Diterbitkan
2017-08-21
Bagaimana Mengutip
Djama, NT (2017). Kesehatan Reproduksi Remaja. Jurnal Kesehatan , 10 (1), 30-
34. https://doi.org/10.32763/juke.v10i1.15
Lebih Banyak Format Kutipan
Isu
Jil. 10 No. 1 (2017): Jurnal Kesehatan Diterbitkan Poltekkes Ternate, Bulan Mei 2017
Bagian
Artikel
Lisensi
Hak Cipta @ 2021. Ini adalah artikel akses terbuka yang didistribusikan di bawah ketentuan Creative
Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License
( http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/ ) yang mengizinkan penggunaan non-komersial
tanpa batas , distribusi dan reproduksi dalam media apapun
DOI:
https://doi.org/10.32763/juke.v10i1.15
Abstrak
Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis
remaja, termasuk terbebas dari kehamilan yang tindakan, aborsi yang tidak aman, penyakit menular
seksual (PMS) ter-masuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual ( FCI,
2000).
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum
mencapai tahap perkembangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-
tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali peristiwa kehidupan yang akan
terjadi yang tidak akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi
berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.
Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan saat berhubungan
seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah (Kiragu, 1995:10, dikutip dari
Iskandar, 1997).
Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses memancing
anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum
minuman keras, terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran (Iskandar, 1997) . Pada akhirnya,
terciptalah latar belakang kebiasaan tersebut akan awal permulaan aktif serta mereka pada
kebiasaan berperilaku berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang
akurat mengenai kesehatan reproduksi serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan
kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatanreproduksi yang dihadapi remaja memiliki ciri yang berbeda
dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja
antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), kekerasan seksual, serta
masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi
oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media
massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan
menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang
lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda
perkawinan dan kehamilan serta mencegah tindakan yang tidak akan dilakukan (FCI, 2000). Bahkan
pada remaja putri di pedesaan, haid pertama biasanya akan diikuti dengan perkawinan yang
menempatkan mereka padarisiko kehamilan dan persalinan dini (Hanum, 1997:2-3).
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah
ketidakharmonisan
hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menjawab pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses
reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak
(child physical abuse) ).
Mereka merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat
reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan
orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menunjukkan isu perkembangan organ dan justru
sebaliknya mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah (Iskandar, 1997).
Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan
kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh
(O'Keefe, 1997: 368-376).
Remaja yang tidak mempu-nyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan
kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa
kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan,
serta tindak kekerasan lainnya, seksual dan perkosaan (Kipke et al., 1997:360-367). Para remaja ini
berisiko terkena pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk obat, minuman beralkohol,
tindakan kriminalitas, serta prostitusi (Iskandar, 1997).
Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas
informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan layanan dan kebijakan spesifik untuk mereka, baik
formal maupun informal (Pachauri, 1997).
Sebagai langkah awal, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan yang ditunjang
dengan materi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan perilaku seksual, apa
yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai layanan yang telah terjadi. yang
tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi
disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama mengarah pada perilaku
seksual (Iskandar, 1997).
Dalam segi pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di
Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas
kesehatan pun belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan
reproduksi para remaja (Iskandar, 1997).
Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Jikapun ada,
pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak
direncanakan. Keprihatinan akan menjamin kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan
kenyataan atau remaja terhadap sikap tidak senang ditunjukkan oleh petugas kesehatan, membatasi
akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat pula hambatan hukum
yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja (Outlook,
2000).
Karena kondisi remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan privasi dan
kerahasiaan (Senderowitz, 1997a:10). Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan
kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam
upaya perbaikan kualitas yang berorientasi pada klien.
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di 20
kabupaten pada empat provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan
46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali
melakukan hubungan seks. Kebanyakan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki
(49,7%) dibandingkan pada remaja putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan
risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka
akan berisiko tertular HIV hanya jika berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI
& NFPCB, 1999b:14).
Remaja sering merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan
kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha untuk
mendapatkan informasi ini. Kadang-kadang remaja merasa bahwa orang menolak untuk
membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain
seperti teman atau media massa.
Banyak orang tidak tertarik untuk memberikan informasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi
kepada remaja karena mereka takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra-
nikah. Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung
berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain (Hurlock, 1972
dikutip dari Iskandar, 1997).
Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga
disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan
reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR)
di Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua
merasa memahami pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih
yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah
seks (Iskandar, 1997:3). Hambatan utama adalah bagaimana mengatasi pandangan bahwa segala
sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk ditanyakan oleh orang yang belum (Iskandar, 1997:1).
Responden survei remaja di empat provinsi yang dilakukan pada tahun 1998 sikap yang sedikit
berbeda dalam memandang hubungan seks di luar nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila laki-
laki berhubungan seks sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka
terhadap perempuan yang berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan seks dilakukan oleh
dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8,6%. Jika mereka berencana
untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB,
1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 provinsi di Indonesia (Hatmadji dan Rochani, 1993)
menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengetahuan mengenai kontrasepsi
sudah harus dimiliki sebelum menikah.
Survei remaja di empat provinsi melaporkan bahwa ada 2,9% remaja yang telah aktif secara
seksual. Persentase remaja yang telah mempraktikkan seks pra-nikah terdiri dari 3,4% remaja putra
dan 2,3% remaja putri (LDFEUI & NFPCB, 1999:101). Sebuah survei terhadap pelajar SMU di Manado,
dilaporkan persentasenya lebih tinggi, yaitu 20% pada remaja putra dan 6% pada remaja putri
(Utomo, dkk., 1998).
Sebuah studi di Bali menemukan bahwa 4,4% remaja putri di perkotaan telah menjalani kehidupan
seksual aktif. Studi di Jawa Barat menemukan perbedaan antara remaja putri di perkotaan dan
pedesaan yang telah seksual aktif yaitu berturut-turut 1,3% dan 1,4% (Kristanti & Depkes, 1996:
Tabel 8b).
Sebuah studi kualitatif di perkotaan Banjarmasin dan pedesaan Mandiair melaporkan bahwa interval
8-10 tahun adalah rata-rata antara usia pertama kali berhubungan seks dan usia saat menikah pada
remaja putra, sedangkan pada remaja putri interval tersebut adalah 4-6 tahun (Saifuddin dkk ,
1997:78).
Tentu saja angka-angka tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya,
mengingat masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak setiap orang
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, mengejutkan apabila angka-angka yang
sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dilaporkan.
Gangguan Psikologi pada Anak dan Remaja
Penyakit mental jika tidak ditangani sejak dini dapat cukup mengganggu perkembangan
normal anak, sehingga dapat memengaruhi selama sisa hidupnya. Berikut ini beberapa
penyakit mental umum yang menyerang anak-anak dan remaja:
1. Gangguan Kecemasan
Gangguan Ini adalah jenis penyakit paling umum yang menyerang anak-anak dan
remaja. Sekitar 6 persen anak-anak mengalami gangguan kecemasan di beberapa titik.
Gangguan kecemasan dapat menyebabkan anak-anak menjadi sangat takut pada hal-
hal atau situasi sampai-sampai mengganggu kehidupan sehari-hari.
Gangguan jenis ini bisa menyebabkan anak-anak menjadi sangat agresif dan destruktif
terhadap orang lain, hewan peliharaan, atau barang di sekitarnya. Mereka mungkin juga
tampak seperti mereka tidak peduli tentang aturan-aturan penting, tetapi mendasar,
misalnya bolos sekolah secara teratur atau melarikan diri dari rumah.
3. Depresi
Ini gangguan mood yang muncul paling sering selama masa remaja. Sekitar 3,5 persen
anak muda mengalami depresi yang dapat memengaruhi sikap dan emosi anak atau
remaja. Gangguan ini dapat membuat anak merasa sedih atau kesal luar biasa dalam
kurun waktu tertentu.
4. Gangguan Bipolar
Biasanya gangguan bipolar dimulai selama masa remaja. Gangguan bipolar dapat
menyebabkan suasana hati orang muda berubah-ubah antara suasana hati yang
sangat tinggi, yang disebut mania dan suasana hati yang sangat rendah yang disebut
depresi.
5. Gangguan Makan
Sangat jarang terjadi pada anak-anak kecil, tetapi risikonya meningkat seiring
bertambahnya usia. Anoreksia menyerang hingga 1 persen remaja pria dan wanita
berusia 15–24 tahun, dan bulimia menyerang hingga 3 persen.
Gangguan makan melibatkan citra tubuh yang terdistorsi bersama dengan perilaku
berbahaya yang serius untuk mengatur makanan dan berat badan, membuatnya sulit
untuk menyehatkan diri sendiri dengan baik.
6. Skizofrenia
Gangguan ini muncul antara usia 15 dan 25 tahun. Skizofrenia menyulitkan orang untuk
berpikir dan berbicara dengan cara yang terorganisir. Ini juga dapat menyebabkan
orang kehilangan kontak dengan kenyataan.
7. Bunuh Diri
Sering kali terjadi bersamaan dengan penyakit mental. Bunuh diri menjadi penyebab
utama kematian kedua di antara 15 hingga 24 tahun di seluruh dunia.
Kalau orangtua butuh informasi lebih jelas mengenai hal ini, bisa tanyakan langsung
ke Halodoc. Dokter yang ahli di bidangnya akan berusaha memberikan solusi terbaik
untuk orang tua. Caranya, cukup download aplikasi Halodoc lewat Google Play atau
App Store. Melalui fitur Contact Doctor pasangan bisa memilih mengobrol
lewat Video/Voice Call atau Chat.
Referensi:
Here to help. Diakses pada 2019. Mental Illnesses in Children and Youth.
World Health Organization. Diakses pada 2019. Adolescent mental health.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Seperti halnya fase remaja. Pada fase ini setring disebut dengan masa transisi. Karena
dalam fase ini terjadi masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Salain
itu, pada fase ini pula banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang baik
dari fisik maupun dari psikisnya.
Tetapi dari banyaknya perubahan-perubahan yang ada di diri seseorang yang sudah
memasuki masa remaja, tetapi tidak bisa menafikan adanya masalah-masalah yang
timbul dari perubahan tersebut. Banyak remaja yang terjerumus dalam hal-hal yang
negative
Untuk dari latar belakan tersebut, kami mencoba memaparkan masalah mengenai
pertumbuhan dan perkembangna remaja.
1. Rumusan Masalah
1. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini sebagai berikut :
BAB 1
PEMBAHASAN
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang di
awali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi.
Kata remaja diterjemahkan dalam bahasa inggris adolescende atau adoleceré (bahasa
latin) yang berarti tumbuh atau tumbuh untuk masak, menjadi dewasa. Dalam
pemakaiannya istilah remaja dengan adolecen disamakan. Adolecen maupun remaja
menggambarkan seluruh perkembangan remaja baik perkembangan fisik, intelektual,
emosi dan social.
Istilah lain untuk menunjukkan pengertian remaja yaitu pubertas. Pubertas berasal dari
kata pubes (dalam bahasa latin) yang berarti rambut kelamin, yaitu yang merupakan
tanda kelamin sekunder yang menekankan pada perkembangan seksual. Dengan kata
lain pemakaian kata pubertas sama dengan remaja tetapi lebih menunjukkan remaja
dalam perkembangan seksualnya atau pubertas hanya dipakai dalam hubungannya
dengan perkembangan bioseksualnya.
Masa remaja di tinjau dari rentang kehidupan manusia merupakan masa peralihan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Jika melihat dari rentang usia remaja, Menurut
Hurlock (1964) menyatakan rentangan usia remaja itu antara 13-21 tahun, yang di
bagi pula dalam usia masa remaja awal 13/14 tahun sampai 17 tahun dan remaja akhir
17 sampai 21 tahun.
WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. WHO
menyatakan walaupun definisi di atas terutama di dasarkan pada usia kesuburan
(fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga untuk remaja pria dan WHO membagi
kurung usia dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20
tahun.
Selain itu, ada juga membagi usia remaja menjadi tiga fase perkembangan, seperti
dikemukakan oleh Monks, dkk (2002) membagi fase-fase masa remaja ke dalam tiga
tahap, yaitu:
Mengingat saat mulainya masa remaja yang sangat dipengaruhi oleh perbedaan-
perbedaan perorangan, maka penentuan umur saja belum cukup untuk mengetahui
apakah suatu tahap perkembangan baru telah atau belum mulai. Penggolongan remaja
yang semata-mata berdasarkan usia saja, tidak membedakan remaja dengan keadaan
sosial psikologinya yang berlain-lainan.
2. Karakteristik Perkembangan Remaja
3. Perkembangan fisik
Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak dan masa
dewasa, dimulai dengan pubertas, ditandai dengan perubahan yang pesat dalam
berbagai aspek perkembangan, baik fisik maupun psikis. Perubahan fisik yang terjadi
pada remaja terlihat pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat
badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar
pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan
menjadi semakin panjang dan tinggi).Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat
reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan
tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2006: 52).
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait, remaja dikenal sebagai suatu
tahap perkembangan fisik di mana alat-alat kelamin manusia mencapai
kematangannya. Pada akhir dari perkembangannya fisik ini akan terjadi seorang pria
yang berotot dan berkumis yang menghasilkan beberapa ratus juta sel mani
(spermatozoa) setiap kali ia berejakulasi (memancarkan air mani), atau seorang wanita
yang berpayudara dan berpinggul besar yang setiap bulannya mengeluarkan sel telur
dari indung telurnya yang disebut menstruasi atau haid.
1. Menstruasi pertama
2. Mulai membesarnya payudara
3. Tumbuhnya bulu kapuk di sekitar ketiak dan kelamin.
4. Membesarnya/ atau melebarnya ukuran pinggul. Puncak pertumbuhan fisik
masa pubertas adalah pada usia 11,5 tahun pada remaja wanita, dan usia 13,5
tahun bagi remaja pria.
5. Perkembangan kognitif
1. Perkembangan emosi
Meskipun pada usia remaja kemampuan kognitif telah berkembang dengan baik, yang
mungkin dapat mengatasi sters atau fluktuasi emosi secara efektif tetapi masih banyak
remaja yang belum mampu mengelolah emosinya sehingga mereka mengalami
depresi marah-marah, dan kurang mampu meregulasi emosi. Kondisi ini dapat
memicu masalah seperti kesulitan belajar menyalahgunakan obat dan perilaku
menyimpang, dalam suatu penelitian dikemukakan bahwa regulasi emosi sangat
penting bagi keberhasilan akademik. Remaja yang sering mengalami emosi yang
negatif cenderung memiliki prestasi belajar yang rendah.
1. Perkembangan Sosial
Pada masa remaja berkembang “social cognition” yaitu kemampuan untuk memahami
orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik
menyangkut sifat-sifat peribadi, minat nilai-nilai maupun perasaan. Pemahamannya
ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrap dengan
mereka (terutama teman sebaya),baik melalui jalinan persahabatan maupun percintan
(pacaran). Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki
kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap,
nilai, dan kepribadian.
Pada masa ini juga berkembang sikap ‘conformity” yaitu kecenderungan untuk
menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran (hobby) atau
keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap konformitas pada remaja
dapat memberikan dampak yang positif maupun yang negatif bagi dirinya.
Penyesesuaian sosial ini dapat diartikan sebagai “kemampuan untuk mereaksi secara
tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi. Remaja dituntut untuk memiliki
kemampuan penyesuaian sosial ini, baik dalam lingkungan keluarga, sosia, dan
masyarakat.
1. Perkembangan Moral
Malalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya,
atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika
dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai
moral atau konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan
kedisiplinan.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
dinilai baik oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk memenuhi
kepuasaan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adannya penerimaan dan
peneliaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).
1. Perkembangan kepribadian
Menurut Erikson, identity diri individu berkembang pada usia remaja pada tahap
perkembangan kelima yaitu , identiti vs identiti confusion (kebingungan
identitas/peran). Erison mendifinisikan identitas sebagai consepsi konsep diri
penentuan tujuan, nilai dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang.
Krisis, apabila remaja tidak mampu memilih diantara berbagai alternatif yang
bermakna remaja dikatakan telah menemuakan identitas dirinya (self-identity) ketika
berhasil memecahakan tiga masalah utama yaitu , pilihan pekerjaan, adopsi nilai yang
diyakinin dan dijalanin dan perkembangan identitas yang memuaskan.
Pada masa ini terjadi perubahan jasmanih yang cepat, Pertumbuhan fisik yang terkait
dengan seksual mengakibatkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan
kekhawatiran pada diri remaja. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada
umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada
Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang
yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang
malas. Penghayatan rohaninya cenderung skeptis (was-was) sehingga muncul
keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai ibadah ritual (seperti ibadah
salat) yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
secara psikologis, pada masa ini remaja sudah mulai stabil dan pemikirannya mulai
matang. Dalam kehidupan beragama remaja sudah melibatkan diri kedalam kegiatan-
kegiatan keagamaan. Remaja sudah dapat membedakan agama sebagai ajaran dengan
manusia sebagai penganutnya (ada yang taat dan ada yang tidak taat). Kemampuan ini
memungkinkan remaja untuk tidak terpengaruh oleh orang –orang yang mengaku
beragama, namun tidak melaksanakan ajaran agama. Remaja dapat menilai bahwa
ajaran agamanya yang salah, tetapi orangnya yang salah.
Berkaitan dengan tugas perkembangan remaja Menurut Hurlock (1990), seluruh tugas
perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola
perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa
dewasa
1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita.
2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita.
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan secara efektif
4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya
5. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.
6. Memilih dan mempersiapkan karier (pekerjaan)
7. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga
8. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan
bagi warga negara.
9. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial
10.Memperoleh perangkat nilai dan sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing
dalam bertingkah laku.
11.Beriman dan bertakwah kepada tuhan yang Maha Esa
1. PROBLEM REMAJA
Remaja sebagai individu sedang berada dalam proses berkembangan atau menjadi
(becoming) yaitu berkembang kearah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai
kematangan tersebut, remaja memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang
memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya. Disamping
terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan individu tidak selalu
berlangsung secara mulus atau sterill dan masalah. Dengan kata lain proses
perkembangan itu selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus/searah dengan potensi,
harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena bayak faktor yang menghambatnya.
Faktor penghambat ini bersifat internal dan eksternal. Faktor penghambat yang
bersifat eksternal adalah yang berasal dari lingkungan. Iklim lingkungan yang tidak
kondusif itu seperti ketidakstabilan dalam kehidupan sosial politik, krisis ekonomi,
peceraian orang tua, sikap dan perilaku orang tua yang otoritera atau kurang
memberikan kasih sayang dan pelecehan nilai-nilai moral atau agama dalam
kehidupan keluarga atau masyarakat.
Iklim lingkungan yang tidak sehat tersebut, cenderung memberikan dampak yang
kurang baik bagi perkembangan remaja dan sangat mungkin mereka akan mengalami
kehidupan yang tidak nyaman, stres atau depresi. Dalam kondisi seperti inilah, banyak
remaja yang meresponnya dengan sikap dan perilaku kurang wajar dan bahkan
amoral, seperti kriminallitas, meminum-minuman keras, penyalahgunaan obat
terlarang, tawuran dan pergaulan bebas.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Pada
masa ini banyak perubahan-perubahan yang terjadi baik dari fisik maupun psikis dari
seorang yang sudah memasuki masa remaja ini. Perubahan fisik yang terjadi di diri
seorang yang remaja yaitu pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan
tinggi).Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid
pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang
tumbuh. Selain dari pada itu dari segi psikisnya juga mulai berkembang baik dari
perkembangan kognitif, emosi, sosial, moral, kepribadian, dan kesadaran agamanya.
Dari perkembangan tersebut, remaja menjadi diri yang akan membawanya ke masa
remaja.
Remaja sebagai individu sedang berada dalam proses berkembangan atau menjadi
(becoming) yaitu berkembang kearah kematangan atau kemandirian. Disamping
terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan individu tidak selalu
berlangsung secara mulus atau sterill dan masalah. Dengan kata lain proses
perkembangan itu selalu berjalan dalam alur yang linier, lurus/searah degan potensi,
harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena bayak faktor yang menghambatnya.
https://sitirusbiati13.wordpress.com/perihal/perkembangan-peserta-didik/pertumbuhan-dan-
perkembangan-remaja/