Anda di halaman 1dari 3

Penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir logis yang menjadi basis dalam

diskusi ilmiah. Penalaran juga merupakan suatu ciri sikap (attitude) ilmiah yang sangat menuntut
kesungguhan (commitment) dalam menemukan kebenaran ilmiah. Sikap ilmiah membentengi sikap
untuk memecahkan masalah secara serampangan, subjektit, pragmatik, dan emosional.

Struktur dan proses penalaran dibangun atas dasar tiga konsep penting yaitu: asersi (assertion),
keyakinan (belief), dan argumen (argumen). Struktur penalaran menggambarkan hubungan ketiga
konsep tersebut dalam menghasilkan penalaran daya dukung atau bukti rasional terhadap keyakinan
tentang suatu pernyataan.

Asersi adalah suatu pernyataan (biasanya positíf) yang menegaskan bahwa misalnya teori) adalah benar.
Bila seseorang mempunyai kepercayaan (confidence) bahwa statemen keuangan itu bermanfaat bagi
investor adalah benar, maka pernyataan "statemen keuangan itu bermanfaat bagi investor merupakan
keyakinannya.

Keyakinan adalah tingkat kebersediaan (willingness) untuk menerima bahwa suatu pernyataan atau
teori (penjelasan) mengenai suatu fenomena atau gejala (alam atau sosial) adalah benar. Orang
mendapatkan keyakinan akan suatu pernyataan karena dia melekatkan kepercayaan terhadap
pernyataan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai keyakinan yang kuat kalau dia bersedia
bertindak (berpikir, berperilaku, berpendapat, atau berasumsi) seakan-akan keyakinan tersebut benar.

Argumen adalah serangkaian asersi beserta keterkaitan (artikulasi) dan inferensi atau penyimpulan yang
digunakan untuk mendukung suatu keyakinan. Bila dihubungkan dengan argumen, keyakinan adalah
tingkat kepercayaan yang dilekatkan pada suatu pernyataan konklusi atas dasar pemahaman dan
penilaian suatu argumen sebagai bukti yang masuk akal.

Kesahihan (validitas) merupakan kriteria utama untuk menilai penalaran logis. Validitas berkaitan
dengan struktur formal argumen. Perlu dibedakan di sini antara validitas dan kebenaran (truth).
Validitas adalah sifat yang melekat pada argumen sedangkan kebenaran adalah sifat yang melekat pada
asersi. Secara struktural, validitas argumen tidak tergantung pada kebenaran asersi. Artinya, argumen
dikatakan valid kalau konklusi diturunkan secara logis dari premis tanpa memperhatikan apakah premis
itu sendiri benar atau salah. Oleh karena itu, dapat saja terjadi suatu argumen yang valid dengan premis
yang salah. Tentu saja, jika premis benar dan penalarannya valid, konklusi juga akan benar.
Manusia tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementara itu tidak semua asersi dapat
ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan umum
sehari-hari tetapi juga dalam dunia ilmiah dan akademik yang menuntut keobjektifan tinggi.

Berikut ini aspek manusia yang dapat menjadi penghalang dalam hal penalaran :

1. Penjelasan sederhana

Rasionalitas menuntut penjelasan yang sesuai dengan fakta. Namun, keinginan yang kuat untuk
memperoleh penjelasan sering menjadikan orang puas dengan penjelasan sederhana yang pertama
ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi secara saksama kelayakan penjelasan
dan membandingkannya dengan penjelasan alternatif. Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis
dalam menerima penjelasan. Akibat nya, argumen dan pencarian kebenaran akan terhenti sehingga
pengembangan ilmu pengetahuan akan terhambat.

2. Kepentingan Mengalahkan Nalar

Hambatan untuk bernalar sering muncul akibat orang mempunyai kepentingan tertentu (vested
interest) yang harus dipertahankan. Kepentingan sering memaksa orang untuk memihak suatu posisi
(keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah dari segi argumen.

3. Sindroma Tes Klinis

Sindroma ini menggambarkan seseorang yang merasa (bahkan yakin) bahwa terdapat ketidakberesan
dalam tubuhnya dan dia juga tahu benar apa yang terjadi karena pengetahuannya tentang suatu
penyakit. Akan tetapi, dia tidak berani untuk memeriksakan diri dan menjalani tes klinis karena takut
bahwa dugaan tentang penyakitnya tersebut benar. Akhirnya orang ini tidak memeriksakan diri ke
dokter dan mengatakan pada orang lain bahwa dirinya sehat. Jadi, orang ini takut mengetahui
kebenaran gagasan sehingga menghindarinya secara semu.

4. Mentalitas Djoko Tingkir

Budaya Djoko Tingkir digunakan untuk menggambarkan lingkungan akademik atau profesi seperti ini
karena konon perbuatan Djoko Tingkir yang tidak terpuji harus dibuat menjadi terpuji dengan cara
mengubah skenario yang sebenarnya terjadi semata-mata untuk menghormatinya karena dia bakal
menjadi raja kekuasaan). Namun, tidak semestinya kalau kekuasaan tersebut lalu menentukan ilmu.
Dunia akademik harus mengembangkan ilmu atas dasar validitas argumen dan bukan atas dasar
kekuasaan politik/jabatan.

5. Merasionalkan daripada Menalar

Bila karena keberpihakan, kepentingan, atau ketakkritisan, orang telanjur mengambil posisi dan ternyata
posisi tersebut salah atau lemah, orang ada kalanya berusaha untuk mencari-cari justifikasi untuk
membenarkan posisinya. Dalam hal ini, tujuan diskusi bukan lagi untuk mencari kebenaran atau validitas
tetapi untuk membela diri atau menutupi rasa malu. Bila hal ini terjadi, orang tersebut sebenarnya tidak
lagi menalar (to reason) tetapi merasionalkan (to rationalize).

6. Persistensi

Sampai tingkat tertentu persistensi mempunyai justifikasi yang dapat dipertanggungjelaskan. Namun,
bila sikap persisten menghalangi atau menutup diri untuk mempertimbangkan argumen-argumen baru
yang kuat dan lebih mengarah untuk meninggalkan keyakinan atau paradigma yang tidak valid lagi, sikap
persisten menjadi tidak layak lagi. Lebih-lebih, bila sikap tersebut dilandasi oleh motif untuk melindungi
kepentingan tertentu (vested interest). Persistensi semacam ini akan menjadi resistensi terhadap
perubahan yang pada gilirannya akan menghambat pengembangan pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai