Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA PADA MASA

PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA

Asep Marwan Maulana

Mahasiswa Kelas HES 5, Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syari’ah IAIN
Surakarta, 162111298

A. Pendahuluan
Peradilan agama yang ada pada masa sekarang merupakan mata rantai dengan sejarah
masuknya islam di Indonesia. Pada dasarnya ada beberapa teori tentang masuknya
islam di Indonesia. Agama islam bukan saja mengatur tentang bagaimnana
pelaksanaan tata cara penyembahan kepada Alloh SWT atau ibadah saja melainkan
mengatur segala aspek kehidupan termasuk tentang muamallah, munakahat, jinayah
dan hudud.
Peradilan agama diatur dalam No. 7 tahun 1989 tentang peradian agama sebaimana
telah dirubah dengan UU No.3 tahun 2006 tntang perubahan atas UUNo.7 tahun1989
tntang peradilan agama UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU
No.7 tentang peradilan agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaks undang-undang1
Sebagai salah satu bagian law strucuture, eksistesi peradilan agama memegang
peranan yang sangat penting. Tidak hanya menjadi pelengkap dari dua elemen sistem
hukum lainnya yakni law subtance dan law culture, akan tetapi peradilan agama telah
memiliki fungsi yang strategis bagi bangsa Indonesia tidak hanya bagi masyarakat
pencari keadilan akan tetapi bagi masyarakat muslim keseluruhan. Peradilan agama
dan hakimnya tidak hanya memainkan peran sebagai instuisi dan memberikan putusan
hukum atas sebuah kasus yang terjadi melalui proses peradilan, akan tetapi lebih dari
itu telah menjadi , telah menjadi pranata sosial hukum islam yang tidak berjarak
degan masyarakat, mengingat hakimnya sebagi pembina mental spritual bagi
masyarakat muslim hing tidak sedikit kasus-kasus yang semestinya masuk dalam
ranah peradilan dapat diselesaikan diluar pengadilan ytanpa proses peradilan.2

1
Abdullah Tri Wahyudi, 2014, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat Dalam Praktik
Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung: Mandarmaju
2
Jaenal Aripin, jejak langkah peradilan agama di indonesia (jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA
GROUP, 2013) hlm V
Oleh karena itu petingnya untuk mengetahui proses lahirnya peradilan agama, dari
masa kerajaan-kerajaan yeng telah menerapkan hukum islam, kemudian, penerapan
hukum islam pada masa penjajahan, hingga kini telah menjadi salah satu sistem
hukum yang resmi di Indoesia.

B. Rumusan masalah
Penulis membatasi pembahanasan tulisan ini pada masalah-masalah berikut :
1. Bagaimana lahirnya peradilan agama pada masa penjajahan belanda. ?
2. Bagaimana keadaan peradilan agama saat penjajahan kolonial belanda. ?
C. Pembahasan
Penerapan hukum islam di indonsia telah diterapkan sejak datangnya islam di
indonesia, hal ini berbanding lurus dengn penyebaran agama islam di indonesia.
Penerapan hukum iskam di indonesia ini tidak hanya mencakup hal ibadah saja,
namunn uga menyangkut seluruh bidang kehidupan masyrakat pada waktu itu, yang
ditetapkan oleh kerajaan, untuk menerapkan hukum islam diwilayah kekuasaannya.
Dengan adanya penerapan hukum islam dalam beberapa aspek kehidupan, tentunya
juga ada pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam bidangnya disetiap daerah
dengan sistem peradilan masing-masing.
Penerapan huku islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum kedatangan
kolonial belanda, dalam hal penyelesaian masalah muamalah, munakahat, dan uqubat
diselesaikan melalui peradilan agama. Walaupun secara yuridis lembaga peradilan
agama belum terbentuk, namun secara prakteknya telah ada penerapan peeradilan
agaa dalam proses penyelesaian perkara-perkara tersebut.3
Setelah kedatangan belanda dengan beberapa misi, maka periode peradilan agama
terbagi dalam tiga periode.
1. peradilan agama pada masa penjajahan belanda.
a. Periode sebelum tahun 1882
Sebelum datangnya kolonial belanda huku islam telah berdiri sendiri,
dengan kedudukan yang kuat dalam masyarakat dan dalam wilayah
kekuasan kerajan. Kerajaan islam yang berdiri melaksanakan hukum
islam dengan cara mereka sendiri dan dalam ligkup wilayah yang
mereka kuassasi. Oleh karena itu dibutuhkan lmbaga peradilan agama
3
Abdullah Tri Wahyudi, peradilan Agama di Indonesia (yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm 4
islam yang dimana dijalan oleh kerajaan yang mengatur khusus tentang
peradilan agama islam. Masyarakat pada waktu itu rela dan patuh serta
mengikuti aturan agama islam, namun keharmonisan itu mulai
terganggu dengan adanya kolonial belanda yang datang membawa
misi tertentu, mulai dari dagang, politik, bahkan kristenisasi.4
Setelah datangnya belanda dengan organisasi dagangnya yaitu VOC
(vereenigde Oost-Indish Compagnie) tahun 1596 di banten. Fungsi
VOC yaitu pertama sebagai organisai dagang, dan kedua sebagai
badan pemerintahan. sebagai pelaksanaanya VOC berupaya
smenerapkan hukum dan peraturan perundang-undangan belanda. Ini
diterapkan pada daerah yang satu-persatu dikuasai oleh VOC. Namun
hal ini tak selancar yang diinginkan dan mendapat hambatan dari
masyarakat pribumi.
Atas dasar berbagai pertimbangan, VOC membiarkan lembaga-
lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagamanai
sebelumnya. Langkah ini diambil mempunyai tujuan untuk
menghindari atau meminimalisir perlawanan olehrakyat dalam
kehiduan sehari hari. Hukum yang berlaku tetap diakaui oleh belanda
seperti, hukum perkawinan, wakaf, waris dan hukum keluarga islam.
Oleh kaena itu, VOC melaukan beberapa kompromi antara lain :
a) dalam ststus batavia yang ditetapkan pada 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan islam berlaku bagi para
pemeluk agama islam.
b) Adanya upaya kompilasi hukum keluarga islam yang telah
berlaku di tenga masyarakat, yang dikeal sebagai Compendium
Freije.
c) Adanya kompilasi serupa di berbagai daerah wilayah lain,
seperti di Semarang, Gowa, Cirebon, Bone. Di Semarang, hasil
kompilasi ini dikenal kitab hukum Mogharraer (dari al-
muharrar), kompilasi ini lebih unggul dari yang lain karena ini
mencakup hukum pidan islam.5

4
Alaiddin Koto, sejarah peradilan Islam (PT Raja Grafindo Persada. Jakarta,2016), hlm, 212
5
Ibid.,hlm214-215
Meskipun belanda teah mencampuri urusan hukum islam yang tlah
diterapkan oleh masyarakat ataupun kerajaan ada masa itu. Hukum
islam tetap belaku dan berjalan sebagaimana mestinya, seolah-
seolah tidak ada pengaruh dengan apa yang telah diterapkan oleh
belanda, hal ini menunjukan bahwa islam telah mendrah daging
dalam tubuh rakyat nusantara, dan menjadi identitas dari penerapan
hukum islam di nusantara.

LodewijkWilliem Critian Van Den Berg (1845-1935M)


berpendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia
adalah hukum Islam, hukum adat baru bisa berlaku jika sesuai
dngan ajaran islam.teori ini dikenal denan teori Receptie in
complexu. Melalui teori ini Van Den Berg menyatakan bahwa
“peradilan Agama sudah seharusnya ada”. Van Den Berg-lah
konseptor dari Staatsblad No. 152tahun 18826

Selain Van Den Berg, Paul Scholten Van Harleem, juga


menyatakan bahwa untuk mencegah perlawaan dari umat islam,
orang-orang pribumi yang beragama islam tetap tinggal dalam
lingkungan hukum dan adat istiadat mereka.7

Hal ini mendoerong belanda untuk tetaop mempertahankan agama,


sebagai peradilan yang ada pada masa itu. Hal ini diperkuat dengan
munculnya Staatsblad yang dikeluarkan oleh belanda pada tahun
1882. Atas dasar latar belakang yang beerpijak sisi historis dan
sosiologis, kemudian diberikan legitimasi yuridis oleh belanda bagi
berdirinya peradilan agama.

b. Periode 1882-1937 ( pemerintahan belanda I )


Berdasarkan surat raja Willam, tanggal 19 januari 1882 No.24 yang
dimuat dalam Stassblad No.152. menyatakan bahwa pengadilan agama
sebagai salah satu peradilan yang secara yuridis formal telah diakui

6
Jaenal Aripin, jejak langkah peradilan agama di indonesia (jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA
GROUP, 2013) hlm 33
7
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama,(jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.
226
oleh pemerintahan belanda. Bada peradilan ini bernama Priesterraden
yang kemudia lazim disebut pengadilan agama.
Walaupun keputusan ini dikelurkan pada tangal 1 jnauari 1882, namun
keputusasn ini tidak serta merta berlaku. Pada dasarnya, pemerintahan
belanda masih setengah hati, atau enggan mengeluarkan keputusan ini.
Kemudian keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 agustus 1882,
dengan dikelurkan Staastbalad No.153. kmudian hal ini dijadikanlah
hari lahirnya peradilan agama di indonesia.
Adapun isi dari stassbad No.152 th.1882, yang terdiri dari tujuh pasal :
Pasal 1 : Disamping setiap Landrad (pngadilan negri) di Jawa dan
Madura diadakan satu pengadilan Agama, yang wilayah hukumnya
sama dengan wilayah hukum landrad.
Pasal 2 : Pengadilan gama terdiri atas penghulu yang diperbantukan
sebagai landrad yang ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-
banyaknya delapan ualama islam sebagi anggota. Mereka diangkat dan
diberhentikan oleh gubernur (resien).
Pasal 3 : Pengadilan agama tidak boeh menjatuhkan putusan kecuali
dihadiri olh sekurang-kurangnya tiga orang anggota termasuk ketua.
Kalu suara sama banyak maka ketua yang menentukan.
Pasal 4 : keputusan pengadilan agama dituliskan dengan disertai degan
alsan-alasan yag yang sigkat. Serta diberi tanggal dan ditandatnagi oleh
anggota –anggota yang memutuskan. Dalam perkara itu pula
disebutkan berapa ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang
dibebankan.
Pasal 5 : Kepada pihakyang berperkara darus diberikan salinan surat
keputusan yang ditandatangi ole ketua.
Pasal 6 : Keputusan pengadialan Agama harus dimuat dalam suatu
daftar yag harus diserahkan kepada rsiden setiap tiga bulan sekali
untuk memperleh pengukuhan dan penyaksian(visum)
Pasal 7 : Keputusan pengadilan Agama yang melampaui batas
wewenang atau kekuasan atau tidak mematuhi ketentuan pasal (2), (3),
(4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku.8

8
Alaiddin Koto, sejarah peradilan Islam (PT Raja Grafindo Persada. Jakarta,2016), hlm 218-219
Keputusan ini bukanlah satu-satunya keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah belanda. Keputusan lain misalnya, pada bulan desember
1808, tentang kewajiban bupati. Intruksi ini menegaskan bahwa
pemerintahan belanda tidak ingin mencapuri urusan agama orang jawa,
para ulama dibiarkan untuk mengurusi masalah sengketa yang ada
dalam agama tersebut, yaitu kewarisan dan pernikahan. Dalam intruksi
ini disebutkan tentang kewajiban bupati agar memperhatikan peradilan
yang sedang berjalan, agar tidak ada ganguan terhadap kebiasaan-
kebiasaanorang slam yang didasarkan pada agama.
Secara normatif kewajiban para bupati ini tertuanng dalam pasal 13
Staasblad 1820 No. 22 yang menyebutka bahwa “..... termasuk
kwajiban seorang bupati untuk memperhatikan soal-soal agama islam
dan untuk menjaganya supaya para uama dapat menjalankan tugas
mereka dengan adat kebiasaan orang jawa, seperti soal perkawinan,
pembgian harta, serta hal-hal lain yang terkait dengan persoalan
tersebut.9

c. Periode setelah 1937 (pemerintahan belanda II)


Teori yang dikemukaan oleh Van Den Berg, yaitu teori receptio in
complex, “karena orang Islam telah memeluk dan menjalakan ajaran
Islam sejak lama, maka berlaku penuh hukum islam bagi seluruh
pemeluknya”. Menurutnya orang islam telah melakukan recite hukum
islam daam kseluruhannya dan sebagai satu kesatuan. Dengan apa
yang dilakukan dan di ungkakan Van Den Berg, membuat penerintah
belanda sadar, atas keberlangsungan kolonialisme yang dilakukan
belanda, yang dikhawatirkan akan menimbulkan pan islamisme di bui
nusantara.
Maka, atas saran dan anjuran yang diberiakan oleh Cornelis Van
Vallenhoven (1874-1933), pemerintah belanda mulai mengkritik pasal
75 dan 10 RR Stassbald No.152. tokoh lain yang berpengaruh adalah
adalah Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936). Kemudian diangkat
seagai staf penasihat pejabat-pejabat di pemerintahan belanda tahun

9
Jaenal Aripin, jejak langkah peradilan agama di indonesia (jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA
GROUP, 2013) hlm 35
1889. Sejak kedatangan Snouck inilah banyak gagasan-gagasan yang
menyangkut Islam politiek di indonesia. Snouck juga ditugasi untuk
mempelajari intri-intrik menghadapi islam dengan cara belajar tentang
islam. Untuk memperdalam keilmuannya tetang islam ia, pernah
tinggal di Mekkah untuk belajar tentang islam.
Snouck mengemukakan teori reciptie, teori ini mengatakan bahwa
hukum yang berlaku bagi orang-orang islam adalah hukum adat
mereka masing-masing . hukum islam akan diresepsi oleh hukum adat.
Jadi hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum islam.
Sebenarnya teori ini diberlakukan terhadap orang islam secara tidak
adil dan tidak konsekuen, sebab tidak dapat diketahui dengan pasti
apakh hukum agama lain (nasrani misalnya) juga sudah diterima
dengan ikhlas dan menjadi hukum adat. Berarti teori ini diberlukakan
demgan engesampingka hukum islam dan emakai hukum adat, yang
bertujuan untuk melemahkan keduduan hukum islam.
Pada tahun 1937 munculah Staasblad No. 116, dengan adanya
staasblad ini, mengubah kompetisi peradilan agama, dengan
ditambahnya pasal 2a ayat(1) dalam Staastblad 1882 No.152.10
Adapun isi dari staastblad sebagai berikut :
1. Perselisihan antar suami dan istri
2. Perkara-perkara tentang a. nikah, b. talak, c. rujuk, dan
d. perceraian antara orang-orang islam yang
memerlukan perantaraan hakim agama islam.
3. Menyelenggarakan perceraian.
4. Menyatakan syarat untuk jatuhnya talak yang
digantungkan (ta’liq a lthalaq ) telah ada.
5. Perkara maha atau mas kawin.
6. Perkara tentang keperluan istri yang wajib diadakan
oleh suami.

Dengan adanya teori ini sebenarnya pemrintahan kolonial belanda


ingin menhpuskan hukum islam, namun mereka melalu jalan yang
licin, atau dengan terselubung. Mereka berusaha merusak keyakinan

10
IbidHlm. 55
dan penerapan hukum islam pada msyarakat dari dalam. Untuk
kepentingan mereka akan kberlangsungan kolonialisme di bumi
nusntara.

D. Kesimpulan
Dari sedikit banyaknya uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Peradilan agama sebelum adanya campur tangan dari pihak penjajah, sudah
berlaku, walaupun secara yuridis belum ada. Ini dibuktikan dengan adanya
sistem hukum yang dianut pada waktu itu adalh hukum islam yang diterapkan
oleh kerajaan pada waktu itu di daerah kekuasaanya, kemudian petugas
peradialan adalah ulama-ulama yang ahli dalam bidangnya, dan administrasi
kerajaan. Peradilan agama di selanggarakan di serambi-serambi masjid, atau
tempat yang telah disediakan oleh kerajaan, sesuai dengan cara masinng-
masing kerajaan. Setelah adanya surat raja William 1882, ini mengakui dan
menjadiaka peradilan agama sebagai salah satu peradilan yang berlaku pada
masa itu.
2. Setelah belanda datang maka mereka berusaha, untuk memisahkan hukum
islam yang telah melekat dlaa masyarakat. maka lahirlah dua teori pertama
teori “Receptie in complexu” yaitu hukum mengikat agama yang dianut
sesorang. Dari teori ini lahirlah pasal 75 RR, yang mengintruksikan kepada
pengadialan untuk menggunakan undang-undang agama, lembaga, dan
kebiasaan, sejauh tidak tidak bertentangan dengan asa kepatuhan dan keadilan
yang diakui umum.
3. Setelah teori “Receptie in complexu” lahirlah teori “Receptie” teori ini
mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang islam dalah hukum
adat mereka masing-masing. Teor ini menggatikan teori sebelumnya
yaitu“Receptie in complexu”. Teori ini dinilai berhasil, karena mempersempi
ruang gerak dari peradilan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Jaenal “jejak langkah peradilan agama di indonesia (jakarta : KENCANA


PRENADA MEDIA GROUP, 2013)
Koto, Alaiddin “sejarah peradilan Islam (PT Raja Grafindo Persada. Jakarta,2016)
Wahyudi , Abdullah Tri, 2004, Peradilan Agama di Indonesia, Yogjakarta: Pustaka
Pelajar.
Wahyudi , Abdullah Tri, 2014, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh
Surat-surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung:
Mandarmaju.
Ali, Muhammad Daud, 2002, Hukum Islam dan Peradilan Agama,(jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2002)

Anda mungkin juga menyukai