Anda di halaman 1dari 36

i

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA


PEMALSUAN SURAT BERDASARKAN PASAL 263
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

(Proposal Skripsi)

Oleh:
LUCKY RONALDO
15110017

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TULANG BAWANG
BANDAR LAMPUNG
2020
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINIL ..................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................. vi
MOTTO ....................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ....................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 5
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ............................................... 6
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 11

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Tindak Pidana ........................................................... 13
B. Jenis-jenis Tindak Pidana ........................................................... 15
C. Unsur-unsur Tindak Pidana ........................................................ 16
D. Teori Tindak Pidana .................................................................... 18
E. Tinjauan Umum Tentang Pemalsuan Surat ................................ 20
F. Tinjauan Umum Penerapan Sanksi Pidana ................................ 23

III. METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Masalah ................................................................... 29
B. Sumber data ................................................................................ 29
C. Prosedur Pengumpulan data ....................................................... 30
D. Prosedur Pengolahan data .......................................................... 30
E. Analisis data ............................................................................... 31

IV. HASIL PENELITIAN

V. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

x
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu dampak negatif dan kemajuan teknologi dalam masyarakat adalah

terjadinya pergeseran pola hidup, dari pola hidup sederhana menjadi pola

hidup konsumtif. Dengan banyaknya keinginan memiliki barang-barang

mewah, mengakibatkan setiap orang ingin menempuh berbagai macam cara

untuk memilikinya, dimana hal ini sangatlah wajar. Padahal untuk memiliki

barang-barang yang mewah, perlu finansial yang cukup. Dengan demikian

akan menimbulkan suatu tindak kejahatan ataupun pelanggaran dalam

memenuhi atau mengikuti pola hidup yang konsumtif. Selain itu kemjuan

teknologi juga dapat mempermudah pelaku tindak kriminal dalam

melancarkan aksinya.

Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika perbuatan

tersebut tidak secara tegas tercantum dalam KUHP (Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana) atau ketentuan pidana lainnya. Salah satu kejahatan yang

cukup banyak terjadi di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan.

Pemalsuan adalah tindak kejahatan yang melanggar hukum dan merugikan

orang lain dengan maksud untuk menyesatkan, mengelabui orang lain dengan

proses pembuatan, beradaptasi, meniru benda, statistik, atau dokumen-

dokumen, dengan maksud untuk menipu. Kejahatan yang serupa dengan

penipuan adalah kejahatan yang memperdaya orang lain menggunakan benda


2

yang diperoleh dari hasil pemalsuan dapat dikenakan sebagai hukuman

pidana.

Salah satu kejahatan yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana adalah pemalsuan yang dikelompokkan menjadi 4 macam

golongan yang didasarkan atas objek kejahatan diantaranya kejahatan sumpah

palsu (BAB IX), kejahatan pemalsuan uang (BAB X), kejahatan pemalsuan

materai dan merek (BAB XI), dan kejahatanpemalsuan surat (BAB XII).1

Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama-tama dalam kejahatan

penipuan, sehingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan.Perbuatan

pemalsuan dapat tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang

memberikan gambaran tentang suatu keadaan atas suatu barang (surat)

seakan-akan asli atau kebenaran tersebut dimilikinya.2 Karena gambaran ini

orang lain terperdaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan

atas barang atau surat tersebut itu adalah benar atau asli. Pemalsuan terhadap

tulisan atau surat terjadi apabila isinya atas surat itu yang tidak benar

digambarkan sebagai benar. Pemalsuan surat telah diatur dalam Pasal 263

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

(1) “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yan dapat
menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau suatu
pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada
sesuatu hal dengan maksud untuk memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara
paling lama enam tahun’.

1
Adam Chazawi, , Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2002), hlm. 3
2
Ibid, hlm.9
3

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja


memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”.3
Membuat surat palsu adalah membuat surat yang seluruh atau sebagian isinya

palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya.

Membuat surat palsu ini dapat berupa:4

1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruhnya isi surat tidak

sesuai atau bertentangan dengan yang kebenaran (intellectual

valschheid).

2. Membuat surat seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si

pembua surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan

pemalsuan materiil (materiele valschheid). Palsunya surat atau tidak

benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.

Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pasal 263 KUHP yaitu membuat surat

palsu yang belum ada sebelumnya atau memalsukan surat yang sudah ada.

Tindakan membuat surat palsu adalah membuat surat dengan data-data yang

baru yang ditujukan untuk kepentingan induvidunya. Sedangkan tindakan

memalsukan surat adalah perbuatan yang ditujukan untuk mengganti surat

yang sudah ada sebelumnya dengan cara mengubah, mengganti, serta

menghapus sebagian inti dari surat yang ada sebelumnya, sehingga surat

tersebut memiliki perbedaan dari surat yang sudah ada sebelumnya.

3
Kitab undang-undahng Hukum Pidana tentang Pemalsuan Surat, Pasal 263.
4
Adami, Jazwi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2002), h. 100
4

Adanya KUHP tentang pemalsuan surat dibentuk dengan tujuan untuk

melindungi kepentingan hukum publik terhadap kebenaran atas isi dari objek

surat yang menimbulkan suatu hak, surat yang menimbulkan perjanjian dan

surat yang membuktikan suatu keadaan tertentu. Salah satu fungsi hukum

pidana yaitu sebagai sarana penyelesaian masalah dan untuk menanggulangi

risiko tindak pidana kejahatan, maka berbagai bentuk kebijakan itu timbul

untuk melindungi hak individu dan mensejahterakan masyarakat yang

mengacu untuk tujuan yang lebih luas.

Peranan hukum sangat penting untuk mengatur kehidupan manusia dalam

berbangsa dan bernegara, baik antara hubungan sesama manusia, hubungan

dengan benda, manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan kesalahan

dilihat pada perbuatan dari segi masyarakat yang menunjukkan pandangan

normatif mengenai tindak pidana atau kesalahan yang dilakukannya.5

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, Penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai permasalahan tentang pemalsuan surat yang telah di atur

dalam Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan menuangkannya

dalam Judul Skripsi “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT BERDASARKAN PASAL

263 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.”

5
Satjipto Rahardjo, Bunga Rumpai Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum. Jakarta: hlm 11.
5

B. Penelitian dan Ruang Lingkup

1. Penelitian

Berdasarkan uraian diatas adapun yang menjadi pokok permasalahan

dalam penulisan skripsi adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak

pidana pemalsuan surat berdasarkan Pasal 263 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana?

b. Apakah faktor penghambat pada penerapan sanksi terhadap

pelaku tindak pidana pemalsuan surat?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penulisan skripsi ini adalah mengenai penerapan

sanksi terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat tanah berdasarkan

Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan faktor penghambat

pada penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap

pelaku Tindak Pidana pemalsuan surat berdasarkan Pasal 263 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana.

b. Untuk mengetahui apa faktor penghambat pada penerapan sanksi

terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat.


6

2. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka penelitian

ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, sebagai berikut:

a. Secara Akademis/TeoritisSecara akademis diharapkan penulisan ini

dapat memberikan ilmu pengetahuan, terutama disiplin ilmu Hukum

Pidana.

b. Secara Praktis untuk melengkapi bahan-bahan kepustakaan yang

berkaitan daengan pembahasan tindak pidana pemalsuan surat.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah suatu konsep yang merupakan abstraksi dari

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh

peneliti.6

Teori-teori Penegakan Hukum Teori penegekan hukum dapat kita jumpai

di berbagai literatur,baik itu buku,majalah atau media lain. Penulis akan

menggunakan beberapa teori yang membahas tentang penegakan hukum,

yaitu teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa

efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor yaitu:

1) Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)

6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (UI Press, Jakarta : 1986), hlm. 125
7

2) Penegak hukum,yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerpakan hukum

3) Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4) Masyarakat,yakni dimana hukum tersebut diterapkan

5) Dan faktor kebudayaan,yakni sebagai hasil karya,cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup7.

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan social menjadi

kenyataan proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan dari hakikat

dari penegakan hukum. Penegakan hukum bukan semata-mata berarti

pelaksanaan perundang-undangan, walaupun dalam kenyataan di

Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian “Law

Enforcement” begitu populer. Bahkan ada kecenderungan untuk

mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-

keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung

kelemahan, sebab pelaksaan perundang-undangan atau keputusan

pengadilan, bisa terjadi malah justru mengganggu kedamaian dalam

pergaulan hidup . Penegakan hukum pidana dibedakan menjadi 3 (tiga),

antara lain:

a. Total Enforcement (Total Penyelenggaraan)

Ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang

dirumuskan oleh hukum pidana substantif “substsntive law of

7
Soerjono Soekanto.faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Raja Grafindo
Persada:Jakarta.1996. hlm. 5
8

crime”. Penegakan hukum pidana secara total ini yang tidak

mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat

oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan

penangkapan, penahanan, penggelapan, penyitaan dan pemeriksaan

pendahuluan.

b. Full Enforcement (Penyelenggaraan Penuh)

Dalam ruang lingkup mana para penegak hukum diharapkan

menegakan hukum secara maksimal. Tetapi oleh Goldstein harapan

itu dianggap tidak mungkin menjadi kenyataan disebabkan adanya

keterbatasan-keterbatasan waktu, personil, alat-alat investigasi, dana

dan sebagainya, yang semua harus dilakukan diskresi.

c. Actual Enforcement (Penyelenggaraan Nyata)

Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penegakan hukum

pidana dalam usahanya menanggulangi kejahatan, maka dalam

kebijakan penangulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan

istilah “politic criminal”. Mempergunakan upaya-upaya dalam

ruang lingkup yang cukup luas yaitu dengan menanggulangi upaya

lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan

hukum pidana)8.

Tahap-tahap dalam penegakanhukum secara umum harus melalui

beberapa tahap:

8
Barda Nawawi Arif dan Muladi. Pidana dan Pemidanaan. Badan Penyediaan Bahan Kuliah
Fakultas Hukum UNDIP: Semarang, 1984. hlm 12
9

a. Tahap Formulasi, yaitu tahap perumusan atau penetapan pidana oleh

pembuat undang-undang (Kebijakan Legislatif).

b. Tahap Aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana oleh penegak hukum

(Kebijakan Yudikatif).

c. Tahap Eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang

berwenang (Kebijakan Eksekutif)9.

Upaya penegakan hukum harus secara sistematik, sehingga proses

penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat

diwujudkan secara nyata. Penegakan hukumbukanlah semata-mata

pelaksanaan perundang-undangan saja, melainkan terdapat faktor-faktor

penghambat yang dapat mempengaruhinya, yaitu:

a. Faktor hukumnya,

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum

d. Faktor masyarakat, yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut

diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan

pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti

9
Soerjono Soekanto. PenegakanHukum. BPHN dan Binacipta: Jakarta. 1983. Hlm. 5
10

yang berkaitan dengan istilah-istilah yang akan diteliti.10 Adapun

pengertian-pengertian mendasar dari istilah-istilah yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu:

a. Analisis yuridis adalah pendekatan kepustakaan adalah metode atau

cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.11

b. Pelaku yaitu orang yang melakukan dan menjadi penanggung jawab

mandiri.12

c. Tindak pidana adalah perbutan yang oleh aturan pidana dilarangan

dan diancam dengan pidana bagi yang melanggar aturan tersebut.

Terdapat tiga (3) hal yang perlu diperhatikan terkait dengan tindak

pidana:

1) Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum

dilarang dan diancam pidana.

2) Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang) sedangkan

ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan

kejadian itu.

3) Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat,

oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan

10
Soerjono Soekanto. Op.Cit. hlm. 135
11
Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo :
Jakarta. 2009. hlm.13-14.
12
Moeljatno.Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana. Jakarta
:BinaAksara. 1993. hlm. 93
11

kejadian itu ada hubungan erat pula. Kejadian tidak dapat

dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak

dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang

ditimbulkan olehnya.13

d. Pemalsuan surat

Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yan dapat

menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau suatu

pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada

sesuatu hal dengan maksud untuk memakai surat tersebut seolah-

olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut

dapat menimbulkan kerugian.14

e. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan

pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang

diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial

Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie.15

E. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan ini memuat uraian keseluruhan yang akan

disajikan dengan tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan

memperoleh gambaran menyeluruh tentang skripsi ini. Sistematika tersebut

dirincikan sebagai berikut:


13
Moeljatno. Asas -Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta. 2002. hlm 1.
14
Op.Cit, tentang Pemalsuan Surat, Pasal 263 Ayat (1).
15
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lengkap. Bogor: Poelitea, 1976.
12

I. PENDAHULUAN

Berisi latar belakang skripsi, kemudian menarik permasalahan dan

membatasi ruang lingkup penulisan, memuat tujuan dan kegunaan

penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka yang merupakan pengantar dalam pemahaman

dan pengertian umum mengenai Tinjauan Yuridis terhadap penerapan

sanksi pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat Tanah berdasarkan Pasal

263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

III. METODE PENELITIAN

Menjelaskan tentang metode penulisan skripsi berupa langkah-langkah

yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber data dan metode

pengumpulan dan pengolahan serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan tentang permasalahan yang ada,

yaitu pembahasan tentang Tinjauan Yuridis terhadap penerapan sanksi

pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat berdasarkan Pasal 263 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana dan faktor penghambat pada penerapan

sanksi terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan surat.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan yang merupakan hasil akhir penelitian dan

saran-saran yang diberikan atas dasar penelitian dan pembahasan yang

berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini.


13

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang olehsuatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa melanggar larangan tersebut.16Marwan Mas mengemukakan

bahwa perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subjek hukum

yang mempunyai akibat hukum, dan akibat hokum itu memang dikehendaki

oleh subjek hukum.17

Delik menurut pengertian sebagai “Wesenchau“ telah diikuti oleh para ahli

hukum pidana dan yurisprudensi Nederland dalam hubungannya dengan

ajaran sifat melawan hukum materiil. Apakah istilah perbuatan pidana itu

dapat disamakan dengan istilah belanda “strafbaar feit“, dimana arti dari

strafbaar feititu sendiri adalah: Simons menerangkan bahwa strafbaar feit

adalah kelakuan (handling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat

melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan

oleh orang yang mampu bertanggung jawab18. Simons juga berpendapat

bahwa strafbaar feitadalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan

16
Moeljanto. Asas -asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta. 2002. hlm. 54
17
Ishaq. Dasar -Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2007. hlm.123
18
Ibid. hlm. 56
14

hukum, perbuatan dilakukan oleh seseorang yang dipertanggungjawabkan,

dapat diisyaratkan kepada si pembuatnya (si pelaku).19

Strafbaar feitsebagai delik adalah pelaksanaan/perkosaan kepentingan hukum

dan sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum, dimana yang dimaksud

dengan kepentingan hukum adalah hak-hak, hubungan-hubungan, keadaan-

keadaan dan gangguan-gangguan masyarakat.20

Pengertian dari istilah “starfbaar feit“ adalah suatu kelakuan manusia yang

diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang

pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana21. Jika melihat pengertian-

pengartian ini, maka disitu dalam pokoknya ternyata :

a. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handling, kelakuan atau tingkah

laku.

b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang

yang mengadakan kelakuan tadi.22

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang bertentangan dengan tata

ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.Tegasnya mereka merugikan

masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan

terlaksanakannya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil.23

19
C.S.T. Kansil. Latihan Ujian Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi. Sinar Grafika: Jakarta.
1991. hlm.106
20
Ibid. hlm.107
21
Bambang Poernomo. Asas –asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta. 1994. hlm. 91
22
Moeljanto. loc.cit. hlm. 56
23
Ibid. hlm. 2
15

B. Jenis-jenis Tindak Pidana

Tindak pidana atau delik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

a. Kejahatan dan Pelanggaran (Menurut Sistem KUHP). Dalam KUHP

dikenal dengan adanya Kejahatan (Buku Kedua) dan Pelanggaran (Buku

Ketiga). Kejahatan merupakan rechts delict atau delik hukum adalah

pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya

perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan

sebagainya. Sedangkan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik

Undang-Undang adalah perbuatan melanggar apa yang ditentukan oleh

Undang-Undang misalnya memiliki SIM bagi pengendara kendaraan di

jalan umum.24

b. Delik Formil dan Delik Materil (menurut cara merumuskannya) Delik

Formil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang.25

Perumusan delik formal tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan

timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat

penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya.26

Misalnya pada pencurian (362 KUHP).

Delik Materil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada

akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang.

Untuk selesainya tindak pidana materil tidak bergantung pada

24
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada :Jakarta. 2010. hlm. 58
25
C. S. T.KANSIL. Engelin R Palandang. Altje Agustin Musa. Tindak Pidana Dalam Undang-
Undang Nasional. Jakarta. 2009. hlm.4
26
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Rajawali Pers. 2013. hlm.126
16

sejauhmana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya

digantungkan pada syarat timbulnya timbulnya akibat terlarang

tersebut.27 Misalnya pembunuhan (338 KUHP).

c. Delik Dolus dan Delik Culpa (berdasarkan bentuk kesalahannya) Delik

Dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan. Rumusan

kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, misalnyadengan

sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata-kata lain yang senada.

Contohnya pasal-pasal 162, 197, 310, 338 dan lain-lain. Delik

Culpaadalah delik yang di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan.

Dalam rumusannya menggunakan kata karena kealpaannya, misalnya

pada pasal 359, 360, dan 195. Di dalam beberapa terjemahan kadang-

kadang dipakai istilah karena kesalahannya.

C. Unsur-unsur Tindak Pidana

Sudarto mengemukakan bahwa tindak pidana harus memenuhi suatu syarat-

syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu tersebut lazimnya disebut dengan unsur-

unsur tindak pidana. Hal tersebut sesuai dengan arti dari adanya teori dari

tindak pidana itu sendiri, yaitu suatu perbuatan yang memenuhi persyaratan

tertentu yang dilakukan oleh orang yang mungkin adanya pemberian

pidana.28

27
Ibid, hlm.126
28
Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung. hlm. 36
17

Unsur-unsur yang ada pada tindak pidana dilihat dari melihat dari bagaimana

bunyi dari rumusan yang telah dibuat. Tindak pidana terdiri dari unsur-unsur

yang dibedakan berdasarkan sifat yaitu obyektif dan subyektif. 29 Berikut

merupakan unsur-unsur yang bersifat obyektif dan unsur bersifat subyektif,

sebagai berikut :

a. Unsur Obyektif

1. Perbuatan manusia terbagi atas perbuatan postif dan perbuatan

negatif yang menyebabkan suatu pelanggaran pidana.

2. Perbuatan manusia yang menyebabkan, merusak, atau

membahayakan kepentingan hukum yang menurut norma hukum

pidana hal tersebut diperlukan agar pelaku dapat dipidana.30

3. Onrechtmatig atau Melawan hukum.

4. Met Schuld In Verband Staand atau dilakukan dengan suatu

kesalahan.

5. Toerekeningsvatbaar Persoon atau oarang yang dapat hidup

bertanggung jawab.

b. Unsur Subyektif

1. Dolus Atau Culpa atau suatu tindakan yang disengaja maupun tidak

disengaja.

2. Voornemen atau maksud dari pada suatu percobaan atau pogging

seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

29
Andi Sofyan, Nur Azisa. 2016. Bahan Ajar Hukum Pidana. Pustaka Pena Press, Makassar.
hlm.100
30
Ibid. hlm. 101
18

3. Oogmerk seperti yang terdapat pada macam-macam maksud

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

Schuldatau kesalahan dari orang yang melakukanpelanggaran norma pidana,

diartikan bahwa pelanggaran tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan

oleh pelanggar. Kesalahan dalam arti hukum pidana mengandung beban

pertanggung jawaban pada pidana, yang terdiri dari Dolus(kesengajaan)dan

Culpa(kelalaian).31 Unsur-unsur dari adanya tindak pidana atau strafbaar feit

adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan manusia yang besifat positif atau negatif atau membuat dan

membiarkan adanya pidana,

2. Starfbaar feit atau diancam dengan pidana

3. On reechmatig atau melawan hukum

4. Met schuld in verband staand atau dilakukan karena kesalahan,

5. Toerekeningstrafbaar person atau oleh orang yang bertanggung jawab.32

D. Teori Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan terjemahan berdasarkan dari penggunaan Bahasa

Belanda yaitu “strafbaar feit” atau dalam Bahasa Indonesia adalah “Tindak

Pidana”.33Strafbaar adalah suatu pelanggaran norma yang dilakukan secara

disengaja maupun tidak disengaja. Perbuatan pidana merupakan terjemahan

31
Andi Sofyan, Nur Azisa. Op.Cit. hlm.102
32
Suyanto. 2018. Pengantar Hukum Pidana. CV Budi Utama, Yogyakarta. hlm. 74-75
33
Andi Sofyan. Nur Azisa. 2016. Bahan Ajar Hukum Pidana. Pustaka Pena Press : Makassar.
hlm. 96
19

dari “strafbaar feit” yang kemudian diberikan sebuah perumusan atau

pembatasan sebagai perubatan yang telah dilarang dan diancam dengan

pidana, dan barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu

pula harus sangat dirasakan olehmasyarakat sebagai perbuatan yang tidak

boleh menghambat akan terciptanya tata pergaulan masyarakat yang telah di

cita-citakan oleh masyarakat tersebut.34

Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan

diancam pidana yang ditunjukka kepada suatu kejadian yang dilakukan oleh

seseorang. Ancaman pidana diberikan kepada seseorang yang telah

melakukan kejahatan terhadap suatu kejadian.35

Strafbaar feit sebagai tindakan seseorang (menselijke gedraging) yang telah

dirumuskan oleh wet yang bersifat melawan hukum yang patut dipidanakan

(strafwaarding) dan dilakukan dengan adanya kesalahan. Dapat disimpulkan

bahwa dari pengertian di atas, maka tindak pindana adalah :

1. Feit dalam strafbaar feit yang berarti handeling kelakukan dan tingkah

laku.

2. Pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan seseorang yang

melakukan kesalahan dari adanya tingkah laku tersebut.36

Jenis-jenis tindak pidana yaitu sebagai berikut :

1. Tindak pidana materiil (materieel delict) ialah apabila suatu tindak

pidana dalam ketentuan hukum pidana yang dirumuskan sebagai

34
Ibid. hlm. 99
35
Suyanto. 2018. Pengantar Hukum Pidana. CV Budi Utama: Yogyakarta. hlm. 68
36
Ibid. hlm. 69
20

perbuatan yang disebabkan oleh suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan

dari adanya perbuatan tersebut.

2. Tindak pidana formal (formeel delict) apabila tindak pidana yang

dimaksudkan diberikan rumusan sebagi suatu wujud perbuatan tanpa

mempersoalkan akibat dari sebuah perbuatan atau tingkah laku itu.

3. Voordurend Delict merupakan suatu tindak pidana yang tidak ada

hentinya atau dilakukan secara terus-menerus.37

Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa tindak pidana merupakan

suatu perbuatan yang melanggar suatu hukum yang diakibatkan oleh perilaku

seseorang yang melakukan tindak perbuatan kejahatan dan diberikan sanksi

hukum.

E. Tinjauan Umum Tentang Pemalsuan Surat

Perbuatan membuat surat palsu merupakan suatu perbuatan membuat sebuah

suratyang sebelumnya tidak ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu.

Perbuatan pemalsuan tanah adalah perbuatan yang memalsukan surat yang

telah ada dengan cara merubah, menghapus ataupun mengganti surat

sehingga surat tersebut berbeda dengan surat yang sebelumnya atau surat

asli.38

Pada Pasal 263 KUHP tindak pemalsuan surat dirumuskan sebagai berikut

ini:

37
Ibid. hlm. 71
38
Malvin Hutabalian. 2016. JOM Fakultas Hukum Volume III, Nomor 2. https://media.neliti.com.
Diakses pada 28 Mei 2020, pukul 20.37 wib. hlm. 2
21

1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat

menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang

diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk

memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah

isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat

menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara

paling lama enam tahun.

2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja

memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika

pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Membuat surat palsu atau Valschelijk Opmaaken merupakan hal yang

bertentangan surat yang sebenarnya. Ada dua jenis pembagian surat palsu

yaitu, sebagai berikut :

1. Membuat surat yang sebagian atau seluruh isi tidak sesuai dan sangat

bertentangan dengan kebenaran dari adanya surat tersebut, membuat

surat palsu dapat disebut juga sebagai dengan pemalsuan intelektual atau

intelectuele valsscbbeid

2. Membuat surat yang dipalsukan seolah-olah surat tersebut berasal dari

orang lain selain pembuat surat. Membuat surat palsu seperti pada teori

ini disebut dengan pemalsuan materiil atau materiele valscbbeid. Surat

palsu atau surat yang tidak benar terdapat pada orang yang telah

membuat surat.
22

Perbuatan memalsukan (vervalsen) surat merupakan perbuatan yang tidak

dibenarkan atas hak sebuah surat tersebut yang mengakibatkan sebagian atau

seluruh isinya menjadi berbeda dengan isi surat yang sebelumnya.

Bentuk-bentuk pemalsuan dibagi menjadi 4 (empat) cara, sebagai berikut :

1. Membuat surat palsu atau membuat surat yang isinya tidak benar

2. Memalsukan surat atau mengubah surat hingga isi surat tersebut menjadi

lain dari isi yang aslinya. Cara merubah surat bermacam-macam yaitu,

dengan cara menambahkan, merubah ataupun mengurangkan isi dari

surat tersebut.

3. Pemalsuan surat juga tidak hanya berupa perubahan dari adanya isi surat

tersebut, melainkan pemalsuan tanda tangan juga termasuk tindak

pemalsuan surat.

4. Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak.39

Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP menjelaskan bahwa tindak pidana

pemalsuan surat ancaman lebih berat, apabila surat tersebut dipalsukan dan

surat tersbut adalah surat-surat-surat otentik. Menurut Soesilo surat otentik

merupakan sebuah surat yang dibuat berdasarkan bentuk dan syarat-syaratnya

ditetapkan oleh undang-undang oleh seorang notaris.

Tindak pidana pemalsuan surat adalah pemalsuan berupa surat dalam bentuk

standar yang dimuat dalam Pasal 263 dengan rumusan sebagai berikut :

39
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor. hlm. 195
23

1. Barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan yang

diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal yang dengan maksud

menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut

seolah-olah isinya benar atau tidak palsu akan dipidana, dan jika

pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat

orang tersebut akan dipidana penjara paling lama 6 bulan.

2. Barang siapa yang dengan sengaja memakai surat palsu atau yang

dipalsukan seolah-olah asli maka akan dipidana dengan pidana yang

sama jika penggunaan atau pemakaian surat tersebut menimbulkan

kerugian.40

F. Tinjauan Umum Hakim Untuk Menjatuhkan Putusan/ Penerapan

Sanksi Pidana

Kekuasaan Hakim merupakan suatu badan yang menentukan dan mempunyai

kekuatan dalam kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim

melalui semua keputusannya. Hakim memiliki fungsi yaitu memberikan

keputusan mengenai perkara yang telah diajukan di dalam perkara pidana.

Hal tersebut tidak terlepas dari bukti-bukti negatif yang pada dasarnya telah

ditentukan bahwa suatu peristiwa atau hak dan kesalahan dianggap telah

terbukti. Tidak hanya itu saja, dalam menentukan hal tersebut disampingnya

40
https://core.ac.uk/reader/77622040. Diakses pada 29 Mei 2020, pukul 13.01 wib
24

terdapat bukti yang menurut undang-undang juga ditentukan dari keyakinan

hakim yang dilandasi oleh integritas moral yang baik.41

Considerans atau pertimbangan merupakan suatu dasar dari keputusan hakim

atau argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Apabila argumen

hukum tersebut tidak benar dan tidak pantas atau proper, maka orang tersebut

kemudian dapat menilai putusan itu.

Fungsi hakim adalah memberikan keputusan pada perkara yang telah

diajukan dalam perkara pidana. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya sistem

pembuktian negatif yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau

peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti di samping adanya alat-alat

bukti yang menurut undang-undang ditentukan keyakinan hakim yang

dilandasi oleh integritas moral yang baik.42

Hakim Pengadilan mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan

dengan mempertimbangkan beberapa aspek yaitu, sebagai berikut:

1. Kesalahan pelaku tindak pidana. Hal ini merupakan syarat utama untuk

dapat dipidananya seseorang.Kesalahan disini mempunyai arti seluas-

luasnya, yaitu dapat dicelanya pelakutindak pidana tersebut. Kesengajaan

dan niat pelaku tindak pidana harusditentukan secara normatif dan tidak

secara fisik. Dalam menentukan adanyakesengajaan dan niat harus dilihat

41
Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta:
Sinar Grafika. hlm.103.
42
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar
Grafika,.2010, hlm.103.
25

dari peristiwa demi peristiwa, yang harusmemegang ukuran normatif dari

kesengajaan dan niat adalah hakim.

2. Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana kasus tindak pidana

mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyaimotif dan

tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.

3. Cara melakukan tindak pidana pelaku melakukan perbuatan tersebut ada

unsur yang direncanakan terlebihdahulu untuk melakukan tindak pidana

tersebut. Terdapat unsur niat didalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk

melawan hukum.

4. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi. Riwayat hidup dan keadaan

sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangatmempengaruhi putusan

hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,misalnya belum

pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasaldari keluarga

baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilansedang-sedang

saja (kalangan kelas bawah).

5. Sikap batin pelaku tindak pidana. Hal tersebut dapat diidentifikasikan

dengan melihat pada rasa bersalah, rasapenyesalan dan berjanji tidak

akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelakujuga memberikan ganti rugi

atau uang santunan pada keluarga korban danmelakukan perdamaian

secara kekeluargaan.

6. Sikap dan tindakan pelaku sesudahmelakukan tindak pidana. Pelaku

dimintai keterangan atas kejadian tersebut, pelaku menjelaskan tidak

berbelit-belit, pelaku menerima dan mengakui kesalahannya, karena


26

hakim melihatpelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga

mengakui semuaperbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata

jujur.

7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku pidana juga mempunyai

tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelakutindak pidana, dan juga

untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya

tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, dan

memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan,

sehinggamenjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh

pelaku. Pada suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan

pelaku adalahsuatu perbuatan tercela, wajar saja kepada pelaku untuk

dijatuhi hukuman,agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan

pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri

sendiri dan orang lain. Haltersebut dinyatakan dalam ketentuan ini adalah

untuk menjamin tegaknyakebenaran, keadilan dan kepastian hukum.43

Putusan Hakim dalam pengadilan berdasarkan fungsinya dalam mengakhi

riperkara putusan hakim adalah sebagai berikut:

1. Putusan Akhir

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di

persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun

yang tidak atau belum menempuh semua tahapan pemeriksaan. Putusan

43
Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. hlm. 77
27

yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi

telah mengakhiri pemeriksaan yaitu: putusan gugur, putusan Verstek

yang tidak diajukan verzet, putusan tidak menerima, dan putusan yang

menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa. Semua

putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang

menentukan lain.

2. Putusan Sela

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses

pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya

pemeriksaan. Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan

berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan sela dibuat

seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan

ditulis dalam berita acara persidangan saja. Putusan sela harus diucapkan

di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis

hakim dan panitera yang turut bersidang dan selalu tunduk pada putusan

akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula

pada putusan akhir. Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim

dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya. Putusan sela tidak dapat

dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Para

pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari

putusan itu dengan biaya sendiri.44

44
M.Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika.
Jakarta.hlm.77-79
28

Teori dasar dari pertimbangan hukum hakim adalah putusan hakim yang

bersifat baik, mumpuni, sempurna. Putusan-putusan tersebut dapat diuji

dengan 4 kriteria pertanyaan dasar atau the 4 way test, sebagai berikut :

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil sebuah keputusan?

3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?

4. Bermanfaatkah putusanku ini?45

Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan

pidana. Pada rumusan Pasal 58 (Pasal 52) bahwa untuk menentukan

penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan berberapa hal dibawah ini

yaitu :

1. Kesalahan pembuat tindak pidana,

2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana,

3. Cara melakukan tindak pidana

4. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana,

5. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana,

6. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana,

7. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidanayang dilakukannya

8. Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban,

9. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.46

45
Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu: Surabaya. 2007. hlm. 119
III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif dan empiris. Penelitian Hukum Normatif yaitu metode

penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka.47

B. Sumber Data

Dalam studi kepustakaan (libraryesearch) penulis mencari data primer yang

berkaitan dengan masalah yang akan dijadikan landasan teoritis bagi

penelitian yang akan di lakukan.48 Bahan-bahan yang akan di gunakan:

1. Bahan Hukum Primer

Sumber primer yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti dari sumber

asli yang memuat informasi atau data tersebut. Sumber hukum primer

dalam penelitian ini adalah Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana dan Vonis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kelas 1A

Nomor : 924/Pid.B/2020/PN.Tjk dan 973/Pid.B/2020/PN.Tjk.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang dapat memberi

penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer yang terdiri dari:49

1) Buku-buku ilmiah yang terkait.

47
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).
Jakarta:: Rajawali Pers. Hlm 13-14.
48
Rianto Adi. Metodelogi Sosialdan Hukum. Jakarta: Granit, 2010,hlm.57.
49
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 318.

29
30

2) Hasil penelitian yang terkait.

3) Makalah-makalah yang terkait.

C. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengancara studi pustaka dengan cara membaca

teori-teori dan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku

maupun yang masih berupa konsep dan seperti diuraikan di atas yang

terkelompok sebagai bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.Kemudian hasil dari membaca dienventarisir dan

mensistematisirkannya.Selain itu disamping data yang bersifat data sekunder

tersebut ditunjang dengan data primer.

D. Prosedur Pengolahan Data

Setelah semua data diperoleh baik data sekunder dengan ditunjang dengan

data primer langkah berikutnya adalah melakukan pengolahan data yang

dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1. Seleksi data

Yaitu kegiatan memilih data yang akan digunakan yang sesuai dengan

objek yang akan dibahas serta memeriksa, meneliti kembali mengenai

kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya.

2. Klasifikasi data

Yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut kerangka yang

telah ditetapkan.
31

3. Sistematisasi data

Yaitu data yang telah dievaluasi dan diklasifikasi kemudian disusun

untuk menciptakan keteraturan dalam menjawab permasalahan yang

telah dirumuskan sehingga mudah untuk dilakukan analisis dan

pembahasan dengan melakukan teori-teori yang telah ditetapkan.

E. Analisis Data

Bahan hukum atau data yang diperoleh baik data primer maupun data

sekunder dalam penelitian ini kemudian akan dianalisis secara deskriftif-

kualitatif, yaitu menganalisa hasil penelitian dengan memilih,

menggolongkan, serta menggabungkan dengan kenyataan-kenyataan yang

terjadi di masyarakat dengan permasalahan yang diteliti, sehingga

memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai apa yang terjadi di

masyarakat sehingga pada suatu kesimpulan.


32

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.


2002. hlm. 71

. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Rajawali Pers. 2013.


hlm.126

Ibid. hlm.126

Adami Chazawidan, Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan. PT.Raja Grafindo


Persada : Jakarta, 2014. hlm.138

Andi Sofyan, Nur Azisa. 2016. Bahan Ajar Hukum Pidana. Pustaka Pena Press:
Makassar. hlm.100

. 2016. Bahan Ajar Hukum Pidana. Pustaka Pena Press:


Makassar. hlm. 96

Ibid. hlm. 99

Ibid. hlm. 101

Op.Cit. hlm.102

Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum
Progresif.Jakarta: Sinar Grafika. hlm.103.

Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum


Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. 2010. hlm.103

Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2014.


hlm. 12

Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. hlm. 77

Bambang Poernomo. Asas –asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta.


1994. hlm. 91
33

Barda Nawawi Arif dan Muladi. Pidana dan Pemidanaan. Badan Penyediaan
Bahan Kuliah Fakultas Hukum UNDIP: Semarang. 1984. hlm 12

C.S.T. Kansil. Latihan Ujian Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi.Sinar


Grafika: Jakarta. 1991. hlm.106

Ibid. hlm.107

C. S. T.KANSIL. Engelin R Palandang. Altje Agustin Musa. Tindak Pidana


Dalam Undang-Undang Nasional. Jakarta. 2009. hlm.4

Ishaq.Dasar -Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika: Jakarta. 2007. hlm.123

Ibid. hlm. 56

Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu: Surabaya. 2007. hlm. 119

Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung.


hlm. 36

Moeljatno.Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana.


Jakarta :BinaAksara. 1993. hlm. 93

Moeljatno. Asas -Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta. 2002. hlm 1

Asas -asas Hukum Pidana, Rineka Cipta. Jakarta. 2002. hlm. 54

Moeljanto. loc.cit. hlm. 56

Ibid. hlm. 2

M.Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.


Sinar Grafika. Jakarta.hlm.77-79

Malvin Hutabalian. 2016. JOM Fakultas Hukum Volume III, Nomor 2.


https://media.neliti.com. Diakses pada 28 Mei 2020, pukul 20.37 wib. hlm. 2

Moleong Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung.


2005. hlm. 157
34

Miles Mattew B dan Michael Hoberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta :
Universitas Indonesia Press. hlm. 15

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
hlm. 195

Suyanto. 2018. Pengantar Hukum Pidana. CV Budi Utama, Yogyakarta. hlm.


74-75

Ibid. hlm. 69

Ibid. hlm. 71

2018. Pengantar Hukum Pidana. CV Budi Utama: Yogyakarta.


hlm. 68

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta : 1986.hlm.


125

.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja


Grafindo Persada:Jakarta.1996. hlm. 5

Penegakan Hukum. BPHN dan Binacipta: Jakarta. 1983 hlm 5

Op.Cit. hlm. 135

. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raja


Grafindo : Jakarta. 2009. hlm.13-14.

Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada:Jakarta. 2010. hlm. 58

Anda mungkin juga menyukai