Anda di halaman 1dari 7

Perang Salib dan Kebangkitan Islam

(Friday, 13 August 2004) - Written by Adian Husaini - Last Updated (Saturday, 14


August 2004)
Saat Presiden George W. Bush menggelorakan Perang Salib (Crusade) melawan
teroris, pasca Tragedi 11 September
2001, sejatinya Bush tidak sedang terpeleset lidah. Sebagai seorang Kristen yang
‘terlahir kembali’ (reborn), Bush sedang
mengungkap alam sadarnya, bahwa semangat Crusade kini diperlukan menggalang
kekuatan Barat. Berakhirnya
Perang Dingin (Cold War), yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, telah
mengubah peta dunia. Barat, dengan
serangkaian ideologinya, tidak lagi legitimate untuk eksis. Padahal, menurut
penasehat kawakan politik luar negeri AS,
Samuel P. Huntington (1996), untuk self-definition dan membangun motivasi,
manusia perlu rival dan musuh. (It is
human to hate. For self definition and motivation people need enemies:
competitors in business, rivals in achievement,
opponents in politics). Maka, konsekuensinya, Barat perlu musuh dan semangat
baru, selepas komunisme. Semangat
Crusade itulah yang ingin digelorakan oleh Bush. Namun, tidak terlalu sukses.
Citra AS di Eropa justru jeblok. Dalam jajak pendapat di Eropa, awal November
2003, AS menduduki posisi keenam
sebagai negara yang mengancam perdamaian dunia, setelah sekutu utamanya,
Israel, disusul Korea Utara, Iran,
Afghanistan dan Irak.
Eksistensi Barat memang banyak dipertanyakan, apalagi selepas serangan AS
terhadap Irak. Apakah Barat telah
berakhir? Thomas L. Friedman, menulis satu kolom di International Herald
Tribune (3 November 2003), berjudul “Is this
the end of the West?” Barat memang telah pecah. AS dan Eropa, khususnya
Jerman dan Perancis, telah berbeda dalam
banyak hal prinsip. Carld Bildt, mantan PM Swedia, menyatakan, bahwa selama
satu generasi, Amerika dan Eropa
bersepakat dalam hal (tahun): 1945. Selama puluhan tahun, Aliansi Atlantik Utara
membangun komitmen bersama untuk
menciptakan pemerintahan demokratis, pasar bebas, dan menangkal pengaruh
komunisme Uni Soviet. Namun, kini,
semua itu sudah berubah. Bagi Eropa, tahun penting adalah 1989 (keruntuhan
Soviet), sedang bagi AS adalah 2001
(Tragedi WTC). Eropa dan AS juga gagal untuk membangun visi bersama dalam
menghadapi isu-isu global. “We have
also failed to develop a common vision for where we want to go on global issues
confronting us,” kata Bildt.
Maka, dalam situasi seperti itu, Barat membutuhkan ‘faktor pemersatu’ (uniting
factor). Dan orang seperti Bush berpikir,
Crusade adalah jawabannya. Bush berpikir logis, dan tidak kalap. Perang Salib
telah menorehkan bekas yang sangat
mendalam pada Barat dan Islam, hingga kini. Buku Karen Armstrong, Holy War:
The Crusades and Their Impact on
Today’s World, (1991), memberikan gambaran cukup jelas, bagaimana pengaruh
Perang Salib terhadap dunia, kini. Di
tengah mesorotnya pengaruh Gereja dan konflik antar kekuatan Kristen, pada 25
November 1095, Paus Urbanus II,
menyerukan Perang Salib. Paus mengimbau, agar para ksatria Kristen
menghentikan konflik antar mereka, dan bersatu
padu menghadapi musuh Tuhan, yang mereka sebut “Turks”. “The Turks”, kata
Paus, “Adalah bangsa terkutuk, dan
membunuh monster seperti mereka itu adalah tindakan suci. Maka, wajib bagi
kaum Kristen memusnahkan mereka dari
tanah kita.” (Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty
to exterminate this vile race from our
lands).
Seruan Paus Urbanus mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen
bergabung, dengan semangat
tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West (terbit
pertama tahun 1960), Norman Daniel
menyebut ‘semangat Crusade adalah melakukan pembantaian demi Kasih Tuhan’.
(The essence of crusading was to slay
for God’s love). Maka, tidak heran, jika tentara Salib kemudian melakukan
pembantaian yang luar biasa sadisnya
terhadap Muslim, Yahudi, dan berbagai kelompok masyarakat lain.
Tahun 1099, saat menaklukkan Jerusalem, mereka membantai sekitar 30.000
warganya. Puluhan ribu kaum Muslim
yang menngungsi di atap al-Aqsha dibantai dengan sadis, tanpa pandang bulu,
wanita, anak-anak, atau orang tua.
Setahun sebelumnya, 1098, pasukan Salib (decanal dengan istilah
Franks/Crusaders) membantai ratusan ribu kaum
Muslim di Marra’t un-Noman, Syria. Paus menjanjikan pengampunan dosa bagi
siapa pun yang bergabung dalam
pasukan Salib dan jaminan sorga bagi yang mati dalam perang suci itu.
Karena itu, menurut Armstrong, Crusade adalah proyek kerjasama besar-besaran
Eropa di masa kegelapan mereka.
Mereka dicengkeram dengan semangat Kristen yang tinggi. Jelas, Crusade
merupakan jawaban terhadap kebutuhan
Kristen Eropa ketika itu. (Clearly, crusading answered a deep need in the Christian
of Europe).
Ali al-Sulami
Dunia Islam ketika itu merupakan ‘superior’ dalam peradaban disbanding semua
peradaban yang ada. Islam sedang di
puncak keemasan (the Golden Ages of Islam). Sementara Eropa berada dalam
kegelapan (The Dark Ages of Europe).
Islam, sebagai entitas politik, masih eksis. Kekhilafahan masih tegak, meskipun
terbagi menjadi tiga kekuatan besar
(Mesir, Andalusia, dan Baghdad). Fragmentasi politik cukup parah. Pada medio
abad 11 M, Syria dan Palestina menjadi
ajang rebutan antara Fathimiyah dan Abbasiyah. Fathimi mendominasi Jerusalem
antara 869-1073. Sedangkan
Abbasiyah menguasai Jerusalem antara 1073-1098.
http://www.insistnet.com - INSISTNET.COM Powered by Mambo Open Source
Generated: 27 January, 2005, 02:00
Di tengah kehebatan peradaban Islam dan eksistensi entitas politik Islam itulah,
justru pasukan Salib berhasil merebut
Jerusalem. Upaya penguasa Fathimiyah, Afdal bin Badr al-Jamali, untuk negosiasi
dan berdamai dengan Salib ditolak.
Semangat pasukan Salib sedang begitu tinggi untuk merebut Jerusalem. Mereka
sangat percaya diri, meskipun lebih
rendah tingkat peradabannya (hal yang sama terjadi saat Baghdad diduduki
pasukan Mongol).
Friksi politik di kalangan Muslim menjadi salah satu faktor utama kekalahan Islam
pada tahap awal Perang Salib.
Respons Muslim sangat tidak memadai. Dalam buku The Crusades: Islamic
Perspective (1999), Carole Hillenbrand,
menggambarkan repons kaum Muslim yang sangat tidak memadai dalam
menghadapi serbuan besar pasukan Salib.
Muslim didominasi sikap apatis, terbelit problem internal, dan kompromistis.
Penguasa-penguasa Muslim di Syria,
bukannya melakukan perlawanan terhadap pasukan Salib, tetapi malah
berkompromi dengan musuh. Sebaliknya, the
Franks justru menunjukkan semangat tinggi, fanatik (vibrant with fanaticism), dan
memiliki motivasi tinggi untuk
mencapai tujuannya (highly motivated to gain their target).
Pada situasi seperti itulah, tampil Syekh Ali al-Sulami (1039-1106), seorang ulama
bermazhab Syafii. Ia menulis Kitab
berjudul Kitab al-Jihad. Tampaknya, banyak ulama dan cendekiawan Muslim
belum mengkaji Kitab ini. Yusuf alQaradhawi, dalam bukunya, Al-Imam al-
Ghazali Bayna Madihihi wa Naqidihi, misalnya, sama sekali tidak merujuk karya
al-Sulami, saat membahas posisi al-Ghazali dalam Perang Salib. Padahal, kitab ini
sangat penting untuk memahami
kisah sukses kaum Muslim dalam merebut kembali Jerusalem dari tangan Pasukan
Salib– termasuk peran al-Ghazali di
dalamnya.
Ali al-Sulami melihat, kelemahan Muslim bukan hanya di bidang politik, tetapi
menyangkut soal sikap keagamaan.
Melihat kondisi Muslim yang parah, al-Sulami merumuskan strategi jihad dalam
dua tahap: (1) melakukan perbaikan
moral (moral rearmament) untuk mengakhiri kemunduran spiritual kaum Muslim.
Ia melihat, kekalahan Muslim adalah
pelajaran dan hukuman dari Allah, sebab mereka meningggalkan kewajiban
kepada Allah dan mengabaikan kewajiban
jihad. (2) melakukan penggalangan potensi kekuatan umat melawan Crusaders.
Dalam tahap perbaikan moral itulah, Al-Sulami banyak mengutip pendapat al-
Ghazali, termasuk dalam soal jihad.
Tampaknya, al-Sulami bertemu al-Ghazali di Masjid Ummayah Damascus, saat al-
Ghazali melakukan perenungan di
Masjid ini pada periode awal Perang Salib. Saat-saat itulah al-Ghazali menulis
karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin.
Dalam kitabnya, al-Sulami mendeskripsikan secara jelas kondisi, situasi dan
strategi mengalahkan pasukan Salib. Jihad
ke dalam, memerangi hawa nafsu, dan jihad ke luar memerangi musuh, dipadukan
menjadi satu kekuatan yang dahsyat.
Salah satu strategi al-Sulami ialah menyadarkan kaum Muslim tentang perbedaan
yang besar antara mereka dengan
kaum kafir.
Selama puluhan tahun, dakwah Al-Sulami tidak mendapat sambutan berarti. Titik
terang mulai muncul saat pasukan
Muslim di bawah pimpinan Imamuddin Zengi, merebut Edessa pada 1144. Sukses
Imamuddin dilanjutkan putranya,
Nuruddin Zengi, yang mengalahkan pasukan Salib pada 1149. Para penulis
menggambarkan Nuruddin merupakan
sosok religius dan pahlawan jihad. Sepeninggal Nuruddin (1174), tampil
keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi sebagai
komandan pasukan Muslim. Tokoh inilah yang berhasil membebaskan Jerusalem
dari pasukan Salib pada 1187.
Refleksi
Dalam berbagai hal, kondisi kaum Muslim kini, serupa dengan kondisi saat Perang
Salib berlangsung. Perang ini sendiri
memakan waktu yang panjang (1096-1204). Pasukan Salib hanya berhasil
menduduki Jerusalem sekitar 87 tahun (1099-
1187). Kelemahan aqidah, moral, dan politik umat Islam dipandang sebagai satu
problem. Solusi al-Sulami yang melihat
problem umat secara komprehensif dan mengajukan solusi secara integral, perlu
mendapatkan pelajaran. Problem
politik, ekonomi, dan militer umat, tidak dipisahkan dari problem pendidikan dan
dakwah. Bahkan, ia menempatkan
aspek ini pada tahap awal, sebelum menyelesaikan problem politik dan militer.
Namun, kondisi kaum Muslim kini tentu jauh lebih rumit. Ibarat penyakit, saat
Perang Salib, umat Islam hanya terserang
semacam “infeksi batu ginjal”. Setelah batunya dikeluarkan, dan infeksinya
diobati, maka kondisi umat pun kembali pulih.
Kini, bisa dikatakan, umat Islam terserang penyakit kompleks, sejenis kanker
ganas yang menghancurkan sel-sel tubuh.
Bukan hanya secara ekonomi, politik, dan militer (untuk kawasan tertentu, seperti
Palestina), kaum Muslim terhegemoni.
Tapi, secara moral, konsep keilmuan, dan semangat pun, banyak yang tidak “PD”
(percaya diri) pada konsep Islam.
Bahkan, lebih jauh, tak sedikit cendekiawan, ulama, dan tokoh Islam sendiri, yang
meyakini bahwa peradaban Barat –
dengan nilai-nilai sekular dan liberalnya – adalah jalan kebangkitan umat Islam.
Mereka menyerang habis-habisan
http://www.insistnet.com - INSISTNET.COM Powered by Mambo Open Source
Generated: 27 January, 2005, 02:00
pandangan tentang “keunikan Islam”. Bahwa, Islam dan juga al-Quran sama saja
dengan agama dan kitab lain. Konsep
“inna al-diina ‘indallahi al-islam” dan “al-islaamu ya’luu wa yu’laa ‘alaihi” diputar
balik dan ditentang jauh-jauh. Padahal, Barat
masih percaya dan memaksakan konsep sekuler-liberalnya sebagai pandangan
hidup dunia. Pada saat yang sama,
justru langka ulama-ulama yang mumpuni dalam konsep keilmuan Islam dan
sekaligus mumpuni mengkounter konsep
destruktif terhadap Islam.
Jalan kebangkitan adalah satu sunnatullah. Al-Quran banyak menjelaskan tentang
jatuh bangunnya satu kaum atau
peradaban (Mis. QS 6:44, 17:16). Jika umat Islam gagal belajar dari sejarah –
sebagaimana diperintahkan al-Quran – dan
gagal merumuskan masalahnya secara komprehensif, serta hanya melihat dan
menangani masalahnya secara parsial
dan superfisial, sulit dibayangkan, kebangkitan Islam akan terjadi dalam waktu
dekat. Jangan-jangan, kebangkitan nanti
menunggu munculnya generasi baru yang dijanjikan Allah (QS 5:54). Sebab,
generasi yang ada didominasi oleh
pangabaian terhadap problem keilmuan, aqidah, syariah, ukhuwah, dan terlalu
sibuk untuk mengejar kepentingan dan
kemenangan komunal, parsial, dan sesaat. Wallahu a’lam. (KL, 7 Februari 2004).
http://www.insistnet.com - INSISTNET.COM Powered by Mambo Open Source
Generated: 27 January, 2005, 02:00

Anda mungkin juga menyukai