairan
ekstraseluler yang hilang.
1. Indikasi dan Dosis
 Kehilangan darah
 Dehidrasi
 Tidak dapat dilakukan rehidrasi oral
Dosis asering tergantung usia, berat badan, manifestasi klinis dan
keparahan dehidrasi.
2. Farmakodinamik
Asering diberikan melalui intravena (IV). Tujuan pemberiannya adalah
untuk mengisi kembali intravaskular untuk memungkinkan perfusi organ
yang adekuat. Dibandingkan ringer laktat, ringer asetat dimetabolisme 3-
4x lebih cepat. Waktu paruh intravaskular cairan kristaloid rata-rata dalam
20-30 menit. Cairan isotonik yang digunakan untuk menggantikan cairan
ekstraseluler yang hilang. Mengandung natrium, kalium, kalsium, klorida,
dan asetat.
3. Farmakokinetik
a. Absorbsi : absorbsi ringer asetat berlangsung secara langsung dan
sistemik. Waktu paruh intravaskular cairan kristaloid sekitar 20-30
menit.
b. Distribusi : distribusi terdapat pada kompartemen ekstraseluler,
terutama volume intravaskular.
c. Metabolisme : asetat terutama dimetabolisme dalam otot dengan waktu
metabolisme 3-4 kali lebih cepat dibandingkan laktat
d. Ekskresi : ekskresi natrium, kalium, dan kalsium melalui ginjal
4. Bentuk Sediaan

Plabot infus 500 ml


5. Kontraindikasi
 Hipernatremia, hiperkalemia, hiperkloremia
 Hipersensitif terhadap salah satu komponen infus
6. Efek Samping
Kelebihan cairan atau zat terlarut mengakibatkan overhidrasi, keadaan
kongesti (edema, kongesti paru), imbalans elektrolit, imbalans asam basa
serta reaksi hipersensitifitas

C. Antrain-> metamizole (cari)


Antrain injeksi merupakan obat yang mengandung natrium metamizole.
Metamizole adalah obat analgetik (pereda nyeri), antispasmodik (meredakan
kram) dan antipiretik (penurun demam) dan untuk meringankan rasa sakit :
nyeri sendi, nyeri otot, dismenore, nyeri sendi, nyeri kepala dan lain-lain.
Selain itu sebagai antipiretik antrain bekerja dengan cara menghambat
prostaglandin dengan menginhibisi pada cox 1 dan 2, selain itu dapat
menstimulasi sekresi beta endorfin oleh hipotalamus, dan menurunkan
pirogen endogen.
1. Indikasi dan Dosis
Indikasi : meringankan rasa sakit, menurunkan demam.
Dosis : untuk orang dewasa 1 g sampai 4 kali sehari atau 2.5 g terbagi 2
dosis diberikan dengan injeksi IV dalam 5 menit atau dengan injeksi
intramuskular. Dosis maksimal yaitu 5 g sehari. Dosis anak-anak hingga
usia 14 tahun, dosis metamizole yang direkomendasikan adalah 8-16
mg/kgBB setiap 6-8 jam.
2. Farmakodinamik
Mekanisme analgesik metamizole berkaitan dengan inhibisi
siklooksigenase-3 (COX-3) serta aktivasi sistem opioidergik dan
kanabinoid. Sedangkan mekanisme spasmolitik metamizole berkaitan
dengan reduksi sintesis inositol fosfat, yang mengakibatkan inhibisi
pelepasan Ca2+ intraseluler
3. Farmakokinetik
Absorbsi : terhidrolisis di dalam traktus gastrointestinal dan mengaktifkan
metabolit 4-methyl-amino-antipyrine (MAA). Bioavailibilitas : hampir
90% . Puncak konsentrasi di dalam plasma yaitu 1-2 jam.
Distribusi: melewati plasenta dan masuk dalam air susu. Berikatan dengan
protein dalam bentuk 58% (MAA), 48% [4-amino-antipyrine (AA)], 14%
[4-acetylamino-antipyrine (AAA)] and 18% [formyl-amino-antipyrine
(FAA)
Metabolisme : termetabolisme di hepar membentuk 4-formyl-amino-
antipyrine (FAA) dan metabolit lain
Ekskresi : diekskresikan 90% di urin sebagai metabolit, di feses 10%.
Waktu paruh eliminasi dari plasma sekitar 14 menit (IV)
7. Bentuk Sediaan

Kaplet 500 mg, Tablet 500 mg, Injeksi 250 mg/ml, 100 mg/2ml
8. Kontraindikasi
Alergi NSAID, anemia aplastik, leukopenia, masalah pada hati dan ginjal,
anak-anak kurang dari 3 bulan dan berat kurang
9. Efek Samping
Mual, muntah, sakit perut vertigo, sakit tenggorokan ruam, urine berwarna
merah.

4. Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah kelompok antibiotic sefalosporin generasi ketiga spektrum
luas. Ceftriaxone memiliki waktu paruh yang sangat lama (8 jam)
dibandingkan dengan sefalosporin lain dan memiliki daya tembus yang tinggi
ke dalam meninges, mata, dan telinga bagian dalam. Ceftriaxone memiliki
cakupan gram negatif yang lebih luas dan lebih kuat daripada sefalosporin
generasi pertama atau kedua, tetapi aktivitasnya lebih buruk terhadap
methicillin-susceptible S. aureus. Ceftriaxone adalah antimikroba yang umum
digunakan karena aktivitasnya yang baik terhadap Enterobacteriaceae yang
resisten terhadap banyak obat, profil efek sampingnya yang relatif aman, dan
waktu paruhnya yang panjang sehingga memudahkan pemberian dosis harian
atau dua kali sehari.
1. Indikasi dan Dosis

Indikasi:
a. Infeksi pernapasan
b. Infeksi kulit
c. Infeksi jaringan lunak
d. Infeksi saluran kemih
e. Infeksi telinga, hidung, dan tenggorok
f. Meningitis
g. Infeksi gonore (Brunton, Knollmann and Hilal-Dandan, 2018)

Dosis:
a. 1 g/hari dalam dosis tunggal.
b. Pada infeksi berat: 2-4 g/hari dosis tunggal. Dosis lebih dari 1 g
diberikan pada dua tempat atau lebih.
c. Anak di atas 6 minggu: 20-50 mg/kg bb/ hari, dapat naik sampai 80
mg/kg bb/hari. Diberikan dalam dosis tunggal. Bila lebih dari 50
mg/kg bb, hanya diberikan secara infus intravena.
d. Gonore tanpa komplikasi: 250 mg dosis tunggal.
e. Profilaksis bedah: 1 g dosis tunggal.
f. Profilaksis bedah kolorektal: 2 g (PIONAS, 2015).
2. Farmakodinamik

Seftriakson bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida di dinding


sel bakteri. Bagian beta-laktam dari seftriakson berikatan dengan
karboksipeptidase, endopeptidase, dan transpeptidase di membran
sitoplasma bakteri. Enzim ini terlibat dalam sintesis dinding sel dan
pembelahan sel. Pengikatan ceftriaxone ke enzim ini menyebabkan enzim
kehilangan aktivitas; oleh karena itu, bakteri menghasilkan dinding sel
yang rusak, menyebabkan kematian sel (Drugbank, 2021).
3. Farmakokinetik
a. Absorbsi

Pemberian secara IM akan diabsorbsi menyeluruh


b. Distribusi

95% berikatan dengan protein. Ceftriaxone memiliki penetrasi cairan


serebrospinal yang cukup baik sebagai pengobatan yang efektif untuk
meningitis bakteri. Waktu paruh eliminasi ceftriaxone adalah 5,8-8,7
jam. Waktu paruh ceftriaxone dalam cairan telinga tengah diperkirakan
25 jam. Klirens plasma adalah 0,58-1,45 L/jam dan klirens ginjal adalah
0,32-0,73 L/jam (Drugbank, 2021).
c. Metabolisme

Ceftriaxone dimetabolisme di hepar


d. Ekskresi

33-67% dieliminasi melalui urin. Sisanya melalui sekresi di empedu


kemudian dikeluarkan melalui feses (Drugbank, 2021).
4. Bentuk Sediaan

Serbuk injeksi 1.000 mg


5. Kontraindikasi

Alergi terhadap antibiotic golongan sefalosporin, bayi usia di bawah 6


bulan (PIONAS, 2015).
6. Efek Samping

Hipersensitivitas (anafilatik, bronkospasme, dan urtikaria), ikterik


neonatorum pada bayi, pseudolitiasis bilier (Brunton, Knollmann and
Hilal-Dandan, 2018).

5. Paracetamol
Paracetamol atau acetaminophen adalah obat yang mempunyai efek
mengurangi nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik).
Parasetamol mengurangi nyeri dengan caramenghambat impuls/rangsang
nyeri di perifer. Parasetamol menurunkan demam dengan caramenghambat
pusat pengatur panas tubuh di hipotalamus
1. Indikasi dan Dosis:
Indikasi:
Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik,
telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik lainnya,
parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan
menimbulkan nefropati analgesik. Jika dosis terapi tidak memberi
manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Karena hampir tidak
mengiritasi lambung, parasetamol sering dikombinasi dengan AINS
untuk efek analgesik.
Dosis
Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1g per kali dengan maksimum
4 g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali dengan maksimum
1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1
tahun: 60 mg/kali: pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari
2. Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek
sentralseperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena
itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol
merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa
3. Farmakokinetik
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa
paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.
Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini
dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Obat ini dieksresikan melalui
ginjal, sebagian kecil sebagai paracetamol (3%) dan sebagian besar
dalam bentuk terkonjugasi
4. Bentuk Sediaan
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau
sirup yang mengandung 120 mg/5 ml. Selain itu parasetamol terdapat
sebagai sediaan kombinasi tetap dalam bentuk tablet maupun cairan
5. Kontraindikasi
Gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas
6. Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi.
Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat
berupa demam dan lesi pada mukosa
6. Diazepam
Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum
dalam WHO essential list of medicines edisi 19 (WHO, 2015), diazepam
diindikasikan untuk terapi kecemasan (ansietas) dalam penggunaan jangka
panjang, selain itu juga sebagai obat sedatif dan antipsikotik. Diazepam juga
digunakan sebagai antikonvulsan, pelemas otot dan induksi anestesi.
1. Indikasi dan Dosis
Indikasi : anti anxietas, anestesi, spasme otot, sindrom penarikan alkohol\
Dosis:
- parenteral : dewasa 10-20 mg via IM atau dengan injeksi IV perlahan (1
mL/menit) dapat diulang 30-60 menit, jika perlu. Dapat diikuti dengan
infus perlahan IV, dengan dosis maksimal 3 mg/kg dalam 24 jam. Dosis
anak-anak 1 bulan - < 5 tahun 0.2-0.5 mg via IM atau dengan injeksi
perlahan IV setiap 2-5 menit, maksimal 5 mg; lebih dari 5 tahun 0.2 – 0.5
mg via IM atau dengan infus perlahan IV setiap 2-5 menit maksimal 10
mg. Dapat diulang dalam 2-4 jam
- rektal : dosis dewasa 0.5 mg/kg, dapat diulang setiap 12 jam, maksimal
30 mg. Dosis anak-anak : 2-5 tahun 0.5 mg/kg, 6-11 tahun 0.3 mg/kg,
lebih dari 12 tahun 0.2 mg/kg. Semua dosis dapat diulang setiap 4-12 jam
apabila perlu
2. Farmakodinamik
Farmakologi diazepam bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor
gamma-aminobutyric acid (GABA) dan meningkatkan kemampuan
inhibisi dari GABA. GABA merupakan neurotransmitter inhibisi utama
pada SSP. Ikatan diazepam pada reseptor GABA dalam sistem limbik dan
hipotalamus akan meningkatkan laju ion klorida kedalam neuron.
Kemudian menimbulkan hiperpolarisasi dari membran sehingga
menurunkan eksitabilitas saraf
3. Farmakokinetik
a. Onset dan durasi : onset IV 1-3 menit, rektal 2-10 menit. Durasi yaitu
15-30 menit
b. Absorbsi: absorbsi secara lengkap oleh traktus gastrointestinal atau
setelah penggunaan rektal. Bioavailibiltas > 90%. Waktu untuk
mencapai konsentrasi plasma puncak : kira-kira 30-90 menit (oral); 10-
30 menit (rektal), 1 menit (IV), dan 0,25 sampai 2 jam IM
c. Distribusi : melintasi BBB dan sawar plasenta, didistribusikan kembali
dalam depot lemak dan jaringan, dapat masuk ASI. Volume distribusi:
1,1 L/kg (oral); 1,2 L/kg (IV); 1 L/kg (rektal). Ikatan protein plasma:
98% (oral); 95-98% (rektal).
d. Metabolisme
Dimetabolisme di hati melalui N-demetilasi oleh CYP3A4 dan
CYP2C19 menjadi N¬-desmethyldiazepam, hidroksilasi oleh CYP3A4
menjadi temazepam dan selanjutnya dimetabolisme menjadi oxazepam
e. Ekskresi: Melalui urin (terutama sebagai konjugat glukuronida).
Waktu paruh eliminasi: 44-48 jam (oral); 33-45 jam (IV); kira-kira 60-
72 jam (IM); 45-46 jam (rektal).
4. Bentuk Sediaan
Tablet, sirup, injeksi, klisma
5. Kontraindikasi : depresi pernapasan, gangguan hati berat, mistenia gravis,
serangan asma akut, glaukoma sudut sempit akut
6. Efek Samping : mengantuk, lemas, penglihatan kabur, gangguan
keseimbangan, kelemahan otot, tremor, mudah lupa, gelisah.

7. Curvit
Curcuma merupakan suplemen makanan yang berasal dari ekstrak temulawak
(Curcuma xanthorrhiza) yang digunakan untuk menambah atau meningkatkan
nafsu makan serta memperbaiki fungsi hati.
1. Indikasi
Untuk membantu memelihara kesehatan fungsi hati, serta membantu
memperbaiki nafsu makan
2. Dosis
Dewasa : 3x sehari 1 sendok teh (5 ml)
Anak- anak : 6-12 tahun : 2 x 1 sendok teh (5 ml)
Anak 1-6 tahun : 1 x 1 sendok teh (5 ml)
3. Bentuk sediaan
Sirup
8. Cefixime
Cefixime adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga. Cefixime
adalah antibiotik yang memiliki spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram
negatif maupun gram positif. Cefixime adalah antibiotik beta laktam yang
termasuk bakterisidal. Mekanisme aksi cefixime adalah dengan cara mengikat
satu atau penicillin-binding proteins (PBP) yang menghambat transpeptidasi
tahap terakhir dari sintesis peptidoglikan di dinding sel bakteri, sehingga
menghambat biosintesis dan mencegah pembentukan dinding sel yang
mengakibatkan kematian sel bakteri.
1. Indikasi dan Dosis
Indikasi:
a. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh
Escherichia coli dan Proteus mirabilis.
b. Otitis media
c. Faringitis dan tonsilitis
d. Bronkitis akut dan bronkitis kronis dengan eksaserbasi
Dosis:
Dosis dianjurkan untuk dewasa 200-400 mg perhari dengan dosis tunggal
atau dibagi 2 dosis dalam 7 hari, dapat diteruskan sampai 14 hari,
tergantung derajat keparahan infeksi.
Untuk anak-anak > 6 bulan sampai < 10 tahun dengan berat < 50
kg : 8 mg/kg perhari sebagai dosis tunggal atau terbagi 2 dosis, pada
anak > 10 tahun dengan berat > 50 kg : sama dengan dosis dewasa.
2. Bentuk sediaan: tablet salut selaput 100 mg dan 200 mg, sirup 100
mg/5ml; dan kapsul sediaan 50 mg, 100 mg dan 200 mg
3. Farmakodinamik:
Cefixime bersifat bakterisid dan berspektrum luas terhadap
mikroorganisme gram-positif dan gram-negatif. Seperti cephalosporin
oral yang lain, cefixime mempunyai aktivitas yang poten terhadap
mikroorganisme gram-positif seperti Streptococcus sp., Streptococcus
pneumoniae, dan gram-negatif seperti Branhamella catarrhalis,
Escherichia coli, Proteus sp., Haemophilus Influenzae.
Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis dinding sel. Cefixime
memiliki afinitas tinggi terhadap penicillin-binding proteins (PBPs) 1
(1a, 1b, dan 1c) dan 3, dengan tempat aktivitas yang bervariasi
tergantung jenis organismenya. Cefixime stabil terhadap β-laktamase
yang dihasilkan oleh beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang
baik terhadap organisme penghasil β-laktamase.
4. Farmakokinetik
Konsentrasi dalam serum : pemberian cefixime dosis 100, dan 200 mg,
kadar puncak serum yang dilewati setelah 4 jam pemberian yaitu masing-
masing 0.69, 1.13, dan 1.95 mikrogram/ml. Waktu paruh serum adalah
2,3 – 2,5 jam.
Distribusi (penetrasi ke dalam jaringan) penetrasi ke dalam sputum,
tonsil, jaringan mukosa, sinus maksila, otore, cairan empedu dan jaringan
kantung empedu baik.
Metabolisme: tidak adanya metabolit aktif sebagai antibakteri di dalam
serum utin.
Eliminasi: cefixime terutama diekskresikan melalui urin. Jumlah ekskresi
urin (sampai 12 jam) setelah pemberian oral 50, 100, atau 200 mg kurang
lebih 20-25% dari dosis yang diberikan
5. Efek Samping : konstipasi
6. Kontraindikasi : Penderita dengan riwayat shock atau hipersensitif
terhadap beberapa bahan dari obat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Albillos, A., & Tejedor, M. (2014). Secondary prophylaxis for esophageal variceal
bleeding. Clinics in liver disease, 18(2), 359-370.
Blachier M, Leleu H, Peck-Radosavljevic M, Valla DC, Roudot-Thoraval F. The
burden of liver disease in Europe: a review of available epidemiological
data. J Hepatol. 2013 Mar;58(3):593-608. doi: 10.1016/j.jhep.2012.12.005.
PMID: 23419824.
Brunton, L., Knollmann, B. and Hilal-Dandan, R., 2018. Goodman & Gilman's:
The Pharmacological Basis of Therapeutics. 13th ed. New York: McGraw-
Hill Education LLC.
Chawla YK, Vijay B. Clinical Clues to the Diagnosis of Cirrhosis. In: Lee SS,
Moreau R, editors. Cirrhosis A Practical Guide to Management. 1st ed.
New Jersey: Wiley Blackwell; 2015. p. 3–10.
Cheng LF, Wang ZQ, LiCZ, Cai FC, Huang QY, Linghu EQ, et al. Treatment of
gastric varices by endoscopic sclerotherapy using butyl cyanoacrylate:
10 years’ experience of 635 cases. Chin MedJ. 2007; 120(2):2081-5.
Cheney CP, Goldberg EM and Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension: an
overview. In: Friedman LS and Keeffe EB, eds. Handbook of Liver
Disease. 2nd ed. China, Pa: Churchill Livingstone;2004:125-138.
Dib N, Oberti F, Cales P. Current management of the complications of portal
hypertension: variceal bleeding and asites. CMAJ. 2006; 174(3):1433-
43.
Elwir, S., & Rahimi, R. S. (2017). Hepatic encephalopathy: an update on the
pathophysiology and therapeutic options. Journal of clinical and
translational hepatology, 5(2), 142.
Emiliana W. (2013). Sirosis Hepatis Child Pugh Class C Dengan Komplikasi
Asites Grade Iii Dan Hiponatremia. Medula Unila;1(5):51-57
Foris, L.A. and Haseeb, M. (2018) Spontaneous Bacterial Peritonitis. StatPearls
Publishing, Treasure Island.
Garcia-Tsao G, BoschJ. Management of varices and variceal hemorrhage in
cirrhosis. N engl J Med. 2010;362(2):823-32.
Lens, S., Alvarado-Tapias, E., Mariño, Z., Londoño, M. C., LLop, E., Martinez,
J., ... & García-Pagán, J. C. (2017). Effects of all-oral anti-viral therapy on
HVPG and systemic hemodynamics in patients with hepatitis C virus-
associated cirrhosis. Gastroenterology, 153(5), 1273-1283.
Marcellin P, Kutala BK. Liver diseases: A major, neglected global public health
problem requiring urgent actions and large-scale screening. Liver Int. 2018
Feb;38 Suppl 1:2-6. doi: 10.1111/liv.13682. PMID: 29427496.
Mccormick PA, Jalan R. Hepatic Cirrhosis. In: James S D, Anna S F, editors.
Sherlock’s Disease of the Liver and Biliary System. 13th ed. London:
Wiley Blackwell; 2018. p. 107–26.
MIMS, 2021. | MIMS Indonesia. [online] Mims.com
Muir AJ. Understanding the Complexities of Cirrhosis. Elsevier HS Journals.
2015;37(8):1822–36.
Nidegger D, Ragot S, Berthelemy P, Masliah C, Pilette C, Martin T, et al.
Cirrhosis and bleeding: the need for very early management. J Hepatol.
2003; 39(1):509-14.
Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
Parsian H. (2011). Is the aspartate transaminase to platelet ratio index adequate for
the assessment of liver fibrosis in patients with chronic liver
disease?. Hepatitis monthly, 11(5), 380–381.
Patidar, K. R., Kang, L., Bajaj, J. S., Carl, D., & Sanyal, A. J. (2018). Fractional
excretion of urea: a simple tool for the differential diagnosis of acute
kidney injury in cirrhosis. Hepatology, 68(1), 224-233.
Perz JF, Armstrong GL, Farrington LA, Hutin YJF, Bell BP. The contributions of
hepatitis B virus and hepatitis C virus infections to cirrhosis and
primary liver cancer worldwide. J Hepatol. 2006;45(1):529-38.
Saskara, P, M, A dan Suryadarma, I, G, A. 2012. Case Report: Liver Cirrhosis.
Riset Pembinaan Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar, Denpasar
Sauerbruch, T., & Wong, F. (2019). Treatment of oesophageal varices in liver
cirrhosis. Digestion, 99(4), 261-266.
Savlan, I., Liakina, V., & Valantinas, J. (2014). Concise review of current
concepts on nomenclature and pathophysiology of hepatic
encephalopathy. Medicina, 50(2), 75-81.
Sharma B, John S. Hepatic Cirrhosis. [Updated 2020 Nov 15]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Sulaiman HA, Julitasari, Sie A, Rustam M, Melani W, Corwin A,
Jennings GB. Prevalence of hepatitis B and C viruses in healthy
Indonesian blood donors. Trans R Soc Trop Med Hyg.
2008;89(1):167-70.
Tsochatzis, EA; Gerbes, AL; (2017) Diagnosis and treatment of ascites. Journal
of Hepatology , 67 (1) pp. 184-185.
Verhelst X, Geerts A, Vlierberghe H Van. Cirrhosis: Reviewing the Literature and
Future Perspectives. Cit EMJ. 2016;1(3):111–7
Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., & DiPiro, C. V. (2015). Pain
management. Pharmacotherapy handbook, Ninth ed. McGraw-Hill
Education, pp558–559.
World Heatlh Organization. Viral hepatitis in the WHO South-East Asia region.
New Delhi: WHO. 2011.
Zhang DY, Goossens N, Guo J, Tsai MC, Chou HI, Altunkaynak C, Sangiovanni
A, Iavarone M, Colombo M, Kobayashi M, Kumada H, Villanueva A,
Llovet JM, Hoshida Y, Friedman SL. A hepatic stellate cell gene
expression signature associated with outcomes in hepatitis C cirrhosis and
hepatocellular carcinoma after curative resection. Gut. 2016
Oct;65(10):1754-64. doi: 10.1136/gutjnl-2015-309655. Epub 2015 Jun 4.
PMID: 26045137; PMCID: PMC4848165.
Zhou WC, Zhang QB, Qiao L. Pathogenesis of liver cirrhosis. World J
Gastroenterol. 2014 Jun 21;20(23):7312-24. doi:
10.3748/wjg.v20.i23.7312. PMID: 24966602; PMCID: PMC4064077.
Zimmerman et al. Liver Transpl. 2008; 14: 633–8

Anda mungkin juga menyukai