Anda di halaman 1dari 4

Penyerbuan Mataram atas Giri Kedaton

(Surya Kembar Ing Bumi Mataram)


20 Februari 2020
Share

Riza Arief Bijaksana *)

“Mataram kuwi dek umpakakake tebu, pucuke maneh can legiyo, sanajan bongkote ing mbiyen
adem wae, sebab trahing bosoe wong tetanen anger macul wae bari angon sapi”

Sejak awal pembentukan Mataram oleh tiga serangkai orang Selo; Ki Panjawi, Ki Ageng
Pamanahan dan Ki Juru Martani, Mataram adalah sejarah intrik kekuasaan. Pendirian Mataram
pun awalnya adalah dengan taktik dan konspirasi yang menewaskan Arya Penangsang.
Panembahan Senopati (1584M-1601M), pendiri Mataram yang selalu gagal memekarkan
wilayah kekuasaannya dijadikan tauladan. Kerajaan yang belum kental Islamnya itu tidak
kunjung berhasil menaklukkan daerah pesisir. Sandungannya, kerajaan Islam kecil-kecil itu
menjadi sangat kuat di bawah kendali Walisongo. Terutama Giri Kedaton. Bagi Sultan Agung
keputusan menyerang Giri adalah keputusan yang sungguh sulit. Sebagai muslim ia sangat
menghormati Giri. Namun, baginya Giri adalah klilip yang mengganggu pandangan.

Ungkapan surya kembar ini yang menjadi pijakan legitimasi penguasa Mataram mencaplok Giri
Kedaton. Pandangan dua “Raja Jawa” itu menyungkupinya seakan-akan sudah mewakili “dunia
batin” orang Jawa kala itu. Kecerdikannya sebagai negarawan untuk menunjukkan kekuatan,
salah satunya adalah membangun dunia mistis. Dunia mistis mereka sebagai keturunan dua
dunia: dunia Islam dengan gelar Sayidin Panatagama dan silsilah keturunan Nabi Muhammad
dan Nabi Adam, dan dunia Hindu-Buddha dengan tradisi kuat terkait misalnya Ratu Kidul.
Hubungan mistis yang dibangun untuk memberikan citra bahwa keluarga dinasti Mataram adalah
keturunan Majapahit dan keturunan Dewa-dewi. Salah satu hal yang tak boleh dilanggar oleh
raja atau Sultan Mataram dan kerajaan penerusnya pantang naik haji dan pantang mengunjungi
India. Sikap abstain ini untuk menjaga netralitas dan rivalitas mistis sufi ala Islam dan ajaran
mistis Hindu-Buddha yang melekat di sana. Pelanggaran atas hal ini akan menjadi malapetaka
bagi kerajaan Mataram.

Baca juga:

 - Advertisiment -
Dendam Turun Temurun Dalam Sejarah Penguasa Kerajaan Singhasari

Sultan Agung memanfaatkan agama sebagai sarana berpolitik. Islam dipakainya untuk
menerapkan politik devide et impera untuk perluasan teritorial Mataram. Yang mula-mula
dilakukan Sultan Agung adalah “mengislamkan diri”. Mengubah perhitungan tahun dari
matahari ke rembulan sehingga Tahun Hijriyah dan Tahun Şaka menjadi sama. Dia mengajukan
permohonan ke Turki Utsmani untuk menggunakan gelar sultan. Setelah itu Sultan Agung
merangkul para wali sebagai justifikasi Mataram memang beragama Islam. Berbagai upacara
jadi berubah waktu dan penyebutan. Penentuan satu Suro yang bersendi almanak Şaka (Alip
Rebo Wage) berselisih waktu. Saat itulah “Sekatenan” yang semula sebagai “paweling asaling
dumadi” akhirnya dimaknai sebagai upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Ketika kerajaan Mataram benar-benar diakui sebagai kerajaan beragama Islam, pencaplokan
wilayah pun mulai tidak terhindarkan. Kerajaan kecil di pesisir satu demi satu diklaim sebagai
“tanah milik” Mataram.

Saat pertemuan Bupati di Rembang, Jawa Tengah, Sunan Giri Prapen yang lama mendengar
tindakan itu merasa perlu “mengingatkan”. Dengan halus Sang Giri Nata “menegur” secara
halus. Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri V atau juga Kyai kawis Guwo ini menyindir cucu
Panembahan Senopati itu. Sindiran yang tertuang dalam “Kitab Al Asror” itu ternyata tidak
membuat Sultan Agung sadar, tapi malah sebaliknya. Raja Mataram itu menyimpan dendam
kesumat. Terbukti, setelah sekutu kerajaan Surabaya di Pontianak ditaklukkan dan diteruskan
penaklukan Surabaya tahun 1625, Pangeran Jayenglengkara, adipati Surabaya menyatakan
takluk pada Sultan Agung di Mataram.

Pangeran Pekik, putera Pangeran Jayanglengkara di panggil Sultan Agung untuk menghadap di
Mataram. Di Mataram Pangeran Pekik tidak di pidana. Sang Sultan “berbaik hati”, Pangeran
Pekik mendapat kamulyan berupa pengangkatan dirinya meneruskan jabatan ayahnya dan
diperjodohan dengan Ratu Pandansari, adik perempuan Sultan Agung. Ini adalah perkawinan
politik untuk mengikat Jawa Timur agar setia pada Mataram. Inilah perkawinan politik gaya
Sultan Agung. Lingkaran Mataram sendiri sebenarnya kurang suka dengan pernikahan tersebut.
Walau bagaimanapun Pekik adalah putra seorang taklukkan. Apalagi penaklukkan Surabaya
membutuhkan waktu sangat lama, 26 tahun, dengan korban luar biasa banyak. Tentu dendam itu
masih membara. Tetapi siapa yang berani melawan kehendak sultan?

Baca juga:

 Petruk Dadi Ratu

Pandansari diminta menghadap Sultan Agung. Sang sultan bercerita tentang kegundahannya,
karena Giri tak kunjung mau memberi upeti dan “berserah diri” ke Mataram. Sultan Agung ingin
Giri diserang dan ditaklukkan. Dan yang melakukan itu adalah Pangeran Pekik tidak ada yang
lain lagi, suami Pandansari. Titah tersebut bukan tanpa alasan, telah berulang kali sultan meminta
pertimbangan dewan kerajaan dan para senopati. Tetapi tidak ada yang menyatakan kesanggupan
untuk menaklukkan Giri. Semua gentar dengan perbawa Giri Kedaton. Apalagi kini Giri
dipimpin oleh Sunan Giri V alias Kyai Kawis Guwa, seorang yang linuwih dalam ilmu dunia
maupun agama.

Beberap kali ia menunda menyerang Giri karena nyalinya belum utuh, ciut. Ia tahu persis
kewibawaan Giri di mata rakyat. Giri Kedaton dibawah kekuasaan Sunan Giri V adalah matahari
yang terang benderang di brang wetan. Banyak raja di belahan timur Nusantara menghaturkan
hormat dan tanda takluk kepada Giri. Tidak jarang mereka (raja-raja itu) meminta pertikel
(pertimbangan) kepada Giri jika menghadapi masalah kenegaraan. Titah sultan tersebut sangat
berat bagi Pekik, apalagi Sunan Giri adalah sinar bagi Nusantara. Bagaimana mungkin keturunan
Sunan Ampel seperti dirinya harus memadamkan matahari Islam di Giri? Bagi dirinya lebih baik
mati dari pada harus menggempur Giri. Pandansari tahu bahwa suaminya bimbang. Tetapi ia
juga tahu bagaimana caranya agar suaminya luluh.

Bagi Pandansari, perintah Sultan adalah hukum, dunia dan akhirat. Malamnya Pandansari
membisiki suaminya, bahwa ‘masih ada satu klilip Mataram’ yang harus disingkirkan. Klilip
(benda kecil yang masuk ke dalam mata) itu adalah Giri. Kerajaan Giri yang diperintah Sunan
Giri muda, cucu Sunan Giri Prapen, guru Pangeran Jayalengkara, ayahandanya. Ketika Pekik
kebingungan dengan permintaan tersebut, Pandansari menjelaskan, bahwa hubungan antara
“guru-murid” itu sudah terputus setelah meninggalnya Sunan Giri Prapen. Sunan Giri muda itu
juga disebutnya sebagai raja yang tidak mengenal keris dan pedang. Dari sinilah nyali Pekik
muda mulai menyala.

Musim panen 1636 M, pasangan suami istri itu meminta restu untuk pergi ke Surabaya
mempersiapkan pasukan untuk menggempur Giri. Sultan merestuinya dengan memberikan dua
pusaka: Bende Mataram dan Tombak Kyai Plered. Pasukan mataram bergerak ke timur untuk
bergabung dengan laskar Surabaya, siap berderap menghantam Giri Kedaton. Seluruh rakyat
Mataram menyimak dengan gemetar karena sebentar lagi Jawa akan kembali diguncang perang.
Kali ini bukan perang sembarangan, ini perang dua kutub kekuasaan, politik dan spiritual. Bagi
Mataram kekuasaan itu harus dalam satu tangan, matahari kembar harus dihilangkan. Nyatalah
sudah bahwa pernikahan Pekik dan Pandansari tiga tahun yang lalu menyimpan maksud
tersembunyi. Adipati Sepanjang, orang kepercayaan Pangeran Pekik ‘muda’ menyebar tilik sandi
dan memberi laporan, bahwa Kedaton Giri melatih 200 prajurit hebat menghadapi Mataram.

Walaupun Sunan Giri V terkenal ngerti sak durunge winarah (tahu sebelum kejadian) ia tetap
terkejut manakala pada malam gulita Pangeran Pekik, sendirian, menghadap ke Giri Kedaton.
Tujuannya hanya satu, membujuk agar Giri Kedaton menyerah baik-baik kepada Mataram demi
tidak tumpahnya darah sesama muslim. Tetapi Sunan Giri V bukanlah tipe pengecut. Baginya
trah wali adalah darah mulia. Suatu hal tabu baginya untuk gentar oleh gertakan penguasa dunia.
Dengan gemblengan yang dilakukan Endrasena terhadap prajurit Giri dan 200 pengikutnya.

“Kanjeng Sunan, sejelas benderangnya siang saya harap Kanjeng Sunan dapat memenuhi
keinginan kakanda Sultan Agung. Sultan Mataram berjanji akan memberi kemuliaan kepada
Giri.” Balairung senyap sejenak. Kejadian selanjutnya adalah hal yang tidak terduga bagi
Pangeran Pekik, “bagaimana Endrasena, sanggupkah kamu membendung Mataram?” Dengan
berapi-api dia berkata “demi kewibawaan Giri, apapun akan hamba lakukan, Kanjeng!” Hawa
panas menyelimuti Giri Kedaton. Dengan tetap menghaturkan sembah Pekik undur diri. Air
matanya jatuh. Ia begitu mencintai Giri beserta orang-orangnya. Tetapi takdir memaksanya
bertindak lain.

Saat fajar menyingsing, Bende Mataram telah ditabuh bertalu-talu. Perang pun pecah. Pandansari
mengumpulkan prajurit, agar tidak ragu ia berjanji akan memberi hadiah sepulang dari medan
laga membawa kemenangan. Sunan Giri V dan 200 orang pengikutnya memang bukan tandingan
laskar gabungan Mataram-Surabaya pimpinan Pangeran Pekik dan Pandansari. Kedaton Giri
dihancurkan pada tahun 1636. Sejak itulah institusi dewan wali dihapuskan pertama kali dalam
sejarah Jawa.

Kehilangan dewan wali menjadikan Jawa begitu cepat dicaplok oleh Belanda. Penaklukan Giri
Kedaton adalah bentuk persembahkan untuk melegitimasi gelar dari Sultan Agung yang
menggetarkan bagi keturunannya: Sultan Agung Hanyokrokusumo Senapati ing Alaga Sayidin
Panatagama Abdullah Muhammad Maulana Abdurrahman Khalifatullah ing Tanah Jawa. Pada
tahun 1646. Amangkurat I putera Sultan Agung, membuat persekutuan dengan VOC.
Penggantinya, Amangkurat II tidak lebih sebagai boneka VOC.

*) Penulis:  Riza Arief Bijaksana, Staf Kemenpora RI

https://ikilhojatim.com/penyerbuan-mataram-atas-giri-kedaton-surya-kembar-ing-bumi-mataram/

Anda mungkin juga menyukai