Anda di halaman 1dari 28

Case Report

Manajemen Kecemasan Pasien Anak pada Kedokteran Gigi

PENULIS : Drg. Susi Indriaswati, Sp. KGA

Program Studi Sarjana Kedokteran Gigi dan Profesi Dokter Gigi


Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Case Report Manajemen Kecemasan Pasien Anak pada Kedokteran Gigi”.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Universitas Udayana. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca.

Denpasar, 12 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................................4
BAB III DISKUSI............................................................................................................8
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................11
4.1 Kecemasan Anak................................................................................................11
4.1.1 Pengertian...................................................................................................11
4.1.2 Tanda dan Gejala.......................................................................................11
4.1.3 Rentang Respon........................................................................................12
4.2Kecemasan Dental Anak.....................................................................................14
4.2.1 Definisi......................................................................................................14
4.2.2 Etiologi......................................................................................................14
4.2.3 Faktor-faktor Kecemasan Anak dalam Kedokteran Gigi.........................17
4.2.4 Dampak Kecemasan Terhadap Prosedur Perawatan Gigi........................19
4.3 Manajemen Kecemasan Anak............................................................................20
BAB V PENUTUP..........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecemasan merupakan respon terhadap situasi tertentu yang mengancam,


dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan. Kecemasan adalah reaksi
yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah
menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya (Fitri
Fauziah & Julianti Widuri,2007). Hal ini sering terjadi pada anak kecil yang
melakukan perawatan gigi, yaitu sekitar 10 – 20 % anak – anak dan remaja. Hal
ini terjadi karena bentuk stres atau kekhawatiran yang disebabkan oleh buruknya
kesehatan mulut dan memiliki dampak negatif pada kualitas hidup pasien dan
orang tua atau wali mereka.

Perawatan gigi anak sangat ditentukan oleh hubungan dokter dengan anak
dan orang tuanya. Hal yang perlu dilakukan untuk mengendalikan rasa takut dan
kecemasan ketika dihadapkan dengan perawatan adalah berbicara, hal tersebut
sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kepercayaan pasien dan menjelaskan
secara detail dan mudah dimengerti sehingga rasa ingin tahu anak-anak yang besar
dalam lingkungan gigi dapat dijelaskan dan membuang hal yang salah dalam
pikiran anak. Teknik manajemen non-farmakologis yang paling sering digunakan
dalam kedokteran gigi anak adalah sebagai berikut: komunikasi verbal, tell-show-
do, komunikasi non-verbal, penguatan positif, gangguan, ada atau tidaknya orang
tua dan pengekangan fisik. Setiap teknik memiliki indikasi dan usia kapan teknik
ini paling baik digunakan.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah penampilan profesional.


Anak-anak mengembangkan kesan dokter gigi mereka sebelum komunikasi

1
verbal, berdasarkan penampilan. penelitian oleh Ravikumar et al, studi cross-
sectional pada 534 anak berusia antara 6 dan 11 tahun, di sekolah dan di klinik
gigi. Anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok sesuai usia. Foto-foto dokter gigi
dalam jas putihnya, pakaian bedah dan pakaian kasual dan tingkat kecemasan
dievaluasi menggunakan Skala Kecemasan Gigi Anak-Anak [MCDAS (h)].
Disimpulkan bahwa anak-anak kecil lebih suka melihat para dokter gigi yang
mengenakan pakaian kasual. Anak-anak yang lebih tua lebi hsuka dokter gigi
mengenakan jas putih dan pakaian bedah. Jas putih adalah seragam pilihan untuk
sebagian besar anak-anak di lingkungan sekolah, tetapi tingkat pemilihan untuk
pakaian bedah lebih tinggi di lingkungan klinik gigi. Serta faktor lingkungan
tempat mereka tinggal sangat mempengaruhi sikap dan kebiasaan anak-anak, oleh
karena itu motivasi sangat penting bagi anak-anak.

Perkembangan psikologis pada anak-anak harus disadari oleh dokter gigi


sehingga dapat mengetahui bagaimana membangun hubungan kepercayaan
dengan pasien anak, mengingat bahwa di mana anak-anak terlibat, tindakan dan
kata-kata sangat berkontribusi pada kepribadian mereka, melakukan diagnosis
yang benar, agar kemudian mencapai perawatan yang sukses. Seorang dokter gigi
yang dapat membedakan dan menjelaskan masing-masing fase perawatan dan
memahami kebutuhan anak, akan membuat perawatan lebih nyaman dan membuat
orangtua aman dantenang. Ini juga akan membantu seorang dokter gigi melakukan
pekerjaannya, tidak merasa frustrasi atau bersalah ketika anak menangis atau
menolak perawatan
Barreto et al. melakukan penelitian tentang prevalensi kecemasan pada
anak-anak berusia antara enam dan tujuh tahun. Untuk tujuan ini, penulis
menggunakan kuesioner kepada 1.367 anak-anak di sekolah negeri dan swasta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,4% anak-anak memiliki beberapa bentuk
kecemasan terkait dengan konsultasi gigi, di mana 74,1% dianggap ringan hingga
sedang, dan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam hal jenis
kelamin anak-anak. Para penulis menyimpulkan bahwa kecemasan tinggi terjadi
pada anak-anak yang belum pernah mengunjungi dokter gigi.
Klinik gigi tidak selalu menyediakan lingkungan yang menyenangkan, Oleh
karena itu, opsi baru diperlukan untuk membantu proses psikologis ini. Salah satu
alternatif dalam jenis lingkungan ini adalah dengan menggunakan sistem motivasi
ekstrinsik, dengan kata lain, ketika emosi yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan dapat dihasilkan oleh hadiah yang diterima setelah tindakan
tertentu, berdasarkan pada penguatan positif. Hal tersebut digunakan untuk
mengubah perilaku tertentu dan memperkuat sikap dengan cara yang positif,
tindakan yang akan menghasilkan hadiah atau hadiah.
Salah satu alternatif untuk mengubah perilaku anak dalam waktu singkat
adalah dengan menggunakan bagan insentif. Ini adalah teknik yang
menggabungkan penguatan positif dengan hadiah. Setiap kali suatu tujuan selesai,
anak itu mendapat senyuman yang menunjukkan perilaku (bahagia atau sedih).
Setelah menyelesaikan tujuan, anak itu mendapat hadiah. Ini terjadi karena
perilaku manusia dapat dimodifikasi melalui pengkondisian melalui penguatan
dan seiring waktu, perilaku ini dapat menjadi kebiasaan.
Penggunaan bagan insentif sering digunakan di bidang pengajaran dan
pendidikan dengan tujuan menetapkan aturan dan batasan. Jika anak tersebut tidak
mencapai tujuan yang diusulkan, hukuman diterapkan seperti tidak diizinkan
menonton TV, bermain video game dan / atau menggunakan tablet, misalnya.
Ketika tujuan tercapai, hadiah diberikan sebagai bentuk mendorong perilaku yang
baik untuk melanjutkan.

Meskipun mungkin terlihat efektif di bidang pendidikan, tidak ada yang


sama dengan grafik insentif dalam kedokteran gigi anak. Menyadari bahwa teknik
ini mungkin sangat berguna, tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat
metode bagan insentif yang berfokus pada bidang kedokteran gigi anak dan untuk
memastikan penerapannya dalam pendidikan perawatan kesehatan mulut baik di
luar maupun di dalam lingkungan klinik gigi. Dengan demikian, tujuan dari
penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa bagan intensif adalah sebuah cara
yang efektif untuk mengatasi kecemasan pada pasien anak
BAB II

LAPORAN KASUS

Pasien anak laki-laki berusia lima tahun datang ke klinik gigi ditemani
oleh ibunya, karena ia memiliki beberapa lesi karies dan bersikap tidak kooperatif.
Menurut sang ibu, seorang profesional lain telah berusaha untuk mengobatinya,
tetapi tidak berhasil,dimana ia hanya menggunakan bahan kariostatik pada
geraham dengan tujuan agar lesi karies tidak akan memburuk, lebih lanjut
(Gambar 1).

Gambar 1. Aspek klinis awal dari kondisi mulut anak.

Terlihat saat kunjungan pasien ke klinik (penglihatan dari jauh), terlihat


jelas bahwa ia sangat pemalu, ia selalu melekat pada ibunya. Setelah banyak
berdiskusi, ia duduk di kursi dokter gigi, tetapi sulit untuk membuatnya
berkomunikasi dengan baik antara dokter gigi dan anak tersebut (Gambar 2).
Gambar 2. Sulit membangun komunikasi apapun antara dokter gigi dan anak.

Sebelum memulai prosedur, pada kunjungan pertama ini dokter spesialis


bedah mulut melakukan kontak pertamanya dengan pasien melalui percakapan,
dengan tujuan untuk mengidentifikasi profil psikologis anak tersebut, tetapi tidak
berhasil.

Pada kunjungan kedua, dari beragam teknik prosedural psikologis yang


tersedia, rencana yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan bagan motivasi.
Tujuannya adalah untuk menempatkan tiga angka yang berkaitan dengan perilaku
gigi dan untuk setiap fase yang sukses, pasien akan mendapatkan wajah
tersenyum di mana dokter gigi akan menggambar tiga wajah tersenyum, dia akan
mendapat hadiah. Jika dia tidak mencapai tujuan, dokter gigi akan melanjutkan
perawatan, memberinya pelukan dan menjelaskan mengapa dia tidak
mendapatkan hadiah. (gambar 3)
Gambar 3. Kerangka motivasi diidealkan untuk penelitian

Bagan itu ditunjukkan kepada pasien pada kunjungan kedua, di mana


dokter gigi menjelaskan bagaimana cara kerjanya dan meskipun anak tersebut
terlihat enggan, ia tetap memperhatikan penjelasan tersebut. Dokter gigi
menjelaskan dan melihatkan bahan-bahan yang akan ia gunakan, menggunakan
teknik tell-show-do dengan sebaik mungkin meskipun menggunakan daya tipu.
Hadiah pertamanya adalah sekotak playdough. Saat dokter gigi memberikan
hadiah tersebut kepadanya, ia menjadi malu walaupun terlihat sangat senang. Pada
akhir konsultasi, dokter gigi memberi selamat kepadanya atas perilakunya dan
menjelaskan bahwa jika dia berperilaku baik selama kunjungan berikutnya dia
akan mendapatkan hadiah yang lebih banyak (gambar 4).

Gambar 4. Hadiah tambahan sebagai bentuk penghargaan.


Saat kunjungan ketiga, dokter gigi menambahkan gambar baru, yaitu
gambar menangis, lalu ia menjelaskan kepada anak tersebut bahwa untuk
mendapatkan wajah tersenyum lagi ia tidak boleh menangis. Anak tersebut tiba
dengan suasana hati yang sangat kooperatif dan memungkinkan untuk
dilakukannya foto rontgen, ia berperilaku sangat baik, dan mendapatkan wajah
tersenyum. Saat dilakukan foto rontgen anak tersebut mengeluh kesakitan dan
hasil dari sinar-X tidak menunjukkan kerusakan pulpa,sehingga diputuskan untuk
dilakukan perawatan restoratif atraumatic (ART) pada gigi 74 dan 75. Selama
dilakukannya partial removal, dia berperilaku sangat baik dan menerima wajah
tersenyum lagi. Ketika tiba saatnya merestorasi gigi dengan bahan restoratif, anak
tersebut tidak suka dengan rasa larutan asam poliakrilat dan menjadi tidak
kooperatif. Anak tersebut menangis, dan muntah beberapa kali, tetapi dengan
perjuangannya akhirnya fluoride dapat diaplikasikan. Di akhir konsultasi,
dijelaskan kepada anak tersebut bahwa dia telah mendapatkan dua wajah
tersenyum dan satu wajah sedih, jadi dia tidak akan mendapatkan hadiahnya dan
hanya diberikan motivasi agar meningkat pada kunjungan berikutnya.

Pada kunjungan keempat, ART diaplikasikan pada gigi 55, pasien


berperilaku baik dan pada akhirnya ia mendapatkan hadiah.

Pasien tiba dengan suasana kooperatif untuk kunjungannya yang kelima,


meski sang ibu sangat khawatir oleh keadaan oral hygine putranya, dimana ia
menjelaskan bahwa putranya tidak mampu untuk menikmati makan-makanan
karena merasa kesakitan namun bagan tersebut ditunjukkan kembali kepada
pasien sekali lagi sehingga ia menjadi tenang. Pada akhir kunjungan tersebut, anak
tersebut mendapat empat wajah tersenyum dan memenangkan hadiah (sekotak
pensil warna), dan sekarang ia telah mengurangi rasa pemalunya, dan sikapnya
menunjukkan bahwa dia sangat menyukai hadiahnya.
BAB III

DISKUSI

Adaptasi perilaku pasien bedah kedokteran gigi anak dicapai dengan


menggunakan prosedur yang menggabungkan kemampuan teknis dari profesional
dan perilaku interpersonal yang baik. Tingkat kecemasan anak-anak dalam
konsultasi dapat bervariasi sesuai dengan usia, kecemasan orang tua, informasi
yang menyimpang dari saudara kandung atau teman-teman atau bahkan khayalan
yang mungkin tidak diketahui sebenarnya seperti apa perawatan gigi anak terebut.
Dalam kasus ini, anak berusia lima tahun telah mengalami pengalaman buruk
dengan seorang profesional yang bukan dokter gigi anak, di mana dia tidak
berhasil melakukan perawatan dan ibunya terbukti kurang kooperatif.
Konsultasi kedokteran gigi anak untuk dapat mengandalkan kerjasama
dengan pasien, perlu untuk memahami dan menghormati setiap fase
perkembangan anak. Maka dari itu, sebelum memulai perawatan gigi, perlu untuk
menggunakan teknik manajemen perilaku untuk mengurangi ketakutan dan
kecemasan anak dan ibu selama konsultasi. Selain teknik prosedural psikologis,
profesional harus memiliki semua keterampilan untuk berkomunikasi, hubungan
dan mengetahui cara mendengarkan, selalu dengan tujuan menghilangkan
kecemasan dan ketakutan pasien, mengajar pasien untuk mengatasi situasi dan
untuk menghasilkan kepercayaan. Dari teknik manajemen psikologis yang
disebutkan di atas, teknik tell-show-do, distraction, dan molding dipandang
sebagai alternatif yang baik untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan pada
anak-anak selama perawatan gigi, seperti yang ditunjukkan oleh studi Rezende et
al. dan Fakhruddin et.al. Tidak seperti dalam literatur, taktik psikologis ini tidak
berhasil dalam mengizinkan perawatan gigi yang memadai dan upaya untuk
menjadi teman pasien hampir selalu terhambat, terutama karena perilaku ibu.
Berdasarkan pada pemahaman perkembangan psikososial dan afektif pada masa
kanak-kanak bayi, kehadiran ibu menguntungkan selama konsultasi. Namun
dalam kasus klinis yang dijelaskan di sini, anak itu, pada usia lima tahun, belum
dewasa untuk usia kronologisnya. Dengan demikian ibu hadir selama perawatan
dengan tujuan mengurangi kecemasan dan menjaga keselamatan anak. Ini hanya
mungkin, bagaimanapun , karena dia diarahkan untuk menjaga ketenangan
anaknya dan menghindari berbicara atau membelai putranya selama perawatan,
jika tidak dia harus meninggalkan klinik agar tidak menimbulkan kecemasan atau
rasa tidak aman lagi untuk putranya.

Dalam satu studi perilaku psikologis anak, dinyatakan bahwa anak-anak


sudah memiliki tingkat pemahaman yang lebih baik pada usia empat tahun, jadi
pengekangan fisik tidak banyak digunakan, melainkan pembentukan aturan dasar
untuk menghasilkan kepercayaan dan menetapkan batas perilaku. Karena profil
psikologis pasien telah digambarkan pada saat kunjungan pertama, kami tahu
bahwa beberapa motivasi tambahan akan diperlukan untuk berhasil dalam
mengendalikan rasa takut / cemasnya, maka usulan dari grafik motivasi. Grafik
motivasi banyak digunakan di bidang pendidikan dan pembelajaran di rumah dan
di sekolah, dengan tujuan mendorong kepatuhan terhadap peraturan. Setiap kali
wajah tersenyum tercapai dan, tergantung pada prestasi, itu akan dipenuhi dengan
stiker dekoratif dengan wajah sedih atau tersenyum dan, tergantung pada hasilnya,
anak akan diberi hadiah, hadiah, perjalanan atau hal lain yang disukainya dan, jika
dia tidak mematuhi aturan-aturan kecil ini, dia bias meminta sesuatu yang dia
sukai diambil, seperti video game, TV atau pergi ke bioskop. Pada akhirnya, ini
adalah kombinasi teknik yang digunakan dalam manajemen psikologis perawatan
gigi, seperti tell-show-do dan komunikasi verbal.

Bagan insentif dapat membantu anak untuk memahami rutinitasnya dan


membantu dalam memperkenalkan kegiatan sehari-hari. Berdasarkan teori ini dan
mengamati kesulitan mengkondisikan pasien selama perawatan gigi, grafik
motivasi dengan bias kesehatan mulut diperkenalkan. Bagan ini dikembangkan
oleh kami dan didasarkan pada perilaku anak. Pertama kali, tiga tugas
dimasukkan, seperti membuat janji dengan gigi sudah disikat di rumah, tetap di
kursi dengan mulut terbuka sehingga dokter gigi dapat memeriksa gigi dan
membiarkan sikat gigi dan memperbaiki gigi terbuka. Pada sesi pertama, bagan
dijelaskan kepada anak dan ditempatkan di garis pandangannya. Jadi, setiap kali
dokter gigi menyelesaikan tugas, wajah (sedih atau senang) akan tertera pada
bagan. Penunjukan pertama memuaskan. Meskipun anak itu membiarkan dirinya
diperiksa, ia mengamuk.

Pada kunjungan kedua, ditambahkan sosok lain yang menjelaskan bahwa,


selain melakukan tiga tugas, mereka harus diselesaikan tanpa menangis. Pada
pertemuan ketiga, perilaku tersebut berjalan dengan baik sampai, ketika
menerapkan asam etsa untuk memulihkan gigi dengan GIC, anak tersebut
merasakan rasa yang tidak enak dan mulai menangis dan tidak mau bekerja sama.
Perawatan ini tidak bisa diselesaikan. Dengan total hanya dua wajah yang
tersenyum, anak itu tidak mendapatkan hadiahnya dan dia disarankan pada akhir
konsultasi bahwa perilakunya perlu ditingkatkan dan dia menerima teguran
lembut yang memungkinkan dia meningkatkan perilaku nya lain waktu. Semua
sikap dan perilaku ini dilakukan agar anak dapat terdorong dan termotivasi untuk
menunjukkan perilaku yang baik diwaktu yang akan datang. Ini merupakan hasil
yang sebenarnya diinginkan pada pertemuan terakhir, perilaku anak sudah lebih
tenang dan perasaan malu berkurang, senang dengan hadiah yang diterimanya di
akhir perawatan. Sangat penting bahwa, di masing-masing dari fase-fase ini,
dokter gigi memuji pasien. Mengetahui bagaimana cara memuji pada saat yang
tepat menunjukkan pada anak tentang pengakuan melalui upayanya ketika
dihadapkan dengan situasi dimana ia menjadi sasaran.

Studi ini baru, dalam arti bahwa menyatukan antara pembelajaran


psikologis, pengajaran dan pendidikan dalam klinik gigi. Semua anak merasakan
kebutuhan untuk dicintai dan untuk mampu. Jika, selama perawatan, professional
menunjukkan sensitivitas dan kasih sayang, beberapa kecemasan dan ketakutan
akan hilang. Tidak ada aturan umum untuk Prosedur ini, dan diperlukan akal sehat
serta intuisi dari pihak profesional dan merupakan dasar untuk manajemen
perawatan gigi anak yang lebih baik.
Penggunaan grafik insentif sangat efektif dalam perilaku dan
mengembangkan kematangan pasien selama perawatan. Mungkin sedikit
keterlambatan dalam prosedur, luangkan waktu di antara perawatan (30 hari).
Mungkin, jika perawatan dilakukan setiap seminggu, tindakan ini akan lebih
efektif , tapi bagaimanapun pada akhirnya, penggunaan bagan ini adalah opsi
tambahan untuk digunakan sebagai pendekatan untuk perilaku di klinik gigi
swasta dan umum, bahkan di Universitas.
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Kecemasan Anak

4.1.1 Definisi

Kecemasan adalah gejolak emosi individu yang berkaitan dengan sesuatu


diluar dirinya serta mekanisme diri yang digunakan untuk mengatasi
permasalahan. Kecemasan juga berhubungan dengan perasaan yang tidak pasti
dan ketidakberdayaan seseorang sebagai hasil penilaian terhadap keadaan atau
suatu objek tertentu. Emosi ini umumnya dialami secara subjektif dan terkadang
objeknya tidak jelas. Rasa cemas dapat timbul sebagai respon terhadap stres, baik
stres psikologis atau fisiologis, hal ini berarti kecemasan terjadi saat seseorang
merasa terancam akan sesuatu secara fisik maupun psikis (Asmadi, 2008).

Kecemasan merupakan hal yang biasa dialami semua orang, kecemasan


dapat memberi pengaruh besar terhadap perubahan perilaku serta merupakan
respon normal terhadap peristiwa yang dianggap memberi tekanan yang dapat
menyebabkan seseorang menjadi gelisah (Kandou dkk., 2013). Tingkat keparahan
dan penyebab kecemasan menunjukkan bahwa kecemasan dianggap sebagai
reaksi normal atau abnormal (Ibrahim dkk., 2016).

Kecemasan merupakan kondisi yang sangat langka dilaporkan karena tidak


dianggap penting, sulit untuk memprediksikan jumlah individu yang menderita
kecemasan sebab mayoritas penderita tidak konsultasi ke dokter. Kecemasan
adalah suatu reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan
seseorang. Penting untuk mengetahui bahwa kecemasan dapat muncul dengan
sendirinya atau disertai dengan gejala-gejala lainnya. Lingkungan, perasaan yang
tertekan serta penyebab-penyebab fisik lainnya juga dapat menimbulkan
kecemasan (Ramaiah, 2003).

4.1.2 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang sering dialami oleh individu yang mengalami
kecemasan, antara lain:
1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah
tersinggung.
2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.
4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.
5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.
6. Keluhan-keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdenging, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan
pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala (Lestari, 2015).
4.1.3 Rentang Respon

Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.
Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami secara
subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Cemas berbeda
dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang
berbahaya. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup,
tetapi tingkat cemas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan. Rentang respon
kecemasan menggambarkan suatu derajat perjalanan cemas yang dialami individu
(dapat dilihat dalam gambar 2.1)

RENTANG RESPON KECEMASAN

Tingkat Kecemasan adalah suatu rentang respon yang membagi individu


apakah termasuk cemas ringan, sedang, berat atau bahkan panik. Beberapa
kategori kecemasan menurut Stuart (2007):
a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan yang menyebabkan


individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ini
dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas

b. Kecemasan sedang

Kecemasan ini memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang


penting dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan sedang ini mempersempit
lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian
yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk
melakukannya.

c. Kecemasan berat

Pada tingkat kecemasan ini sangat mengurangi lapang persepsi individu.


Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak
berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.
Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

d. Tingkat Panik pada Kecemasan

Tingkat paling atas ini berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan


teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan
kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melalukan sesuatu
walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan
menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan
pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan,
jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan
kematian.
4.2 Kecemasan Dental Anak

4.2.1 Definisi

Kecemasan dental menurut Klingberg dan Broberg adalah suatu keadaan


tentang keprihatinan bahwa sesuatu mengerikan akan terjadi yang dihubungkan
dengan perawatan gigi atau aspek tertentu dari perawatan gigi.

4.2.2 Etiologi
Etiologi Kecemasan dental dapat dikelompokkan menjadi 3 besar yaitu:
faktor personal, faktor eksternal, dan faktor dental.

1) Faktor Personal
Faktor personal meliputi: usia, kecemasan secara umum, temperamen
(emosional). Usia anak dapat dihubungkan dengan kecemasan dental dan masalah
perilaku anak. Kecemasan dental serta masalah perilaku anak pada umumnya
terjadi pada anak-anak dalam merefleksikan pengaruh perkembangan psikologi
anak dalam kemampuannya menghadapi perawatan dental. Anak kecil akan
merasa dan mengerti situasi dental yang tentu akan berbeda dengan orang dewasa.
Alasan utamanya yaitu proses memahami dan motivasi untuk taat terhadap
perawatan dental memerlukan kesiapan anak itu sendiri.

Temperamen ialah kualitas emosional personal bawaan yang cenderung


stabil. Temperamen juga dipercaya merupakan pengaruh genetik. Kecenderungan
dari temperamen ialah sifat pemalu yang ditemukan pada 10% populasi anak.
Dikarakteristikan dengan kecenderungan sulit beradaptasi dalam situasi baru. Hal
ini tampak jelas saat bertemu dengan orang asing. Kecenderungan temperamen
adalah emosi negatif seperti mengangis, takut, dan marah. Dua kecenderungan
temperamen yaitu sifat malu dan emosi negatif telah dihubungkan dengan rasa
cemas terhadap perawatan dental.

Faktor personal lain seperti jenis kelamin juga turut berperan dalam tingkat
kecemasan dental yaitu anak perempuan cenderung memiliki tingkat kecemasan
dental yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki.
Prevalensi kecemasan dental pada anak usia 11-14 tahun adalah 7,1% dengan
tingkat kecemasan tertinggi pada anak perempuan dan pada anak dengan tingkat
sosial yang rendah.

2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal terdiri dari: kecemasan orang tua, situasi sosial dalam
keluarga, latar belakang etnik keluarga, pola asuh orang tua, peran lingkungan
sosial. Prevalensi kecemasan dental dilaporkan berkisar antara 5-20% di berbagai
negara. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kecemasan dental pada anak
secara signifikan dihubungkan dengan kecemasan orang tua.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi kebiasaan untuk ibu, lebih
sering daripada ayah, untuk menemani anak ke dokter gigi. Untuk alasan ini, efek
kecemasan ibu pada kunjungan ke dokter gigi terhadap anak-anak telah memberi
cukup perhatian dalam literatur dalam kedokteran gigi. Sebagian besar penelitian
menunjukkan terdapat korelasi antara kecemasan ibu dan kooperatif anak pada
kunjungan pertama. Orang tua yang memiliki tingkat kecemasan yang tinggi
cenderung mempengaruhi perilaku anak-anak dan lebih mengarah pada perilaku
negatif. Dengan kata lain, orang tua yang cemas terhadap perawatan gigi
cenderung memiliki anak-anak yang cemas juga.

Anggota keluarga yang lain juga dapat mempengaruhi kecemasan anak


misalnya anggota keluarga yang cemas dijadikan contoh pada anak-anak yang
belum pernah ke dokter gigi yang konsekuensinya dapat mempengaruhi
kunjungan ke dokter gigi.

Pengalaman dental dari teman dan saudara (vicarious learning) juga dapat
menyebabkan kecemasan dental pada anak. Banyak orang yang belum
mendapatkan perawatan dental tetapi merasa cemas. Anak dapat belajar dari cerita
teman seusianya yang bermasalah pada giginya. Rasa takut untuk merasakan sakit
secara umum ditemukan pada anak sehingga sering menimbulkan kecemasan
tersendiri pada anak.
Faktor eksternal lainnya yaitu keadaan sosial. Kelompok anak dengan status
sosial ekonomi rendah memperlihatkan tingginya prevalensi kecemasan dental
dan masalah perilaku.

3) Faktor Dental
Faktor dental terdiri dari: Rasa sakit dan lingkungan dental (pengalaman
dental). Anak yang cemas selama kunjungan dental berhubungan dengan
pengalaman traumatik atau prosedur dental yang tidak menyenangkan cenderung
tidak kooperatif dan begitupun sebaliknya, anak-anak yang memiliki pengalaman
medis yang positif lebih cenderung bersikap kooperatif dengan dokter gigi.

Salah satu penyebab kecemasan dental dan masalah perilaku saat perawatan
gigi ialah rasa sakit yang ditimbulkan dari perawatan. Rasa sakit didefinisikan
sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang disebabkan karena kerusakan
jaringan atau oleh ancaman kerusakan itu. Sensasi tidak harus disebabkan oleh
kerusakan jaringan, tetapi juga oleh kondisi stimuli seperti suara bur dan jarum.
Hal ini disebabkan karena secara normal rasa sakit menimbulkan reaksi fisiologi
dan psikologi untuk melindungi tubuh dari kerusakan jaringan, perilaku tidak
kooperatif. Ini reaksi yang wajar saat anak merasakan sakit atau
ketidaknyamanan.

Pemahaman anak terhadap rasa sakit sangat bervariasi tergantung


kemampuan kognitif, reaksi dan pemikiran anak terhadap stimuli yang bervariasi
bergantung usia dan kematangan. Faktor tambahan lain seperti perkembangan
sosio-emosional, keluarga dan situasi social, dukungan orang tua, hubungan
dengan tim dental mempengaruhi bagaimana anak menhadapi stress, rasa sakit,
dan ketidaknyamanan.

Anak-anak yang berkunjung tidak teratur dan menerima prosedur perawatan


selama waktu tertentu menunjukkan peningkatan kecemasan, sedangkan tingkat
kecemasan bagi mereka yang berkunjung secara teratur dan mengalami beberapa
prosedur perawatan invasif tidaklah berubah. Namun, anak-anak yang tidak
pernah menerima perawatan invasif, baik mereka berkunjung secara teratur atau
tidak, adalah menunjukkan kecemasan paling tinggi.
4.2.3 Faktor-Faktor Kecemasan Anak Terhadap Perawatan Gigi

Kemampuan anak dalam menjalani prosedur perawatan gigi tergantung


pada tingkatan tumbuh kembang anak tersebut. Balita menunjukan kecemasannya
dengan menangis, sementara anak-anakyang usianya lebih tua menunjukan
kecemasan dengan cara lain. Kecemasan yang umum terjadi pada anak-anak yaitu
rasa tidak mengenal dan rasa khawatir terhadap pemeriksaan dan perawatan gigi.

Anak-anak dapat dikategorikan sebagai kooperatif, potensial kooperatif,


atau tidak memiliki kemampuan untuk bersikap kooperatif (pre kooperatif). Anak-
anak yang tergolong pre-kooperatif, mereka yang mempunyai tingkat kerjasama
rendah seperti disabilitas. ( Gupta dkk, 2014)
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan anak terhadap perawatan
gigi yaitu :
1. Kecemasan orangtua
Kecemasan yang dirasakan anak bisa dipengaruhi oleh sikap orangtua mereka
yang mengantar ke dokter gigi. Orang tua yang tidak dapat mengendalikan rasa
cemas tanpa disadari dapat diteruskan ke anak mereka atau menyebabkan kondisi
semakin buruk ketika sebenarnya orang tua berusaha untuk membantu. Beberapa
dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh kehadiran orang tua adalah
membingungkan komunikasi, mempengaruhi sikap anak.
Adapun cara untuk mengatasi kecemasan anak yaitu :
a. Menjadikan orangtua sebagai bagian dari tim gigi
Staf perawatan gigi menjelaskan peraturan tentang kehadiran orang tua saat
perawatan gigi anak, sesuai dengan usia anak.

b. Persiapan psikologis
Dokter gigi perlu mengajarkan orangtua bagaimana menyiapkan
kunjungan berikutnya agar orangtua mengetahui perawatan apa yang akan
dilakukan pada anak, sehingga orangtua tidak harus khawatir secara
berlebihan atau anak ditemani dengan orang dewasa yang tidak takut,
penggunaan pesan positif dan menghindari kalimat jaminan yang dapat
meningkatkan kecemasan (Chadwick dan Hosey, 2003 ; Gupta dkk, 2014).
2. Pengalaman medis umum dan gigi
Anak yang mempunyai pengalaman buruk, terhadap kunjungan terakhir ke
rumah sakit atau perawatan medis yang diterima, atau kunjungan ke dokter gigi,
akan lebih cemas terhadap perawatan gigi dan berhati-hati membangun hubungan
kepercayaan dengan dokter gigi. Sangat penting untuk menanyakan kepada orang
tua mengenai perawatan terakhir yang diterima dan bagaimana respon anak
terhadap perawatan tersebut. Hal ini mungkin dapat mengidentifikasi timbulnya
kecemasan yang berhubungan dengan kebiasaan dan memungkinkan dokter gigi
untuk menggunakan strategi yang tepat untuk mengoreksi kebiasaan anak ( Gupta
dkk, 2014).

3. Sikap dan Perilaku Dokter Gigi


Ekspresi wajah dokter gigi dapat menambah kesan atau bahkan dapat
mengganggu psikologis anak ketika ingin dilakukan perawatan. Senyum adalah
sarana yang sangat baik dan dapat menunjukkan sikap untuk memotivasi pasien.
Dokter gigi dengan kontak mata yang kurang kemungkinan akan mengurangi
tingkat kepercayaan pasien pada dokter gigi. Gerak gerik dan postur tubuh dari
dokter gigi juga dapat mempengaruhi kecemasan anak.
Tindakan dokter gigi dalam merespon tingkah laku anak seperti menanyakan
apa yang mereka rasakan (empati) dan menekan dengan lembut bahu atau tangan
dapat mengurangi tingkat kecemasan pada pasien usia muda dan memperbaiki
tingkah laku mereka saat duduk di dental chair. Sementara sikap dokter gigi yang
memaksa atau membujuk akan memperburuk tingkah laku anak (Chadwick dan
Hosey, 2003).

4. Lingkungan Praktek Dokter Gigi


Ruang perawatan dan ruang tunggu pasien harus dibuat ramah untuk anak dan
tidak membuat anak merasa terancam dengan cara mendekorasi ruangan dengan
gambar berorientasi anak-anak dan meletakkan beberapa mainan. Penggunaan
instrumen getaran yang rendah juga dapat membantu menurunkan kecemasan
anak. Alat-alat yang hanya diperlukan dipersiapkan perawat gigi sebelum anak
masuk ruang perawatan (Gupta dkk, 2014).

5. Komunikasi dengan Pasien Anak


Staf penerima pasien dan tim kedokteran gigi, harus ramah dan bersahabat.
Sikap tenang, peduli, dan empati lebih berhasil dalam menangani kecemasan
anak. Anak-anak harus menjadi pusat perhatian, seperti menyapa nama mereka.
Komunikasi harus disesuaikan dengan usia anak dan tim kedokteran gigi perlu
mengembangkan kosa kata spesifik untuk komunikasi dengan anak-anak.
Penjelasan harus diberikan dalam bahasa sederhana dan tidak mengancam, serta
hindari penggunaan jargon. Perlu komunikasi yang baik dan melibatkan anak,
dokter gigi,orang tua, dan perawat gigi (Gupta dkk, 2014).

4.2.4 Dampak Kecemasan terhadap Prosedur Perawatan Gigi


1. Reaksi Fisik Segera
Bagi anak-anak, kunjungan ke dokter gigi dapat merupakan tantangan yang
luar biasa. Reaksi fisik langsung mereka, seperti menangis dengan sedih, berteriak
keras, dan menggigil tak terkendali.
2. Respons Psikologis
Respons psikologis terhadap kecemasan dental muncul sebagai gabungan dari
kekhawatiran, kesal, panik, perasaan tidak berdaya, rasa tidak aman, dendam, dan
kebencian terhadap dokter gigi.
3. Tidak kooperatif
Pasien anak yang ketakutan sering menolak duduk di kursi gigi atau membuka
mulut untuk pemeriksaan oral. Orang tua dan tim dokter gigi harus berjuang untuk
meyakinkan atau mendorong mereka untuk bekerja sama. Seorang ibu
menyatakan bahwa putrinya akhirnya menaklukkan rasa takutnya terhadap dokter
gigi, tetapi sebelum itu dia harus "berkelahi" dengan putrinya agar putrinya mau
pergi ke klinik (Gao, dkk., 2013).
Individu yang cemas memilliki kemungkinan untuk menunda atau
menghindari kunjungan ke dokter gigi, dan cenderung membatalkan
kunjungannya. Sehingga, jika perawatan ditunda dalam jangka waktu yang lama
cenderung akan memperparah kondisi kesehatan giginya sehingga membutuhkan
perawatan yang lebih intensif dan kompleks (Armfield, 2016).
Tabel 1. Manifestasi dan dampak kecemasan dental pada anak.
Kategori Manifestasi Quotes/keywords
Reaksi fisik Menangis, berteriak, -
langsung menggigil
Khawatir, kesal, "Bagaimana jika mereka mengebor lubang di
panik gigiku?"
"Aku takut, kau tahu, prosedur itu."
Respon psikologi "Serangan kecemasan total dan itu
mengerikan."
Dendam, kebencian “Aku benar-benar membenci dokter gigi. Saya
benci pergi ke sana. ”
Menolak untuk -
duduk di kursi gigi
Menolak untuk -
Tidak kooperatif
membuka mulut
Menolak pergi ke Orang tua harus "berkelahi" dengan putrinya
dokter gigi agar putrinya mau pergi ke klinik

4. Kecemasan dental pasien dapat berdampak terhadap tingkat stress yang


dialami dokter gigi (Armfield, 2016).

4.3 Manajemen Kecemasan Pada Anak

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi


kecemasan pasien anak, antara lain:
a. Reducing uncertainty
1. Tell,show,do (Chestnutt dan Gibson, 2007).
Teknik ini bertujuan untuk membiasakan pasien anak dengan hal
baru. Fase tell melibatkan penjelasan sesuai dengan usia anak. Fase
show digunakan untuk menunjukkan prosedur. Fase do dimulai
dengan penundaan yang minimum. Sangat penting untuk
diperhatikan bahwa bahasa yang digunakan harus sesuai dengan
usia anak, khususunya kata-kata emosi dan negatif harus dihindari.
2. Mengirimkan surat ke rumah yang berisi usulan kunjungan
3. Program penyesuaian diri (Heasman, 2008).
b. Modelling
Video atau model langsung. Anak belajar dengan melihat dan
mencontohkan perilaku orang lain. Yang harus diperhatikan adalah
perilaku yang menjadi contoh merupakan perilaku yang sesuai atau
baik (Chestnutt dan Gibson, 2007).
c. Cognitive approaches
Mengidentifikasi keyakinan: Mencoba agar pasien anak merubah
persepsi mereka tentang dokter gigi, berguna untuk berbagai bentuk
kecemasan yang berfokus untuk mengubah perhatian mereka dari hal
yang dicemaskan ke perhatian yang lain (misalnya video dengan musik
dan cerita) (Heasman, 2008).
d. Relaxation
Berguna untuk ketegangan tingkat tinggi, bertujuan untuk
merelaksasikan otot, diperlukan terapi yang terlatih. (Heasman, 2008)
e. Desensitisation:
Teknik ini membantu pasien untuk mengatasi ketakutan yang
berlebihan dengan cara memberi kontang berulang-ulang. Rangsangan
atau kontak disusun secara teratur.Rangsangan diberikan dari tingkat
yang tidak ditakuti sampai tingkat yang ditakuti.
f. Inhalation sedation: Untuk anak diatas 5 tahun (Heasman, 2008).
g. Behaviour shaping and positive reinforcement
Diperlukan langkah-langkah kecil yang mengarah ke pembentukan
perilaku ideal anak. Dengan memberikan pujian setelah anak
melakukan perilaku positif membuat anak akan memperkuat
perilakunya(Chestnutt dan Gibson, 2007).
h. Distraction
Pendekatan ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian pasien anak
dari perawatan gig ke situasi lain atau dari prosedur yang berpotensi
tidak menyenangkan untuk beberapa tindakan lain (Chestnutt dan
Gibson, 2007).
i. Hand-over-mouth
Teknik ini merupakan teknik yang ekstrim. Teknik ini dilakukan
dengan menahan anak yang melawan pada kursi perawatan gigi.
Teknik ini dilakukan jika sudah ada penundaan berkali-kali dan anak
tersebut masih menunjukkan sikap melawan. Tetapi, teknik ini
sebaiknya jangan dipergunakan pada anak yang ketakutan. Karena itu,
dalam pemeriksaan kita harus tau terlebih dahulu alasan anak
bertingkah laku tidak kooperatif sebelum menggunakan teknik
ini(Andlaw dan Rock, 1992).

Teknik-teknik pendekatan tingkah laku mungkin tidak selalu bekerja


dengan pasien anakyang memiliki tingkat kecemasan yang sangat tinggi.
Mungkin juga harus menggunakan farmakologi, sedasi atau anastesi
umum (Chestnutt dan Gibson, 2007).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Tujuan dari bagan insentif yang disajikan dalam jurnal ini adalah cara
menunjukkan respon menyenangkan untuk menciptakan rutinitas yang sehat.
Dalam hal ini, bagan insentif merupakan salah satu alternatif manajemen untuk
mengatasi kecemasan pada pasien yang terbukti efektif.

SARAN
Sebagai dokter gigi hendaknya kita dapat memahami pola tumbuh
kembang perilaku anak, ada beberapa tekhnik pendekatan alternatif yang baik
untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan pada anak-anak selama perawatan
gigi, sehingga kita dapat melakukan tindakan yang benar, tepat dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Andlaw RJ, Rock WP. Perawatan gigi anak (a manual of paedodontics). Alih
bahasa/trans. Djaya A Jakarta: Widya Medika, 1992: 15-26.

Armfield, J., 2016. Dental Fea and Anxiety : Information for Dental Practitioners,
The University of Adelaide, 11: 1-4
Chadwick, B.L. dan Hosey, M.T., 2003, Child Taming : How To Manage in
Dental Prectice, 1st ed., Quintessence Publishing Co. Ltd., London, hal.9-11, 19-
20,27-28.
Chestnutt IG, Gibson J. Clinical dentistry. 3rd. China: Elsevier, 2007: 168-173.

Gao, Xiaoli., dkk., 2013. Dental Fear and Anxiety in Children and Adolescents:
Qualitative Study Using YouTube. Journal of Medical Internet Research. doi:
10.2196/jmir.2290

Gupta, A., dkk., 2014, Behaviour management of an anxious child, Stomatologija,


Baltic Dental and Maxillofacial Journal; Vol. 16, No 1.
Heasman P. Master dentistry. 2nd. China: Elsevier, 2008: 163-5.

Marwansyah dkk. 2018. Tingkat Kecemasan Pada Anak Dengan Metode Corah’s
Dental Anxiety Scale (CDAS) di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Baiturrahmah
Padang. Jurnal B-Dent. 5(1) : 21

Anda mungkin juga menyukai