Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN KEBUTUAN ELIMINASI INKONTINENSIA URINE

Disusun Oleh:

NADYA FEBRIYANTI

191210014

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2021
ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI
INKONTINENSIA URINE

A. Konsep Dasar Teori


1. Pengertian
Eliminasi urine adalah proses pembuangan sisa-sisa metabolisme. Eliminasi urine
normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-
fungsi organ eliminasi seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra .
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik  berupa urin atau bowel
(feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Sistem
tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung
kemih dan uretra.
Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi dari plasma darah
di glomerolus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal untuk di filterisasi, hanya 1-2 liter
saja yang dapat berupa urin sebagian besar hasil filterisasi akan di serap kembali di tubulus
ginjal untuk di manfaatkan oleh tubuh.
Eliminasi urine juga bergantung pada satu pemasukan cairan dan sirkulasi
volume darah, jika salah satunya menurun, pengeluaran urin akan menurun. Pengeluaran urin
juga berubah pada seseorang dengan penyakit ginjal, yang mempengaruhi kuantitas, urin dan
kandungan produk sampah didalam urin.

2. Klasifikasi
a. Retensi urine
Retensi urin adalah akumulasi urine yang nyata dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan mengkosongkan kandung kemih.
b. Dysuria
Adanya rasa kesulitan berkemih.
c. Polyuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2500 ml/hari, tanpa
adanya intake cairan.
d. Inkontinensia urine
Ketidak sanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal untuk mengontrol
keluarnya urine dari kantong kemih.
e. Urinari suppresi
Adalah berhenti mendadak produksi urine.

.
3. Etiologi
a) Makanan
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa,
serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada
beberapa orang sulit atau tidak  bisa dicerna. Ketidak mampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola
defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu
keteraturan waktu,respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di colon.
b) Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit- penyakit tertentu
termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen
psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi
bisamemperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi
c) Kurang aktifitas, kurang berolahraga dan berbaring lama
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak  peristaltic dan dapat
menyebabkan melambatnya feses menuju rectumdalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi
cairan feses sehingga fesesmengerase.Obat-obatan beberapa obat memiliki efek samping
yang dapat berpengeruhterhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare;
yanglain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur
pemberian morphin dan codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung
mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus
danmemudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,mempermudah
defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclominehydrochloride (Bentyl), menekan
aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare
d) Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-
anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang,
biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman
yang dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony
(berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat
pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus
dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung.
Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter
ani yang dapat berdampak pada prosesdefekasi.
4. Patofisiologi
Gangguan Eliminasi Urine
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan di atas. Masing-
masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia
tua, trauma yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam
mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi.  Tanpa kerusakan yang
nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di
medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan
fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik dikaitkan dengan cedera
medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan
depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera.
Dalam kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah
tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini
mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan
ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus ,
pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering
karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan urine
dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara normal.
Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol
oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis
terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran
kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas
kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung
kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor
dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang
mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase
pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal
sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan
kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi
otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra
trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan
otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi
saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak
menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan
edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat
narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau
abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver
Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase
kandung kemih yang adekuat.

5. Manifestasi Klinis
Berikut ini adalah beberapa penyebab dari inkontinensia urine berdasrkan gejala yang
ditimbulkan :
1. Mengompol ketika ada tekanan (stress incontinence )
Pasien akan mengompol ketika kandung kemih tertekan, seperti saat
batuk,bersin,tertawa keras, atau mengangkat beban. Kondisi ini disebabkan oleh otot
saluran kemih yang terlalu lemah untuk menahan urine ketika ada tekanan.
2. Tidak dapat menunda buang air kecil (urge incontinence)
Penderita inkontinensia jenis ini tidak dapat menahan kencing ketika dorongan untuk
itu muncul. Sering kali perubahan posisi tubuh atau mendengar suara aliran air
membuat penderita mengompol. Kondisi ini disebabkan oleh otot kandung kemih yang
berkontraksi secara berlebihan,
3. Mengompol secara tiba-tiba (overflow incontinence )
Penderita inkontinensia jenis ini dapat ngompol sedikit-sedikit. Kondisi ini terjadi
akibat kandung kemih tidak dapat dikosongkan sampai benar-benar kosong , sehingga
sisa urine di dalam kandung kemih akan keluar sedikit-sedikit . Retensi urine kronis
dapat terjadi ketika kandung kemih atau saluran kemih mengalami penyumbatan
sehingga menganggu keluarnya urine.
4. Sama sekali tidak bisa menahan urine (inkontinensia total )
Inkontinensia total terjadi ketika kandung kemih sama sekali tidak mampu menampung
urine, sehingga penderita akan terus mengompol. Kondisi ini disebabkan oleh kelainan
struktur kandung kemih atau panggul sejak lahir, cedera saraf tulang belakang, atau
munculnya lubang diantara kandung kemih dan organ sekitarnya, misalnya vgina.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi kebutuhan eliminasi urine, khususnya
prosedur-pprosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti
intra venus pyelogram (IVP). Pemeriksaan ini dapat membatasi jumlah asupan sehingga
mengurangi produksi urine. Selain itu tindakan sisteskopi dapat menimbulkan edema local
pada uretra.
Pemeriksaan diagnostik terdiri dari :
1) Pemeriksaan urine
2) Warna
3) Bau
4) Ph
5) Berat jenis
6) Glukosa
7) Keton

7. Penatalaksanan Medik
 Urgensi
Cream esterogen vaginal, anticolagenik, imipramine ( tofranile ). Diberikan pada malam
hari dan pasien dianjurkan untuk sering berkemih.
 Over flow inkontinensia
Farmakologis prazocine ( miniprise ) dan cloridabetanecol ( urechlonie ) diberikan untuk
menurunkan resistensi bagian luar dan meningkatkan kontaksi kandung kemih.
8. Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine
 Diet dan intake
Jumlah dan tipe makanan mempengaruhi output urine, seperti protein dan sodium
mempengaruhi jumlah urine yang keluar.
 Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine. Tersedia
fasilitas toilet atau kamar mandi dan mempengaruhi frekuensi eliminasi. Praktek
eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
 Tingkat aktivitas
Aktivitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine
membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus spingter internal dan
eksternal.
 Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada
wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena ada tekanan dari fetus.
 Kondisi patologis
Saat sesorang dalam keadaan sakit, produksi urinnya sedikit hal ini disebabkan oleh
keinginan untuk minum sedikit.
9. Komplikasi
1. Retensi urine
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensia vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan distensi
vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3.000 – 4.000 ml urine. Retensi urine
post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami kelahiran normal sebagai akibat
dari peregangan atau trauma dari dasar kandung kemih dengan edema trigonum. Faktor-
faktor predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia, pada gangguan
sementara kontrol saraf kandung kemih , dan trauma traktus genitalis, khususnya pada
hematoma yang besar, dan sectio cesaria.
Retensi post partum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam
spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan
forcep, angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari
dissinergis antara otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna
yang kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya akibat dari tidak
berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor. Ketika kandung kemih menjadi sangat
mennggembung diperlukan kateterisasi, kateter folley ditinggal dalam kanndung kemih
selama 24 – 48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dann memungkinkan
kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi .

2. Inkontinensia urine
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sphincter eksternal sementara atau
menetap untuk menetap unttuk mengontrol ekskresi urine. Secara umum penyebab dari
inkontinensia urine adalah: proses penuaan (aging process), pembesaran kelenjar prostat,
serta penurunan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik.

3. Enuresis
Enuresis merupakan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan tidak mampu
mengontrol sphincter eksterna. Biasanya enurisis terjadi pada anak atau orang jompo.
Umumnya enurisis terjadi pada malam hari.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan
 Pola berkemih
 Gejala dari perubahan berkemih
 Faktor yang mempengaruhi berkemih
b. Pemeriksaan fisik
 Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembulu darah vena, distensi bladder, pembesaran ginjal,
nyeri tekan, tenderness, bising usus.
 Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan atropi jaringan vagina.
 Genetalia laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, tenderness, adanya pembesaran skrotum.
c. Intake dan output cairan
 Kaji intake dan output cairan dalam 24 jam (sehari)
 Kebiasaan minum dirumah
 Intake : cairan infus, oral, makanan
 Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui ketidak seimbangan cairan.
 Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy.
d. Pemeriksaan diagnostik
 Pemeriksaan urine ( urinalisis )
 Warna : ( N : Jernih )
 Penampilan : ( N : jernih )
 Bau : ( N : beraroma )
 Ph : ( N : 4,5-8,0)
 Berat jenis ( N : 1,005 – 1,030 )
 Glukosa ( N : negatif )
 Keton ( N : negatif )
 Kultur urine ( N : negatif )
e. Pengelompokan Data
Data Subjektif

 Klien mengatakan nafsu makannya berkurang


 Klien mengeluh tidak dapat mengontrol buang air kecil
 Klien mengatakan kencingnya keluar sendiri
 Klien mengatakan stress pada penyakitnya
 Klien mengeluh nyeri pada daerah abdomen bagian bawah
 Klien mengatakan kurang pengetahuan dan informasi tentang penyakitnya

Data Objektif

 Klien nampak lemah


 Porsi makan tidak dihabiskan
 Haluaran urin tidak terkontrol
 Haluaran urin terus-menerus.
 Klien nampak ketakutan
 Nyeri tekan pada abdomen
 Pasien tampak bertanya kepada perawat dan dokter akan penyakitnya

f. Analisa data
Data Penyebab Masalah

Ds : Adanya infeksi pada dinding Nyeri


kandung kemih
 Klien mengeluh nyeri pada
daerah abdomen bagian ↓
bawah
iritasi lapisan mukosa kandung
Do :
kemih
 Nyeri tekan pada abdomen

sakit pada saat BAK

Gangguan rasa nyaman nyeri

Ds : Inkontinensia urin Resiko tinggi


kekurangan nutrisi
 Klien mengeluh nafsu ↓
makan kurang
Bau pesing
Do :

 Porsi makan tidak
dihabiskan Anoreksi


Intake nutrisi yang kurang adekuat

Resiko tinggi perubahan nutrisi

Do : Inkontenensia urin Resiko tinggi deficit


volume cairan
 Haluaran urin tidak dapat ↓
terkontrol
Haluaran urin yang terus menerus
 Haluaran urin terus
menerus ↓

Pembatasan intake cairan

Ketidakseimbangan intake output


cairan dan elektrolit

Resiko tinggi defisit volume cairan

Ds : Adanya faktor penyebab Perubahan pola


inkontinensia urin eliminasi
 Klien mengeluh tidak
dapat mengontrol buang ↓
air kecil
Kelemahan pada sfingter externa
 Klien mengatakan
kencingnya keluar sendiri ↓

Inkontenensia


Do :
Gangguan pola eliminasi
 Haluaran urin tidak
terkontrol
 Haluaran urin terus-
menerus.
Ds : Kurang pengetahuan tentang Kecemasan
penyakitnya
 Klien mengatakan stress
pada penyakitnya
 Klien mengatakan kurang ↓
pengetahuan dan informasi
Ketidakmampuan pasien
tentang penyakitnya
menggunakan mekanisme koping
Do :

 Pasien tampak bertanya
kepada perawat dan dokter Berdampak pada kesehatan fisiknya
akan penyakitnya

 Klien nampak ketakutan
Pasien merasa terancam

Cemas

g. Prioritas Masalah
1) Nyeri
2) Perubahan pola eliminasi
3) Kecemasan
4) Resiko tinggi deficit volume cairan
5) Resiko tinggi kekurangan nutrisi

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan iritasi pada mukosa dinding kandung kemih yang ditandai
dengan :
Ds :  Klien mengeluh nyeri pada daerah abdomen bagian bawah

D :  Nyeri tekan pada abdomen


o

b. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kelemahan pada sfingter externa yang
ditadai dengan :
Ds :  Klien mengeluh tidak dapat mengontrol buang air kecil
 Klien mengatakan kencingnya keluar sendiri
D :  Haluaran urin tidak terkontrol
o  Haluaran urin terus-menerus.

c. Gangguan rasa aman cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


penyakitnya yang ditandai dengan :
Ds :  Klien mengatakan stress pada penyakitnya
 Klien mengatakan kurang pengetahuan dan informasi tentang
penyakitnya
Do :  Pasien tampak bertanya kepada perawat dan dokter akan penyakitnya
 Klien nampak ketakutan
d. Resiko tinggi kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi yang kurang adekuat yang ditadai dengan :
Do :  Haluaran urin tidak dapat terkontrol
 Haluaran urin terus menerus
e. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan intake
output cairan yang ditandai dengan :
Ds :  Klien mengeluh nafsu makan kurang

D :  Porsi makan tidak dihabiskan


o

3. Intervensi
a. Nyeri berhubungan dengan iritasi pada mukosa dinding kandung kemih
Tupan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah nyeri teratasi

Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama beberapa hari nyeri beransur-
ansur hilang dengan kriteria :

 Tidak nyeri saat berkemih


 Ekspresi wajah tenang
 Tidak nyeri tekan pada daerah abdomen

Intervensi :

1) Kaji tingkat nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, dan lamanya nyeri


Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/tindakan
selanjutnya yang akan diberikan
2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase inkontinensia. Namun,
ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri
kolik
3) Ajarkan klien tehnik relaksasi dan tehnik distraksi
Tehnik relaksasi dan tehnik distraksi membantu mengurangi rasa nyeri
4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian anti analgetik sesuai indikasi
Membantu menghilangkan rasa nyeri dengan menekan pusat nyeri
b. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kelemahan pada sfingter externa
Tupan : Setelah diberikan tindakan keperawatan masalah kebiasaan berkemih teratasi

Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama beberapa hari kebiasaan


berkemih beransur-ansur normal kembali dengan kriteria :

 Klien dapat mengontrok kencingnya


 Klien dapat berkemih dengan normal

Intervensi :

1) Pantau kebiasaan klien berkemih


Untuk membantu dalam penentuan tindakan selanjutnya
2) Latih pengosongan bladdcer pada jam jam tertentu
Pengosongan kandung kemih dapat menghindari residu urin
3) Buat jadwal berkemih
Melatih kembali bereaksi yang tepat untuk berkemih
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemasangan drainase urin
Sebagai drainase pengobatan serta untuk meraih kontinen

c. Gangguan rasa aman cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


penyakitnya
Tupan : Setelah diberikan tindakan keperawatan kecemasan hilang

Tupen : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama beberapa hari rasa cemas klien
beransur-ansur hilang dengan kriteria :

 Klien tidak takut akan penyakitnya


 Klien mau menerima kondisinya saat ini

Intervensi :

1) Pantau rasa cemas klien dan depresi dan penyempitan perhatian


Membentu untuk memperkirakan kebutuhan intervensi yang tepat

2) Jelaskan kepada klien tentang proses penyakitnya serta cara penganganannya


Rasa cemas dan ketidaktahuan diperkecil dengan informasi atau pengetahuan dan
dapat meningkatkan penerimaan inkontenensia urin.

3) Motivasi dan berikan kesempatan pada klien untuk mengajukan pertanyaan dan
menyatakan masalah
Membuat perasaan terbuka dan bekerja sama dan memberikan informasi yang akan
membantu dalam identifikasi atau mengatasi masalah

4) Tunjukan indikator positif pengobatan


Meningkatkan perasaan berhasil atau maju

d. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan intake


output cairan
Tupan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kekurangan volume cairan tidak terjadi

Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama beberapa hari tanda-tanda


kekurangan cairan tidak ada dengan kriteria :

 Tugor kulit baik


 Intake dan out put cairan seimbang

Intervensi :

1) Ukur pemasukan dan haluaran cairan yang akurat


Membantu unntuk memperkitakan kebutuhan penggunaan cairan

2) Anjurkan klien untuk minum yang banyak


Mengganti cairan yang keluar terus menerus

3) Perhatikan perubahan kulit seperti kulit kering, tugor kulit


Tanda kulit kering serta tugor kulit merupakan tanda dari dehidrasi

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan melalui intravena


Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/ memperbaiki
hipovolemia

e. Resiko tinggi kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi yang kurang adekuat
Tupan : Setelah diberikan tindakan keperawatan kekurangan nutrisi tidak terjadi

Tupen : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tanda-tanda kekurangan nutrisi tidak


terjadi dengan kriteria :

 Nafsu makan meningkat


 Porsi makan dihabiskan
 Berat badan dalam batas normal
Intervensi :

1) Pantau pemasukan diet


membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet, kondisi fisik
umum, gejala uremik anoreksia membantu pemasukan nutrisi

2) Berikan mananan sedikit dan sering


Meminimalkan anoreksia dan mual

3) Timbang berat badan tiap hari


Pasien yang tidak nafsu makan dapat mengalami penurunan berat badan

4) Berikan pasien atau orang terdekat daftar makanan atau cairan yang diizinkan dan
libat kan pasien dalam pemilihan menu
Memberikan pasien tindakan kotrol dalam pembatasan diet. Makanan diari rumah
dapat meningkatkan nafsu makan

5) Kolaborasi dengan ahli gizi dan tim pendukung nutrisi


Menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan dan
mengidentifikasi rute paling efektif

4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan kebutuhan eliminasi urine secara umum
dapat dinilai dari adanya kemampuan dalam :
1. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan
asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi
pada kandung kemih atau kateter.
2. Mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurangnya destensi,
volume urine residu, dan lancarnya kepatenan drainase.
3. Mencegah infeksi/ bebas dari infeksi, ditumjukkan dengan tidak adanya infeksi,
tidak ditemukan adanya disuria, urgesi, frekuensi, dan rasa terbakar.
4. Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering
tanpa inflamasi kulit disekitar uterostomi kering.
5. Memberikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
6. Melakukan bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.

Anda mungkin juga menyukai