Anda di halaman 1dari 5

Halo...

Sobat Abiwara, saya Didik Eko Saputro, atau yang sering di sapa Pak Didik di
sekolah kita tercinta, SMP Negeri 5 Pati. Pada rubrik TOKITA GURU edisi 14 kali ini, saya
mendapat kesempatan untuk mengisinya dengan kisah saya. Awalnya saya ragu untuk mengisi
rubrik ini, mengingat saya adalah “guru kemarin sore” yang mungkin tak sebanding dengan
berbagai pengalaman yang dimiliki para guru senior lainnya di sekolah kita. Namun, setelah
dipikirkan kembali rupanya benar kata pepatah “tak ada buku yang tak berilmu”. Dari pepatah
tersebut saya belajar bahwa tidak ada satu pun kisah hidup seseorang yang tidak bisa diambil
hikmahnya. Maka saya memberanikan diri untuk mengisi rubrik ini dengan niat yang sangat
sederhana, yaitu agar Sobat Abiwara yang membaca rubrik ini dapat mengambil berbagai
hikmah dari cerita saya. Oke, tidak perlu banyak-banyak prolognya ya Sobat, yuk langsung
dibaca saja kisah saya...
Kamis, 30 Juni 2011 adalah hari dimana runtuhnya semangat dan segala harapan yang
selalu saya agungkan sepanjang hidup saya. Hari itu adalah pengumuman kelulusan tes masuk
perguruan tinggi, dan saya masih tidak lulus dalam seleksi yang ketiga kalinya untuk menembus
Teknik Elektro di universitas ternama. Sungguh begitu berat rasanya ketika itu, seolah apa yang
sudah saya perjuangkan selama belajar di sekolah hilang begitu saja tanpa sisa. Sepanjang
perjalanan saya dalam hal belajar, baru saat itu saya mengalami kegagalan.
Sejak SD hingga akhir SMA bisa dikatakan saya belum pernah mengalami hambatan yang
berarti. Masuk dalam ranking, sering ikut lomba, jarang kesulitan mencerna rumitnya
matematika adalah hari-hari yang biasa saya lalui. Saya juga bisa masuk dalam SMP dan SMA
favorit sesuai yang saya cita-citakan kala itu. Setidaknya saya masih dalam kategori siswa yang
berpredikat baik meskipun, tidak selalu peringkat 1 ataupun juara di setiap lomba. Namun
perjalanan yang terlalu lempeng itulah yang justru membuat saya terlena dan kurang memahami
makna kegagalan. Ini pesan penting untuk Sobat Abiwara ya, apapun kemudahan yang kalian
miliki saat ini, jangan biarkan kemudahan itu membuat kalian terlena seperti yang saat itu saya
alami. Bahkan saya sempat berniat untuk tidak melanjutkan kuliah.
Saya merasa insecure ketika teman-teman saya bercerita tentang rencana kuliah karena
telah diterima di perguruan tinggi yang mereka inginkan. Saya semakin sakit hati ketika
beberapa guru yang sangat mengenal saya melontarkan pertanyaaan, “Kamu diterima dimana
Le?” Waktu bersama keluarga lebih banyak dihabiskan dengan dialog bertema saya tidak ingin
lanjut ke pendidikan tinggi.
Hingga suatu ketika saya bertemu dengan tetangga yang juga teman saya sewaktu SD. Dia
hanya sekolah sampai lulus SMP karena keterbatasan ekonomi namun setelah tiga tahun bekerja
di bengkel las, dia bisa mendirikan bengkel sendiri. Dia kaget ketika saya bercerita bahwa saya
tidak akan lanjut kuliah dan mungkin akan ikut bekerja seperti dia. Lalu dia berkata, “Menurut
saya ini bukan jalanmu, saya bisa seperti ini karena memang ini yang nyaman dengan hati
nurani. Kegagalan di luar sekolah jauh lebih keras dan kalau sampai kita gagal menghadapi
kegagalan, tidak mungkin saya bisa mendirikan bengkel sendiri.” Satu kata yang paling pantas
untuk saya, malu, sangat malu. Dia memang berhenti sekolah setelah SMP, namun tidak pernah
berhenti belajar. Intinya Sobat, belajar bisa kalian lakukan dimanapun dan bagaimanapun
suasananya. Bukan terbatas di dalam kelas dan berhadapan dengan guru serta buku-buku.
Akhirnya dari situlah saya mulai bangkit, membangun semangat dan berpikir bahwa
mungkin saya harus memilih jurusan lain. Benar saja, di kesempatan keempat dalam seleksi
perguruan tinggi saya diterima di juruan Pendidikan Fisika. Sebuah jurusan yang mengajarkan
kita bagaimana menjadi guru fisika. Di awal perkuliahan saya masih memiliki luka kegagalan
namun seiring berjalannya waktu saya mulai menikmati jalan yang saya pilih. Bumi seolah
kembali berputar dan kehidupan membaik seperti sedia kala. Fisika yang sebenarnya bukan
favorit saya ketika SMP dan SMA ternyata bisa saya luluhkan. Justru ketika menjelang akhir
studi saya jadi sangat bangga dengan bidang fisika setelah mengetahui bahwa mayoritas ilmuan
paling berpengaruh di dunia adalah fisikawan. Sebut saja Albert Einstein (relativitas khusus),
Isaac Newton (mekanika), Galileo Galilei (heliosentris), Nikola Tesla (listrik AC), Thomas Alva
Edison (lampu), dan masih banyak lagi ilmuan lain. Hingga suatu saat saya memutuskan setelah
saya selesai studi sarjana saya ingin melanjutkan program magister di bidang yang sama. Saya
yang sebelumnya hanya bertegur sapa dengan fisika, kini jadi mencintainya.
Perjalanan kuliah tidaklah mudah, beratnya begadang demi tugas dan materi menjadi
tantangan sehari-hari. Terlebih ketika saya memutuskan untuk kuliah sambil bekerja serabutan
demi meringankan beban orang tua membuat saya benar-benar mengerahkan seluruh
kemampuan yang saya miliki. Bahkan kondisi itu memunculkan kemampuan yang sebelumnya
tidak saya miliki, misalnya berdagang. Kegagalan sering saya temui saat itu Sobat Abiwara, tapi
memang selalu saya yakini bahwa jika kita tidak menghadapi kegagalan maka kita akan semakin
kuat. Semester demi semester kuliah sambil bekerja telah saya lalui hingga akhirnya saya lulus
dengan predikat cumlaude (dengan pujian). Orang tua dan saya sendiri bangga dengan
pencapaian itu. Ini adalah buah manis dari tempaan kesulitan yang sebelumnya sering saya
alami, Sobat...
Kembali pada rencana awal, saya langsung lanjut studi S2 di bidang yang sama,
Pendidikan Fisika. Awal perkuliahan berjalan begitu manis. Saya masih bisa kuliah sambil
bekerja dengan maksimal. Namun masalah kembali datang ketika pembagian dosen pembimbing
tugas akhir. Saya mendapat pembimbing yang sangat idealis, sebut saja Prof BP dan Dr S. Idealis
bukan berarti killer atau galak, tetapi memiliki standar dan tuntutan yang sangat tinggi.
Pengukuhan gelar Profesor Magnetik di usia yang masih muda, cukup menunjukkan bagaimana
dedikasi Prof BP terhadap ilmu fisika. Pembimbing satunya, Dr S memiliki segudang prestasi
dan penghargaan dalam bidang pendidikan. Beliau berdua selalu memberi inspirasi, motivasi dan
karakter tersendiri dalam setiap perkuliahan. Wawasan yang luas serta pembawaan yang
berkharisma menjadi ciri khas mereka. Beliau berdua adalah dosen favorit di ruang perkuliahan
namun tidak di ruang bimbingan. Prof BP adalah pakar di bidang keilmuan fisika, Dr S adalah
pakar di bidang pendidikan fisika. Jadi, begitu lengkap tantangan tugas akhir yang saya hadapi.
Kekhawatiran saya pun menjadi kenyataan, pertama kali bimbingan saya dibuat tak
berdaya dengan sebuah pertanyaan sepele, namun saya tidak menyerah. Kondisi yang serupa
masih terjadi hingga beberapa kali saya bimbingan. Saya tidak memiliki hasil apapun karena
selalu gagal menjawab pertanyaan pembimbing. Menghadapi kondisi tersebut saya sampai
memutuskan beberapa kontrak kerja agar bisa memforsir waktu dan pikiran menyelesaikan tugas
akhir tapi hasilnya tetap sama, tidak ada perkembangan. Berbeda 180 derajat dengan teman-
teman saya yang sudah hampir menyelesaikan tugas akhir. Tidak dipungkiri memang banyak
mahasiswa bimbingan beliau yang harus berhenti di tengah jalan, tidak lagi ke kampus, bahkan
tidak ada kabar. Saya hanya menganggap hal itu sebagai informasi yang tidak lengkap. Informasi
separuh namun kesimpulannya utuh adalah hal yang harus saya hindari. Saya berusaha
menempuh jalan lain dengan minta ganti pembimbing, namun hasilnya nihil karena dosen lain
sudah penuh. Rupanya kesulitan kembali melirik saya kala itu, Sobat.
Terkadang saya berpikir kenapa ada dosen yang begitu mudah namun juga ada dosen yang
begitu idealis dan sangat kuat karakternya. Saya merasa seolah sedang tersesat dan berada di
tempat yang gelap gulita. Mengapa dosen pembimbing yang harusnya menerangi kita justru
membuat kita semakin tidak bisa melihat? Selang beberapa saat kemudian saya memberanikan
diri bercerita kepada orang tua, sepertinya memang sudah tidak mampu saya melanjutkan kuliah
S2. Lebih baik saya mundur saja yang terpenting sudah menyelesaikan S1. Untuk kali ini, ibu
saya memberikan sebuah wejangan yang sangat saya ingat, “Jika kita menemui sebuah tempat
yang begitu gelap, yang harus kamu lakukan adalah menyalakan pelita, bukan mencaci gelapnya
keadaan.” Sebuah nasihat yang menentramkan hati dan membangkitkan bara semangat juang
saya. Sobat Abiwara percaya kan bahwa ibu selalu memiliki cara untuk menyelamatkan
anaknya? Terbukti, saat itu petuah ibu menjadi penyelamat.
Kembalilah saya menemui pembimbing, namun dengan catatan ini adalah usaha saya yang
terakhir jika gagal maka saya akan mengundurkan diri sebagai mahasiswa S2. Allah Mahatahu.
Dosen pembimbing memberikan respon yang berada di luar perkiraan saya. Saat itu juga saya
mulai membangun serpihan semangat untuk segera menyelesaikan tugas akhir.
Prof BP dan Dr S bisa benar-benar berbeda dalam membimbing saya hingga tugas akhir
saya mengalami kemajuan yang sangat baik. Selama mengerjakan tugas akhir tersebut saya
justru terkejut setelah mendapat kenikmatan yang bertubi-tubi. Dr S mempercayai saya dalam
berbagai hal yang tidak saya duga, misalnya diminta membantu riset beliau, diajak mengisi
seminar, menunggu mahasiswa lain ketika ujian dan beberapa hal lainnya. Tugas akhir saya
berjalan dengan sangat cepat, bahkan Prof BS menawari saya untuk mengambil beasiswa S2 di
jurusan fisika murni. Saya menolak karena bagi saya sudah lebih dari cukup bisa menyelesaikan
S2 di jurusan pendidikan fisika. Saya juga merasa keberatan karena saya berasal dari pendidikan
fisika sehingga kemampuan fisika murni masih kurang. Namun beliau tetap bersikukuh agar saya
mengambilnya karena ini adalah kesempatan yang sangat langka. Beliau berjanji akan
membimbing saya sampai selesai. Setelah melalui berbagai diskusi dan izin dari orang tua,
akhirnya saya pun mengambil program tersebut, mencoba menjalaninya dengan tanpa beban.
Tugas akhir S2 Pendidikan Fisika telah selesai dengan lancar tanpa ada hambatan berarti,
kemudian saya fokus menyelesaikan S2 Fisika Murni. Meskipun tugas akhir di fisika murni
sangatlah menantang, berkat bimbingan Prof BP saya bisa menyelesaikannya dengan baik.
Kondisi ini sama sekali tidak pernah saya perkirakan dimana di awal bimbingan saya hampir
menyerah. Saya menyadari benar pesan ibu saya bahwa jika pelita dinyalakan, terlihat jelas jalan
yang harus ditempuh bahkan diberi bonus dengan pemandangan yang sangat indah. Setelah saya
berhasil meluluhkan pembimbing justru saya mendapat kepercayaan yang luar biasa yang pada
akhirnya saya bisa memperoleh gelar Magister Pendidikan dan Magister Sains.
Saya meyakini bahwa saat kita menghadapi masalah yang belum pernah terjadi sepanjang
sejarah hidup kita maka yang kita perlukan hanyalah doa dan imajinasi, bukan cerita kejayaan
kita di masa lalu. Ketika waktu yang paling dinantikan telah tiba, wisuda, saya berucap dalam
batin dengan penuh kidmat, “Untuk mereka pembimbingku: Tugas kalian sudah selesai namun
hujan badai dan panas kekeringan kemarin tidak akan pernah saya lupakan karena dengan itu
kini pelangiku sudah terbit. Terimakasih dari saya Didik Eko Saputro, S.Pd., M.Pd., M.Si.”
Pelajaran yang bisa Sobat Abiwara ambil adalah tentang cara mengambil sudut pandang
dari masalah yang sedang dialami. Saat merasa keadaan semakin sulit dan terpojok, jangan
pernah mencaci keadaan ya, Sobat! Percuma, selain hanya buang-buang waktu, tenaga, dan
pikiran, juga tidak akan mengubah keadaanmu yang sulit menjadi mudah kan? Lebih baik
kerahkan pikiran dan tenaga untuk mencari jalan keluar dengan melihat dari sudut pandang yang
berbeda. Cobalah melihat dari sudut pandang yang berbeda saat menemui kesulitan dan merasa
benar-benar terpojok. Dari sudut pandang lain yang berbeda Sobat Abiwara bisa menemukan
jalan, walaupun mungkin tidak sesuai keinginan dan harapan, terimalah hal tersebut sebagai
bingkisan dari Tuhan. Jalani dan nikmati saja, suatu hari Sobat akan memahami ternyata jalan
yang awalnya dianggap tidak sesuai keinginan adalah jalan terbaik untukmu. Apapun dan
bagaimanapun kesulitanmu sudah pasti sesuai dengan takaran dan kemampuanmu. Tetap
semangat ya Sobat...

Anda mungkin juga menyukai