Anda di halaman 1dari 3

Napak Tilas Jejak Syekh Among Raga

Oleh :

Tempo.co
Selasa, 1 Desember 2009 07:23 WIB

TEMPO/Yosep Arkian

TEMPO Interaktif, Gunung Dlepih. Ke sanalah Fendi Siregar menuju. Gunung di Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah, ini bagi penghayat kejawen adalah salah satu tempat angker. Di situlah
para pendiri dinasti Mataram, yakni Panembahan Senopati, Sultan Agung, dan Pangeran
Mangkubumi, sering bertapa. Di sebuah tempat bernama Sela Gilang, misalnya, dipercaya
Panembahan Senopati bertemu dengan Kanjeng Nyai Roro Kidul. Ke situlah sang fotografer
menuju. Kameranya menjepret seorang lelaki yang terjun ke danau. 

Fendi tertarik ke sana karena Gunung Dlepih disebut dalam serat Centhini. Fotografer senior ini
memiliki proyek pribadi yang unik. Ia berusaha mendatangi lokasi-lokasi yang disebut dalam
Centhini, lalu memotret suasana yang ada di situ. Centhini boleh dibilang ensiklopedia
kebudayaan Jawa.
Centhini terbit pada 1850. Ia lahir dari ide Pangeran Adipati Anom (Pakubuwono V). Sang
Pangeran mengutus tiga pujangga keraton Raden, yakni Ngabei Ranggasutrasna, Yasadipura I,
dan Raden Ngabei Sastradipura, melakukan perjalanan ke seluruh Jawa dan membuat kisah
petualangan berdasarkan catatan-catatan perjalanan.

Sebagai produk keraton, sesungguhnya Centhini adalah "kitab aneh". Centhini tidak berisi kisah
tentang kejayaan keraton, tapi justru seputar pengembaraan kaum pembangkang musuh-musuh
sultan. Dengan latar zaman Sultan Agung pada abad ke-17, Centhini merupakan kisah pelarian
anak-anak Sultan Giri Prapen--Jayengresmi, Jayengsari, dan Niken Rancangkapti--menghindari
pengejaran agen-agen rahasia Sultan Agung.

ADVERTISEMENT

Mereka tercerai berai. Mereka masuk ke desa-desa terpencil, mendaki lereng-lereng,


bersembunyi di hutan-hutan, berdiam di reruntuhan candi. Mereka belajar ilmu agama kepada
berbagai kiai dan para pertapa yang ditemui. Belajar ilmu pengobatan, ilmu arsitek, sampai ilmu
erotika Jawa. Setelah memiliki maqom tinggi, Jayengresmi mengubah namanya menjadi Syekh
Amongraga. 

Lokasi-lokasi yang disebut Centhini sebagian besar masih ada sampai sekarang. Pada dasarnya
Centhini adalah sebuah kisah yang ditulis dengan semangat reportase ala jurnalisme. Cara
penggambarannya sangat deskriptif.

Bila melukiskan sebuah desa, kitab itu sampai lengkap menyebut aneka pohon yang ada di sana.
Berbekal panduan Centhini, Fendi Siregar menjelajah Jawa. Di desa-desa tertentu ia masih
melihat suasana seperti yang dipaparkan dalam Centhini.

Di Gunung Dlepih itu, misalnya, dalam Centhini, tokoh Amongrogo melihat banyak binatang
buas, seperti harimau. Di pohon bergelayutan kera, orang utan, dan lutung. Tapi Ki Among Raga
tidak takut. Among Raga terjun ke air. Tentu harimau kini tak ada. Namun, tuk atau sungai
tempat Syekh Among Raga berenang kemungkinan besar adalah tuk yang dipotret Fendi.

Jepretan Fendi yang dipamerkan di Salihara tentu hanya sebagian kecil dari yang ia buat. Ia telah
melakukan perjalanan ini bertahun-tahun. Setiap ada kesempatan ke pelosok Jawa, ia selalu
mengingat Centhini. Jepretannya menghasilkan ribuan foto. Fotografer yang terlibat Gerakan
Seni Rupa Baru pada 1980-an ini boleh disebut seperti melakukan proses menafsirkan ulang
Centhini. Boleh dibilang ia adalah Syekh Among Raga baru.

Di Sela Mangkeng, Fendi memotret gua yang dalam khazanah mitologi Jawa menjadi tempat
bertapa seorang perempuan pendeta bernama Kili Suci. Fendi mendaki Gunung Ijen, Gunung
Kelud, sampai Gunung Bromo. Yang menarik, di setiap foto, Fendi menempelkan teks-teks yang
diambil dari Centhini, sehingga orang tahu konteksnya. Ketika memotret panorama Tengger
yang merah, misalnya, ia mengutip pertanyaan Raden Jayengsari saat tiba di Tengger dan
bertemu dengan sesepuh setempat, Ki Buyut. "Ki Buyut, di sebelah sana saya lihat puncak
gunung menyala di malam hari. Apakah itu?"
Fendi juga menyusuri candi-candi, mulai candi penataran sampai sukuh. Ia mengabadikan
kehidupan para penari ledhek, penari Tayuban. Kameranya menangkap bagaimana di balik
tobong juga ada kehidupan transeksual atau lesbi. Memang Ben Anderson suatu kali pernah
mengungkap Centhini adalah satu-satunya kitab kuno di Nusantara yang gamblang mengungkap
sodomi. Fendi juga sempat mengeksplorasi dunia keris dan memotret Ki Djeno Harumbrojo di
Yogya--seorang empu generasi ke-15 empu-empu Majapahit. Pendeknya, Fendi berusaha
menyajikan khazanah Centhini. Dunia Centhini yang suci bercampur dengan yang erotis. 

Fendi bukan satu-satunya orang yang terpesona oleh sastra Jawa kuno. Nama lainnya adalah
Nigel Bullough. Lelaki asal Inggris yang berganti nama menjadi Hadi Sidomulyo itu juga
melakukan napak tilas. Hanya, kitab Jawa yang ia jadikan rujukan lebih tua daripada Centhini,
yaitu kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca. Seperti Centhini, yang merupakan
reportase perjalanan, pada dasarnya Negarakertagama adalah sebuah laporan jurnalisme.
Negarakertagama berisi reportase perjalanan Raja Hayam Wuruk pada 1935.

Ini sebuah perjalanan dinas Hayam Wuruk selama tiga bulan menyusuri daerah-daerah
kekuasaan Majapahit. Hayam Wuruk masuk ke dusun-dusun di Malang, Pasuruan, Bondowoso,
Jember, Lumajang, Probolinggo, Mojokerto, Kediri, Nganjuk, sampai Madiun. Nigel Bullough
menapaktilasi perjalanan itu. Ia membuat sebuah buku tentang pengalamannya itu. Ia juga
pernah memamerkan foto-foto perjalanannya.

Suatu kali mungkin menarik menyelenggarakan pameran bersama antara Nigel Bullough dan
Fendi. Yang satu menyusuri rute Centhini, yang lainnya menyusuri rute Negara Kertagama.

SENO JOKO SUYONO

https://seleb.tempo.co/read/211157/napak-tilas-jejak-syekh-among-raga/full&view=ok

Anda mungkin juga menyukai