Anda di halaman 1dari 7

2.

2 Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perbuatan Melawan Hukum

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Bagaimanakah hukum pidana menyatakan seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban


(toerekeningsvatbaarheid). Karena KUHP indonesia tidak memberikan rumusan mengenai kemampuan
bertanggungjawab. Hal ini hanya dapat dijumpai dalam literatur hukum pidana belanda mengenai definisi
untuk kemampuanbertanggungjawab. Menurut Prof. Van Hamel kemampuan untuk bertanggungjawab
(secara hukum) adalah kondisi kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup tiga kemampuan
lainnya yakni, (1) memahami arah tujuan faktual,dari tindakan sendiri, (2) kesadaran bahwa tindakan
tersebut secara sosial dilarang, (3) adanya kehendak bebas berkenaan dengan tindakan terssebut. Adapun
menurut simons kemaampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis
sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan,baik dilihat dari sudut
umummaupun orangnya. Dikatakan selanjutnya,bahwa seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya
sehat, yakni apabila: a. Ia mampu untuk mengetaahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum, b.ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

Menurut Memorie van Teolicting (MvT) menyatakan bahwa tidak ada pertanggungjawaban
pidana kecuali bila tindak pidana tersebut dapat diperhitungkan pada pelaku,dan tidak ada perhitungan
demikian bila tidak ditemukan adanya kebebasan pelaku untuk bertindak kebebasan memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan apa yang dilarangatau justru diwajibkan oleh undang-undang sehingga
pelaku tidak menyadari bahwa tindakan tersebut dilarang dan tidak mampu memperhitungkan akibat dari
tindakan tersebut.

Orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggungjawab, ia mampu untuk menilai dengan
fikirannya atau perasaanya bahwa perbuatannya itu dilarang,artiya tidak dikehendaki oleh undang-undang
dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.Dalam persoalan kemampuan bertanggungjawab
itu ditanyakan apakah seseorang itu norm adressat (sasaran normal), yang mampu. Pada dasarnya
seseorang dianggab (supposed) mampu bertanggungjawab kecuali dinyatakan sebaliknya.

Dalam KUHP tidak ada rumusan tegas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44
ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu
bertanggungjawab agat tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikannya. Mengenai hal ini dapan
diambil sikap bahwa mengenai mampu bertanggungjawab adalah mengenai jiwa seseorang yang
diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Jadi
untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan
bertanggungjawab ataukah tidak mampu bertanggungjawab. Terjadinya tindak pidana serta merta diikuti
dengan pidana kepada pelakunya. Akan tetapi, ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya
untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya barulah diperhatikan atau
dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggungjawab,dan haruslah pula dibuktikan untuk
dipidananya terhadap pembuatannya

Moeljatno menaruik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggungjawab ialah :


a. Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, yang sesuai dengan hokum dan yang melawan hokum.
b. Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
buruknya perbuatan tadi.

Menurut pendapat Satochid Kartenegara, orang yang mampu bertanggungjawab itu ada 3 syarat
yang harus dipenuhi yaitu :

1. Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga ia bebas atau mempunyai
kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan
2. Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk
dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya
3. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi
bahwa perbuatan yang (akan) dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan
yang tidak dibenarkan oleh hukum , atau oleh masyarakat maupun tata susila.

Bagaimanakah KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang menurut


Sudarto KUHP menggunakan prinsip deskriptif normative, Deskriptive karena keadaan jiwa digambarkan
menurut apa adanya oleh psikiater dan normative karena hakimlah yang menilai, badasarkan hasil
pemeriksaan psikiater kemudian menyimpulkan mampu atau tidak mampunya seseorang untuk
bertanggungjawab atas perbuatannya.

Mampu bertanggungjawab menurut Sudarto adalah pengertian yang bersifat normative. Keadaan
jiwa yang cacat pertumbuhannya, misalnya gila,idiot,imbicil,jadi merupakan cacat biologis.

Di dalan praktek ada beberapa jenis penyakit jiwa sehingga penderitannya bisa disebut tidak
mampu bertanggungjawab untuk sebagian (gedeeltelijke ontoerekeningsvaatbaarheid. Adapun jenis tidak
mampu bertanggungjawab sebagian, misalnya :

a. Kleptomanie, ialah penyakit jiwa yang berwujud dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk
mengambil barang orang lain,tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya terlarang. Biasanya
barang yang dijadikannya sasaran barang yang tidak ada nilainya sama sekali baginya. Dalam
keadaan bisa jiwanya sehat.
b. Pyromanie ialah penyakit jiwa yang berupa kesukaan untuk melakukan pembakaran tanpa
alas an sama sekali.
c. Claustrophobie ialah penyakit jiwa yang berupa ketakutan untuk berada diruang yang sempit,
penderitaannya dalam keadaan tersebut biasanya melakukan tindakan pengerusakan kaca
jendela
d. Penyakit yang berupa perasaan yang sentiasa dikejar-kejar oleh musuh.

Dalam Keadaan tersebut diatas mereka yang dihinggapi penyakit dapat tidak
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, yang ada hubungannya dengan penyakit itu. Kalau antara
penyakit dan perbuatannya tidak ada hubungannya, maka mereka tetap dapat dipidana, Misalnya seorang
Kleptomanie melakukan penganiayaan seorang Pyromanie melakukan pencurian perbuatan-perbuatan ini
tidak ada hubungannya secara kausal dengan penyakit dalam hal ini mereka tetap dianggab sebagai
mampu bertanggungjawab secara penuh.

Di samping yang disebutkan diatas, dalam hukum pidana dikenal juga verminderde atau
kekurangmampuan untuk bertanggungjawab. Terdakwa yang dianggab kurang mampu bertanggung
jawab tetap dianggab mampu bertanggungjawab dan dapat dipidana, akan tetapi factor itu dipakai sebagai
factor untuk memberikan keringanan dalam pemidanaan.

B. Kesengajaan dan Kealpaan

Sebelum membahas kesengajaan dan kealpaan maka perhatian menarik dari hukum pidana tertuju
pada unsur kejahatan. Ihwal kesalahan tidak dapat dihindari oleh hukum pidana yang berkembang dalam
konteks sekarang. Karena hakim tidaklah mungkin memberikan pidana/derita kepada seseorang sekedar
orang itu melakukan tindak pidana, kecuali jika hakim yakin bahwa memang dapat dipersalahkan atas
tindakannya tersebut atau dalam hukum pidana lebih dikenal dengan asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’
(geen straf zonder schuld) walaupun asas ini sebenarnya tidak dirumuskan di dalam KUHP tetapi dalam
praktek asas ini dianut maka dari itu tidak dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban
pidana atas suatu delik.

Kesalahan adalah merupakan standar etis yang diterapkan dan berlaku pada waktu tertentu
terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari. Bereaksi
secara tidak positif (berkehendak) terhadap tuntutan (perintah) masyarakat hukum dapat dikembalikan
pada tadelnswerte rechtsgesnnurg (pandangan tercela terhadap hukum), tiadanya rasa kebersamaan atau
egoism yang tidak dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat.

Perilaku menyimpang merupakan tahap pertama dalam menetapkan kesalahan suatu perbuatan
harus memenuhi sifat layak untuk dipidana (strafwaardigheid) dengan kata lain harus relevan dari sudut
pandang hukum pidana; De minims non curat preator.

Kesalahan dalam arti yang seluas luasnya adalah hubungan batin antara si pembuat terhadap
perbuatan yang dicelakan kepada si pembuat, hubungan batin ini biasa disebut sengaja (dolus) atau alpa
(culpa). Dolus (sengaja) dapat dimengerti sebagai berbuat dengn hendak dan maksud (atau dengan
menghendaki dan mengetahui: willens eb wetens) untuk memenuhi unsur-unsur delik sebaigamana
ditemukan dalam perumusan kejahatan, sedangkan culpa adalah tidak atau kurang diperhitungkan oleh
pembuat kemungkinan munculnya akibat fatal yang tidak dikehendaki oleh pembuat undang-undang
padahal hal itu (agak) mudah dilakukannya.

a. Kesengajaan / Dolus

Apabila didalam perumusan delik kita jumpai kata dolus (sengaja/opzet) makan timbul pertanyaan
berkenaan dengan ruang lingkup makna dan jangkauan karena di dalam KUHP pengertian ini tidak di
definisikan. Didalam MvT Yang memberikan ragam pengertian, juga faktor-faktor lain dari delik yang
berpengaruh terhadap pemahaman konsep ini, Mvy mengajarkan cara penempatannya dalam ketentuan
pidana akan menentukan relasi pengertian terhadap unsur-unsur delik lainnya; apa yang mengikuti kata
ini akan dipengaruhi olehnya, sebagai semacam kesepakatan antara pembuat undang-undang dan
pelaksana undang-undang. Dengan cara ini, dolus dapat dikaitkan pada tindakan/perbuatan,akibat dan
unsur lain dari delik. Dolus tidak perlu ditunjukkan pada sifat terlarang dari perbuatan. Serta undang-
undang tidak menuntut adanya kesengajaan dengan niat jahat.

Dalam dolus sebab itu terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan)
volonte’et connaissance, tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens (disadar atau
diketahui). Berikut ini akan diterangkan apa itu willens dan wetens. Menghendaki (willens) lebih dari
menginginkan atau mengharapkan/berharap misalnya untuk dapat masuk ke dalam rumusan ketentuan
pasal 406 KUHP tentang pengrusakan barang harus ada kehendak untuk merusak. Mereka yang tidak
sengaja atau karena ketidakhati-hatian (tanpa menghendaki) memecahkan sesuatu barang tidak akan
terkena ketentuan ini. Sedangkan wetens (mengetahui dapat dipersandingkan dengan
mengerti,memahami,menyadari sesuatu. Dengan maksud ini bahwa seseorang yang awam berkenaan
dengan konsep-konsep yuridis tidak perlu memiliki pengetahuan seperti yang dimiliki ahli hukum.

Pengetahuan seseorang yang awam sudah memadahi. Maka dari itu dalam kepustakaan belanda kata
dolus selalu dipergunakan secara netral dan tidak ternuansa

Dapat dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang
yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan megetahui/menyadari tentang
apa yang dilakukannya itu.

Seseorang yang melakukan sesuatudengan sengaja dapat dibedakan tiga corak sikap bathin. Yang
menunjuekan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan. Coraknya sebagai berikut:

1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan dolus directus
merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si pembuat bertujuan untuk
menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian.
Ia menghendaki besrta akibatnya

2) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau


noodzkelijheidsbewustzijn), dalam hal ini perbuatan mempunyai 2 akibat: a). Akibat yang memang dituju
si pembuat, b). Akibat yang tidak di inginkan tetatpi merupakan suatu keharusan untuk mencapai dan
akibat ini pasti terjadi. Contoh: kasus yang terjadi Tahun 1875 di kota pelabuhan Bremerhaven (jerman).
Kasus ini menyangkut percobaan pembunuhan yang dilakukan seseorang bernama Thomas berencana
meledakan sebuah kapal di laut lepas yang diasuransikan dengan bom. Maksud tujuan perbuatannya
adalah mendpatkan premi asuransi. Thomas sesungguhnya tidak menginginkan matinya anak buah kapal
namun niscaya memiliki keyakinan tentan kemungkinan akan adanya awak kapal yang mati. Sikap bathin
menghendaki penghancuran kapal, juga dengan mengorbankan nyawa anak kapal, oleh mahkamah tinggi
Jerman juga di anggap tercakup sebagai kedalam pengertian dolus.

3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk opzet). Dalam hal
ini ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemungkinan benar-benar terjadi. Untuk ini dolus
atau kesengajaan dianggap ada bilamana pelaku untuk dirinya sendiri telah memutuskan bahwa ia
menghendaki tindakan itu sekalipun akibat yang tidak dikehendaki melekat pada tindakannya itu. Contoh
A membalas dendam kepada B yang bertempat tinggal di Argamakmur. Lalu A mengirimkan kue yang
telah diberi racun untuk membunuh B. A tahu bahwa ada kemungkinan isteri dan anak-anak B yang tidak
berdosa juga akan memakan kue yang beracun dan dapat meninggal karenannya. Dalam kasus ini ada
kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan terhadap
kematian isteri B dan anak-anaknya.

Di dalam KUHP tidak ada pengertian/makna tentang kesengajaan. Rumusan delik dalam undang-
undang yang memuat unsur sengaja dengan menggunakan perkataan ‘dengan sengaja’ atau istilah lain
dan pada ada pula yang tidak mencantumkannya dengan tegas. Namun dapat ditarik kesimpulan
keharusan adanya kesengajaan dari si pembuat.

b. Kealpaan

Culpa dalam arti sempit (schuld,Nalatigheid,Recklessness,Negligence,Sembrono,Teledor). Di


samping sikap bathin berupa kesengajaan,adapula sikap bathin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat
dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono,ia teledor,ia berbuat kurang hati-hati
atau kurang penduga-duga.

Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan hukum
pidana diketahui bahwa inti,sifat-sifat atau cirinya adalah:

1) Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena m,enggunakan ingatan/otaknya
secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-baiknya, tetapi ia tidak gunakan.
Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan aktif (pasif) dengan kurang
kewaspadaan yang diperlukan.
2) Pelaku dapat memperkirakan apa yang dapat terjadi,tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekiranya
akibat itu pasti akan terjadi,dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan
menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak dibatalkan, atas tindakan mana ia kemudian
dicela, karena bersifat melawan hukum.

Mvt menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan pada diri pelaku terdapat :

1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.


2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

Kealpaan seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk
yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu
adalah kebalikan dari kesengajaan,karena bilamana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul dari
kehendak pelaku, maka dalam kealpaan, justru akibat dikehendaki walaupun pelaku dapat memperkirakan
sebelumnya. Di sinilah jugaletak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat
(kesadaran-mungkin,dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).

Menurut sianturi mengemukakan bahwa perbedaan antara kesengajaan dengan kealpaan dalam
hubungannya dengan suatu tindakan (yang dapat dipidana) adalah :
1. Sesuatu akibat pada kealpaan, tidak dikehendaki pelaku walaupun dalam perkiraan, sedangkan
pada kesengajaan justru akibat itu adalah perwujudan dari kehendak dan keinsyafannya.
2. Percobaan untuk melakukan suatu kejahatan karena kealpaan pada umumnya tidak dapat
dibayangkan, karena memang niat untuk melakukan tidak ada, karenanya tidak mungkin ada
pemidanaan,
3. Di samping bentuk kejahatan sengaja tidak dengan sendirinya ada pula bentuk kejahatan
kealpaan.
4. Ancaman pidana terhadap delik yang dilakukan dengan sengaja, lebih berat dibandingkan
terhadap delik yang bersamaan karena kealpaan.
5. Jika dolus eventualis dibandingkan kealpaan yang berat, maka pada dolus eventualis disyaratkan
adanya kesadarana akan kemungkinan terjadinya sesuatu akibat, kendatipun ia bisa berbuat lain,
tetapi lebih suka melakukan tindakan itu walaupun tahu resikonya. Sedangkan pada culpa lata
diisyaratkan bahwa pelaku seharusnya dapat menduga (voorzien) akan kemungkinan terjadinya
sesuatu akibat, tetapi sekiranya diperhitungkan akibat itu akan pasti terjadi, ia lebih suka tidak
melakukan tindakannya itu.

Terminologi Kealpaan dalam KUHP

Perumusan atau istilah-istilah yang digunakan dalam undang-undang yang menunjukkan kealpaan
adalah:

1. Karena salahnya (door zijn schuld te witjten is) antara lain pada pasal 188,191,195,360 KUHP.
2. Kealpaan (onachtzaamheid) antara lain pada pasal 231,232,KUHP
3. Harus dapat menduga (rederlijkerwijs moet vermoden) antara lain pada pasal 287,292,480 Kuhp.
4. Ada alas an kuat baginya untuk menduga (pasal 282 ayat 2)

Dari jurisprudensi diperoleh, bhwa untuk delik kejahatan, yang digunakan pada umumnya adalah
gradasi kealpaan yang terberat yaitu culpa lata atau grove schuld.

Demikian pula kepada pelaku tidak dituntut pertanggungjawaban pidana,bilamana ia melakukan


suatu delik kejahatan dengan kealpaan yang tidak disadari.Kealpaan yang tidak disadari biasanya karena
ketololan,ketidaktahuan,terkejut,kecapaian,atau keadaan pikiran dan/atau jiwa seseorang sehingga tak
dapat menguasai tingkah lakunya secara normal dan sma sekali tidak dapat memperkirakan akibat dari
tindakan itu.

Anda mungkin juga menyukai