Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada

anak-anak, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun.1

Dari penelitian didapatkan bahwa sekitar 2,2%-5% anak pernah mengalami

kejang demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun. Hampir 1,5 juta kejadian

kejang demam terjadi tiap tahunnya di USA, dan sebagian besar terjadi dalam

rentang usia 6 hingga 36 bulan, dengan puncak pada usia 18 bulan. Angka

kejadian KD bervariasi di berbagai negara. Daerah Eropa Barat dan Amerika

tercatat 2-4% angka kejadian KD per tahunnya. Sedangkan di India sebesar 5-

10% dan di Jepang 8,8%. Kejadian kejang demam di Asia lebih tinggi kira-kira

20% kasus merupakan kejang demam komplek.2

Faktor pemicu kejang demam yang utama adalah demam itu sendiri.

Demam yang dapat menimbulkan kejang bisa karena infeksi apa saja. Infeksi

saluran pernapasan atas paling sering dikaitkan dengan kejang demam. Penyebab

lain yaitu gastroenteritis, infeksi saluran kemih, otitis media akut, infeksi virus,

dan imunisasi.3

Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang

demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah
kejang yang terjadi dalam waktu kurang dari 15 menit dan umumnya akan

berhenti sendiri. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam

sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Sedangkan kejang

demam kompleks adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang

berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang, anak tidak sadar.

Kejang demam kompleks terjadi pada 8% kejang demam.3

Secara umum, 2 hingga 5 persen bayi dan anak yang sehat secara neurologis

telah mengalami, setidaknya satu (biasanya sampel) kejang. Dua hingga tujuh

persen anak-anak dengan kejang demam akan mendapatkan epilepsi di masa

depan. Studi yang dilakukan di berbagai negara mengenai kejang demam berbeda

dalam hal faktor ras, genetik, dan geografis. Sebagai contoh, beberapa

penyelidikan telah menyebutkan bahwa riwayat keluarga positif, jenis kejang,

suhu, dan usia kejadian adalah faktor risiko dari kejadian kejang. Beberapa yang

lain telah menyebutkan masalah pertumbuhan, pemeriksaan neurologis yang

abnormal, dan serangan berulang sebagai faktor yang terlibat dalam meningkatkan

kejadian epilepsi. Faktor-faktor ini, jika bertepatan, kadang-kadang menyebabkan

kemungkinan 50 persen peningkatan epilepsi dan kejang demam berulang. Karena

kecemasan sebagai konsekuensi dari serangan kejang demam dan efeknya

termasuk disartria, keterbelakangan mental, cerebral palsy, epilepsi, dan efek

samping dari obat yang diambil untuk prevalensi dan pengobatan penyakit, beban

sosial dan ekonomi yang besar dibebankan pada keluarga dan masyarakat.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari

yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Demam

terjadi pada oral temperature >37,2°C. Demam biasanya disebabkan oleh infeksi

(bakteri, virus, jamur, atau parasit), penyakit autoimun, keganasan, ataupun obat-

obatan.5

Kejang demam adalah jenis kejang yang paling umum ditemukan pada

anak-anak. Prevalensinya di beberapa bagian dunia telah dilaporkan setinggi 10

persen. Namun, dalam sebagian besar studi angka yang dilaporkan telah 2-4

persen (1-2).4 Angka kejadian kejang demam di Swedia, Amerika Utara dan

14
Inggris sebesar 2-5%, terutama pada anak-anak berusia 3 bulan-5 tahun. Di

Indonesia, kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun.

Penelitian di Jepang mendapatkan angka yang lebih tinggi yaitu 7% (Tsuboi,

1986) dan 9,7%. Prastiya Indra Gunawan (2012) mengemukakan bahwa kejang

demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan

perbandingan 2:1.2

Kejang demam berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38oC

yang tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat (SSP), tanpa adanya riwayat

kejang neonatal atau kejang tanpa sebab sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria

kejang simptomatik lainnya. Secara umum terdapat dua jenis kejang demam, yaitu
kejang demam sederhana (KDS), yang mencakup hampir 80% kasus dan kejang

demam kompleks (KDK). Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling

banyak terjadi pada anak, mengenai 2-5% anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun

15
dengan puncak onset antara usia 18-22 bulan.

Kejang demam dipicu oleh proses infeksi ekstrakranium. Infeksi ini

menyebabkan naiknya suhu tubuh yang berlebihan (hiperpireksia) sehingga

timbul kejang. Kejang demam dikelompokkan menjadi kejang demam sederhana

dan kompleks berdasarkan manifestasi klinisnya yaitu lama kejang, frekuensi

kejang, dan sifat kejang. Klasifikasi ini berpengaruh pada pengobatan dan menjadi

14
salah satu faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari.

Tingkat epilepsi pada anak-anak dengan kejang demam sederhana

mendekati tingkat keseluruhan pada populasi umum. Risiko yang lebih tinggi

(beberapa menghitungnya hingga 7% ada pada anak-anak dengan riwayat

keluarga epilepsi, mereka dengan CFS, anak-anak dengan kekambuhan kejang

demam sederhana di bawah usia 12 bulan (dan mungkin mereka yang lebih dari 3

tahun), dan mereka yang memiliki durasi singkat demam sebelum kejang.Yang

terakhir juga merupakan prediktor kekambuhan kejang demam. Efek jumlah fitur

kompleks dalam kejang demam pada pengembangan epilepsi lebih lanjut masih

kontroversial. Di dalam CFS, status epilepticus demam terkait dengan epilepsi.18

Kejang Demam adalah kejang pada anak sekitar usia 6 bulan sampai 6

tahun yang terjadi saat demam yang tidak terkait dengan kelainan intrakranial,

gangguan metabolik, atau riwayat kejang tanpa demam. Kejang demam biasanya

terjadi pada anak berusia < 2 tahun karena keadaan otak belum matang sehingga
ambang batas kejang lebih rendah dan mekanisme eksitasi lebih dominan

dibanding inhibisi. Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki daripada

anak perempuan dengan rasio 2:1. Genetik memiliki pengaruh yang kuat dalam

terjadinya kejang demam, hal ini terlihat dari insiden kejang demam pada orang

tua penderita kejang demam sebanyak 8-22% dan saudara kandung anatar 9-

16
17%.

11. ETIOLOGI

Kejang demam adalah suatu kejang yang terjadi pada anak yang sedang

demam pada usia 3 sampai 60 bulan tanpa infeksi intrakranial, gangguan

metabolisme atau riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.5

Kejang demam (FS) adalah kejang atau kejang yang terjadi pada anak-

anak antara enam bulan dan enam tahun dan dipicu oleh demam. FS adalah jenis

kejang yang paling umum pada anak-anak. Prevalensinya sekitar 3% -4% pada

anak-anak kulit putih, 6% -9% pada anak-anak Jepang, dan 5% -10% pada anak-

anak India. Penyebab pasti FS masih belum diketahui, meskipun beberapa studi

menunjukkan kemungkinan hubungan dengan faktor lingkungan dan genetik.

Demam adalah respons normal terhadap infeksi, dan pelepasan sitokin dalam

kadar tinggi selama demam dapat mengubah aktivitas otak normal, memicu

kejang. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya, faktor-faktor risiko

untuk FS adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga dengan FS, suhu puncak

tubuh yang meningkat, penyebab demam tertentu, komplikasi prenatal dan natal,

kalsium serum rendah, natrium atau gula darah, mikrositik hipokromik anemia,
dan defisiensi besi dan seng. Studi lain menunjukkan bahwa FS berhubungan

dengan pewarisan poligenetik, bahkan jika pola pewarisan autosom dominan dari

"sifat kerentanan kejang demam" telah diidentifikasi di beberapa keluarga.

Akhirnya, mutasi pada gen yang mengkode saluran natrium dan reseptor asam -

aminobutyric A dapat berperan dalam perkembangan FS. Infeksi yang paling

sering dikaitkan dengan FS pada anak-anak adalah cacar air, influenza, infeksi

telinga tengah, infeksi saluran napas atas dan bawah (seperti tonsilitis, pneumonia,

bronkitis dan sinusitis), infeksi gigi, dan gastroenteritis (terutama yang disebabkan

oleh rotavirus).6

111. EPIDEMIOLOGY

Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6

bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun

pernah menderita kejang demam. Kejang demam sangat tergantung kepada umur,

85% kejang pertama sebelum umur 4 tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan.

Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum umur 5-6 bulan

atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak

kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat megalami

sampai umur lebih dari 5-6 tahun.1

FS memiliki prevalensi 2% -5% pada anak-anak di Eropa Barat dan

Amerika Serikat, dan puncak usia onset adalah 18 bulan. Anak-anak berusia 12-

30 bulan mewakili 50% dari semua anak-anak dengan FS, sementara proporsi

anak-anak yang mengalami episode FS pertama setelah usia empat tahun rendah
(6% -15%). Anak-anak dari semua kelompok etnis dapat mengalami FS, tetapi

ada prevalensi yang lebih tinggi pada beberapa kelompok etnis, khususnya warga

Guyana (14%), Jepang (6% -9%), dan India (5% -10%).6

Menurut survei epidemiologi nasional, tingkat prevalensi tingkat FS telah

menurun dari masa kanak-kanak menjadi dewasa dalam uji coba komunitas. Hal

ini konsisten dengan temuan dalam penelitian ini, bahwa FS pada anak di bawah 2

tahun lebih tinggi daripada untuk 2- dan Usia 6 tahun, masing-masing 58,8% dan

41,2%. Kejang tonik-kolon angka prevalensi di antara jenis kejang umum lainnya

adalah 78,9% (95% CI: 68,8% -89,2%). Kejang umum diklasifikasikan ke dalam

beberapa kategori tergantung pada efek perilakunya. Kejang tonik-kolon paling

sering dikaitkan dengan epilepsi dan kejang pada umumnya. Pada anak-anak

antara usia 6 dan 60 bulan, FS sederhana adalah peristiwa yang jinak dan umum,

dan hampir semua anak memiliki prognosis yang sangat baik. Kejang umum lebih

terkait dengan kerentanan terhadap epilepsi. Karena epilepsi kemungkinan besar

disebabkan oleh kecenderungan genetik daripada kerusakan struktural pada otak

yang disebabkan oleh FS sederhana yang berulang, tidak ada bukti bahwa

pengobatan profilaksis anak-anak dengan FS sederhana akan mengurangi risiko.

Namun, belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa pengobatan FSs

sederhana yang berhasil dapat mencegah perkembangan epilepsi di kemudian

hari. Lebih lanjut, tidak ada bukti sampai saat ini bahwa kejang demam sederhana

dapat menyebabkan kerusakan struktural pada otak.7

FSs terjadi pada 2% hingga 5% anak-anak usia 6 bulan hingga 5 tahun.

Insiden puncak terjadi pada usia sekitar 18 bulan dan rendah sebelum 6 bulan atau
setelah usia 3 tahun. Secara umum, kejadian FS menurun secara nyata setelah usia

4 tahun (dan kondisi ini jarang terjadi pada anak-anak yang lebih tua dari 7 tahun.

FS terjadi lebih sering pada populasi Asia, mempengaruhi 3,4% -9,3% anak-anak

Jepang dan 5% - 10% anak-anak India, tetapi hanya 2% -5% anak-anak di

Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat. Prevalensi tertinggi adalah 14% di Guam.

Sayangnya, tidak ada studi epidemiologis pada anak-anak Korea.

Laki-laki secara konsisten muncul memiliki frekuensi FS yang lebih tinggi

(rasio laki-laki ke perempuan, 1,1: 1 hingga 2: 1). Namun, beberapa penelitian

besar tidak menunjukkan perbedaan gender yang signifikan.

Ada dua puncak musiman dalam kejadian FS: November-Januari, sesuai

dengan puncak infeksi saluran pernapasan atas virus, dan Juni-Agustus, ketika

penyakit virus gastrointestinal umum terjadi. Variasi dalam prevalensi terkait

dengan perbedaan dalam definisi kasus, metode penentuan, geografi, dan faktor

budaya.

Dalam sebuah studi anak-anak dengan FS pertama, sebagian besar kejang

adalah sederhana, dan setidaknya satu fitur kompleks tercatat pada sekitar 35%

kasus, termasuk fitur dari focality (16.1%), multiple seizure (13.8%), durasi yang

lama (> 15 menit, 9,3%) dan kejang demam berulang dalam 24 jam (16,2%);

6,5% menunjukkan dua fitur kompleks, dan 0,7% menunjukkan tiga fitur

kompleks. Status demam epileptikus, yaitu kejang yang berlangsung lebih dari 30

menit, hanya mewakili 5% FS, dan mewakili sekitar 25% dari semua episode

status anak epileptikus dengan lebih dari dua pertiga kasus terjadi pada usia 2

tahun. Hanya 21% anak-anak yang mengalami kejang sebelum atau dalam 1 jam
setelah demam; 57% mengalami kejang setelah 1 hingga 24 jam demam, dan 22%

mengalami kejang demam lebih dari 24 jam setelah timbulnya demam.

FS sebagian besar bersifat umum dan kejang, tetapi sekitar 5% dari kasus

FS memiliki fitur nonkonvulsif dengan ketidaksadaran, menatap, penyimpangan

mata, atonia, atau sianosis.8

FS sederhana memiliki rentang usia yang secara klasik digambarkan

sebagai 6 hingga 60 bulan. Insiden puncak biasanya pada tahun kedua kehidupan.

FS lazim di hingga 5% dari anak-anak, dengan kejadian keseluruhan diperkirakan

460 / 100.000 pada kelompok usia 0-4 tahun. Kebanyakan FS sederhana; namun,

hingga 30% mungkin memiliki beberapa fitur kompleks. Risiko kekambuhan FS

terkait dengan berbagai faktor, termasuk kelompok usia yang lebih muda, durasi

kejang yang berkepanjangan, tingkat demam, dan riwayat FS pribadi dan keluarga

yang positif. Faktanya, riwayat keluarga positif FS pada kerabat tingkat pertama

diamati pada hingga 40% pasien. Distribusi gender telah dipelajari dalam literatur.

Satu studi sebelumnya menemukan dominasi pria yang ringan, tetapi ini belum

didukung oleh ulasan literatur lainnya. Variasi musiman sehubungan dengan

insiden kejang belum sepenuhnya dipahami. Penelitian telah menunjukkan bahwa

FS cenderung lebih banyak terjadi pada bulan-bulan musim dingin dan lebih

sering terjadi pada malam hari. Penjelasan patofisiologis yang mendasari

pengamatan ini tetap tidak jelas.9


1V. PATOFISIOLOGI

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi

pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 38 oC) yang disebabkan oleh proses

ekstrakranium.23

Kejang demam merupakan kelainan neurologist yang paling sering

dijumpai pada anak, terutama pada anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir

3% dari anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. 23

Hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi dikaitkan faktor resiko

yang penting adalah demam. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan

atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Faktor

resiko lainnya adalah riwayat keluarga kejang demam, problem pada masa

neonatus, kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33%

anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% akan

mengalami 3X recurrent atau lebih. 23

Sel dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam

adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membrane

sel neuron dapat dilalui dngan mudah oleh ion kalium (K +) dan sangat sulit dilalui

oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya

konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan

diluar sel terdapat keadaan sebaliknya). Karena perbedaan jenis dan konsentrasi

didalam dan diluar sel, maka disebut potensial membrane. Untuk menjaga
keseimbangan potensail membaran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-

ATPase yang terdapat pada permukaan sel. 23

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan

suhu tubuh tertentu dapat mempengaruhi keseimbangan dari membrane sel neuron

dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium dari

membrane tadi, dengan akibat lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini

demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membrane sel

tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.23

Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, pada anak yang ambang

kejangnya rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak

dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih.23

Kejang demam yang berlansung singkat tidak berbahaya dan tidak

menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari

15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi

kontraksi otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnea,

asidosis lactate, hipotensi.23

Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah kejang

berlangsung lama yang dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi

serangan epilepsy spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat

mnenyebabkan kelainan anatomis diotak sehinggga terjadi epilepsy.23


Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,

berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik,

klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang

berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa

detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan

saraf. 23

Meskipun mekanisme terjadinya FS masih belum jelas, percobaan pada

hewan sangat informatif. Pertama, peningkatan suhu otak mengubah banyak

fungsi saraf, termasuk beberapa saluran ion yang sensitif terhadap suhu. Ini

memengaruhi penembakan neuron dan meningkatkan kemungkinan menghasilkan

aktivitas neuron masif, yaitu kejang. Juga, proses inflamasi termasuk sekresi

sitokin di pinggiran dan di otak dikenal sebagai bagian dari mekanisme. Kedua,

ditemukan bahwa demam dan hipertermia memiliki mekanisme yang sama dalam

memprovokasi kejang: pirogen interleukin-1β yang menyebabkan demam

berkontribusi pada pembentukan demam dan sebaliknya, demam mengarah pada

sintesis sitokin ini dalam hippocampus. Selain itu, interleukin-1β telah terbukti

meningkatkan rangsangan saraf, bertindak melalui glutamat dan GABA. In vivo,

aksi interleukin-1β ini meningkatkan aksi agen pemicu kejang. Pentingnya

interleukin-1β endogen dalam terjadinya FS didukung oleh penelitian pada tikus

yang tidak memiliki reseptor untuk sitokin ini. Demam etiologi infeksi spesifik,

khususnya human herpes virus 6 (HHV6), dapat memengaruhi kemungkinan

generasi FS. Ketiga, hiperventilasi dan alkalosis yang diinduksi hipertermia telah

diusulkan sebagai elemen penting generasi FS dalam hal alkalosis otak memicu
rangsangan neuron dan berkontribusi pada kejang patofisiologi. Namun, kondisi

manusia yang terkait dengan alkalosis parah, termasuk menangis berkepanjangan

dan stenosis pilorik bayi, tidak terkait dengan generasi kejang.8

Di masa lalu, teori yang paling umum dikaitkan dengan efek langsung

dari kompensasi hipertermia pada hiperventilasi. Ini diasumsikan menyebabkan

alkalosis otak ringan, menghasilkan peningkatan rangsangan saraf dan

perkembangan kejang klinis berikutnya. Namun, teori ini belum menjelaskan

mengapa beberapa anak lebih rentan untuk mengalami fenomena seperti itu

daripada yang lain. Saat ini kita tahu bahwa ada peran besar kerentanan genetik

berdasarkan sekelompok besar varian gen. Susunan genetik ini kemungkinan telah

menghasilkan kerentanan perkembangan saraf, dengan perubahan dalam ekspresi

saluran natrium, disregulasi hipotalamus, dan rangsangan kortikal dan

hippocampus. Pemicu lingkungan, termasuk penyebab non-demam, kemudian

kemungkinan terlibat melalui jalur neurotropisitas dan metabolik.9

Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan

letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin

yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian

demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya

dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau

lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS

menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin

tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-

1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)

yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian

menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu

tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen

endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal

(glutamatergic) dan menghambat GABA- ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal

ini yang menimbulkan kejang.10

V. FAKTOR RISIKO

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Fuad dkk, 2010 bahwa faktor-

faktor yang berperan dalam risiko kejang demam yaitu:11

a. Faktor demam

Anak dengan demam lebih 39oC mempunyai risiko untuk mengalami

demam 4,5 kali lebih besar dibanding anak yang mengalami demam kurang 39 oC

dan anak dengan lama demam kurang dari dua jam untuk terjadinya bangkitan

kejang demam 2,4 kali lebih besar dibanding anak yang mengalami demam lebih

dari dua jam.11

Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang

demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak

didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu.1
b. Usia

Anak dengan kejang usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko

bangkitan kejang demam 3,4 kali lebih besar dibanding yang lebih dari dua

tahun.11

Resiko kejadian demam pada anak terhadap penyakit serius tergantung

pada usia anak. Pada neonatus yang terkena demam mempunyai resiko yang lebih

besar terkena penyakit serius dibandingkan dengan anak dengan umur yang lebih

tua. Hal ini dikarenakan infeksi pada neonatus yang berbeda dari infeksi pada

anak pada umumnya dan kemampuan sistem imun neonatus yang belum mampu

mengatasi infeksi.5

c. Riwayat keluarga

Persentase adanya riwayat kejang pada keluarga terdekat (first degree

relative) yaitu kedua orang tua ataupun saudara kandung. Anak dengan riwayat

kejang dalam keluarga terdekat (first degree relative) mempunyai risiko untuk

menderita bangkitan kejang demam 4,5 kali lebih besar dibanding yang tidak.11

Kejang demam dengan riwayat keluarga yang positif berisiko lebih tinggi.

Keluarga yang memiliki riwayat menderita kejang demam 25-40% dapat

diturunkan. Beberapa hasil dilaporkan bahwa kejang demam pada saudara

kandung berkisar dari 9% menjadi 22%. Studi pengelompokan keluarga

menunjukkan dua kali lipat lebih berisiko pada anak yang kedua orangtuanya

menderita dari pada salah satu dari orangtuanya.1


Faktor risiko berulangnya kejang demam, adalah riwayat

kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 18 bulan,

temperatur suhu saat kejang makin rendah temperatur saat kejang

makin sering berulang dan lamanya demam. Adapun faktor risiko

terjadinya epilepsi dikemudian hari adalah adanya gangguan

perkembangan neurologis, kejang demam kompleks, riwayat


12
epilepsi dalam keluarga, dan lamanya demam.

Faktor risiko untuk kekambuhan FS termasuk kerabat

tingkat pertama dengan FS, usia di bawah 18 bulan saat kejang,

suhu tinggi, dan durasi demam yang lama setelah kejang.17

Riwayat kejang demam pada keluarga, problem disaat

neonatus, perkembangan terlambat, anak dalam perawatan khusus,

kadar natrium serum yang rendah, dan temperatur tubuh yang

tinggi merupakan faktor risiko terjadinya kejang demam. Bila ada 2

atau lebih faktor risiko, kemungkinan terjadinya kejang demam

sekitar 30%.19

VI. KLASIFIKASI

Livingston et al. pertama kali memperkenalkan istilah

"kejang demam sederhana" dan "kejang epilepsi yang dipicu oleh

demam" untuk menunjuk dua kelompok berdasarkan usia onset,

karakteristik kejang, temuan electroencephalography (EEG),

frekuensi kejang, dan faktor genetik.8

FS diklasifikasikan sebagai sederhana atau kompleks. FS


sederhana didefinisikan sebagai umum, berlangsung kurang dari 15

menit, terdiri dari aktivitas tonik dan klonik umum tanpa

komponen fokus, dan tanpa kekambuhan dalam 24 jam atau dalam

penyakit demam yang sama. FS kompleks atau rumit didefinisikan

sebagai satu atau lebih pada point berikut: (1) onset parsial; (2)

durasi lebih dari 15 menit; (3) kejang demam berulang dalam

waktu 24 jam dari episode pertama; dan (4) hubungan dengan

kelainan neurologis postictal, seperti yang dicontohkan oleh Todd

paresis.8,18

Kejang demam dibagi dua yaitu kejang demam sederhana

dan kejang demam kompleks. Kejang demam kompleks adalah

kejang demam dengan lamanya lebih dari 15 menit, kejang fokal /

parsial atau fokal / persial menjadi umum dan berulang dalam 24

jam. Kejang demam sederhana merupakan kejang demam yang

berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umumnya berhenti

sendiri, bentuk kejang umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan

fokal. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh

kejang demam.19

VII. DIAGNOSIS

 Anammesis

a. Adanya kejang., jenis kejang, kesadaran, lama kejang

b. Suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam,

interval, keadaan anak pasca kejang, penyebab demam di

luar infeksi susunan syaraf pusat (gejala infeksi saluran


nafus akut/ISPA, infeksi saluran kemih ISK, otitis media

akut).

c. Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi

dalam keluarga

d. Singkirkan penyebab kejang yang lain

(misalnyadiare/muntah yang mengakibatkan gangguan

elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan

kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia) (Pudjiandi,

2009)

 Pemeriksaan fisik

a. Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu

tubuh : apakah terdapat demam

b. Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk, Bruzinski I dan II,

Kernique, Laseque

c. Pemeriksaan nervus cranial

d. Tanda peningkatan tekanan intrakranial : Ubun-Ubun Besar

(UUB) membonjol, papil edema

e. Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK

f. Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflek fisiologis,

reflek patologis

 Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan secara rutin pada

kejang demam tetapin dapat dikerjakan untuk mengevaluasi

sumber infeksi penyebab demam, atau keadaaan lain

misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam


Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan atas

indikasi darah perifer, elektrolit dan gula darah (level of

evidence 2, derajat rekomendasi B)

Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk

menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis,

Berdasarkan bukti-bukti terbaru , saat ini pemeriksaan

pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak

berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam

sederhana dengan keadaan umum baik 。 Indikasi pungsi

lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):

a. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal

b. Terdapat kecurigaan adanya infcksi SSP berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan klinis.

c. Dipertimbangkan pada anak dengan disertai demam

yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan

pemberian antibiotik tersebut dapat menguburkan tanda

dan gejala meningitis.

 Elektroensefalografi

Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam,

KECUALI apabila bangkitan bersifat lokal.

Keterangan:

EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan

adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih

lanjut.
Pencitraaan

Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala)

tidak rutin dilakukan pada anak dengan kecjang demam

sederhana (level of eidence 2, derajat rekomendasi B).

Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, scperti

kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis

atau paresis nervus kranialis.

VIII. PROGNOSIS (Pusponego, 2006)

a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan

neurologis Kejadian kecacatan sebagai komplikasi

kejang demam tidak pernah dilaporkan.Perkembangan

mental dan neurologis umumnya tetap nomal pada

pasien yang sebelumnya normal.Penelitian lain secara

retrospektif melaporkan kelainan saraf pada sebagian

kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus

dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum

atau fokal (pudjiandi, 2009)

b. Kemungkinan mengalami kematian

Kematian karena kejang demam tidak pernah

dilaporkan.

c. Kemungkinan berulangnya kejang demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian

kasus, Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:


- Riwayat kejang demam dalam keluarga

- Usia kurang dari 12 bulan

- Temperatur yang rendah saat kejang

- Cepatnya kejang demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan

berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila

terdapat factor tersebut kemungkinan berulangnya kejang

demam adalah 10-15% Kemungkinan berulangnya kejang

demam paling besar pada tahun pertama.

Faktor Resiko berulangnya Kejang Demam(Pusponegoro,2006)

a. Risiko berulangnya KD:

 Secara keseluruhan 30-35%

 50-65%awitan kejang I usia <12 bulan

 <20% awitan kejang I usia> 12 bulan

b. Mayoritas (50-75%) rekurensi terjadi pada 1 tahun

pertama setelah awitan kejang 1.

c. Faktor risiko:

 Usia muda saat kejang l

 Riwayat KD pada keluarga kandung

 Suhu yang rendah saat kejang

 Interval yang pendek antara demam dan kejang

d. Semua faktor nisiko ada, kemungkinan berulang 70%e.

e. Tidak ada risiko: 20%


Faktor risiko terjadinya Epilepsi (Pusponegoro, 2006)

Faktor risiko menjadi epilepsi adalah:

a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas

sebelum kejang demam pertama.

b. Kejang demam kompleks

c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara

kandung

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan

kejadian epilepsi sampai 4%-6 % , kombinasi dari faktor risiko

tersejabut meningkatkan kemungkinan 10%-49% (Level II -2 ).

Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan

pemberian obat rumah pada kejang demam.

IX. Tata Laksana Saat Kejang (Handryastuti, 2016)

Pada umumnya berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan

pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Jika pada saat

pasien datang dalam kejang, obat yang paling cepat untuk kejang

adalah diazepam intravena. Dosis diaezepam intravena adalah 0,2-

0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg / menit atau

dalam waktu 3 0 5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara

umum penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang

pada umumnya.

Obat yang praktis yang dapat diberikan olech orang tua di

numah adalah diazepam rektal. Dosis Diazepam rektal adalah 0,5-


0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat

badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dan 12

kg. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,

dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan

interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam

rektal masih tetap kejang. di anjurkan ke rumah sakit. Di Rumah

Sakit dapat diberikan diazepam intravena.

Jikakejang terus berlanjut, lihat algoritma tata laksana

status epileptikus, Bila kejang telah berhenti pemberian obat

selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan

profilaksis.

Pemberian obat pada saat demam (Handryastuti, 2016)

 Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik

mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level of evidence I,

derajat rekomendasi A), meskipun demikian dokter neurologi anak

Indonesi sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis

paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/Kg/kali diberikan tiap

4-6 jam. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

(Handryastuti, 2016)

 Antikonvulsan Pemberian obat antikonvulsan intermitten Yang

dimaksud dengan obat antikonvulsan intermitten adalah

antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. meskipun


demikian tidakterakterik antipiretik bukti. Dosis parasetamol yang

digunakan adalah 10-15 mg/Kgkali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis

Ibuprofen 5-10 mgkgkali, 3-4 kali schari. (Handryastuti, 2016)

 Antikonvulsan

Pemberian obat antikonvulsan intermitten

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermitten adalah

antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.

Profilaksis intermitten diberikan pada kejang demam dengan salah satu

factor resiko dibawahn ini:

- Kelainan neurologis berat, misalnya palsiselebral

- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

- Usia <6 bulan

- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39℃

- Jika pada episode kejang sebelumnya, suhu tubuh meningkat

dengan cepat

- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh

meningkat dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0.3 mg/kg/kali

peroral atau rektal 0.5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan < 12 Kg

dan 10 mg untuk berat badan ≥12 Kg), sebanyak 3 kali sehari dengan

dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermitten

diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada

orang tua buhwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan
ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

Pemberian obat antikonvulsan rumah ( Handryastuti, 2016)

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan

penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak

diinginkan, makan pengobatan rumat hanya diberikan pada kasus

selektif dan dalam jangka pendek.

Indikasi pengobatan rumat:

- kejang fokal 2

- kejang lama > 15 menit

- Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah

kejang, misalnya palsiselebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Keterangan:

- Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan

perkembangan, bukan merupakan indikasi pengobatan rumat.

- Kejang fokal atau fokal menjaudi umum menunjukkan bahwa

anak memiliki fokus organik yang bersifat fokal.

- Pada anak dengan kelainan saraf dapat diberikan etukasi untuk

pemberian terapi profilaksis intermitten terlebih dahulu , jika

tidak berhasil atau orang tua khawatir dapat diberikan terapi

antikonvulsan rumat.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat (Handryastuti, 2016)

Pemberian obat fenobabital atau asam valproat setiap hari


efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan

gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus obat

pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus

terutama yang berumur <2 tahun asam valproat dapat menyebabkan

gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mgkghari

dibagi dalam 2 dosis dan fenobarbital 3-4mg/kg/hari dalam 1 sampai 2

dosis.

Lama pengobatan rumat(Handryastuti,2016)

Pengobatan diberikan selama 1 tahun,penghentian pengobatan

rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off , namun

dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.

X. Edukasi pada orang tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi

orang tua.Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan

bahwa anaknya telah meninggal 。 Kecemasan ini harus dikurangi

dengan cara yang diantaranya:

- Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai

prognosis baik.

- Memberitahukan cara penanganan kejang

- Memberikan infomasi mengenai kemungkinan kejang

kembali

- Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif


tetapi harus diingat adanya cfek samping

obat(Pusponegoro2006.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:

- Tetap tenang dan tidak panik

- Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

- Bila tidak sadar,posisikan anak terlentang dengan kepala

miring Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau

hidung Walaupun kemungkinan lidah tergigit , jangan

memasukkan sesuatu kedalam mulut.

- Ukur suhu,observasi dan catat lama dan bentuk kejang

- Tetap bersama pasien selama kejang

- Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang

telah berhenti.

- Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5

menit atau lebih.

Anda mungkin juga menyukai