Anda di halaman 1dari 10

Mengungkap Sosok Saridin

Syeh Jangkung ketika Kecil Sangat Nakal


SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah
Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh
masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.
Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya
menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang
bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang
menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa
mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.
Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga
sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ''Mbokne (ibunya) Momok" dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang
diberi nama Momok.
Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah
lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung
dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.
Kiasan
Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung
terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.
Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam
keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.
Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah
satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.
Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang
harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh
Branjung.
Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang
terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.
Pulang
Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah
punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.
Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga

ONTRAN - ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan
Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.
Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan
itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.
Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, "Apakah setiap air pasti ada ikannya?" Saridin dengan ringan menjawab, "Ada,
Kanjeng Sunan."
Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata
kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai
guru tersenyum simpul.
Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat
wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.
Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena
tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun apa jawab santri itu? ''Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.'' Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam
waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.
Dalam WC
Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri,
sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.
Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat
Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan
perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu.
Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah
Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri
menguber ke mana pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus
bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.
Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin
agar tak tenggelam.
Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang.
Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.
Lulang Kebo Landoh Tak Tembus Senjata

ATAS jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk
mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.
Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan
badan pasti meninggal.
Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi
menjadi istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.
Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian,
Saridin bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.
Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu
boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.
Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan
piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.
Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan
sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu
juga mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa,
kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak
mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu,
leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang
masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.
Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada
warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap
dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya.

Saridin anak angkat Ki Ageng Kingiran, ia mempunyai satu saudara perempuan bernama
Sumiyem,[1] putri Ki Ageng Kingiran memang mendambakan seorang adik laki-laki. Mereka
berdua hidup rukun dibawa asuhan Ki Ageng Kiringan. Setelah dewasa Sumiyem diperistrikan
oleh seorang laki-laki bernama Branjung, sedangkan Saridin dikawinkan dengan gadis bernama
Sumirah. Ki Ageng Kingiran sudah tua, tidak meninggalkan apa-apa kecuali pohon Durian. Ki
Ageng Kingiran berpesan,

“besuk saya bakal tidak ada, karena hanya meninggalkan satu batang pohon durian, lalu
bagaimana membaginya?”. Lalu diputuskan kalau siang bagiannya Branjung sedang kalau
malam bagiannya Saridin. Bila ada yang jatuh siang menjadi rejeki Branjung sedangkan kalau
jatuh malam hari maka rejekinya Saridin. Ternyata durian tadi kalau siang tidak ada yang jatuh.
Sedangkan kalau malam banyak yang jatuh. Branjung mulai merasa iri hatinya dan timbul dalam
pikirannya ingin menyamar menjadi harimau untuk menakut-nakuti Saridin. Setelah merubah
dirinya menjadi harimau maka segera memanjat pohon durian, saridin tahu kalau ada harimau di
pohon durian segera ditombak kena dan mati. Setelah harimau mati, berubah lagi menjadi
manusia. Maka kemudian Saridin telah melakukan pembunuhan atau Rajapati, maka oleh
petinggi Kemiri dilaporkan pada Adipati Mangun Oneng. Saridin didakwa telah melakukan
pembunuhan. Saridin mengelak tuduhan,

“saya tidak melakukan pembunuhan, saya hanya membunuh harimau”. Sumiyem saudara Saridin
menggerutu

“eh..aku hanya mempunyai saudara satu saja terkena perkara besar”, maka ia mempunyai nadzar,
bila nanti Saridin dapat kembali akan membuat cempedak dikasih asahan sak ambeng, kalau bisa
kembali hidup.

Petinggi Kemiri berkunjung ke rumah istri Branjung, yang sedang seorang diri, karena diam-
diam dia mencintainya (ada rasa). Karena Saridin orang sakti yang dapat merintangi
keinginannya maka dia melapor kepada Dipati Mangun Oneng agar menghukum mati Saridin.[2]
Dipati Mangun Oneng menyuruh Suro Gajah untuk melaksanakan hukuman mati tersebut.

“Kang Suro Gajah ini ada tugas untuk membawa Saridin ke hutan kemudian bunuh Saridin”

“lho aku tidak punya salah sama kamu kok, aku punya salah hanya sama gusti Dipati, kenapa
kau harus membunuhku”

“Gak peduli pokoknya kamu harus aku bunuh” saridin ganti bertanya

“ Upamanya nanti saya tidak mau gimana apa boleh?

”Boleh, ini rasakan senjataku” Saridin tidak apa-apa gantian ia menagih janji, lalu dipukulah
Suro Gajah oleh Saridin dan mati

“Nanti kalau tempat ini ramai akan kuberi nama Gajah Mati”

Petinggi Kemiri mengejar Istri Branjung, karena mengira Saridin sudah mati, adipati Mangun
Oneng memanggil para punggawanya dan memerintahkan agar Saridin dihukum hari ini. Karena
saktinya tahu-tahu Saridin muncul ketika Petinggi Kemiri hendak masuk ke kamar istri
Branjung, petinggi segera melapor kepada Adipati. Dengan lembut para punggawa datang ke
rumah Saridin,menyatakan

“Din karena kamu orang bersalah maka saya datang memberikan kesukaanmu, karena kebetulan
saat ini ada rumah besar kosong maka kau boleh menempatinya, kalau kau ingin pulang kau bisa
dipersilahkan, segala kebutuhanmu disediakan dan sudah ada yang disuruh.” Bujuk Adipati
Mangun Oneng.

“ Ya..saya suka begitu “ Jawab Saridin

Saridin menjalani hukuman, petinggi Kemiri Kecewa,

“lha disuruh membunuh saja tidak mau” maka punya akal lagi, ia lapor ke Adipati Mangun
Oneng, kalau Saridin tidak dihukum mati nanti akan berbahaya terhadap Kadipaten Pati.
Petinggi Kemiri setelah tahu Saridin ada di penjara maka mendatangi rumah istri Branjung.
ternyata kelakuannya diketahui oleh Saridin lagi, karena dia sudah ada di rumah. Petinggi lapor
lagi kepada Adipati kalau Saridin keluar dari Pakunjaran

“Ah masak iya, kowe ojo ngawur! Saridin sudah saya masukan ke Penjara..!”

Akhirnya Saridin dikejar-kejar sama orang-orang Pati. Saridin kemudian minggat dan minta
restu kakaknya Sumiyem, Saridin minta dido’akan agar selamat. Sumiyem merestui kepergian
Saridin, akan ketempat orang digdaya yakni Sunan Kudus, Saridin akan berguru dan menetap di
Panti Kudus.[3]

“ Kamu siapa ?”

“Saya saridin.”

“Rumahmu mana ?”

“Saya dari Pati, ingin berguru dipadepokan Panti Kudus ”

“ Oh ya sudah, kalau gitu sana bekerja sama teman-temanya di belakang ”

Saridin ke belakang untuk bekerja, bersama dengan teman-teman seperguruan, akan tetapi semua
pekerjaan telah di kerjakan oleh teman-temannya, Saridin dicuekin sama teman2nya, sehingga
kebingungan mau kerja apa. Saridin melihat teman2nya membawa ember untuk mengisi bak
mandi. Ia mau membantu temannya, namun embernya sudah kepakai semua, akhirnya Saridin
melihat Keranjang untuk mencari rumput. Kemudian Saridin mengambil air dengan keranjang.
Hal ini membuat temannya melaporkan kepada Sunan Kudus.

“ Din kenapa kamu mengambil air dengan keranjang, bukankah airnya bocor ” seketika airnya
jatuh dari keranjang

“Tidak kanjeng Sunan ” airnya kembali ke keranjang.

“Bocor” Sunan Kudus membentak

“Tidak bocor” hal ini dilakukan sampai tiga kali antara Sunan Kudus dengan Saridin. Sunan
Kudus bersikap arif terhadap Saridin.

“ya, sudah Din, kamu tidak usah mengambil air biar teman2mu yang mengerjakannya, kamu
membersihkan kubangan air dibelakang biar lancar airnya.”

Saridin menuruti perintah Sunan Kudus, namun Saridin masuk ke dalam kubangan dengan
tangannya mengapai dasarnya. Hal ini menjadi perhatian Sunan Kudus.

“ Din kamu kesini mau mengabdi sama saya, kok saya suruh bekerja kok gak mau! Kamu cari
apa Din?”

“cari ikan”

“Lho disitu gak ada ikannya Din?”

“Kalau ada air pasti ada ikannya!”

“Kalau gitu di bak mandi dan tempat wundu apa ada ikannya Din?”

“ada, setiap ada air pasti ada ikannya!” sahut Saridin dan ternyata di bak mandi terdapat ikan.

“Kalau di buah kelapa yang diatas itu apa ada ikannya Din?” Saridin menengok ke atas pohon
kelapa yang sangat tinggi.

“Ya, ada kanjeng sunan!” Kanjeng Sunan memerintahkan muridnya untuk memanjat pohon
kelapa, tapi di tahan oleh Saridin biar Saridin yang melambai pohon kelapa tersebut agar mau
diambil buahnya, seketika itu pohon kelapa menunduk diambilnya dua buah kelapa kemudian
dibelah dan ternyata di dalam kelapa tersebut terdapat ikannya.

Sunan Kudus marah dan mengusir Saridin untuk tidak lagi menginjak bumi Panti Kudus.
Akhirnya Saridin sembunyi di WC dan berdiri diatas tinja orang, suatu ketika istri Sunan Kudus
mau buang hajat, kemudian di kasih bunga melati, marahlah sunan Kudus. Dikejarlah Saridin
oleh murid-murid Panti Kudus.

Saridin lari terus keluar dari bumi Pati dan Panti Kudus, ia kehausan dan kelaparan, badannya
lelah lunglai, kondisi fisiknya tak stabil. Di pinggir pohon ia tergeletak pingsan. Di antara sadar
dan tidak sadar, ia bertemu dengan seorang tua berbaju putih mengenakan sorban, dan
memeperkenalkan diri sebagai Sunan Kalijaga. Ia teringat cerita ayah angkatnya, bahwa ketika
bayi ia ditemukan oleh orang yang bernama Sunan Kalijaga kemudian diserahkan kepada Ki
Ageng Kingiran.[4]

Orang yang mengaku Sunan Kalijaga menceritakan semua asal-usulnya Saridin,

“Suatu ketika Sunan Bonang berkunjung ke Sunan Muria, namun Sunan Muria tidak ada, sedang
bertandang ke Sunan Kudus, sambil menunggu Sunan Muria datang, Sunan Bonang meminjam
kacip untuk membelah buah pinang (buah jambi) kepada Nyai Sujinah istri sunan Muria,
kemudian ia membelah menjadi dua bagian sama besar. Mereka berdua makan sirih berbumbu
buah pinang. Karena Sunan Muria ditunggu-tunggu tak kunjung datang, Sunan Bonang mohon
diri. Sangat ajaib setelah menikmati buah pinang berdua dengan Sunan Bonang, tiba-tiba Nyai
Sujinah hamil.[5] Ketika Sunan Muria pulang, mengetahui keadaan istrinya hamil, Sunan Muria
marah, menuduh istrinya telah berbuat serong, namun dibantah oleh Nyai Sujinah. Namun Sunan
Muria terdiam tidak mempercayai omongannya Nyai Sujinah. Dengan perasaan malu karena
perutnya yang telah membuncit, Nyai Sujinah pergi dari Padepokan Muria. Ia putus asa mau
bunuh diri ke sungai, beruntung tanganya aku pegang, selamatlah Nyai Sujinah” Orang yang
mengaku Sunan Kalijaga membelai rambut Saridin.
“Akhirnya ponang jabang bayi lahir dari rahim Nyai Sujinah, yaitu kamu Saridin!”

“Kalau begitu aku anaknya Sunan Bonang atau Sunan Muria?” Saridin bersemangat untuk
mengetahui siapa bapaknya.

“Aku tidak tahu Din, hanya Tuhan yang tahu, tapi percayalah aku akan selalu jangkung
keselamatan jiwamu, berangkatlah kamu menyebrang lautan dengan membawa Kelapa, aku
selalu Jangkung kamu, oleh sebab itu saat ini namamu aku beri nama Jangkung” Sunan Kalijaga
semakin jauh dari pandangan Saridin. Meski Saridin memanggil-manggil namun suaranya
semakin menjauh. Saridin siuman dari pingsannya. Matanya dikucek-kucek, ternyata dia sedang
bermimpi.[6]

Saridin mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Orang tua yang mengaku bernama
Sunan Kalijaga, ia membawa buah kelapa menyebrangi lautan menuju pulau Sumatra, merapat di
sebuah Kerajaan di Sumatra yang belum menjadi wilayah Mataram, Raja tersebut menganggap
remeh Sultan Agung. Saridin menyela omongan Raja Sumatra, ia merasa terpanggil sebagai
seorang yang sama-sama dari Tanah Jawa. Dia mengaku sebagai hamba Mataram yang mau
menguji kesaktian dengan raja Sumatra.[7]

“aku bisa menghitung kekuatan pasukan Minangkabau, yang paduka gelar di alun-alun kerajaan”
Ribuan pasukan yang telah siap siaga untuk melawan Sultan Agung Mataram.

“ya, coba kalau bisa kamu menghitung ribuan pasukanku dengan tepat, aku akan mengaku kalah
sama kamu, Saridin”. Saridin melesat dengan cepat ke atas, berlari dari ujung ke ujung tombak
yang mengacung ke langit. Semua dihitung dengan cepat seperti kilat. Ia berada dihadapan Raja
Minangkabau dengan menebak jumlah pasukan yang berbaris. Raja Minangkabau tertunduk,
bergetar dan ciut nyalinya menghadapi kesaktian Saridin, seketika itu Raja Minangkabau takluk
dihadapan Saridin, namun Saridin tidak menerima sembah bekti, ia menyarankan untuk tunduk
kepada Sultan Agung saja, sebab Saridin adalah salah satu hamba dari Mataram. Dengan
demikian Raja Minangkabau tunduk-takluk kepada Sultan Agung tanpa perlawanan sama sekali.

Nama Saridin melambung di jagat pelayaran dan para pedagang lintas pulau, selain sakti
mandraguna, ia juga dikenal sebagai ahli berdakwah Agama Islam. Beramal ibadah, membantu
kaum du’afa dan para fakir-miskin. Ketenaran Saridin sampai ke wilayah Mataram.

Saridin kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa daun Jati dan Buah Kelapa,
sampailah ia di tanah Ngerum, ia bertemu dengan penguasa kerajaan Ngerum, karena
kecerdikannya dalam berdoplomasi dengan Penguasa Ngerum, maka ia diangkat menjadi
penasehat Raja Ngerum, namun Saridin tidak betah untuk tinggal di kerajaan dengan malas-
malasan, ia mohon pamit kepada penguasa Ngerum untuk melanjutkan perjalanan, sebelum
berangkat penguasa Ngerum memberikan surat Kanjengan yang menetapkan Saridin sebagai
Syeh. Sehingga namanya diganti Syeh Jangkung.

Saridin melanjutkan perjalanannya lewat laut dengan masih membawa daun Jati dan buah
Kelapa, ditengah perjalanan ia dihadang oleh sekelompok Bajak laut yang mau merampok,
namun para perampok itu dibuat tak berdaya oleh Saridin, bahkan mereka bertaubat untuk
menjadi murid Saridin. Saridin alias Syeh Jangkung memerintahkan muridnya yang bekas Bajak
Laut untuk mengamankan wilayah pelayaran laut Jawa.

Saridin kembali ke Jawa untuk menemui Ketip Trangkil ia diajak berpetualang ke mancanegara,
daerah pertama yang disinggahi adalah Cirebon dengan daun Jati dan buah Kelapa, sesampai di
kerajaan Cirebon, ia merapat bersama Ketib Trangkil. Di wilayah tersebut telah terjadi pagebluk,
Sultan Cirebon memerintahkan prajuritnya untuk mengumumkan sayembara, namun semua
orang yang ikut menenangkan Cirebon tidak ada yang berhasil menyirnakan Pagebluk. Sultan
Cirebon mengajak prajuritnya mencari orang yang dapat mengusir pagebluk ini. Suatu ketika Ia
bermimpi bahwa ada seseorang yang mampu menyembuhkan Pagebluk adalah orang yang
berada di Sungai besar dengan membawa kelapanya.[8]

Akhirnya Saridin memberi satu bathok air untuk diminum seluruh rakyat ceribon. Banyak
menyangsikan apakah cukup airnya, Saridin meyakinkan orang cirebon bahwa airnya cukup.
Dan selamatlah orang Cirebon dari pagebluk. Saridin dikawinkan dengan putri Cirebon, namun
Saridin tidak betah untuk tinggal di keraton, ia mau berpetualang menemukan orang yang
digdaya.

Saridin dan Kethib Trangkil berangkat ke Metaram mau bertemu dengan Sultan Agung, namun
ditengah perjalanan ia bertemu rombongan Prajurit Mataram di hutan, Saridin yakin bahwa
Sultan Agung sedang berburu, maka Saridin Sama Khetib Trangkil keluar dari
persembunyiannya, setelah keduanya keluar segera ditangkap oleh Adipati Mataram dan ditanyai

“Kamu siapa? Disini mau pamer kesaktian dihadapan Sultan Mataram Ya?, Kamu berdua saya
tangkap!” mereka berdua ditangkap dan dihadapkan pada Sultan Agung. Kemudian mereka
diajak adu teka-teki dengan Sultan Mataram, bila mereka berhasil menjawab pertanyaannya
maka mereka lolos dari hukuman.

“Apa yang dimaksud kalimah Sahadat, Din”

Saridin memanjat pohon kelapa tinggi kemudian jatuh ketanah “Jebluk” ini dilakukan berulang
kali ketika Sultan Agung menanyai tentang Kalimat Sahadat. Hal ini membuat Sultan Agung
heran.

“kenapa kamu ketika aku Tanya Kalimat Sahadat, kamu malah jatuh dari pohon kelapa yang
sangat tinggi”

“Kalimat Sahadat adalah buah tekad yang jatuh, sampai matipun kita kan bertekad membawa
kalimah sahadat”

“O, gitu ternyata kamu cerdik, aku mengaku kalah pertanyaan sudah bisa kamu tebak, sekarang
gantian kamu, apa pertanyaanmu Din?”

Saridin mengambil bulu ayam untuk orek-orek, dimanakah hilangnya orek-orek ini ?” Sultan
Mataram tidak mengerti dan menyerah
“Hilangnya di mata, coba kalau mata ini ditutupi, atau misalnya matanya buta pasti kan gak bisa
lihat demikian pula kalau belajar agama tidak disertai dengan membuka mata, maka akan sia-sia
belajar agama”

akhirnya Sultan Agung mengakui kehebatan Saridin sehingga diangkat menjadi saudara dengan
Sultan Agung dan dikawinkan putri Retno Jinoli

Saridin pulang ke Pati (Kayen) kampung Miyono. Di rumah ia memelihara seekor kerbau jantan.
Kerbau besar dan bertanduk melengkung ke bawah, diberi nama Kebo Dhungkul Landhoh.
Pemeliharaan Kerbau Saridin menjadi terkenal di wilayah Pati. Lama-lama Sunan Kudus tahu
kalau Saridin pulang ke Pati.

“Ini Celaka Saridin Datang kembali, sekarang saridin saya panggil menghadap kembali ke Bumi
Panti Kudus” Sunan Kudus mengumpulkan sahabatnya dan mengutarakan niatnya untuk
membunuh Saridin. Sunan Kudus menyuruh para sahabatnya agar membuat Bubur Jenang
namun dikasih racun, nanti Saridin kusuruh menghadap pagi-pagi, pasti dia belum sempat
membuat sarapan. Sunan Kudus mengutus sahabat untuk menemui Saridin.

“Saridin kamu disuruh menghadap ke Sunan kudus pagi-pagi sebelum Matahari keluar, kamu
masih mau berguru di Pantai Kudus kan?”

Saridin sama Ki Khetib Trangkil berangkat pagi-pagi menuju Ke Bumi Panti Kudus.
Kedatangannya di sambut oleh Sunan Kudus yang telah mempersiapkan rencana jahatnya.

“ Semua selamatkan sehat wal afiatkan?, pagi-pagi sekali ya Din!, Pastinya kamu belum
sarapankan?”

“Minta ampun Kanjeng Sunan Saya baru menjalankan Puasa, ini kurang dua hari, jadi amat
disayangkan bila hari ini puasa saya dibatalkan, mungkin Kakang Kethib Trangkil yang belum
sarapan?”

tanpa malu-malu Bubur jenang langsung disaut untuk dimakan, yang kebetulan perut Kethib
Trangkil lapar karena perjalanan dari Pati ke Kudus. Lahap sekali khetib Trangkil memakan
Bubur Jenang, dirasa dimulutnya enak banget, sampai kececer dilantai Kanjeng Sunan Kudus.

“ Pelan-pelan kalau makan itu sampai kececer dilantai, nanti dimarahi sama Kanjeng Sunan
Kudus”

Kemudian ia di suruh Sunan Kudus untuk masuk ke dapur untuk mengambil lagi bubur Jenang
Khetib Trangkil menyikat habis, sampai piringnya dijilati hingga jatuh pecah. ternyata bubur
yang diracun itu telah diubah dengan kesaktian Saridin menjadi bubur yang lezat.

Belum lama datang ke Panti Kudus, datanglah seorang wanita membawa cucunya yang telah
mati kebanjiran.
“lho ada apa mbok?, tidak saya panggil kok kamu menghadap!”
“Ampun Kanjeng Sunan, cucu saya Mati kena Banjir, saya minta supaya Kanjeng Sunan
menyadarkannya!”
“Ini sudah mati Mbok!”
“coba dilihat dulu mungkin belum mati!” Saridin menyela kemudian memberikan bubur Jenang
sisa cecran Ki Khetib Trangkil, ternyata mulut cucu itu bergerak-gerak berarti hidup. Maka nanti
kalau tempat jadi rame maka akan beri nama Desa Kaliputu.[9]
Merasa malu Sunan Kudus dan penguasa Pati memerintahkan semua daerah Pati dan Kudus
untuk memburu menangkap Saridin untuk diadili.Saridin ditangkap kemudian dimasukan ke
dalam Tong diglundungkan tapi Saridin ikut mengelindinkan tong tersebut, kemudian atas saran
Sunan Kudus Saridin dihukum gantung saja, Saridin digantung tapi Saridin malah ikut menarik
gantungan tersebut. Saridin mau dihukum pancung, sebelum eksekusi itu dilakukan ada utusan
Metaram dan Ngerum datang kepada Sunan Kudus,[10] bahwa Pati di bawah wilayah Mataram
dan Saridin sudah dianggap sebagai saudara sendiri sama Sultan Agung. Sementara utusan
Ngerum membawa surat Kekanjengan (sertifikat) bahwa Saridin adalah Syeh yang bergelar Syeh
Jangkung.
Akhirnya Sariden diajak Sultan Agung ke Mataram, dan minta pesan bahwa kalau Sultan Agung
ia minta dikuburkan di Imogiri saja. Namun daerah ini tandus, oleh Saridin (Syeh Jangkung)
daerah ini bisa ada airnya. Syeh Jangkung juga membantu Sultan Agung dalam berperang.

***FREEDOM***

[1] Saridin adalah anak angkat Ki Ageng Giringan. anak perempuan kawin dengan Ki Branjung.
Cerita ini bila di gelar sangat panjang sekali karena dari jaman kewalian hingga jaman Sultan
Agung. Hal ini sangat membingungkan, kalau cerita ini benar berarti umur Syeh Jangkung dalam
perjalanan hidupnya mencapai umur sampai 250 tahun. Namun ada beberapa sastrawan yang
mengatakan ini adalah hanya cerita tutur yang berkembang di masyarakat Pati, cerita ini lahir
ketika Pati di bawah kekuasaan Mataram, hal ini dapat ditinjau

1. Perseteruan antara Saridin dengan Sunan Kudus, dimana penguasa Mataram yang merupakan
keturunan dari Ki Ageng Pemanahan merupakan anak didik Ki Ageng Selo (murid dari Sunan
Kalijaga), pada saat itu Ki Ageng Pemanahan bermusuhan dengan Aryo Penangsang (Murid dari
Sunan Kudus). Ada beranggapan Persaingan antara murid Sunan Kalijaga dengan murid Sunan
Kudus tersebutlah yang mengilhami lahirnya cerita tutur Saridin.
2. Cerita Saridin yang lebih mengagungkan penguasa Mataram yaitu Sultan Agung, padahal
Sultan Agung adalah yang pernah menghabisi Pragola II. Ini ada kecenderungan cerita tutur yang
istana sentries (pro Mataram). Cerita Saridin ini beredar untuk mensatbilkan wilayah Pati dari
dendam terhadap Mataram.
[2] Cerita Saridin ini banyak dijumpai pada tanggapan Ketoprak Pati (wilayah Pati merupakan
salah satu gudang para seniman Ketoprak). Selain itu Kita bisa mendengarkan kaset-kaset yang
bertemakan Saridin. Atau lewat radio-radio (RRI maupun Radio Swasta) yang sering
memutarkan kisah Saridin.
[3] Para sejarawan kesulitan untuk mengetahui periodisasi Kisah Saridin, Praba Hapsara
berpendapat bahwa Saridin hidup diantara tiga atau empat generasi. ini adalah hal yang mustahil,
apakah mungkin Saridin hidup bersamaan dengan Sunan Kudus Jafar Sidik, kemudian muncul
dijaman Pati dibawah Mangun Oneng, atau penguasa Mataram Sultan Agung. Namun ada
beberapa orang yang beranggapan bahwa Sunan kudus tersebut? bukan Sunan Kudus Jafar Sidik,
namun penguasa Kudus yang berkuasa setelah Jafar Sidik, pengusa tersebut mengambil gelar
sama dengan Sunan Kudus.. Sunan Kudus yang ke berapa? Namun kemudian kita kembalikan
pada pembaca, belive or not belive, up to you!

[4] Saridin berosebsi ingin bertemu dengan roh Sunan Kalijaga, sampai terbawa di alam bawah
sadarnya, bertemu dengan orang tua berbaju putih dan bersorban, Saridin yakin bahwa dia adalah
Sunan Kalijaga
[5] ini merupakan cerita yang sangat berseberangan atau bertolak belakang dengan cerita Pakem
kewalian, namun masyarakat Pati menganggap ini sebagai cerita Pati versi Saridin. Sebab tidak
ada babad yang menulis tentang Saridin. Yang ada hanyalah naskah-naskah yang dikembangkan
Seniman ketoprak.
[6] Setelah itu Saridin sering di datangi oleh orang yang mengaku Sunan Kalijaga, seakan orang
tersebut dijadikan guru spiritual imajiner, yang hanya ada dalam benak Saridin
[7] ada yang bercerita bahwa Saridin juga merapat ke kerajaan Palembang dan kota-kota
sepanjang pelayaran Sumatra.
[8] ada yang beranggapan Saridin adalah pengusa & penjual kelapa dan daun Jati. Ia berdagang
sampai ke penjuru nusantara dengan sebuah kapal.
[9] Kaliputu adalah cucu yang hanyut Banjir di kali dapat hidup kembali
[10] Saridin juga pernah bertemu dengan seorang yang sangat sakti di Gunung pati ayam,
bernama Ondo Rante, yang konon matinya ditarik oleh empat Gajah menuju arah mata angin
dengan menggunakan rantai emas.

Anda mungkin juga menyukai