Berdasarkan relief tersebut, dapat diteladani bahwa pengorbanan yang tulus dan ikhlas akan
menghasilkan
kebaikan
di
kemudian
hari.
Teladan
tentang
Kesetiaan
Sri
Tanjung
Relief ini terdapat pada dinding sisi barat dan selatan bangunan pendopo teras. Relief ini menceritakan
tentang Pangeran Sidapaksa, salah seorang keturunan Pandawa yang mengabdi pada prabu Sulakarma
di negeri Sindurejo. Pada suatu ketika Sidapaksa diutus sang prabu untuk mencari obat ke tempat
seorang begawan yang bernama Tambapetra di Desa Prangalas. Obat pesanan Sang Prabu tidak dapat
diperoleh, bahkan Sidapaksa jatuh cinta pada putri Sang Begawan yang bernama Sri Tanjung.
Sidapaksa berhasil mempersunting Sri Tanjung yang cantik rupawan. Kecantikan Sri Tanjung
terdengar pula oleh sang prabu dan berniat untuk berbuat tidak senonoh. Dicarinya akal untuk
memperdaya Sidapaksa dengan mengutusnya ke khayangan dengan maksud agar dibunuh oleh para
dewa sesuai dengan bunyi surat yang dibawakannya.
Di khayangan, Sidapaksa hampir dibunuh oleh para dewa. Pada saat kritis, Sidapaksa
menyebut-nyebut nama Pandawa, sehingga ia tidak jadi dibunuh karena sebenarnya masih keluarga
para dewa. Sidapaksa kembali dari khayangan dengan selamat. Sementara Sidapaksa berangkat ke
khayangan, prabu Sulakrama berusaha menggoda Sri Tanjung akan tetapi tidak berhasil. Karena merasa
malu, kemudian Sang Prabu memfitnah Sidapaksa dengan mengatakan bahwa selama ia pergi
kekhayangan istrinya telah berbuat serong. Fitnah ternyata berhasil membuat Sidapaksa kalap dan
sebagai puncak kemarahannya istrinya kemudian dibunuh.
Dalam perjalanan ke alam roh, Sri Tanjung menaiki ikan menyeberangi sebuah sungai yang
maha luas. Di sana ia bertemu dengan Bhatari Durga, karena belum waktunya meninggal, maka Sri
Tanjung dihidupkan kembali.
Sri Tanjung kemudian kembali ke Desa Prangalas. Selanjutnya Sidapaksa yang mengetahui
bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah, menjadi sakit saraf dan hampir bunuh diri. Kemudian
datanglah Bhatari Durga yang menyuruh Sidapaksa ke Desa Prangalas untuk menemui Sri Tanjung.
Terjadilah kesepakatan, Sri Tanjung bersedia kembali asal Sidapaksa dapat memenggal kepala Prabu
Sulakrama. Permintaan tersebut dapat dipenuhi bahkan kepala Sang Prabu dijadikan alas kaki Sri
Tanjung. Mereka kemudian hidup bahagia.
Berdasarkan cerita tersebut, dapat diteladani kesetiaan seorang istri dan kepercayaan seorang
suami terhadap istrinya.
Relief kura-kura
Relief ini terdapat pada dinding kolam petirtaan sisi barat. Cerita ini mengisahkan tentang dua
ekor kura-kura di sebuah sungai yang hampir-hampir kering karena musim kemarau panjang. Seekor
burung belibis berusaha untuk menolong mereka dengan menerbangkan kedua kura-kura itu ke sebuah
telaga yang masih memiliki banyak air. Dengan cara menggigit kedua ujung cabang kayu yang
digenggam oleh belibis, kedua kura-kura itu berhasil dibawa terbang.
Sebelum diterbangkan, burung belibis berpesan kepada kedua kura-kura untuk tidak berkatakata sepanjang perjalanan. Namun amanat burung belibis itu dilanggar karena tidak kuat menahan
ejekan dari sekelompok serigala sewaktu melewati sebuah hutan. Akibat menjawab ejekan tersebut,
mulut kedua kura-kura ini lepas dari cabang kayu yang digigitnya, sehingga mereka jatuh ke tanah dan
menjadi santapan kawanan serigala.
Berdasarkan cerita tersebut, dapat disimpulkan bahwa siapa yang tidak taat, maka akan
mendapat celaka di kemudian hari.
Relief ini terdapat pada dinding kolam sisi barat dan bagian belakang Arca Dwarapala yang
terletak di sebelah kanan tangga masuk bangunan candi induk sisi utara. Cerita ini mengisahkan
tentang seekor buaya yang tiba-tiba kerobohan sebatang pohon, namun ia beruntung karena berada di
suatu tempat yang berlubang, sehingga masih sempat menyelamatkan diri.
Ketika itu, seekor lembu jantan sedang melintas di depannya, kemudian buaya meminta
pertolongan. Lembu jantan tidak keberatan dan berhasil mengangkat pohon yang tumbang tersebut.
Karena tempat buaya di air, maka lembu jantan dimintanya untuk mengantarkannya. Setelah sampai,
punuk lembu digigitnya, sehingga lembu kesakitan dan terjadilah perekelahian.
Lembu jantan hampir kalah karena air bukan alamnya. Datanglah kemudian seekor kancil yang
bertindak sebagai wasit perkara. Ia meminta agar buaya dikembalikan ke tempat kejadian semula
sewaktu kerobohan pohon dengan alasan untuk memudahkan penilaian siapa yang benar dan siapa
yang salah. Namun kemudian buaya ditinggal sendirian di tempattersebut sampai menemui ajal.
Berdasarkan cerita tersebut dapat diteladani bahwa manusia harus berterima kasih kepada siapa
saja yang telah memberikan pertolongan, bukan malah mencekakai, jika tidak maka ia akan mendapat
celaka.