TINJAUAN PUSTAKA
Prosedur Medikolegal
Ilmu kedokteran forensik (Legal Medicine) adalah salah satu cabang spesialistik dari
ilmu kedokteran yang mempelajari tentang pemanfaatan ilmu kedokteran untu kepentingan
penegakan hukum serta keadilan pada kasus-kasus yang berhubungan dengan kesehatan raga
dan jiwa manusia, seperti kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan,
maupun jenazah meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi mencurigai adanya suatu
tindakan pidana.
Untuk dapat memberi bantuan yang maksimal bagi berbagai keperluan tersebut diatas,
seorang dokter dituntut untuk dapat memanfaatkan ilmu kedokteran yang dimilikinya secara
optimal. Dalam menjalankan fungsinya sebagai dokter yang diminta untuk membantu dalam
pemeriksaan kedokteran forensik oleh penyidik, dokter tersebut dituntut oleh undang-undang
untuk melakukannya dengan sejujur-jujurnya serta menggunakan pengetahuan yang sebaik-
baiknya. Bantuan yang wajib diberikan oleh dokter apabila diminta oleh penyidik antara lain
adalah melakukan pemeriksaan kedokteran forensik terhadap seseorang, baik terhadap bagian
tubuh atau benda yang diduga berasal dari tubuh manusia.
Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan jenazah, dokter diharapkan dapat
menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh jenazah, bilamana kelainan itu timbul, apa
penyebab serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan jenazah. Dalam hal jenazah
meninggal, dokter dihaapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan,
bagaimana mekanisme terjadinya kematian dan perkiraan cara kematian.
Wewenang penyidik untuk meminta keterangan ahli tersebut diperkuat dengan
kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta seperti yang tertuang dalam Pasal 179
KUHAP yang berbunyi, “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”.
Keterangan ahli tersebut dituangkan dalam bentuk Visum et Repertum (VeR), yaitu
keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga
bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk
kepentingan peradilan.
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati
ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di
bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan. Kewajiban dokter untuk membuat keterangan
ahli telah diatur dalam pasal 133 KUHAP. Pengertian keterangan ahli dipaparkan pada pasal
1 butir 28 KUHAP.
Visum et Repertum adalah suatu alat bukti yang sah sebagaimana yang ditulis dalam
Pasal 184 KUHAP. Penyidik berwenang untuk meminta keterangan ahli berupa Visum et
Repertum melalui surat permintaan visum (SPV) dalam proses penegakan hukum pada suatu
kasus yang diduga merupakan suatu tindak pidana. Hal tersebut tercantum pada pasal 133
ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang jenazah baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.” Visum et
Repertum (VeR) merupakan keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati
ataupun bagian yang diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di
bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Yang termasuk kategori penyidik menuntut KUHAP Pasal 6 ayat (1) PP no. 27 Tahun
1983 Pasal 2 dan 3 ayat (1) yaitu Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan untuk
pembantu penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Apabila di suatu
kepolisian sektor tidak terdapat pejabat penyidik seperti diatas, maka Kepala Kepolisian
Sektor yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dikategorikan pula sebagai
penyidik karena jabatannya (PP no. 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).
Beberapa komponen yang diajukan oleh penyidik untuk surat permintaan visum
adalah kop surat kepolisian tempat permintaan visum tersebut dibuat, tujuan surat permintaan
tersebut, identitas jenazah pada kasus ini mayat, keterangan yang didapat saat ditemukannya
mayat, jenis pemeriksaan yang diminta, dan jabatan polisi yang meminta dibuatkannya. Jenis
pemeriksaan yang diminta adalah komponen yang penting sesuai dengan pasal yang diatur
pada pasal 133 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Permintaan keterangan ahli sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan
dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.”Pasal 133 ayat (3) KUHAP berbunyi “Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan dilak
dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan
mayat.”
Pihak yang berhak membuat VeR adalah dokter yang sudah mengucapkan sumpah
sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, sebagaimana tertuang dalam Stb 350 Tahun 1937.
VeR memuat kop surat, terdiri atas lima bagian, yaitu Pro Justisia di bagian atas,
Pendahuluan, Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup.
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat
identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada ibu jari kaki atau
bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertumnya harus jelas tertulis jenis
pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenazah, ataukah pemeriksaan
otopsi bedah mayat. Bila pemeriksaan otopsi bedah mayat yang diminta, maka penyidik
wajib memberitahu kepada keluarga jenazah dan menerangkan maksud dan tujuan
pemeriksaan. Otopsi dilakukan setelah keluarga jenazah tidak keberatan, atau bila dalam dua
hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga jenazah. Jenazah hanya boleh dibawa keluar
institusi kesehatan dan diberi surat keterangan kematian bila seluruh pemeriksaan yang
diminta oleh penyidik telah dilakukan. Apabila jenazah dibawa pulang paksa, maka baginya
tidak ada surat keterangan kematian. Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja,
maka kesimpulan visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan
dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena
tidak dilakukan bedah jenazah. Apabila dilakukan pemeriksaan bedah jenazah menyeluruh,
dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian.
Pemeriksaan Medis
Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap
bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya
cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab
kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan
dengan penyebab kematian.
Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas :
a. Otopsi anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran.
b. Otopsi klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu
penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa
kesesuaian antar diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan
sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli
waris sendiri yang memintanya.
c. Otopsi forensik/medikolegal, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal
akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun
bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya
penyidikan suatu perkara.
Otopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya
penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada jenazah, yang
diperoleh dari pemeriksaan medis. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah :
‐ Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
‐ Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.
‐ Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab dan pelaku kejahatan.
‐ Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.
Traumatologi
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksud dengan luka adalah suatu
keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan mekanik dapat dibedakan atas
kekerasan yang bersifat:
1. Kekerasan tajam
Gambaran umum luka yang diakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah
tepid an dinding luka yang rata, berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan
dasar luka berbentuk garis atau titik. Luka akibat kekerasan benda tajam dapat berupa luka
iris atau sayat, luka tusuk dan luka bacok.
Selain gambaran umum luka tersebut di atas, luka iris atau sayat dan luka bacok
mempunyai kedua sudut luka lancip dan dalam luka tidak melebihi panjang luka.Sudut
luka yang lancip dapat terjadi dua kali pada tempat yang berdekatan akibat pergeseran
senjata sewaktu ditarik atau akibat bergeraknya jenazah. Bila dibarengi gerak memutar,
dapat menghasilkan luka yang tidak selalu berupa garis.
Pada luka tusuk, sudut luka dapat menunjukkan perkiraan benda penyebabnya,
apakah berupa pisau bermata satu atau bermata dua. Bila satu sudut luka lancip dan yang
lain tumpul, berarti benda penyebabnya adalah benda tajam bermata satu. Bila kedua sudut
luka lancip maka benda penyebabnya adalah benda tajam bermata dua.Benda tajam
bermata satu dapat menimbulkan luka tusuk dengan kedua sudut luka lancip apabila hanya
bagian ujung benda saja yang menyentuh kulit, shingga sudut luka dibentuk oleh ujung
dan sisi tajamnya.
Kulit di sekitar luka akibat kekerasan benda tajam biasanya tidak menunjukkan
adanya luka lecet atau luka memar, kecuali bila bagian gagang turut membentur kulit.
Pada luka tusuk, panjang luka biasanya tidak mencerminkan lebar benda tajam
penyebabnya, demikian pula panjang saluran luka biasanya tidak menunjukkan panjang
benda tajam tersebut.Hal ini disebabkan oleh factor elastisitas jaringan dan gerakan
jenazah.
Umumnya luka akibat kekerasan benda tajam pada kasus pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan memiliki ciri-ciri berikut:
Luka memar
Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan
yang terjadi sewaktu orang tersebut masih hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh darah
kapiler akibat kekerasan benda tumpul. Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan
luka memar terjadi pada daerah dimana jaringan longgar, maka daerah luka memar yang
tampak seringkali tidak sebanding dengan kekerasan dan adanya jaringan longgar tersebut
memungkinkan berpindahnya memar ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi.
Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai bentuk dari
benda tumpul ialah dikenal dengan istilah perdarahan tepi (marginal haemorrhages).
Pada orang yang menderita penyakit defisiensi atau menderita kelainan darah,
kerusakan yang terjadi akibat trauma tumpul tersebut akan lebih besar dibandingkan pada
orang normal. Oleh sebab itu, besar kecilnya memar tidak dapat dijadika ukuran untuk
menentukan besar kecilnya benda penyebabnya atau kekerasan tidaknya pukulan. Pada
wanita atau orang-orang yang gemuk juga akan mudah menjadi memar.
Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos
(ilmu). Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kematian dan perubahan yang
terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Tanatologi ini
berguna dalam :
‐ Menentukan apakah jenazah sudah mati atau belum
‐ Berapa lama jenazah telah mati
‐ Menentukan apakah jenazah tersebut mati wajar atau tidak.
Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:
1. Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap
sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau emosi
yang hebat sesaat sebelum mati.
2. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga
serabut otot memendek dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan
dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang lama.
3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot.
4. Keadaan-keadaan yang mempercepat terjadinya rigor mortis, antara lain aktivitas fisik
sebelum kematian, suhu tubuh tinggi, suhu lingkungan tinggi, usia anak-anak dan orang
tua, dan gizi yang buruk.
Ada 4 kegunaan rigor mortis:
1. Menentukan lama kematian.
2. Menentukan posisi mayat setelah terjadi mortis.
3. Merupakan tanda pasti kematian.
4. Menentukan saat kematian.
d. Pembusukan (dekomposisi)
Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis dan putrefaction. Autolisis
menghancurkan sel-sel dan organ-organ melalui proses kimia aseptik yang disebabkan
oleh enzim intraselular. Proses kimia ini, dipercepat oleh panas, diperlambat oleh dingin,
dan dihentikan oleh pembekuan atau penginaktifasi enzim oleh pemanasan. Organ-organ
yang kaya dengan enzim akan mengalami autolisis lebih cepat daripada organ-organ
dengan jumlah enzim yang lebih sedikit. Jadi, pankreas mengalami autolisis lebih dahulu
daripada jantung.Bentuk kedua dari dekomposisi, yang mana pada setiap individu
berbeda-beda adalah putrefaction. Ini disebabkan oleh bakteri dan fermentasi. Setelah
kematian, bakteri flora dari traktus gastrointestinal meluas keluar dari tubuh,
menghasilkan putrefaction. Ini mempercepat terjadinya sepsis seseorang karena bakteri
telah meluas keseluruh tubuh sebelum kematian.
Onset dari putrefaction tergantung pada dua faktor utama: lingkungan dan tubuh.
Pada iklim panas, yang lebih penting dari dua faktor tersebut adalah lingkungan. Banyak
penulis akan memberikan rangkaian dari kejadian-kejadian dari proses dekomposisi dari
tubuh mayat. Yang pertama adalah perubahan warna menjadi hijau pada kuadran bawah
abdomen, sisi kanan lebih daripada sisi kiri, biasanya pada 24-36 jam pertama. Ini diikuti
oleh perubahan warna menjadi hijau pada kepala, leher, dan pundak; pembengkakan dari
wajah disebabkan oleh perubahan gas pada bakteri; dan menjadi seperti pualam. Seperti
pualam ini dihasilkan oleh hemolisis dari darah dalam pembuluh darah dengan reaksi dari
hemoglobin dan sulfida hydrogen dan membentuk warna hijau kehitaman sepanjang
pembuluh darah. Lama kelamaan tubuh mayat akan menggembung secara keseluruhan
(60-72 jam) diikuti oleh formasi vesikel, kulit menjadi licin, dan rambut menjadi licin.
Pada saat itu, tubuh mayat yang pucat kehijauan menjadi warna hijau kehitaman.
Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas, pakaian yang tebal, dan sepsis, semua
yang mempertahankan tubuh tetap hangat. Dekomposisi diperlambat oleh pakaian yang
tipis atau oleh tubuh yang berbaring pada permukaan yang terbuat dari besi atau batu yang
mana lebih cepat menjadi dingin karena terjadi konduksi. Tubuh mayat yang membeku
tidak akan mengalami dekomposisi sampai di keluarkandari lemari es.
e. Mumifikasi
Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami dehidrasi
secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada dekomposisi. Pada saat kulit
mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam, organ-organ interna akan berlanjut
memburuk, seringkali konsistensinya menurun menjadi berwarna seperti dempul hitam
kecoklatan. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang
baik, tubuh yang dehidrasi, dan waktu yang lama (12 – 14 minggu). Mumifikasi jarang
dijumpai pada cuaca yang normal.
f. Adiposera
Adakalanya, tubuh mayat yang terdekomposisi akan bertransformasi ke arah
adiposera. Adiposera adalah suatu bentuk tetap, berwarna putih keabu-abuan sampai
coklat lilin seperti bahan yang membusuk dan berminyak, asam stearat. Ini dihasilkan oleh
konversi dari lemak yang netral selama perbusukan ke asam yang tidak dapat dijelaskan.
Hal tersebut lebih nyata pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi dimana saja bila
terdapat lemak. Adiposera adalah benar-benar suatu variasi dari putrefaction.
Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang dibenamkan dalam air atau dalam
keadaan lembab, lingkungan yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami hidrolisis
untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase endogen dan enzim
bacterial. Enzim bakterial, umumnya berasal dari Clostridium perfringens, yang
mengubah asam lemak jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi. 4 Adiposera dikatakan
memakan waktu beberapa bulan untuk berkembang, walaupun perkembangannya juga
dapat terjadi singkat hanya selama beberapa minggu. Hal ini bergantung pada tingkat
perlawanan dari bakteriologik dan degradasi dari kimia.
Toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang mekanisme kerja dan efek yang tidak
diinginkan dari bahan kimia yang bersifat racun serta dosis yang berbahaya terhadap tubuh
manusia (Prasetya Putri, 2011).
Macam-macam toksikologi:
1. Toksikologi klinis adalah bidang ilmu kedokteran yang memberikan perhatian terhadap
penyakit yang disebabkan oleh bahan toksik atau hubungan yang unik dan spesifik dari
bahan toksik tersebut. Efek merugikan/toksik pada sistem biologis dapat disebabkan
oleh bahan kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta suasananya cocok
untuk menimbulkan keadaan toksik.
2. Toksikologi lingkungan: mempelajari efek dari bahan polutan terhadap kehidupan dan
pengaruhnnya pada ekosistem, yang digunakan untuk mengevaluasi kaitan antara
manusia dengan polutan yang ada di lingkungan.
3. Toksikologi forensik: mempelajari aspek medikolegal dari bahan kimia yang mempunyai
efek membahayakan manusia/hewan sehingga dapat dipakai untuk membantu
mencari/menjelaskan penyebab kematian pada penyelidikan seperti kasus pembunuhan
(Buchari, 2010).
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan
minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya
reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila mengenai
tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan
kematian. Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang
dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek
yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian (Santoso, 2005).
Efek toksisitas yang ditimbulkan oleh keracunan makanan/minuman dapat bersifat
akut atau kronis. Keracunan akut ditimbulkan oleh bahan-bahan beracun yang memiliki
toksisitas yang tinggi, dimana dengan kuantitas yang kecil sudah dapat menimbulkan efek
fisiologis yang berat. Jenis keracunan ini umumnya mudah diidentifikasi danmenjadi
perhatian masyarakat. Sebaliknya keracunan yang bersifat kronis efek toksisitasnya baru
dapat terlihat atau teridentifikasi dalam waktu yang lama, umumnya tidak disadari dan tidak
mendapat perhatian. Peningkatan yang berarti terhadap jumlah penderita penyakit yang dapat
dipicu oleh pengaruh bahan beracun seperti tumor (kanker), gangguan enzimatik, gangguan
metabolisme, gangguan sistem syaraf, mungkin saja merupakan akibat dari penggunaan
berbagai jenis bahan kimia yang bersifat toksis dalam makanan yang dikonsumsi masyarakat
(Wirasuta, 2007).
Macam-macam dosis
1. Dosis pemakaian: dosis normal yang dipakai seseorang tetapi tujuannya bukan untuk
pengobatan. Misalnya untuk menjaga kesehatan tubuh.
2. Dosis terapi: dosis yang cukup memberikan daya penyembuhan yang optimal
3. Dosis minimal: dosis terkecil yang masih dapat memberikan efek terapi
4. Dosis maksimal: dosis terbesar untuk sekali pemakaian atau untuk 24 jam tanpa
memperlihatkan efek toksik
5. Dosis toksik: dosis yang sedemikian besarnya dapat menunjukkan efek toksik
6. Dosis letal: dosis yang sedemikian besarnya dapat menyebabkan kematian pada hewan
percobaan (Aria, 2008).
Pemeriksaan toksikologi
Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun umumnya tidak akan di
jumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat dijadikan pegangan untuk menegakan
diagnose atau menentukan sebab kematian karena racun suatu zat. Jadi pemeriksaan
toksikologi mutlak harus dilakukan untuk menentukan adanya racun pada setian kasus
keracunan atau yang diduga mati akibat racun. Setelah mayat si korban dibedah oleh dokter
kemudian diambil dan dikumpulkan jaringan-jaringan atau organ-organ tubuh si korban
untuk dijadikan barang bukti dan bahan pemeriksaan toksikologi. Prinsip pengambilan
sampel pada keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya setelah disishkan untuk
cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologis.
Prinsip pengambilan sample pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik.
Pengambilan sample untuk pemeriksaan toksikologi adalah sebagai berikut :
1. Lambung dengan isinya.
2. Seluruh usus dengan isinya
3. Darah, dari sentral (jantung), dan dari perifer (v. jugularis. A. femoralis dsb).
4. Hati.
5. Ginjal, diambil keduanya.
6. Otak.
7. Urin.
8. Empedu bersama-sama dengan kantung empedu.
9. Limpa.
10. Paru-paru
11. Lemak badan.
Dasar Hukum
Pasal 202
(1) Barangsiapa memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam
perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan
orang lain, padahal diketahuinya bahwa karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang ber- salah diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pasal 203
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan bahwa barang sesuatu
dimasukkan ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk
umum atau untuk dipakai oleh, atau bersama-sama dengan orang lain, sehingga karena
perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 204
(1) Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang
diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat; berhahaya itu tidak
diberi tahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakihatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pasal 205
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan barang-barang yang
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau di bagi-bagikan tanpa
diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(3) Barang-barang itu dapat disita (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2010).
Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan ( Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009).
Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :
a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya adiktif sangat tinggi
menyebabkan ketergantunggan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun,
kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw
adalah heroin tidak murni berupa bubuk.
b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : petidin dan turunannya,
benzetidin, betametadol.
c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi dapat
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya (Martono,
2006).
Pemeriksaan Forensik
Pada korban hidup perlu dilakukan pengambilan darah dan urin untuk pemeriksaan
laboratorium. Pada pemeriksaan luar jenazah, dapat ditemukan adanya bekas suntikan,
pembesaran kelenjar getah bening setempat, lepuh kulit (skin blister), tanda asfiksia (busa
halus dari lubang hidung dan mulut), sianosis pada ujung jari dan biir, perdarahan petekial
pada konjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan cara sniffing (menghirup), kadang
dijumpai perforasi septum nasi. Hasil pemeriksaan dalam menunjukkan darah berwarna gelap
dan cair, terdapat gumpalan masa coklat kehitaman pada lambung, trakea dan bronkus
kongesti dan berbusa, paru kongesti dan edema.
Pemeriksaan Laboratorium
Bahan terpenting yang harus diambil adalah urin, cairan empedu dan jaringan sekitar
suntikan. Untuk pemeriksaan toksikologi dilakukan dengan :
- Uji Marquis : 40 tetes formaldehyde 40% dalam 60 ml asam sulfat pekat. Tes ini cukup
sensitive dengan sensitifitas berkisar antara 0,05 mikrogram – 1 mikrogram. Hasil positif
unutk opium, morfin, heroin, kodein adalah warna merah-ungu.
- Uji Mikrokristal : lebih sensitif dan lebih khas. Caranya 1 tetes larutan narkotika ditambah
dengan reagen dan dengan mikroskop dilihat kristal apa yang terbentuk. Untuk morfin berupa
plates, heroin berupa fine dendrites atau rosettes, kodein berupa gelatinous rosettes dan
pethidin berupa feathery rosettes
DAFTAR PUSTAKA