Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Prosedur Medikolegal
Ilmu kedokteran forensik (Legal Medicine) adalah salah satu cabang spesialistik dari
ilmu kedokteran yang mempelajari tentang pemanfaatan ilmu kedokteran untu kepentingan
penegakan hukum serta keadilan pada kasus-kasus yang berhubungan dengan kesehatan raga
dan jiwa manusia, seperti kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan,
maupun jenazah meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi mencurigai adanya suatu
tindakan pidana.
Untuk dapat memberi bantuan yang maksimal bagi berbagai keperluan tersebut diatas,
seorang dokter dituntut untuk dapat memanfaatkan ilmu kedokteran yang dimilikinya secara
optimal. Dalam menjalankan fungsinya sebagai dokter yang diminta untuk membantu dalam
pemeriksaan kedokteran forensik oleh penyidik, dokter tersebut dituntut oleh undang-undang
untuk melakukannya dengan sejujur-jujurnya serta menggunakan pengetahuan yang sebaik-
baiknya. Bantuan yang wajib diberikan oleh dokter apabila diminta oleh penyidik antara lain
adalah melakukan pemeriksaan kedokteran forensik terhadap seseorang, baik terhadap bagian
tubuh atau benda yang diduga berasal dari tubuh manusia.
Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan jenazah, dokter diharapkan dapat
menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh jenazah, bilamana kelainan itu timbul, apa
penyebab serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan jenazah. Dalam hal jenazah
meninggal, dokter dihaapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan,
bagaimana mekanisme terjadinya kematian dan perkiraan cara kematian.
Wewenang penyidik untuk meminta keterangan ahli tersebut diperkuat dengan
kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta seperti yang tertuang dalam Pasal 179
KUHAP yang berbunyi, “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”.
Keterangan ahli tersebut dituangkan dalam bentuk Visum et Repertum (VeR), yaitu
keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga
bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk
kepentingan peradilan.
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati
ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di
bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan. Kewajiban dokter untuk membuat keterangan
ahli telah diatur dalam pasal 133 KUHAP. Pengertian keterangan ahli dipaparkan pada pasal
1 butir 28 KUHAP.
Visum et Repertum adalah suatu alat bukti yang sah sebagaimana yang ditulis dalam
Pasal 184 KUHAP. Penyidik berwenang untuk meminta keterangan ahli berupa Visum et
Repertum melalui surat permintaan visum (SPV) dalam proses penegakan hukum pada suatu
kasus yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal tersebut tercantum pada pasal 133
ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang jenazah baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.” Visum et
Repertum (VeR) merupakan keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati
ataupun bagian yang diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di
bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Yang termasuk kategori penyidik menuntut KUHAP Pasal 6 ayat (1) PP no. 27 Tahun
1983 Pasal 2 dan 3 ayat (1) yaitu Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan untuk
pembantu penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Apabila di suatu
kepolisian sektor tidak terdapat pejabat penyidik seperti diatas, maka Kepala Kepolisian
Sektor yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dikategorikan pula sebagai
penyidik karena jabatannya (PP no. 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).
Beberapa komponen yang diajukan oleh penyidik untuk surat permintaan visum
adalah kop surat kepolisian tempat permintaan visum tersebut dibuat, tujuan surat permintaan
tersebut, identitas jenazah pada kasus ini mayat, keterangan yang didapat saat ditemukannya
mayat, jenis pemeriksaan yang diminta, dan jabatan polisi yang meminta dibuatkannya. Jenis
pemeriksaan yang diminta adalah komponen yang penting sesuai dengan pasal yang diatur
pada pasal 133 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Permintaan keterangan ahli sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan
dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.”Pasal 133 ayat (3) KUHAP berbunyi “Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan dilak
dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan
mayat.”
Pihak yang berhak membuat VeR adalah dokter yang sudah mengucapkan sumpah
sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, sebagaimana tertuang dalam Stb 350 Tahun 1937.
VeR memuat kop surat, terdiri atas lima bagian, yaitu Pro Justisia di bagian atas,
Pendahuluan, Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup.
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat
identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada ibu jari kaki atau
bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertumnya harus jelas tertulis jenis
pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenazah, ataukah pemeriksaan
otopsi bedah mayat. Bila pemeriksaan otopsi bedah mayat yang diminta, maka penyidik
wajib memberitahu kepada keluarga jenazah dan menerangkan maksud dan tujuan
pemeriksaan. Otopsi dilakukan setelah keluarga jenazah tidak keberatan, atau bila dalam dua
hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga jenazah. Jenazah hanya boleh dibawa keluar
institusi kesehatan dan diberi surat keterangan kematian bila seluruh pemeriksaan yang
diminta oleh penyidik telah dilakukan. Apabila jenazah dibawa pulang paksa, maka baginya
tidak ada surat keterangan kematian. Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja,
maka kesimpulan visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan
dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena
tidak dilakukan bedah jenazah. Apabila dilakukan pemeriksaan bedah jenazah menyeluruh,
dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian.

Pemeriksaan Medis
Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap
bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya
cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab
kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan
dengan penyebab kematian.
Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas :
a. Otopsi anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran.
b. Otopsi klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu
penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa
kesesuaian antar diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan
sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli
waris sendiri yang memintanya.
c. Otopsi forensik/medikolegal, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal
akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun
bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya
penyidikan suatu perkara.
Otopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya
penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada jenazah, yang
diperoleh dari pemeriksaan medis. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah :
‐ Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
‐ Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.
‐ Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab dan pelaku kejahatan.
‐ Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.

Traumatologi
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksud dengan luka adalah suatu
keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan mekanik dapat dibedakan atas
kekerasan yang bersifat:
1. Kekerasan tajam
Gambaran umum luka yang diakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah
tepid an dinding luka yang rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan
dasar luka berbentuk garis atau titik. Luka akibat kekerasan benda tajam dapat berupa luka
iris atau sayat, luka tusuk dan luka bacok.
Selain gambaran umum luka tersebut di atas, luka iris atau sayat dan luka bacok
mempunyai kedua sudut luka lancip dan dalam luka tidak melebihi panjang luka.Sudut
luka yang lancip dapat terjadi dua kali pada tempat yang berdekatan akibat pergeseran
senjata sewaktu ditarik atau akibat bergeraknya jenazah. Bila dibarengi gerak memutar,
dapat menghasilkan luka yang tidak selalu berupa garis.
Pada luka tusuk, sudut luka dapat menunjukkan perkiraan benda penyebabnya,
apakah berupa pisau bermata satu atau bermata dua. Bila satu sudut luka lancip dan yang
lain tumpul, berarti benda penyebabnya adalah benda tajam bermata satu. Bila kedua sudut
luka lancip maka benda penyebabnya adalah benda tajam bermata dua.Benda tajam
bermata satu dapat menimbulkan luka tusuk dengan kedua sudut luka lancip apabila hanya
bagian ujung benda saja yang menyentuh kulit, shingga sudut luka dibentuk oleh ujung
dan sisi tajamnya.
Kulit di sekitar luka akibat kekerasan benda tajam biasanya tidak menunjukkan
adanya luka lecet atau luka memar, kecuali bila bagian gagang turut membentur kulit.
Pada luka tusuk, panjang luka biasanya tidak mencerminkan lebar benda tajam
penyebabnya, demikian pula panjang saluran luka biasanya tidak menunjukkan panjang
benda tajam tersebut.Hal ini disebabkan oleh factor elastisitas jaringan dan gerakan
jenazah.
Umumnya luka akibat kekerasan benda tajam pada kasus pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan memiliki ciri-ciri berikut:

Pembunuhan Bunuh diri Kecelakaan


Lokasi luka Sembarang Terpilih Terpapar
Jumlah luka Banyak Banyak Tunggal/banyak
Pakaian Terkena Tidak terkena Terkena
Luka tragis Ada Tidak ada Tidak ada
Luka percobaan Tidak ada Ada Tidak ada
Cedera sekunder Mungkin ada Tidak ada Mungkin ada
Ciri-ciri pembunuhan dapat dijumpai pada kasus pembunuhan yang disertai
perkelahian.Tetapi bila tanpa perkelahian maka lokasi luka biasanya pada daerah fatal dan
dapat tunggal. Luka tangkis merupakan luka yang terjadi akibat perlawanan jenazah dan
umumnya ditemukan pada telapak dan punggung tangan, jari-jari tangan, punggung lengan
bawah dan tungkai.
Pemeriksaan pada kain atau baju yang terkena pisau bertujuan untuk melihat
interaksi antara pisau, kain, tubuh, yaitu melihat letak kelainan, bentuk robekan, partikel
besi (reaksi biru berlin dilanjutkan dengan pemeriksaan spektroskopi), serat kain dan
pemeriksaan terhadap bercak darahnya.

2. Luka Akibat Benda Tumpul


Benda tumpul bila mengenai tubuh dapat menyebabkan luka lecet, memar dan luka
robek atau luka terbuka. Dan bila kekerasan benda tumpul tersebut sedemikian hebatnya
dapat pula menyebabkan patah tulang.
Luka lecet
Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh terbatas hanya pada lapisan
kulit yang paling luar/kulit ari. Luka lecet dapat diklasifikasikan menjadi luka lecet gores
karena benda runcing, luka lecet serut yang merupakan luka lecet gores yang lebih luas,
luka lecet tekan yang mencetak penekanan benda, dan luka lecet geser karena pergeseran
benda pada kulit. Secara umum, ciri-ciri luka lecet adalah;
‐ Bentuk luka tidak teratur.
‐ batas luka tidak teratur.
‐ tepi luka tidak rata.
‐ kadang-kadang ditemukan sedikit perdarahan.
‐ Permukaannya tertutup oleh krusta (serum yang telah mongering).
‐ Warna coklat kemerahan.
‐ Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya beberapa bagian yang masih ditutupi
epitel dan reaksi jaringan (inflamasi).
Walaupun kerusakan yang ditimbulkan minimal sekali, luka lecet mempunyai arti
penting dalam ilmu kedokteran kehakiman, oleh karena dari luka tersebut dapat
memberikan banyak petunjuk dalam banyak hal; misalnya:
a. Petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada alat-alat dalam tubuh, seperti
hancurnya jaringan hati, ginjal, limpa, yang dari pemeriksaan luar hanya tampak adanya
luka lecet di daerah yang sesuai dengan alat-alat dalam tersebut.
b. Petunjuk perihal jenis dan bentuk permukaan dari benda tumpul yang menyebabkan
luka, seperti lecet tekan pada kasus penjeratan atau penggantungan, luka lecet pada
kecelakaan lalu lintas, luka lecet pada kasus penembakan, dan luka lecet pada kasus
penjeratan dengan tangan, serta luka lecet tekan pada kecelakaan yang mengenai bagan
daripada benda keras yang tercetak sebagai luka lecet tekan pada tubuh.
c. Petunjuk dari arah kekerasan, yang dapat diketahui dari tempat dimana kulit ari yang
terkelupas banyak terkumpul pada tepi luka.

Luka memar
Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan
yang terjadi sewaktu orang tersebut masih hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh darah
kapiler akibat kekerasan benda tumpul. Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan
luka memar terjadi pada daerah dimana jaringan longgar, maka daerah luka memar yang
tampak seringkali tidak sebanding dengan kekerasan dan adanya jaringan longgar tersebut
memungkinkan berpindahnya memar ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi.
Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai bentuk dari
benda tumpul ialah dikenal dengan istilah perdarahan tepi (marginal haemorrhages).
Pada orang yang menderita penyakit defisiensi atau menderita kelainan darah,
kerusakan yang terjadi akibat trauma tumpul tersebut akan lebih besar dibandingkan pada
orang normal. Oleh sebab itu, besar kecilnya memar tidak dapat dijadika ukuran untuk
menentukan besar kecilnya benda penyebabnya atau kekerasan tidaknya pukulan. Pada
wanita atau orang-orang yang gemuk juga akan mudah menjadi memar.

Luka robek (terbuka)


Luka robek atau luka terbuka yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul dapat
terjadi bila kekerasan yang terjadi sedemikian kuatnya sehingga melampaui elastisitas
kulit atau otot, dan lebih dimungkinkan bila arah dari kekerasan tumpul tersebut
membentuk sudut dengan permukaan tubuh yang terkena benda tumpul.
Luka robek atau luka terbuka akibat kekerasan benda tumpul dapat dibedakan
dengan luka terbuka akibat kekerasan benda tajam, yaitu dari sifat-sifatnya serta hubungan
dengan jaringan disekitar luka. Luka robek mempunyai tepi yang tidak teratur, terdapat
jembatan-jembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi luka, akar rambut tampak
hancur atau tercabut bila kekerasannya di daerah yang berambut, di sekitar luka robek
sering tampak adanya luka lecet atau luka memar.
Oleh karena luka pada umumnya mendatangkan rasa nyeri yang hebat dan lambat
mendatangkan kematian, maka jarang dijumpai kasus bunuh diri dengan membuat luka
terbuka dengan benda tumpul.

Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos
(ilmu). Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kematian dan perubahan yang
terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Tanatologi ini
berguna dalam :
‐ Menentukan apakah jenazah sudah mati atau belum
‐ Berapa lama jenazah telah mati
‐ Menentukan apakah jenazah tersebut mati wajar atau tidak.

Penyebab, Cara, dan Mekanisme dari Kematian


Penyebab kematian adalah adanya perlukaan atau penyakit yang menimbulkan
kekacauan fisik pada tubuh yang menghasilkan kematian pada seseorang. Berikut ini adalah
penyebab kematian: luka tembak pada kepala, luka tusuk pada dada, adenokarsinoma pada
paru-paru, dan aterosklerosis koronaria.
Mekanisme kematian adalah kekacauan fisik yang dihasilkan oleh penyebab kematian
yang menghasilkan kematian. Contoh dari mekanisme kematian dapat berupa perdarahan,
septikemia, dan aritmia jantung. Ada yang dipikirkan adalah bahwa suatu keterangan tentang
mekanime kematian dapat diperoleh dari beberapa penyebab kematian dan sebaliknya. Jadi,
jika seseorang meninggal karena perdarahan masif, itu dapat dihasilkan dari luka tembak,
luka tusuk, tumor ganas dari paru yang masuk ke pembuluh darah dan seterusnya.
Kebalikannya adalah bahwa penyebab kematian, sebagai contoh, luka tembak pada abdomen,
dapat menghasilkan banyak kemungkinan mekanisme kematian yang terjadi, contohnya
perdarahan atau peritonitis.
Cara kematian menjelaskan bagaimana penyebab kematian itu datang. Cara kematian
secara umum dapat dikategorikan sebagai wajar, pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan
yang tidak dapat dijelaskan atau tidak wajar (pada mekanisme kematian yang dapat memiliki
banyak penyebab dan penyebab yang memiliki banyak mekanisme, penyebab kematian dapat
memiliki banyak cara). Seseorang dapat meninggal karena perdarahan masif (mekanisme
kematian) dikarenakan luka tembak pada jantung (penyebab kematian), dengan cara kematian
secara pembunuhan (seseorang menembaknya), bunuh diri (menembak dirinya sendiri),
kecelakaan (senjata jatuh), atau tidak dapat dijelaskan (tidak dapat diketahui apa yang
terjadi).
Tanda Kematian
a. Lebam mayat (Livor mortis)
Nama lain ligor mortis adalah lebam mayat, post mortem lividity, post mortem
hypostatic, post mortem sugillation, atau vibices. Setelah kematian klinis maka eritrosit
akan menempati tempat terbawah karena gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan
venula, membentuk bercak berwarna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh,
kecuali pada bagian tubuh yang terkena alas keras. Darah tetap cair karena adanya
pembuluh darah. Livor mortis biasanya muncul antara 30 menit sampai 2 jam setelah
kematian. Lebam mayat muncul bertahap, biasanya mencapai perubahan warna yang
maksimal dalam 8-12 jam. Sebelum menetap, lebam mayat akan berpindah bila tubuh
mayat dipindahkan. Lebam mayat menetap tidak lama setelah perpindahan atau turunnya
darah, atau ketika darah keluar dari pembuluh darah ke sekeliling jaringan lunak yang
dikarenakan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah. Fiksasi dapat terjadi setelah 8-12
jam jika dekomposisi terjadi cepat, atau pada 24-36 jam jika diperlambat dengan suhu
dingin. Untuk mengetahui bahwa lebam mayat belum menetap dapat didemostrasikan
dengan melakukan penekanan ke daerah yang mengalami perubahan warna dan tidak ada
kepucatan pada titik dimana dilakukan penekanan.Menetapnya lebam mayat disebabkan
oleh tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi.
Selain itu kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan
tersebut. Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan
menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam saat pemeriksaan.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi lebam mayat, yaitu:
1. Volume darah yang beredar
Volume darah yang banyak menyebabkan lebam mayat lebih cepat terbentuk dan lebih
luas, sebaliknya volume darah sedikit menyebabkan lebam mayat lebih lambat
terbentuk dan terbatas.
2. Lamanya darah dalam keadaan cepat cair
Lamanya darah dalam keadaan cepat cair tergantung dari fibrinolisin dan kecepatan
koagulasi post-mortem.
3. Warna lebam
Ada 5 warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk memperkirakan penyebab
kematian, yaitu:
 Merah kebiruan merupakan warna lebam normal.
 Merah terang menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin.
 Merah gelap menunjukkan asfiksia
 Biru menunjukkan keracunan nitrit.
 Coklat menandakan keracunan aniline.
Walaupun lebam mayat mungkin membingungkan dengan memar, memar sangat jarang
dibingungkan dengan lebam mayat. Penekanan pada daerah yang memar tidak akan
menyebabkan kepucatan. Insisi pada daerah yang mengalami kontusio atau memar
menunjukkan perdarahan yang menyebar ke jaringan lunak.Perbedaannya, insisi pada
daerah dengan lebam mayat menampakkan darah sebatas di pembuluh darah, tanpa
darah di jaringan lunak.Lebam mayat dapat kita temukan dalam organ tubuh dalam
mayat. Masing-masing sesuai dengan posisi mayat:
 Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita lihat pada
belakang kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari di bawah
kuku, dan kadang-kadang di samping leher. Tidak ada lebam yang dapat kita lihat
pada daerah skapula, gluteus dan bekas tempat dasi.
 Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap dapat kita lihat pada
dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.
 Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat tergantung dapat kita lihat pada
ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.
 Lebam mayat pada organ dalam mayat dengan posisi mayat terlentang dapat kita
temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-paru, dorsal
hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus bawah (dalam rongga
panggul).
Medikolegal lebam mayat:
 Merupakan tanda kematian.
 Menentukan posisi mayat dan penyebab kematian.
 Memperkirakan saat kematian.
Livor mortis tidak terlalu penting dalam menentukan waktu kematian.Bagaimanapun,
itu penting dalam menentukan apakah tubuh mayat telah dipindahkan.

b. Kaku mayat (Rigor mortis)


Rigor mortis atau kekakuan dari tubuh mayat setelah kematian dikarenakan
menghilangnya adenosine trifosfat (ATP) dari otot.ATP adalah sumber utama dari energi
untuk kontraksi otot.Otot memerlukan pemasukan yang berkelanjutan dari ATP untuk
berkontraksi karena jumlah yang ada hanya cukup untuk menyokong kontraksi otot selama
beberapa detik.Pada ketiadaan dari ATP, filament aktin dan myosin menjadi kompleks
yang menetap dan terbentuk rigor mortis.Kompleks ini menetap sampai terjadi
dekomposisi.
Penggunaan yang banyak dari otot sebelum kematian akan menimbulkan penurunan
pada ATP dan mempercepat onset terjadinya rigor mortis, hingga tidak ada ATP yang
diproduksi setelah kematian. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan yang
bermakna pada ATP menjelang kematian adalah olahraga yang keras atau berat, konvulsi
yang parah, dan suhu tubuh yang tinggi.Kejadian yang seketika dari rigor mortis diketahui
sebagai kadaverik spasme. Rigor mortis menghilang dengan timbulnya
dekomposisi.Pendinginan atau pembekuan akan menghambat onset dari rigor mortis
selama dibutuhkan. Rigor mortis dapat “broken” dengan peregangan yang pasif dari otot-
otot. Setelah rigor mortis “broken”, itu tidak akan kembali. Jika hanya sebagian rigor
mortis yang dilakukan peregangan, maka masih akan ada sisa rigor mortis yang
“unbroken”.Rigor mortis biasanya muncul 2-4 jam setelah kematian, dan muncul
keseluruhan dalam 6-12 jam. Ini dapat berubah-rubah. Ketika rigor mortis terjadi,
menyerang semua otot-otot pada saat yang bersamaan dan kecepatan yang sama. Namun
tampak lebih jelas pada otot-otot yang lebih kecil, hal ini disebabkan otot kecil memiliki
lebih sedikit cadangan glikogen. Jadi rigor mortis dikatakan muncul pertama kali pada
otot-otot yang lebih kecil seperti rahang, dan berurutan menyebar ke kelompok otot besar.
Penampakan awal dari rigor mortis adalah pada rahang, ektremitas atas dan ekstremitas
bawah. Kira-kira 0-4 jam pasca mati klinis, mayat masih dalam keadaan lemas, ini yang
disebut relaksasi primer. Kemudian terbentuk rigor mortis. Setelah 36 jam pasca mati
klinis, tubuh mayat akan lemas kembali sesuai urutan terbentuknya kekakuan, ini disebut
relaksasi sekunder.

Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:
1. Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap
sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau emosi
yang hebat sesaat sebelum mati.
2. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga
serabut otot memendek dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan
dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang lama.
3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot.
4. Keadaan-keadaan yang mempercepat terjadinya rigor mortis, antara lain aktivitas fisik
sebelum kematian, suhu tubuh tinggi, suhu lingkungan tinggi, usia anak-anak dan orang
tua, dan gizi yang buruk.
Ada 4 kegunaan rigor mortis:
1. Menentukan lama kematian.
2. Menentukan posisi mayat setelah terjadi mortis.
3. Merupakan tanda pasti kematian.
4. Menentukan saat kematian.

c. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)


Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya produksi panas
dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-menerus. Pengeluaran panas tersebut
disebabkan perbedaan suhu antara mayatdengan lingkungannya. Suhu tubuh pada orang
meninggal secara bertahap akan sama dengan lingkungan atau media sekitarnya karena
metabolisme yang menghasilkan panas terhenti setelah orang meninggal. Pada jam
pertama setelah kematian, penurunan suhu berjalan lambat karena masih ada produksi
panas dari proses gilkogenolisis dan sesudah itu penurunan akan cepat terjadi dan menjadi
lambat kembali. Gambaran kurva penurunan suhu ini seperti huruf ‘S’ terbalik (sigmoid).
Penurunan suhu tubuh dipengaruhi:
1) Faktor lingkungan (media)
Penurunan suhu tubuh cepat bila ada perbedaan besar suhu lingkungan dengan tubuh
mayat.Semakin rendah suhu media tempat mayat terletak semakin cepat penurunan
suhu tubuh mayat. Penurunan suhu akan cepat bila intensitas aliran udara besar, udara
yang mengalir, dan udara lembab.
2) Keadaan fisik tubuh
Penurunan suhu tubuh makin lambat bila jaringan lemak dan otot makin tebal. Pada
mayat dengan tubuh kurus akan lebih cepat dibanding yang gemuk.
3) Usia
Penurunan suhu akan cepat pada anak dan orang tua. Pada bayi akan lebih cepat karena
luas tubuh permukaan bayi lebih besar.
4) Pakaian yang menutupi
Makin berlapis pakaian menutupi tubuh, penurunan suhu makin lambat.
5) Suhu tubuh sebelum kematian
Penyakit dengan suhu tubuh tinggi pada saat meninggal seperti kerusakan jaringan
otak, perdarahan otak, infeksi, asfiksia, penjeratan akan didahului peningkatan suhu
tubuh, hal ini menyebabkan penurunan suhu tubuh lebih cepat.
Beberapa dokter mencoba untuk menentukan berapa lama seseorang telah meninggal
dari suhu tubuhnya.Penentuan waktu kematian dari suhu tubuh biasanya ditegakkan
dengan menggunakan rumus. Nomor dari rumus tersebut telah ditemukan, beberapa
mungkin sedikit membingungkan. Ada dua rumus yang paling mudah digunakan adalah:
1. Waktu sejak kematian = 37oC – Suhu rektal (⁰C) + 3
98.6oF – Suhu rektal (⁰F)
2. Waktu sejak kematian = 1.5
Masalah pada semua rumus-rumus yang menggunakan suhu tubuh untuk menetukan
waktu kematian adalah bahwa mereka berdasarkan dari asumsi bahwa suhu tubuh pada
saat waktu kematian adalah “normal”. Masalah yang kedua: Walaupun jika kita tahu
berapa suhu normal itu, apakah pada waktu kematian, suhu dalam keadaan normal?
Olahraga berat dapat meningkatkan suhu rektal sampai 104oF.Infeksi secara nyata dapat
meningkatkan suhu tubuh.Perdarahan intraserebral atau perlukaan otak dapat membuat
sistem termoregulasi dari batang otak tidak berfungsi, yang menyebabkan peningkatan dari
suhu tubuh.Paparan oleh dingin dapat menyebabkan hipotermia, yaitu penurunan suhu
tubuh.

d. Pembusukan (dekomposisi)
Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis dan putrefaction. Autolisis
menghancurkan sel-sel dan organ-organ melalui proses kimia aseptik yang disebabkan
oleh enzim intraselular. Proses kimia ini, dipercepat oleh panas, diperlambat oleh dingin,
dan dihentikan oleh pembekuan atau penginaktifasi enzim oleh pemanasan. Organ-organ
yang kaya dengan enzim akan mengalami autolisis lebih cepat daripada organ-organ
dengan jumlah enzim yang lebih sedikit. Jadi, pankreas mengalami autolisis lebih dahulu
daripada jantung.Bentuk kedua dari dekomposisi, yang mana pada setiap individu
berbeda-beda adalah putrefaction. Ini disebabkan oleh bakteri dan fermentasi. Setelah
kematian, bakteri flora dari traktus gastrointestinal meluas keluar dari tubuh,
menghasilkan putrefaction. Ini mempercepat terjadinya sepsis seseorang karena bakteri
telah meluas keseluruh tubuh sebelum kematian.
Onset dari putrefaction tergantung pada dua faktor utama: lingkungan dan tubuh.
Pada iklim panas, yang lebih penting dari dua faktor tersebut adalah lingkungan. Banyak
penulis akan memberikan rangkaian dari kejadian-kejadian dari proses dekomposisi dari
tubuh mayat. Yang pertama adalah perubahan warna menjadi hijau pada kuadran bawah
abdomen, sisi kanan lebih daripada sisi kiri, biasanya pada 24-36 jam pertama. Ini diikuti
oleh perubahan warna menjadi hijau pada kepala, leher, dan pundak; pembengkakan dari
wajah disebabkan oleh perubahan gas pada bakteri; dan menjadi seperti pualam. Seperti
pualam ini dihasilkan oleh hemolisis dari darah dalam pembuluh darah dengan reaksi dari
hemoglobin dan sulfida hydrogen dan membentuk warna hijau kehitaman sepanjang
pembuluh darah. Lama kelamaan tubuh mayat akan menggembung secara keseluruhan
(60-72 jam) diikuti oleh formasi vesikel, kulit menjadi licin, dan rambut menjadi licin.
Pada saat itu, tubuh mayat yang pucat kehijauan menjadi warna hijau kehitaman.
Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas, pakaian yang tebal, dan sepsis, semua
yang mempertahankan tubuh tetap hangat. Dekomposisi diperlambat oleh pakaian yang
tipis atau oleh tubuh yang berbaring pada permukaan yang terbuat dari besi atau batu yang
mana lebih cepat menjadi dingin karena terjadi konduksi. Tubuh mayat yang membeku
tidak akan mengalami dekomposisi sampai di keluarkandari lemari es.

e. Mumifikasi
Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami dehidrasi
secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada dekomposisi. Pada saat kulit
mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam, organ-organ interna akan berlanjut
memburuk, seringkali konsistensinya menurun menjadi berwarna seperti dempul hitam
kecoklatan. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang
baik, tubuh yang dehidrasi, dan waktu yang lama (12 – 14 minggu). Mumifikasi jarang
dijumpai pada cuaca yang normal.

f. Adiposera
Adakalanya, tubuh mayat yang terdekomposisi akan bertransformasi ke arah
adiposera. Adiposera adalah suatu bentuk tetap, berwarna putih keabu-abuan sampai
coklat lilin seperti bahan yang membusuk dan berminyak, asam stearat. Ini dihasilkan oleh
konversi dari lemak yang netral selama perbusukan ke asam yang tidak dapat dijelaskan.
Hal tersebut lebih nyata pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi dimana saja bila
terdapat lemak. Adiposera adalah benar-benar suatu variasi dari putrefaction.
Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau dalam
keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami hidrolisis
untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase endogen dan enzim
bacterial. Enzim bakterial, umumnya berasal dari Clostridium perfringens, yang
mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi. 4 Adiposera dikatakan
memakan waktu beberapa bulan untuk berkembang, walaupun perkembangannya juga
dapat terjadi singkat hanya selama beberapa minggu. Hal ini bergantung pada tingkat
perlawanan dari bakteriologik dan degradasi dari kimia.
Toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang mekanisme kerja dan efek yang tidak
diinginkan dari bahan kimia yang bersifat racun serta dosis yang berbahaya terhadap tubuh
manusia (Prasetya Putri, 2011).
Macam-macam toksikologi:
1. Toksikologi klinis adalah bidang ilmu kedokteran yang memberikan perhatian terhadap
penyakit yang disebabkan oleh bahan toksik atau hubungan yang unik dan spesifik dari
bahan toksik tersebut. Efek merugikan/toksik pada sistem biologis dapat disebabkan
oleh bahan kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta suasananya cocok
untuk menimbulkan keadaan toksik.
2. Toksikologi lingkungan: mempelajari efek dari bahan polutan terhadap kehidupan dan
pengaruhnnya pada ekosistem, yang digunakan untuk mengevaluasi kaitan antara
manusia dengan polutan yang ada di lingkungan.
3. Toksikologi forensik: mempelajari aspek medikolegal dari bahan kimia yang mempunyai
efek membahayakan manusia/hewan sehingga dapat dipakai untuk membantu
mencari/menjelaskan penyebab kematian pada penyelidikan seperti kasus pembunuhan
(Buchari, 2010).
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan
minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya
reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila mengenai
tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan
kematian. Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang
dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek
yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian (Santoso, 2005).
Efek toksisitas yang ditimbulkan oleh keracunan makanan/minuman dapat bersifat
akut atau kronis. Keracunan akut ditimbulkan oleh bahan-bahan beracun yang memiliki
toksisitas yang tinggi, dimana dengan kuantitas yang kecil sudah dapat menimbulkan efek
fisiologis yang berat. Jenis keracunan ini umumnya mudah diidentifikasi danmenjadi
perhatian masyarakat. Sebaliknya keracunan yang bersifat kronis efek toksisitasnya baru
dapat terlihat atau teridentifikasi dalam waktu yang lama, umumnya tidak disadari dan tidak
mendapat perhatian. Peningkatan yang berarti terhadap jumlah penderita penyakit yang dapat
dipicu oleh pengaruh bahan beracun seperti tumor (kanker), gangguan enzimatik, gangguan
metabolisme, gangguan sistem syaraf, mungkin saja merupakan akibat dari penggunaan
berbagai jenis bahan kimia yang bersifat toksis dalam makanan yang dikonsumsi masyarakat
(Wirasuta, 2007).

Macam-macam dosis
1. Dosis pemakaian: dosis normal yang dipakai seseorang tetapi tujuannya bukan untuk
pengobatan. Misalnya untuk menjaga kesehatan tubuh.
2. Dosis terapi: dosis yang cukup memberikan daya penyembuhan yang optimal
3. Dosis minimal: dosis terkecil yang masih dapat memberikan efek terapi
4. Dosis maksimal: dosis terbesar untuk sekali pemakaian atau untuk 24 jam tanpa
memperlihatkan efek toksik
5. Dosis toksik: dosis yang sedemikian besarnya dapat menunjukkan efek toksik
6. Dosis letal: dosis yang sedemikian besarnya dapat menyebabkan kematian pada hewan
percobaan (Aria, 2008).

Cara masuk racun ke dalam tubuh


Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara masuk lain,
berturut-turut ialah intravena, intramuskular, intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling
lambat ialah bila melalui kulit yang sehat (Kedokteran Forensik, 1997).

Cara kerja racun di dalam tubuh


1. Racun yang bekerja lokal
ü Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat
ü Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2
ü Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol
Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan sensasi nyeri
yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh
syok akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari perforasi
yang terjadi pada saluran pencernaan.
2. Racun yang bekerja sistemik
Walaupum kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya memiliki
akibat/afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila
dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.
ü Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan syaraf pusat
ü Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung
ü Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang
ü CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan
ü Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal
ü Insektisida golongan hidrokarbon terutama berpengaruh terhadap hati
3. Racun yang bekerja lokal dan sistemik
Misalnya:
ü Asam oksalat
ü Asam karbol
Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan depresi pada
susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan karena sebagian dari asam
karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh terhadap otak.
ü Arsen
ü Garam Pb (Emo, 2010).

Faktor yang mempengaruhi kerja racun


1. Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara
pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tertentu akan
memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun
tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat yang
sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja pada tubuh
jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi
melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui
kulit yang sehat.
2. Keadaan tubuh
ü Umur
Pada umumnya anak-anak dan rang tua lebih sensitif terhadap racun bila dibandingkan
dengan orang dewasa. Tetapi beberapa jenis racun seperti barbiturate dan belladonna,
justru anak-anak akan lebih tahan.
ü Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya akan
lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang
masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti
karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik,
demikian halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang
disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka
penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi
kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian
seseorang karena penyakit tanpa penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan
arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip dengan gejala
gastrointeritis yang lumrah dijumpai.
ü Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat menimbulkan gejala-
gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat
bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi
misalnya pada pecandu narkotik, yang dalam beberapa waktu tidak menggunakan
narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para
pecandu tersebut bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.
ü Hipersensitif (alergi idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-preparat yang
mengandung yodium menyebabkan kematian, karena si korban sangat rentan terhadap
preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh
dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian korban memang benar disebabkan
oleh karena hipersinsitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian preparat-preparat
mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut dapat
mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi preparat
tersebut.
3. Sifat Racunnya sendiri
ü Dosis
Besar kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan.
Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan intoleransi
individual. Pada toleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk
ke dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat
bersifat bawaan/kongenital atau toleransi yang didapat setelah seseorang menderita
penyakit yang mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi melakukan
detoksifikasi dan ekskresi.
ü Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat korosif,
konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut
berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah yang
berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun
tersebut.
ü Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila
dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam
keadaan lambung kosong tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan
orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.
ü Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau CO,
dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis letal. Dari segi hukum kedokteran
kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan,
terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan
dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain yang mempunyai sifat
aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan
bahwa kematian korban disebabkan karena anafilaksi yang fatal atau karena adanya
toleransi.
ü Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan
menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang
sebaliknya.
ü Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu macam
racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling
menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk
pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi
pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut obat-obatan
golongan narkotik (Santoso, 2005).

Pemeriksaan toksikologi
Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun umumnya tidak akan di
jumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat dijadikan pegangan untuk menegakan
diagnose atau menentukan sebab kematian karena racun suatu zat. Jadi pemeriksaan
toksikologi mutlak harus dilakukan untuk menentukan adanya racun pada setian kasus
keracunan atau yang diduga mati akibat racun. Setelah mayat si korban dibedah oleh dokter
kemudian diambil dan dikumpulkan jaringan-jaringan atau organ-organ tubuh si korban
untuk dijadikan barang bukti dan bahan pemeriksaan toksikologi. Prinsip pengambilan
sampel pada keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya setelah disishkan untuk
cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologis.
Prinsip pengambilan sample pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik.
Pengambilan sample untuk pemeriksaan toksikologi adalah sebagai berikut :
1. Lambung dengan isinya.
2. Seluruh usus dengan isinya
3. Darah, dari sentral (jantung), dan dari perifer (v. jugularis. A. femoralis dsb).
4. Hati.
5. Ginjal, diambil keduanya.
6. Otak.
7. Urin.
8. Empedu bersama-sama dengan kantung empedu.
9. Limpa.
10. Paru-paru
11. Lemak badan.

Dasar Hukum
Pasal 202
(1) Barangsiapa memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam
perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan
orang lain, padahal diketahuinya bahwa karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang ber- salah diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 203
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan bahwa barang sesuatu
dimasukkan ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk
umum atau untuk dipakai oleh, atau bersama-sama dengan orang lain, sehingga karena
perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 204
(1) Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang
diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat; berhahaya itu tidak
diberi tahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakihatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 205
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan barang-barang yang
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau di bagi-bagikan tanpa
diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(3) Barang-barang itu dapat disita (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2010).

Undang-undang RI No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika


‐ Penyalahgunaan (pasal 59 ayat 1a)
‐ Pengedar (pasal 59 ayat 1c)
‐ Produsen (pasal 59 ayat 1 dan 2)
Undang-undang RI No.35 Tahun 2009 tentang narkotika
Kepres RI No. 3 tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuma beralkohol.
Keracunan Narkoba
Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan,
pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara
dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain sebagainya (Kurniawan, 2008)
Narkoba dibagi dalam 3 jenis :
1. Narkotika
2. Psikotropika
3. Zat adiktif lainnya

Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan ( Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009).
Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :
a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi
menyebabkan ketergantunggan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun,
kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw
adalah heroin tidak murni berupa bubuk.
b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin dan turunannya,
benzetidin, betametadol.
c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya (Martono,
2006).

Tanda dan Gejala Keracunan


Keracunan dapat terjadi secara akut maupun kronik. Keracunan akut biasanya terjadi
akibat percobaan bunuh diri, tetapi dapat pula terjadi pada kecelakaan dan pembunuhan.
Gejala keracunan diawali dengan eksitasi susuan saraf yang kemudian disusul oleh narkosis.
Penderita merasa ngantuk, yang makin lama makin dalam dan berakhir dengan keadaan
koma, terdapat relaksasi otot-otot sehingga lidah dapat menutupi saluran nafas, nadi kecil dan
lemah, pernafasan sukar, irregular, pernafasan dangkal – lambat, suhu badan turun, muka
pucat, pupil miosis (pin-head size) yang akan melebar kenbali setelah terjadi anoksia, tekanan
darah menurun hingga syok.

Pemeriksaan Forensik
Pada korban hidup perlu dilakukan pengambilan darah dan urin untuk pemeriksaan
laboratorium. Pada pemeriksaan luar jenazah, dapat ditemukan adanya bekas suntikan,
pembesaran kelenjar getah bening setempat, lepuh kulit (skin blister), tanda asfiksia (busa
halus dari lubang hidung dan mulut), sianosis pada ujung jari dan biir, perdarahan petekial
pada konjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan cara sniffing (menghirup), kadang
dijumpai perforasi septum nasi. Hasil pemeriksaan dalam menunjukkan darah berwarna gelap
dan cair, terdapat gumpalan masa coklat kehitaman pada lambung, trakea dan bronkus
kongesti dan berbusa, paru kongesti dan edema.

Pemeriksaan Laboratorium
Bahan terpenting yang harus diambil adalah urin, cairan empedu dan jaringan sekitar
suntikan. Untuk pemeriksaan toksikologi dilakukan dengan :
- Uji Marquis : 40 tetes formaldehyde 40% dalam 60 ml asam sulfat pekat. Tes ini cukup
sensitive dengan sensitifitas berkisar antara 0,05 mikrogram – 1 mikrogram. Hasil positif
unutk opium, morfin, heroin, kodein adalah warna merah-ungu.
- Uji Mikrokristal : lebih sensitif dan lebih khas. Caranya 1 tetes larutan narkotika ditambah
dengan reagen dan dengan mikroskop dilihat kristal apa yang terbentuk. Untuk morfin berupa
plates, heroin berupa fine dendrites atau rosettes, kodein berupa gelatinous rosettes dan
pethidin berupa feathery rosettes
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peraturan


Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Edisi pertama, cetakan kedua. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A, Sidhi et al. Ilmu
Kedokteran Forensik. Edisi pertama, cetakan kedua. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.
3. Idris MA. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama, cetakan pertama. Jakarta:
Binarupa Aksara, 1997.
4. Alifia, U, 2008. Apa Itu Narkotika dan Napza. Semarang: PT Bengawan Ilmu.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van
Strafrecht).http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kuhpidana.htm#b1_2 . Diakses tanggal 21 Juni
2012.
6. Kurniawan, J, 2008. Arti Definisi & Pengertian Narkoba Dan Golongan/Jenis Narkoba
Sebagai Zat Terlarang. http://juliuskurnia.wordpress.com/2008/04/07/arti-definisi-
pengertian-narkoba-dan-golonganjenis-narkoba-sebagai-zat-terlarang. Diakses tanggal 20
Juni 2012.
7. Mun’im Idries, Abdul. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto.
8. Prasetya Putri, Indah. 2011.
Toksikologi.http://imindah.blogspot.com/2011/06/toksikologi.html . Diakses tanggal 20
Juni 2012.
9. Sinaga, Edward J. 2010. Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum
Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan
Racun.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20996/3/Chapter%20II.pdf .
Diakses tanggal 21 Juni 2012.
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
11. Wirasuta, IMAG. 2007. Toksikologi
Umum.http://www.scribd.com/doc/27116301/Toksikologi-Umum . Diakses tanggal 20
Juni 2012.
12. Wirasuta, IMAG. 2009. Analisis Toksikologi Forensik. http://gelgel-
wirasuta.blogspot.com/2009/12/analisis-toksikologi-forensik.html#! . Diakses tanggal 16
Juni 2012.

Anda mungkin juga menyukai