Anda di halaman 1dari 10

Cerita Dongeng

Hikayat Kerbau dan Sapi yang Bertukar Kulit

Pada suatu masa, ada kerbau dan sapi yang bersahabat. Sapi berkulit hitam kecoklatan sementara
kerbau berkulit putih. Pada suatu hari, datanglah pendatang baru di sebuah padang rumput, ia adalah
banteng yang memiliki tanduk runcing. Ia terlihat sangat gagah dan membuat rapi betina kagum
terhadapnya.

Kabar adanya banteng gagah tersebut tersebar dengan sangat cepat. Ia pun menjadi primadona. Sapi
jantan yang warnanya hitam kecoklatan tak begitu peduli. Namun, si karbau justru merasa iri dan
cemburu kepada banteng tersebut.

Ia berkata, “Apa sih hebatnya dia? Aku juga mempunyai tanduk yang besar dan runcing. Badan juga
gagah. Cuma hanya berbeda warna kulit saja. Seandainya kulitku hitam aku pasti lebih gagah
dibandingkan banteng itu”.

Ia pun memiliki ide untuk mengubah warna kulitnya. Ia pun mendatangi sapi yang tengah berendam di
sungai. Ia pun merayu sapi agar ia mau bertukar kulit. Namun, sapi tetap enggan karena ia bersyukur
dengan nikmat Tuhan.

Kerbau tetap saja membujuk sapi dan memohon atas nama persahabatan. Sapi pun akhirnya kasihan
dan bersedia tukar warna kulit. Namun, sapi memberi syarat bahwa sesudah bertukar, kerbau harus
bersyukur dengan apa yang dimiliki. Tanpa berfikir panjang, kerbau akhirnya menyanggupi.

Akhirnya mereka bertukar kulit, namun ternyata kulit si sapi terlalu kecil dan sempit untuk kerbau yang
besar. Sehingga pakainnya terasa sesak. Sementara kulit kerbau yang dipakai oleh sapi kebesaran.
Lantaran merasa kurang nyaman dengan kulitnya tersebut, kerbau kembali mengajak sapi bertukar.
Namun, sapi tidak mau.

Akhirnya, kerbau merengek kepada sapi minta bertukar kulit dimanapun mereka bertemu. Namun,
tetap saja sapi tidak mau bertukar. Akhirnya, sang kerbau menyesal karena sudah tidak mensyukuri apa
yang ia dapatkan dari Tuhannya. Padahal itu adalah yang terbaik untuknya.
Cerita Dongeng Si Kancil, Tikus dan Harimau

Pada suatu masa, di tengah hutan terdapat seekor tikus yang tengah asyik bermain. Ia bernyanyi dan berkeliling
sangat riang. Sehingga ia tidak menyadari bahwa sudah sangat jauh dengan rumah. Sesudah sangat jauh dari
rumah, sang tikus pun baru sadar. Ia pun langsung memilih untuk pulang ke rumahnya namun ia malah tersesat
di hutan.

Ketika ia sedang dalam keadaan bingung mencari jalan pulang, ia justru terjebak di sarang harimau. Ia
menyaksikan ada harimau jantan yang tengah tidur lelap dan si tikus pun merasa ketahkutan. Karena saking
paniknya melihat harimau, ia berlari dan tanpa sengaja menginjak kaki harimau.

Akhirnya harimau terbangun dah marah karena terganggu istirahatnya. Tikus tersebut akhirnya ditangkap
dengan kukunya yang tajam. Ia pun berusaha melepaskan diri dan memohon kepada harimau untuk
melepaskannya.

Namun sang harimau tetap saja tidak mau melepaskan tikus tersebut dan berkata bahwa ia merasa sangat marah
apabila ada yang mengganggunya. Tidak begitu jauh dari tempat tersebut, terdapat seekor kancil yang tengah
minum di tepi sungai.

Ia terkejut melihat kejadian itu. Dan basa basi kepada harimau. Namun harimau justru malah ingin memakan
kancil. Namun, dengan cepat ia berkata,

“Kenapa aku harus takut kepadamu sementara aku adalah raja hutan di sini. Jika kau tidak percaya, tanyalah
langsung kepada penasihatku. Penasihatku adalah orang yang saat ini ada di dalam cengkramanmu. Ia adalah
penasihat yang amat disegani di hutan ini. Maka aku tidak akan memaafkanmu jika terjadi apa-apa dengan
penasihatku”

Harimau pun terpengaruh oleh ucapan si kancil. Harimau kemudian bertanya kepada tikus kebenaran yang
dikatakan oleh kancil. Dan tikuspun sadar bahwa kancil berbohong untuk menolongnya. Ia pun berkata,

“Ia benar, kancil adalah saja hutan ini. Dan aku menjadi penasihat dia. Kancil sangat ditakuti dan disegani di
hutan ini oleh seluruh binatang. Apabila tidak percaya, silahkan bertanya langsung kepada seluruh hewan
dihutan ini”

Harimau akhirnya takut dengan ucapan tikus namun tetap saja tidak menunjukkan rasa takutnya. Akhirnya,
kancil pun kebingungan bagaimana cara untuk membuktikan kekuatannya kepada harimau. Akhirnya ia
berusaha tenang dengan kepandaiannya sekalipun sesungguhnya ia merasa takut.

Ia pun berkata bahwa ia baru saja mengalahkan harimau sebesar harimau tersebut. Dan itu membuat harimau
merasa sangat takut. Ia pun meminta kancil untuk membuktikan perkatannya bahwa kepala harimau yang dia
habisi masih ada di pinggiran rungai.

Akhirnya, kancil membawa harimau ke sumur yang gelap dan dalam. Namun ia tidak nampak karena ada
pantulan dari sinar matahari. Ia pun diminta untuk melihat kepala harimau di dalam sumur. Alhasil, ia pun
mengintip dan ternyata kepala harimau itu benar-benar ada.

Padahal sebenarnya di dalam sumur tersebut tidak ada apa-apa. Hanya saja harimau melihat cerminan kapalanya
sendiri. Melihat hal itu, harimau langsung lari ketakutan dari berlari. Dan tikuspun bebas dari cengkraman
harimau lantaran pertolongan dari kancil yang sangat cerdik itu.
Legenda Kisah Laksamana Hang Tuah

Pada zaman dahulu kala, dikenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Ketika masih anak-anak, ia be-
serta kedua orangtuanya, Hang Mahmud dan Dang Merdu, menetap di Pulau Bintan. Pulau ini berada
di perairan Riau. Rajanya adalah Sang Maniaka, putra Sang Sapurba raja besar yang bermahligai di
Bukit Siguntang.

Hang Mahmud berfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang terkemuka. Saat
berumur sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Selatan disertai empat sahabatnya,
yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Dalam perjalanan, mereka berkali-kali
diganggu oleh gerombolan lanun. Dengan segala keberaniannya, Hang Tuah beserta para sahabatnya
mampu mengalahkan gerombolan itu. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Bendahara Paduka
Raja Bintan, yang sangat kagum terhadap keberanian mereka.

Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat sahabatnya berhasil mengalahkan empat pengamuk yang
menyerang Tuan Bendahara. Tuan Bendahara kemudian mengangkat mereka sebagai anak angkatnya.
Tuan Bendahara kemudian melaporkan tentang kehebatan mereka kepada Baginda Raja Syah Alam.
Baginda Raja pun ikut merasa kagum dan juga mengangkat mereka sebagai anak angkatnya.

Beberapa tahun kemudian, Baginda Raja berencana mencari tempat baru sebagai pusat kerajaan. Ia
beserta punggawa kerajaan, termasuk Hang Tuah dan para sahabatnya, melancong ke sekitar Selat Me-
laka dan Selat Singapura. Rombongan akhirnya singgah di Pulau Ledang. Di sana rombongan melihat
seekor pelanduk (kancil) putih yang ternyata sulit untuk ditangkap.

Menurut petuah orang tua-tua, jika menemui pelanduk putih di hutan maka tempat itu bagus dibuat
negeri. Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinamakan Melaka, sesuai nama pohon Melaka
yang ditemukan di tempat itu.

Setelah beberapa lama memerintah, Baginda Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama Tun
Teja, putri tunggal Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Namun, sayangnya putri itu menolak
pinangan Baginda Raja. Akhirnya, Baginda Raja meminang Raden Galuh Mas Ayu putri tunggal Seri
Betara Majapahit, raja besar di tanah Jawa.

Sehari menjelang pernikahan, di istana Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Taming Sari, prajurit
Majapahit yang sudah tua tapi amat tangguh, tiba-tiba mengamuk. Mengetahui keadaan itu, Hang Tuah
kemudian menghadang Taming Sari. Hang Tuah mempunyai siasat cerdik dengan cara menukarkan
kerisnya dengan keris Taming Sari.

Setelah keris bertukar, Hang Tuah kemudian berkali-kali menyerang Taming Sari. Taming Sari baru
kalah setelah keris sakti yang dipegang Hang Tuah tertikam ke tubuhnya. Hang Tuah kemudian diberi
gelar Laksamana dan dihadiahi keris Taming Sari.

Baginda Raja bersama istri dan rombongannya kemudian kembali ke Melaka. Selama bertahun-tahun
negeri ini aman dan tenteram. Hang Tuah menjadi laksamana yang amat setia kepada raja Melaka dan
amat disayang serta dipercaya raja. Hal itu menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit dan pegawai
istana.

Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang Tuah telah berbuat tidak sopan dengan
seorang dayang istana. Penyebar fitnah itu adalah Patih Kerma Wijaya yang merasa iri terhadap Hang
Tuah. Baginda Raja marah mendengar kabar itu. Ia memerintahkan Bendahara Paduka Raja agar
mengusir Hang Tuah. Tuan Bendahara sebenarnya enggan melaksanakan perintah Baginda Raja karena
ia mengetahui Hang Tuah tidak bersalah. Tuan Bendahara menyarankan agar Hang Tuah cepat-cepat
meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura.

Di Indrapura, Hang Tuah mengenal seorang perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja.
Dang Ratna kemudian menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah meminta Dang Ratna untuk menyampaikan
pesan kepada Tun Teja agar mau menyayangi dirinya. Berkat upaya Dang Ratna, Tun Teja mau
menyayangi Hang Tuah. Hubungan keduanya kemudian menjadi sangat akrab.

Suatu waktu, Indrapura kedatangan perahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan Tun Bija
Sura. Mereka meminta Hang Tuah agar mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna juga ikut
bersama rombongan.

Sesampainya di Melaka, Hang Tuah kemudian bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah berkata,
“Mohon maaf, Tuanku, selama ini hamba tinggal di Indrapura. Hamba kembali untuk tetap mengabdi
setia kepada Baginda.” Tun Ratna Diraja melaporkan kepada Baginda Raja bahwa Hang Tuah datang
bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan Baginda Raja.

Singkat cerita, Tun Teja akhirnya bersedia menjadi istri kedua Baginda Raja meskipun sebenarnya ia
menyayangi Hang Tuah. Hang Tuah kemudian menjabat lagi sebagai Laksamana Melaka, yang sangat
setia dan disayang raja.

Hang Tuah kembali kena fitnah setelah bertahun-tahun menetap di Melaka. Mendengar fitnah itu, kali
ini Baginda Raja sangat marah dan memerintahkan Tuan Bendahara agar membunuh Hang Tuah. Tuan
Bendahara tidak tega membunuh Hang Tuah dan memintanya agar mengungsi ke Hulu Melaka.

Hang Tuah menitipkan keris Taming Sari ke Tuan Bendahara agar diserahkan pada Baginda Raja.
Hang Jebat kemudian menggantikan Hang Tuah sebagai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Raja keris
Taming Sari diserahkan kepada Hang Jebat.

Sepeninggal Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri dan menjadi mabuk kekuasaan. Ia bertindak sewenang-
wenang. Jebat juga sering bertindak tidak sopan terhadap para pembesar kerajaan dan dayang-dayang.
Banyak orang telah menasihatinya. Namun, Hang Jebat tetap keras kepala, tidak mau berubah.

Baginda Raja menjadi gusar melihat kelakuan Hang Jebat. Tak seorang pun prajurit yang mampu
mengalahkan Hang Jebat. Baginda lalu teringat kepada Hang Tuah. Tuan Bendahara memberitahu
kepada Baginda Raja, “Maaf Baginda, sebenarnya Hang Tuah masih hidup. Ia mengungsi ke Hulu
Melaka.” Atas perintah Baginda Raja, Hang Tuah bersedia ke Melaka.

Hang Tuah menghadap Baginda Raja dan menyatakan kesiapannya melawan Hang Jebat. Hang Tuah
kemudian diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat antara dua sahabat yang
sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang Tuah berhasil merebut keris Taming Sari dan
dengan keris itu, Hang Tuah dapat mengalahkan Hang Jebat. Ia mati di pangkuan Hang Tuah. Hang
Tuah kembali diangkat sebagai Laksamana Melaka. Setelah itu, Melaka kembali tenteram.

Laksamana Hang Tuah sering melawat ke luar negeri hingga ke negeri Judah dan Rum untuk
memperluas pengaruh kerajaan Melaka di seluruh dunia.

Suatu saat Baginda Raja mengirim utusan dagang ke Kerajaan Bijaya Nagaram di India, yang dipimpin
oleh Hang Tuah. Setelah sampai di India, rombongan melanjutkan pelayaran ke negeri Cina. Di pe-
labuhan Cina, rombongan Hang Tuah berselisih dengan orang-orang Portugis, karena mereka sangat
sombong, tidak terima Hang Tuah melabuhkan kapalnya di samping kapal Portugis.
Setelah menghadap Raja Cina, rombongan Hang Tuah kemudian melanjutkan perjalanannya kembali
ke Melaka. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh perahu-perahu Portugis. Hang Tuah mampu
mengatasi serangan mereka. Kapten dan seorang perwira Portugis melarikan diri ke Manila, Filipina.
Rombongan Hang Tuah akhirnya tiba di Melaka dengan selamat.

Suatu hari raja Melaka beserta keluarganya berwisata ke Singapura diiringi Laksamana Hang Tuah dan
Bendahara Paduka Raja dengan berbagai perahu kebesaran. Ketika sampai di Selat Singapura Raja
Syah Alam melihat seekor ikan bersisik emas bermatakan mutu manikam di sekitar perahu Syah Alam.
Ketika menengok ke permukaan air, mahkota Raja terjatuh ke dalam laut.

Hang Tuah langsung menyelam ke dasar laut sambil menghunus keris Taming Sari untuk mengambil
mahkota tersebut. Ia berhasil mengambil mahkota itu tetapi ketika hampir tiba di perahu, seekor buaya
putih besar menyambarnya sehingga mahkota beserta kerisnya terjatuh lagi ke laut. Hang Tuah kembali
menyelam ke dasar lautan mengejar buaya tersebut. Tetapi ternyata mahkota beserta kerisnya tetap ti-
dak ditemukan. Sejak kehilangan mahkota dan keris Taming Sari, Raja dan Hang Tuah menjadi pe-
murung dan sering sakit-sakitan.

Sementara itu, Gubernur Portugis di Manila sangat marah mendengar laporan kekalahan dari
perwiranya yang berhasil melarikan diri. Setelah beberapa bulan melakukan persiapan, angkatan
perang Portugis berangkat menuju Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai serangan terhadap
Melaka yang menyebabkan banyak prajurit Melaka kewalahan. Pada saat itu, Hang Tuah sedang sakit
keras.

Baginda Raja memerintahkan Tuan Bendahara untuk meminta bantuan Hang Tuah. Meski sakit, Hang
Tuah tetap bersedia ikut memimpin pasukan melawan Portugis. Kata Hang Tuah kepada Baginda Raja,
“Apa yang kita tunggu? Kita secepatnya harus mengusir mereka dari sini.”

Dengan keteguhannya, Hang Tuah masih mampu menyerang musuh, baik dengan pedang maupun
meriam. Namun, sebuah peluru mesiu Portugis berhasil menghantam Hang Tuah. Ia terlempar sejauh 7
meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah berhasil diselamatkan dan kemudian dibawa dengan perahu
Mendam Birahi kembali ke Melaka. Seluruh perahu petinggi dan pasukan Melaka juga kembali ke
kerajaan. Demikian pula halnya pasukan Portugis kembali ke Manila karena banyak pemimpinnya
yang terluka. Peperangan berakhir tanpa ada yang menang dan yang kalah.

Setelah sembuh, Hang Tuah tidak lagi menjabat sebagai Laksamana Melaka karena sudah semakin tua.
Ia menjalani hidupnya dengan menyepi di puncak bukit Jugara di Melaka. Baginda Raja juga sudah
tidak lagi memimpin, ia digantikan oleh anaknya, Putri Gunung Ledang.
Legenda Sangkuriang dan Asal-Usul Gunung Tangkuban Perahu

Kisah ini bermula dari seorang dewa dan seorang dewi yang karena kesalahan yang dibuatnya di
kayangan, akhirnya harus menjalani hukuman di dunia. Keduanya dihukum untuk berbuat kebaikan
dalam hidupnya di bumi dalam bentuk seekor babi hutan dan seekor anjing. Babi hutan jelmaan dewi
itu bernama Wayung Hyang, sedangkan anjing jelmaan dewa itu bernama Tumang. Wayung Hyang
karena dihukum sebagai babi hutan atau celeng, maka ia berusaha melakukan berbagai kebaikan di
dalam sebuah hutan. Sementara Tumang, sang anjing jelmaan dewa itu mengabdi sebagai anjing
pemburu pada seorang raja yang bernama Sumbing Perbangkara.

Pada suatu hari, raja Sumbing Perbangkara berburu ke hutan di tepi kerajaan. Di suatu tempat yang
dekat dengan tempat tinggal babi hutan Wayung Hyang, Sumbing Perbangkara ingin sekali kencing. Ia
kemudian kencing dan tanpa sengaja, tertampung dalam sebuah batok kelapa. Selang beberapa saat,
babi hutan Wayung Hyang yang sedang kehausan kemudian meminum air kencing Sumbing
Perbangkara. Siapa sangka, Wayung Hyang akhirnya hamil.

Sumbing Perbangkara yang pada dasarnya memang suka berburu kembali ke hutan tersebut setelah
berbilang bulan, tepat saat Wayung Hyang melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik.
Sumbing Perbangkara yang berburu kijang mendengar suara tangisan bayi. Ditemani anjing
pemburunya Tumang, ia akhirnya menemukan bayi perempuan yang tak lain adalah anaknya sendiri.
Terpikat oleh keelokan paras bayi itu, Sumbing Perbangkara membawanya pulang dan mengangkatnya
sebagai anak. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi kemudian semakin dewasa dan tumbuh menjadi seorang putri yang berparas elok.
Kecantikan tersiar ke segenap penjuru kerajaan hingga didengar raja-raja dan para pangeran. Dayang
Sumbi diperebutkan. Perang besar terjadi di mana-mana. Merasa tidak nyaman dengan perang yang
terjadi di mana-mana karena memperebutkan dirinya, Dayang Sumbi akhir meminta kepada ayahnya
raja Sumbing Perbangkara untuk menyendiri dan pergi dari kerajaan. Sumbing Perbangkara akhirnya
mengijinkannya dan memberikan Tumang si anjing pemburu untuk menemaninya. Dayang Sumbi
tinggal di sebuah pondok di tepi hutan. Dengan kehidupannya yang sederhana tak seorangpun yang
tahu bahwa ia adalah Dayang Sumbi yang diperebutkan banyak raja dan pangeran. Di pondok itu ia
mengisi kegiatannya dengan menenun.

Suatu hari, saat menenun kain, Dayang Sumbi duduk di atas sebuah bale-bale. Karena mengantuk, alat
tenunnya yang disebut torak jatuh ke lantai. Dayang Sumbi merasa malas sekali memungut torak itu,
sehingga ia bersumpah bahwa ia akan menikahi siapapun yang mengambilkan torak itu untuknya.
Tumang, anjing yang ditugaskan menemani Dayang Sumbi akhirnya mengambilkan torak yang terjatuh
itu dan menyerahkannya kepada Dayang Sumbi. Demi memenuhi sumpah yang terlanjur
diucapkannya, Dayang Sumbi akhir menikah dengan Tumang.

Raja Sumbing Perbangkara yang mengetahui hal itu akhirnya merasa sangat malu. Putrinya yang cantik
menikah dengan seekor anjing dan kini tengah mengandung. Dayang Sumbi akhirnya diasingkan ke
hutan bersama-sama dengan Tumang. Tidak ada seorangpun yang tahu bahwa Tumang adalah jelmaan
seorang dewa, kecuali Dayang Sumbi. Setiap malam purnama, Tumang dapat menjelma menjadi
seorang lelaki yang tampan.

Dayang Sumbi yang hamil akhirnya melahirkan seorang putra yang tampan. Kulitnya putih dengan
rambut lebat legam seperti arang. Dayang Sumbi memberinya nama Sangkuriang. Bayi itu kemudian
tumbuh menjadi anak yang tangkas.

Sangkuriang telah mulai mahir memanah, pada suatu hari diminta ibunya untuk berburu. Dayang
Sumbi ingin sekali memakan hati rusa. Ditemani Tumang, Sangkuriang berburu di hutan. Di suatu
tempat, Sangkuriang melihat babi hutan Wayung Hyang melintas. Ia segera membidikkan panahnya.
Akan tetapi Wayung Hyang berlari dan bersembunyi dengan gesit. Sangkuriang memerintahkan anjing
pemburunya, Tumang untuk mengejar babi hutan itu. Tumang yang mengetahui jika babi hutan itu
bukan sembarang babi hutan melainkan jelmaan dewi yang bernama Wayung Hyang, menolak perintah
Sangkuriang. Tumang, si anjing jelmaan dewa itu hanya duduk diam memandang Sangkuriang.

Sangkuriang sangat marah kepada Tumang. Ia menakut-nakuti Tumang dengan mengarahkan anak
panah pada Tumang. Tetapi, tanpa sengaja, ia melepaskan anak panah itu pada busurnya. Anak panah
melesat dan menghunjam ke tubuh Tumang. Anjing jelmaan dewa itu tewas. Sangkuriang yang
ketakutan bercampur putus asa akhirnya mengambil hati Tumang. Hati itu kemudian dibawanya pulang
dan diserahkannya kepada dayang Sumbi dengan mengatakan bahwa itu adalah hati rusa hasil
buruannya.

Dayang Sumbi dengan gembira memasak hati itu, mereka ia makan dengan lahap. Setelah selesai
makan, Dayang Sumbi teringat akan Tumang. Ia bertanya kepada Sangkuriang di mana anjing Tumang.
Sangkuriang yang akhirnya tidak bisa berkelit jujur mengakui bahwa Tumang telah tewas karena
panahnya dan hatinya telah diserahkan kepada ibunya untuk dimasak.

Dayang Sumbi sangat murka. Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya sendiri. Ia kemudian
mengambil centong nasi dan memukul kepala Sangkuriang hingga terluka sangat parah. Akan tetapi,
luka di hati Sangkuriang lebih parah. Ia akhirnya lari dari pondok mereka.

Menyadari bahwa ia telah melukai anaknya sendiri dan membuatnya lari, Dayang Sumbi akhirnya
merasa sangat menyesal. Sangkuriang adalah putranya satu-satunya yang telah menemaninya hidup di
hutan bersama Tumang. Demi menenangkan perasaannya, Dayang Sumbi akhirnya bertapa. Dalam
pertapaannya, Dayang Sumbi kemudian dikaruniakan umur panjang dan awet muda. Semumur
hidupnya, ia akan tetap menjadi seorang wanita yang cantik dan tak akan pernah terlihat tua.

Sementara itu, Sangkuriang yang lari dengan kepala terluka mengembara ke mana-mana. Ia berguru
dengan beberapa orang sakti. Ia masuk hutan keluar hutan. Saat Sangkuriang telah menjadi pemuda
sakti dan perkasa, ia mengalahkan semua makhluk-makhluk halus atau guriang yang ditemuinya dalam
pengembaraan. Ia menaklukkan mereka dan dengan kesaktiannya menjadi tuan dari guriang-guriang
itu.

Pada suatu ketika, dalam pengembaraannya Sangkuriang akhirnya bertemu dengan Dayang Sumbi.
Sangkuriang sangat terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi, lalu akhirnya jatuh cinta. Perasaan
Sangkuriang berbalas. Dayang Sumbi juga terpikat oleh ketampanan Sangkuriang. Akhirnya,
Sangkuriang berniat menikahi Dayang Sumbi.

Saat Dayang Sumbi menyisir rambut dan merapikan ikat kepala Sangkuriang, ia melihat ada bekas luka
yang sangat besar. Setelah mengamati wajah Sangkuriang, barulah ia sadar bahwa ia akan menikah
dengan anak kandungnya sendiri. Sangkuriang sendiri tidak menyangka bahwa Dayang Sumbi adalah
ibu kandungnya.

Dayang Sumbi akhirnya mencoba menjelaskan kenyataan bahwa Sangkuriang adalah putranya. Tetapi
Sangkuriang telah kehilangan akal sehat. Sangkuriang tetap memaksa. Akhirnya Dayang Sumbi secara
halus menghindari terjadinya perkawinan mereka. Ia meminta Sangkuriang membuatkannya sebuah
danau lengkap dengan perahunya dalam semalam. Bagi Dayang Sumbi, ini adalah hal yang mustahil
untuk dapat dilakukan oleh Sangkuriang. Anak kandungnya itu tidak akan sanggup memenuhi
persyaratan yang mintanya. Di luar dugaan Dayang Sumbi, Sangkuriang menyanggupi permintaannya.
Malam itu, Sangkuriang bekerja keras membuat sebuah danau. Sangkurang menebang pohon, bekas
pohon tebangannya itu berubah menjadi sebuah bukit yang kini dikenal sebagai Gunung Bukit
Tunggul, sementara daun, ranting dan bagian kayu lainnya yang tidak terpakai ditumpuknya dan
terbentuklah Gunung Burangrang. Ia telah bekerja separuh malam. Selanjutnya setelah perahu selesai
dibuat Sangkuriang mulai membuat danau. Sangkuriang, seperti pengerjaan perahu, mengerahkan
makhluk halus guriang untuk membantu. Melihat situasi ini, Dayang Sumbi menjadi ketakutan.
Akhirnya ia menebarkan kain-kain hasil tenunannya di arah timur. Ia memohon kepada Sang Hyang
Tunggal agar usaha Sangkuriang digagalkan. Doanya dikabulkan. Kain-kain tenunan Dayang Sumbi
bercahaya kemerah-merahan di ufuk timur. Ayam-ayam jantan kemudian berkokok. Kemudian,
makhluk-makhluk halus guriang yang membantu pekerjaan Sangkuriang membuat danau mengira hari
akan segera pagi. Merekapun segera berlari dan bersembunyi masuk ke dalam tanah. Sangkuriang
tinggal sendirian dengan pekerjaan pembuatan danau yang hampir selesai. Sangkuriang merasa
usahanya telah gagal. Ia menjadi marah sekali.

Sangkuriang mengamuk. Sumbat yang dibuatnya untuk membendung Sungai Citarum dibuangnya ke
arah timur dan menjadi Gunung Manglayang. Danau Talaga Bandung yang dibuatnya kemudian
menyurut. Lalu dengan sekali tendangan keras, perahu buatannya terlempar jauh dan tertelungkup.
Dalam sekejap berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi
yang melarikan diri. Ketika Dayang Sumbi hampir terkejar oleh Sangkuriang di Gunung Putri, Dayang
Sumbi memohon pertolongan Sang Hyang Tunggal. Ia akhirnya menjelma menjadi sekuntum bunga
jaksi. Sangkuriang terus mencari Dayang Sumbi hingga sampai ke Ujung Berung dan tersesat ke alam
gaib.
Legenda Batu Menangis – Kalimantan Barat

Pada zaman dahulu kala, di atas sebuah bukit kecil yang jauh dari pemukiman penduduk, di daerah Kalimantan
Barat hiduplah seorang janda yang sangat miskin bersama seorang anak gadisnya.

Anak gadis nya sangat cantik, bentuk tubuhnya sangat indah, rambutnya terurai mengikal sampai ke mata kaki.
Poni rambutnya tersisir rapi dan keningnya sehalus batu cendana. Namun sayang nya ia memiliki sifat yang
buruk.

Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya
bersolek setiap hari.

Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia
meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap
hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh,
sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan
memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi
kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat
dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang
berjalan itu adalah ibu dan anak.

Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona
melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah
gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu
membuat orang bertanya-tanya.

Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis
cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”

Namun, apa jawaban anak gadis itu ?


“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda
dan bertanya kepada anak gadis itu.

“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?” “Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan
mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”

Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu
jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat
menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan
hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.

“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan
diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia….”

Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu.
Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis
memohon ampun kepada ibunya.

” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu…Ibu…ampunilah anakmu..”
Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat.
Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat
bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal
dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “.

Anda mungkin juga menyukai