Anda di halaman 1dari 5

Hikayat Hang Tuah

Pada suatu Ketika ada seorang pemudah yang Bernama Hang Tuah, anak dari Hang
Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai
Duyung mendengar kabar tentang Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.
Ketika Hang Mahhmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang
Bernama Dang Merdu. Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari
langit. Cahayanya penuh diatas kepala Hang Tuah. Hang Mahmud pun terbangun dan
mengangkat anaknya serta menciumnya.
Mimpi itu merupakan pertanda baik, dan Hang Mahmud merasa sangat bahagia. Esok
harinya, Hang Mahmud mencuci rambut Hang Tuah serta memandikannya dengan air bunga.
Hang Tuah diberi pakaian berupa kain dan baju daster serba putih, serta diberi makan nasi
kunyit dan telur ayam. Kemudian Hang Mahmud menjemput orang tua-tua untuk
membacakan doa selamat. Hang Mahmud: "Anak kita ini harus dipelihara baik-baik." Ketika
berusia sepuluh tahun, Hang Tuah bersama empat sahabatnya yaitu Hang Jebat, Hang
Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu pergi berlayar ke Laut Cina Selatan. Sebelum
berangkat, masing-masing dari mereka diberi sebilah keris oleh orang tua mereka.
Di tengah pelayaran, di Riau Kepulauan, tiba-tiba mereka diserang tiga buah perahu bajak
laut. Namun, mereka tidak sedikit pun gentar. Untuk menghadapi para bajak laut. Hang Tuah
mengarahkan perahunya ke sebuah pulau. Perahu mereka kecil, sedang ketiga perahu para
bajak laut lebih besar. Mereka akan kalah kalau berperang di laut. Para bajak laut terus
mengejar perahu Hang Tuah. Setibanya di pulau, pertempuran sengit segara terjadi.
Pertarungan sengit itu dimenangkan Hang Tuah dan teman-temannya. Banyak Lanun yang
terluka, hingga tinggal sepuluh orang yang akhirnya melarikan diri.
Di tengah lautan, perahu Hang Tuah kembali dikejar gerombolan bajak laut yang
sebelumnya sempat melarikan diri. Untunglah, saat itu tujuh buat perahu Batin Singapura
sedang melintas menuju Bintan. Tujuh perahu itu segera menghadang perahu para bajak laut,
yang akhirnya berbalik arah dan melarikan diri. Keberanian Hang Tuah dan teman-temannya
diceritakan Batin Singapura kepada Bendahara Paduka Raja Bintan, Tuah Bendahara sangat
kagum, dan berniat suatu ketika akan memanggil anak-anak itu. Beberapa bulan kemudian,
Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu kembali ke Bintan.
Suatu hari, Hang Tuah membelah kayu api dengan sebilah kapak di depan kedai orang
tuanya. Tiba-tiba ada orang mengamuk, orang-orang kampung dikejarnya. Puluhan orang
kampung terluka. Penduduk lainnya lari tunggang langgang dan bersembunyi. Sambil
menghunus keris, pengamuk itu semakin mendekati Hang Tuah. Dang Merdu berteriak "Hei,
anakku. Cepatlah naik ke kedai!" Dengan ketangkasan dan kecerdikannya, akhirnya Hang
Tuah dapat mengalahkan si pengamuk. Orang-orang yang bersembunyi segera keluar.
Mereka terkagum-kagum melihat kehebatan Hang Tuah. Penduduk bersorak "Kelak, anak ini
akan jadi pemimpin pasukan besar di tanah Melayu."
Beberapa hari kemudian, Hang Tuah dan keempat sahabatnya kembali berhasil
mengalahkan empat pengamuk yang ingin mengganggu Bendahara Paduka Raja Bintan.
Beliau sangat kagum dan berterima kasih kepada Hang Tuah dan kawan-kawannya. Kisah
keberanian Hang Tuah dan teman-temannya disampaikan Bendahara Paduka Raja kepada
Raja Bintan, Baginda Raja Syah Alam. Baginda Raja pun tertarik dan mengangkat kelima
anak itu sebagai anaknya. Baginda menghadiahkan sebilah keris yang bagus kepada Hang
Tuah. Setelah menyambut keris dan memberi hormat kepada Baginda Raja, Hang Tuah
bersilat sambil berseru-seru, "Cih, manakah dia pemimpin pasukan Melayu? Empat, lima
orang tiada aku gentar menghadapinya!" Baginda Raja tersenyum melihat kelucuan Hang
Tuah.
Diantara empat puluh anak angkatnya, Baginda Raja menilai Hang Tuah lah yang paling
pandai. Ketika sedang berburu, rombongan Baginda Raja melihat seekor kancil putih sebesar
kambing. Untuk menangkapnya, Hang Tuah segera melepaskan dua ekor anjingnya, Kibu
Nirang, dan Rangga Raya. Namun, kedua anjing itu justru digigit dan diterjang si kancil
hingga jatuh ke dalam sungai. Hang Tuah dan Hang Jebat heran melihat kegarangan kancil
itu. Anehnya lagi, ketika dikejar, kancil itu pun tiba-tiba menghilang begitu saja. Bendahara
Paduka Raja berkata "Menurut petuah dari orang tua-tua, jika ada kancil putih di hutan atau
di mana saja, maka tempat itu bagus dibuat negeri." Baginda Raja Syah Alam menjawab
"Baiklah kalau memang begitu. Kita akan membangun negeri baru di sini." Setelah meminta
pendapat para pembesar lainnya, usul Bendahara Paduka Raja disetujui. Baginda Raja Syah
Alam kemudian menyuruh Bendahara Paduka Raja dan Temenggung untuk memimpin
pembangunan negeri di Pulau Ledang itu. Di tengah kesibukannya memerintah kerajaan
Melaka yaitu Raja Syah Alam berkenan untuk melamar Tun Teja tetapi lamarannya ditolak.
Baginda Raja Syah Alam sangat sedih lamarannya ditolak. Patih Kerma Wijaya
mengusulkan agar Baginda Raja melamar putri tunggal Seri Betara Majapahit, Raden Galuh
Mas Ayu. Mendengar hal itu, Raja Syah Alam lalu memerintahkan Patih Kerma Wijaya dan
Hang Tuah serta keempat sahabatnya untuk pergi ke Majapahit. Mereka kemudian
menyiapkan sebuah perahu yang sangat megah. Perahu itu sangat cepat, bak burung terbang
menuju Tanah Jawa. Setibanya di Majapahit, rombongan dari Melaka itu disambut dengan
upacara kebesaran. Mereka diarak dengan empat puluh payung iram, Seri Betara Majapahit,
raja Majapahit dan Mahapatih Gajah Mada menunggu mereka di pintu gapura istana. Ia
menyambut Hang Tuah dengan sukacita. Ketika sampai di paseban istana, Patih Kerma
Wijaya mengutarakan maksud kedatangan mereka, yaitu melamar Raden Galuh Mas Ayu
bagi Raja Melaka. Pinangan tersebut disambut dengan sukacita, baik oleh Patih Gajah Mada
maupun Seri Betara Majapahir, yang bahkan menyarankan agar pernikahan segera
dilaksanakan. Setibanya kembali di Melaka, Patih Kerma Wijaya melaporkan diterimanya
lamaran Raja Syah Alam. Baginda Raja sangat gembira.
Setelah melakukan persiapan beberapa hari, Raja Syah Alam lalu pergi ke Majapahit
dengan perahu kebesaran Kota Segara. Sesampainya di Majapahit, Baginda Raja Syah Alam
dan rombongan disambut dan diarak dengan gajah menuju istana Seri Betara. Bunyi gendang,
merangu, nafiri, gamelan, dan bermacam-macam alat musik lainnya. Semarak ramai
mengiringi langkah para rombongan. Setelah diterima Seri Betara, rombongan Raja Syah
Alam istirahat selama beberapa hari di istana, menunggu tibanya hari pernikahan. Istana dan
kota Majapahit di hias warna-warni. Segala permainan muncul di setiap sudut kota. Suara
musik terus terdengar bagaikan tak pernah ada habisnya. Sehari menjelang hari pernikahan,
Raja Syah Alam dan rombongan beserta raja-raja yang takluk kepada Majapahit dijamu
makan dan minum bersama di paseban istana.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh, menyeruak di tengah-tengah keramaian.
Taming Sari adalah prajurit Majapahit yang sudah tua, tapi sangat kuat dan tangguh.
Langkahnya cepat bagaikan kilat. Ketika ia sampai ke tempat perjamuan. Seri Betara segera
membawa masuk Raja Syah Alam ke dalam istana. Tujuh lapis pintu istana pun ditutup. Hang
Tuah segera berdiri menghadang Taming Sari. Mengetahui dirinya dihadang, Taming Sari
lalu menyerang Hang Tuah. Karena memiliki firasat kalau kekuatan musuhnya terletak pada
kerisnya, Hang Tuah segera berpikir untuk memperdayai Taming Sari. Setelah mendapat
keris Taming Sari, Hang Tuah pun menyerang. Akhirnya, Taming Sari rubuh. Hang Tuah lalu
naik ke paseban istana, menyerahkan keris Taming Sari kepada Seri Betara. Namun, Seri
Betara malah menghadiahkan keris itu dan menganugerahkan gelar Laksamana kepada Hang
Tuah.
Pernikahan antara Baginda Raja Melaka dengan Putri Raden Galuh Mas Ayu, berjalan
lancar. Mereka semua berbincang-bincang sambil menikmati makan malam yang telah
disediakan di istana Kerjaan Majapahit. Suasana benar benar sangat menyenangkan. Baginda
Raja dan rombongannya sudah lama berada di Kerajaan Majapahit. Suatu hari, ia pun pamit
akan pulang ke Melaka. Tentu saja dengan membawa Putri Raden Galuh Mas Ayu. Beberapa
tahun kemudian, kerajaan Melaka yang aman dan tenteram tiba-tiba bergalau. Bukan
disebabkan oleh orang-orang yang mengamuk atau diserang musuh, tapi oleh fitnah.
Berkembang kabar tentang Hang Tuah, ksatria muda perisai Kerajaan Melaka telah berbuat
tidak sopan dengan seorang dayang istana. Dayang istana datang menghadap Baginda Raja.
Di hadapan Baginda Raja, fitnah itu diceritakan secara rinci. Baginda Raja sangat marah dan
memanggil Bendahara Paduka Raja. Bendahara Paduka terkejut melihat kemurkaan Baginda
Raja yang demikian hebat, hingga membuatnya tidak berani menanyakan tentang kesalahan
yang telah dilakukan Hang Tuah. Dengan sedih, Datuk Bendahara pergi menemui Hang
Tuah. Bendahara Paduka Raja lalu berkata "Maafkan aku, Tuah! Aku tak dapat berbuat apa-
apa untuk membelamu." Hang Tuah tetap tegar menerima hukuman Raja. Sebelum pergi
Hang Tuah menitipkan keris Taming Sari pada Bendahara agar diberikan kepada Baginda
Raja. Oleh Raja Syah Alam, keris Taming Sari lalu diberikan pada Hang Jebat.
Mulai saat itu, Hang Jebat menggantikan posisi Hang Tuah sebagai Laksamana Kerajaan
Melaka. Hang Jebat menjadi lebih berkuasa. Ia bangga menjadi laksamana yang hebat. Ia
senang menjadi orang kepercayaan Baginda Raja, seperti Hang Tuah dahulu. Hang Jebat
selalu ikut kemanapun Baginda Raja pergi. Hang Jebat sering ikut serta membicarakan
pemerintahan di kerajaan Melaka. Lama kelamaan, Hang Jebat menjadi sombong. Ia tidak
bijaksana dan berbudi luhur seperti Hang Tuah. Banyak orang yang tidak senang pada Hang
Jebat. Setiap kali Raja Syah Alam pergi, Hang Jebat semakin bertindak tidak sopan di depan
para pembesar kerajaan. Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu terpaksa
mengingatkannya.
Namun, Hang Jebat tidak mempedulikannya sedikit pun. Lama-kelamaan, Raja Syah Alam
menyadari kelalaiannya yang terlalu memanjakan Hang Jebat. Dia tidak dapat lagi
mengendalikan tingkah laku Hang Jebat, dan terpaksa harus pindah ke istana Raden Galuh
Mas Ayu. Hang Jebat tinggal sendiri di istana bersama para dayang. Baginda Raja Syah Alam
berkata "Sayang si Tuah sudah tidak ada. Di mana akan kucari orang seperti dia." Bendahara
Paduka Raja yang mendengarnya menjawab "Maafkan saya, tuanku, karena telah melanggar
perintah tuanku. Hang Tuah tidak saya bunuh. Sekarang dia masih hidup di Hulu Melaka."
Mendengar hal itu, Raja Melaka sangat gembira. Ia pun kemudian memerintahkan agar Hang
Tuah segera dijemput. Kemunculan Hang Tuah di Melaka disambut dengan sukacita. Hang
Tuah menghadap Raja dan menyatakan kesiapannya melawan Hang Jebat.
Baginda Raja Syah Alam berkata pada Hang Tuah "Hai, Laksamana! Aku sangat
dipermalukan. Aku minta bantuanmu untuk menghapus arang di mukaku ini." Hang Tuah
menjawab "Daulat, Tuanku." Sesampainya di halaman istana, terjadilah pertempuran antara
dua sahabat. Sejak kematian Hang Jebat, Melaka kembali tenteram. Setelah beberapa tahun,
Melaka berkembang menjadi kerajaan yang cukup dikenal oleh negeri-negeri di Asia dan di
Eropa. Dengan dermaga internasionalnya, negeri ini menjadi pusat perdagangan yang penting
dan ramai di Asia Tenggara. Kapal-kapal dagang yang datang dari seluruh penjuru dunia
melakukan transaksi dagang di sini. Rakyat Melaka semakin sejahtera. Untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya, Raja Syah Alam mengirim utusan dagang ke berbagai kerajaan yang
dipimpin oleh Laksamana Hang Tuah. Ketika Hang Tuah berada di pelabuhan Cina,
Syahbandar mempersilahkan rombongan itu berlabuh di samping perahu-perahu Portugis.
Hal itu diprotes oleh orang-orang Portugis. Awak kapal Portugis bersorak "Hei, jangan
merapatkan perahu kalian dekat perahu kami. Kalau kapten kami datang, kalian akan
ditembak!" Hang Tuah bertanya "Mengapa harus marah seperti itu? Kami ini pendatang juga.
Di mana disuruh berlabuh, di situlah kami ikuti. Tapi kalau memang hendak menantang, satu
lawan satu pun kami tidak takut." Sikap ini hanya ditertawakan Hang Tuah, hingga membuat
orang Portugis marah. Tanpa mempedulikan kemarahan orang Portugis, rombongan Hang
Tuah turun dari geladak kapal.
Setelah selesai menghadap Raja Cina, Hang Tuah dan rombongan kembali ke Melaka.
Ketika di tengah laut, perahu-perahu Portugis yang dilengkapi dengan meriam menghadang
perahu Hang Tuah. Mereka pun langsung menyerang perahu Hang Tuah dengan menembak
kan meriam. Namun, setiap kali hendak ditembakkan, meriam itu tidak dapat meletus karena
kesaktian Hang Tuah. Terjadilah perang laut antara perahu Hang Tuah dan perahu Portugis.
Peperangan itu dimenangkan Hang Tuah. Kapten perahu Portugis dan seorang perwiranya
kemudian terjun ke laut, melarikan diri ke Manila, Filipina. Kejadian ini akhirnya dilaporkan
ke pusat kerajaan di Lisabon, Portugis. Ketika kapal-kapal Portugis sampai di perairan
Bintan, Selat Melaka. Raja Syah Alam memerintahkan Maharaja Setia dan Maharaja Dewa
untuk memimpin perlawanan yang berpusat di Laut Bintan.
Dalam sekejap, Laut Bintan sudah dipenuhi dengan riuh dan gemuruhnya dentuman-
dentuman Meriam dan teriakan para prajurit Melaka dan Portugis. Pasukan Melaka berhasil
menawan beberapa prajurit Portugis dan membawanya ke Melaka. Pasukan Portugis terus
memburu perahu-perahu itu hingga ke perairan ke perairan Melaka. Peristiwa ini diketahui
Bendahara Paduka Raja yang kemudian melaporkannya kepada Raja Syah Alam. Mendapat
laporan Bendahara, Raja Syah Alam segera memerintahkan untuk meminta bantuan Hang
Tuah yang saat itu sedang sakit. Ketika Bendahara Paduka Raja sampai di rumahnya Hang
Tuah terlihat masih lemah. Bendahara kemudian membantu Hang Tuah duduk, lalu
menceritakan ancaman serangan Portugis. Mendengar berita itu, Hang Tuah memaksakan diri
untuk pergi menuju istana. Ketika sampai di istana, ia disambut Raja Syah Alam. Niat itu pun
langsung direstui oleh Raja Syah Alam. Walaupun masih sakit, Laksamana Hang Tuah tetap
memimpin pasukan Melaka. Peperangan dahsyat pun terjadi lagi di Selat Melaka. Dengan
berani, Laksamana Hang Tuah meloncat naik ke sebuah perahu Portugis dan mengalahkan
semua prajurit Portugis yang ada di atasnya. Melihat banyak kawannya yang kalah, enam
perahu Portugis kembali ke pangkalan. Dua Panglima Perang Portugis, Kapitan Gubernur dan
Dong Suala, sangat marah mendengar laporan itu. Mereka kemudian segara membantu
prajuritnya yang tengah berperang di Selat Melaka. Kedatangan bantuan Portugis itu
disambut Hang Tuah dengan tembakan Meriam. Akibatnya, tiang layar perahu Kapitan
Gubernur dan Dong Suala patah. Serangan itu dibalas Kapitan Gubernur yang juga
menyebabkan tiang layar dan kemudi perahu Maharaja Setia patah. Peluru prajurit Melaka
berhasil melukai Kapitan Gubernur Portugis. Ia jatuh terduduk. Beberapa saat kemudian,
prajurit Melaka juga berhasil melukai Panglima Dong Suala.
Walaupun beberapa pemimpinnya sudah tidak berdaya, para prajurit Portugis terus
menembaki perahu-perahu Melaka dengan membabi-buta. Saat itulah, tiba-tiba sebuah peluru
mesiu menghantam Laksamana Hang Tuah. Saat itulah, tiba-tiba sebuah peluru mesiu
menghantam Laksamana Hang Tuah. Dalam pertempuran itu, tidak ada yang menang dan
tidak ada yang kalah. Itulah perang terakhir yang diikuti oleh Hang Tuah. Setelah itu, Hang
Tuah tidak lagi menjadi laksamana. Baginda Raja juga tidak menjadi raja lagi. Ia digantikan
oleh Putri Gunung Ledang, anak dari Baginda Raja sendiri.

Anda mungkin juga menyukai