Anda di halaman 1dari 3

Serat Centini [16]

8 Januari 2013   14:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:22 488 1 1 Mohon Tunggu...

Lihat foto

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sudah memasuki waktu Maghrib, Gathak setelah berwudlu kemudian adzan, dan iqamat,
kemudian mereka melaksanakan shalat  Maghrib. Setelah itu masih belum beranjak hingga shalat
‘Isa.

Malam itu kebetulan tepat bulan purnama, radèn Jayèngresmi kemudian keluar menuju ke Candi
Brahu yang dahulu adalah digunakan sebagai tempat samadinya Prabu Brawijaya, ki Purwa
berjalan di depan sebagai penunjuk jalan, Gathak dan Gathuk juga tidak ketinggalan. Setelah
masuk ke dalam candi  melakukan samadi.
Dalam samadinya, raden Jayengresmi seperti sedang berhadapan dengan ayahandanya Sunan
Giri Prapen, yang kini juga tidak diketahui keberadaannya. Dalam intuisi-nya raden Jayengresmi
menanyakan sesuatu kepada Sunan Prapen.

Radèn Jayèngresmi ” maaf ayahanda, apakah sebabnya dahulu Majapahit menyerang Pesantren
Giri Kedaton?”

Panembahan Giri Prapèn,  menjawab dengan pelan;” Pada waktu itu, Prabu Brawijaya di
Majapahit memang tidak berkenan atas keberadaan ke Wali-anGiri, persoalannya bahwa
padhépokan Giri terkenal sampai ke mancanegara, banyak Adipati yang menjadi murid kanjeng
Eyang Giri. Bahkan banyak Adipati ataupun rakyat yang sudah mengabaikan padaMajapahit.
Itulah yang menyebabkan Sang Maha Prabu Brawijaya Pamungkas menyerang dan ingin
menumpas Pesantrèn Giri.”

“apakah keinginan tersebut dilaksanakan oleh Sang Prabu ?” tukas raden Jayengresmi.

“ ya, dan kemudian sang Prabu menugaskan Patih GajahMaudaradengan angkatan perangnya 
menyerbuPesantrèn Giri. Penyerbuan pasukan Majapahit ke Giri Kedaton tidak di duga sama
sekali oleh Sunan Giri, yang pada saat itu sedang menulis tafsir Al Qur’an. sementara yang
berada di luar, banyak para penduduk dan santri yang sama sekali tiak tahu-menahu banyak
yang menjadi korban keberingasan pasukan Majapahit.

Teriakan penduduk dan para santri itu membuyarkan konsentrasi Sunan Giri yang sedang
menulis, oleh sebab itu pena [kalam] yang digunakan untuk menulis itu di asmak dan
dilemparkan ke arah prajurit yang sedang mengepung tempat Sunan Giri berada. Dan kalam
tersebut berubah menjadi sebilah keris yang melayang-layang menyambar setiap prajurit. Dan
korban pun berjatuhan, pasukan Majapahit bubar ketika melihat sambaran keris bagaikan
boomerang yang melayang-layang mencari korbannya.

Mereka yang menginginkan hidup, mencari selamat dengan melarikan diri ke hutan atau ke
bukit. Kemudian Panglima perang dari Majapahit, menarik mundur pasukannya, dan kembali ke
kerajaan Majapahit. Setelah keadaan sudah normal kembali, kemudian Sunan Giri berdoa untuk
keselamatan warganya. Dan sejak saat itu keris  yang tadinya dari pena untuk menulis itu
disebut sebagai keris Kalam-munyeng [kalam=pena, munyeng=berputar-putar].”

Sunan Prapen menghela nafas, dan melanjutkan kisahnya “ beberapa tahun kemudian eyang
Sunan Giri sakit dan wafat. Meninggalkan putra sebanyak sepuluh orang dan dua istri. Atas
kesepakatan dari hasil musyawarah para tetua pesantren dan tokoh masyarakat Giri, kemudian
menunjuk putra kedua yaituSunan Dalemsebagai pengganti kakek Sunan Giri. Dan beliau
adalah ayahku, jadi Sunan Dalem atau yang disebut Sunan Giri Kedaton itu adalah eyangmu.
Itupun tidak berlangsung lama, beliau sakit dan meninggal. Selanjutnya beliau meninggalkan
putra sebanyak sepuluh orang, dan aku adalah anak kedua, yang kemudian atas keputusan
musyawarah para tetua  pesantren dan tokoh masyarakat, mengangkat aku menjadi pengganti
eyangmu.”
Radèn Jayèngresmi bertanya lagi ;” mengapa setelah kejadian penyerbuan yang pertama
Kedaton Giri diserbu untuk kedua kalinya oleh Majapahit ?”

Panembahan Giri Prapèn menjawab ;” saya juga tidak tahu sebab musababnya, pada saat
kanjeng rama Sunan Giri Kedhaton, memimpin pasantrèn Giri, tidak ada masalah apa-apa.
Namun setelah aku yang memimpin pesantren Giri Kedhaton, ada surat tantangan perang dari
Majapahit. Isi dari surat tersebut adalah Pasantrèn Giri Kedhaton supaya menyerah tanpa
syarat, dan menyerahkan Pasantrèn Giri Kedhaton kepada pemerintahan Majapahit.

Padahal menurut pendapatku Giri Kedhaton itu kan lembaga pendidikan Pasantrèn, jadi tidak
ada istilah saya harus séba pada setiap  pisowanan ataupun pisowanan Agung  Majapahit.
Karena saya hidup mandiri dari harta peninggalan kakek maupun kedua orang tua saya, dan
juga  tidak mendapatkan  hak kesejahteraan sebagai nayaka Majapahit,  ya tidak ada
keharusan untuk menyerah.

Meskipun nama pesantren Giri ada embel-embel kedaton, dan saya disebut sebagai Raja
Pandhita, bukan berarti saya menguasai Negara, dan saya tidak membentuk pasukan, tidak
menguasai wilayah, tidak menaklukan kadipaten lain, meskipun para Adipati banyak yang
berguru kepadaku. Nah dari situlah agaknya, aku dianggap melawan pada kerajaan. “

Raden Jayengresmi kini telah tersadar dari gelombang intuisinya, setelah selesai samadi
kemudian  keluar, yang diikuti oleh ki Purwa dan dua abdi kinasihnya.

Ki  Purwa berkata;” ada lagi candi yang lebih indah raden, yaitu namanya Candi Bajangratu.
Apakah raden ingin melihat-lihat kesana?”

Dengan rendah hati  Radèn Jayèngresmi mengatakan  ingin melanjutkan perjalanannya. 


Meskipun pertemuannya  hanya sesaat, namun dalam perpisahannya seperti sahabat yang lama,
mereka menitikkan air mata.

Setelah berpamitan raden Jayengresmi  bersama dua abdinya Gatak dan Gatuk melanjutkan
perjalanan ke arah Gunung Kelud.

https://www.kompasiana.com/sastraadiguna/551bd345813311d75a9de0ed/serat-centini-16

Anda mungkin juga menyukai