Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayahNya, serta
Shalawat dan salam penulisa sampaikan kepada junjungan alam Nabi Muhammad
SAW yang telah memberi petunjuk kepada kita semua sehingga berada di jalan
yang benar. Tidak lupa juga kami dari kelompok II mengucapkan banyak terima
kasih atas bantuan dari pihak yang telah membantu dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan makalah ini, Khususnya kepada dosen pengampu mata
kuliah Filsafat Hukum Bapak Dr. Faisal, S.Ag., SH., M.Hum dan teman-teman
seangkatan kuliah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penukis harapkan dari para pembaca
sekalian, sehinga pada kesempatan berikutnya penulis dapat menyempurnakan
makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca sekalian.
Kelompok II
DAFTAR ISI
Halaman
A. Latar Belakang
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai
harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir
harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor
36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, kemudian juga Keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kesemua aturan tersebut mengemukakan
prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan
terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai
partisipasi anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban
kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.
Perlindungan anak merupakan pekerjaan penting yang harus terus
dilakukan oleh seluruh unsur negara kita. Bentuk-bentuk perlindungan anak ini
pun dilakukan dari segala aspek, mulai dari pembinaan pada keluarga, kontrol
sosial terhadap pergaulan anak, dan penanganan yang tepat melalui peraturan-
peraturan yang baik yang dibuat oleh sebuah negara. Sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
secara resmi menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, maka terjadilah "era baru" perubahan paradigma hukum dalam
peradilan pidana anak dari yang dulunya bersifat absolut dan masih menggunakan
pendekatan paradigma hukum lama yang selalu mengedepankan bahwa setiap
anak yang melakukan perbuatan (pidana) harus dibalas dengan hukuman yang
setimpal atau kita kenal dengan istilah "hak untuk membalas secara setimpal: (ius
1
talionis), dimana pendekatan tersebut tidak jauh berbeda dengan perlakuan
terhadap orang dewasa yang melakukan tindak pidana, berubah dengan
pendekatan sistem hukum yang lebih humanis yang lebih mengutamakan
pendekatan keadilan restoratif yaitu suatu proses dimana semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu, secara bersama-sama memecahkan
masalah dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Dalam
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak pendekatan keadilan restoratif
dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka (6) yang menyebutkan keadilan restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukanlah pembalasan. Salah satu tindakan dalam penerapan keadilan
restoratif yang diamanatkan dalam undang-undnag tersebut adalah penerapan
upaya diversi dalam setiap tingkat pemeriksaan baik ditingkat penyidikan,
penuntutan dan persidangan anak, seperti tercantum dalam Pasal 5 Ayat 3
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi di atas, fokus penelitian ini adalah bagaimanakah
Efektivitas Penerapan Diversi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaiamana efektivitas Penerapan Diversi terhadap
Anak yang berhadapan dengan hukum.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Diversi
Kata diversi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu Diversion yang berarti
pengalihan, kemudian kata Diversion diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
istilah diversi. Karena berdasarkan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah,
penyesuaian akhiran –sion, -tion menjadi –si, oleh karena itu kata Diversion di
Indonesia menjadi diversi.1
Berdasarkan United Nations Standart Minimum Rules for Administration
of Juvenile Justice (The Beijing Rules), diversi adalah pemberian kewenangan
kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan
dalan menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak
mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/
melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/ menyerahkan
kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya.
Penerapan diversi dapat dilakukan di dalam semua tingkatan pemeriksaan,
dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses
peradilan tersebut.2
Menurut Nasir Djamil dalam bukunya Anak Bukan Untuk Dihukum,
diversi ialah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga
melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian
damai antara tersangka/ terdakwa/ pelaku tindak pidana dengan korban yang
difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan
Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.3 Sedangkan menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa diversi
adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Bandung: Pustaka
Setia, 2005), hlm. 84
2
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 1
3
Nasir Djamil, Anak Bukan untuk dihukum catatan pembahasan UU sistem peradilan pidana anak
(Jakarta : Sinar Grafika, 2013), hlm. 138.
3
proses di luar peradilan pidana,4 oleh karena itu tidak semua perkara anak yang
berkonflik dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, akan
tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan memberikan alternatif bagi penyelesaian
dengan pendekatan Restorative Justice sehingga, atas perkara anak yang
berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi demi kepentingan terbaik bagi
anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban.
Berdasarkan pasal (5) sampai dengan pasal 14, pasal 29, pasal 42 dan 52
ayat (2) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan dengan mengutamakan
pendekatan restorative justice. Kata “wajib diupayakan” mengandung makna
bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut dan juga hakim diwajibkan
untuk mengupayakan proses diversi dapat dilaksanakan. Kewajiban
mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
perkara anak di pengadilan negeri, dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana.5
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orangtua/ walinya, korban dan/atau orangtua/ walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
restorative justice.6 Selain itu juga dalam hal diperlukan, musyawarah tersebut
juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial dan/atau masyarakat.7
4
Lihat Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
5
Lihat Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
6
Lihat Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
7
Lihat Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
4
B. Efektifitas Diversi dalam perkara anak yang berhadapan dengan
hukum
Efektivitas (kata sifat) memiliki arti berhasil atau tepat guna yang berasal
dari kata dasar “efektif.” Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai
tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata efektif mempunyai arti efek, pengaruh, akibat atau dapat membawa hasil.
Jadi, efektivitas adalah keaktifan, daya guna, adanya kesesuaian dalam suatu
kegiatan orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju.8 Efektivitas
pada dasarnya menunjukkan pada taraf tercapainya hasil, sering atau senantiasa
dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun sebenarnya ada perbedaan diantara
keduanya. Efektivitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi
lebih melihat pada bagaimana cara mencapai hasil yang dicapai itu dengan
membandingkan antara input dan outputnya (penulis: asas hemat). Dengan
demikian, secara singkat pengertian efisiensi berarti melakukan atau mengerjakan
sesuatu secara benar, “doing things right”, sedangkan efektivitas melakukan atau
mengerjakan sesuatu tepat pada sasaran “doing the right things.”9
Dalam mengkaji mengenai efektifitas penerapan hukum, beberapa ahli
telah mengajukan teori mengenai efektifitas penerapan hukum. Diantaranya
Lawrence M Friedman yang mengemukakan 3 unsur yang harus diperhatikan
dalam penerapan hukum. Ketiga unsur tersebut meliputi substansi, struktur dan
budaya hukum. Apabila dikaji mengenai efektifitas pelaksanaan diversi dalam
perkara anak yang berhadapan dengan hukum dikaitkan dengan teori efektifitas
yang disampaikan oleh Lawrence M Friedman tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut :
1) Substansi Hukum
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-
pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Penjabaran
secara lebih kongkrit terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah. Dalam hal ini kaidah-
kaidah hukum yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Kaidah-kaidah
8
http://literaturbook.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-efektivitas-dan-landasan. html, diakses
tanggal 30 Juli 2021, pukul 09.40 WIB.
9
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/456/jbptunikompp-gdl-iiphimawan-22764-7-babii.pdf,
diakses tanggal 30 Juli 2021, pukul 09.40 WIB.
5
tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak
yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut
bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.
Substansi hukum menurut Lawrence M. Friedman, mengemukakan bahwa
substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas
hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan.10 Diversi sebenarnya sudah diterapkan dalam beberapa bagian sistem
hukum di Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak sudah mengatur dengan jelas tentang pentingnya proses
Diversi dalam peradilan pidana Anak karena anak memiliki arti penting dalam
kehidupan negara pada masa depan. Selain itu Undang-Undang juga mengatur
dengan jelas tentang siapa pihak-pihak yang harus terlibat dalam proses Diversi
untuk menghasilkan kesepakatan/ perdamaian.
Prosedur Diversi pada tingkat Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan sudah
ditentukan secara rinci dan jelas. Tindakan apa yang harus dilakukan oleh
Penyidik, Jaksa atau Hakim apabila proses Diversi berhasil atau tidak berhasil
juga diatur secara jelas. Selain itu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tersebut
sudah ada peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun serta Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak.
2) Struktur Hukum
Struktur hukum menurut Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa
struktur hukum adalah keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta
aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan
dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain.11
Faktor Penegak Hukum. Dalam hal ini adalah para Penyidik Anak, Jaksa
Anak, Hakim Anak, Bapas, Pembimbing Kemasyarakatan yang telah memiliki
10
Ahmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judisial
Prudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Hal 204.
11
Ibid.
6
pemahaman yang baik terhadap ketentuan-ketentuan proses diversi dalam
Undang-Undang No. 11 tahun 2012. Para Penegak Hukum memahami pentingnya
anak pelaku tindak pidana itu tidak perlu diselesaikan melalui proses peradilan,
karena pada akhirnya anak akan dihukum penjara sehingga kehilangan masa
depan.
Menurut Penegak hukum yang paling menjamin hak asasi anak pelaku
tindak pidana adalah proses diversi sehingga tercapai kesepakatan/ perdamaian
sebagai wujud keadilan restoratif sesuai yang dicita-citakan oleh Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Seperti halnya beberapa perkara yang dapat
diselesaikan dengan mekanisme diversi oleh penyidik seperti yang terjadi di
Kabupaten Aceh Timur dalam perkara yang dimintakan penetapan kesepakatan
diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri Idi yaitu diantaranya perkara penyidik:
1. Resor Langsa Nomor: B/432/VII/RES 1.8./2021/Reskrim.
2. Resor Langsa Nomor: B/238/IV/RES.1.10./2021/Reskrim.
3. Resor Aceh Timur Nomor: B/1327/VI/RES.4.2./2021/Resnarkoba.
Juga beberapa perkara yang telah terjadi kesepakatan dalam proses diversi
di pengadilan Negeri Idi dengan Nomor perkara:
1. 1/Pid.Sus-Anak/2021/PN Idi
2. 2/Pid.Sus-Anak/2021/PN Idi.
Hal tersebut menunjukkan telah banyak perkara pidana yang melibatkan
anak sebagai pelaku berhasil diselesaikan oleh penegak hukum dengan
mekanisme diversi. Dalam hal ini diketahui para penegak hukum telah memiliki
pemahaman mengenai maksud dan tujuan Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA).
12
Ibid
13
https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-
peradilan-pidana-anak, diakses tanggal 29 Juli 2021, pukul 17.23 WIB.
8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
9
mendukung efektifitas penerapan diversi dalam penyelesaian perkara anak
yang berhadapan dengan hukum.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judisial Prudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2005. Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah. Bandung: Pustaka Setia.
Djamil, Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU
Sistem Peradilan Pidana Anak, Jakarta : Sinar Grafika.
Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing.
Website
http://literaturbook.blogspot.co.id
http://elib.unikom.ac.id.
https://www.mahkamahagung.go.id.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
11