Anda di halaman 1dari 46

KISI-KISI

MATERI PERMUSEMAN

Oleh :

Tim Pembuat Soal



















2020
SELAYANG PANDANG PERKEMBANGAN
MUSEUM DI INDONESIA

A. Pengantar Permuseuman
Dalam awal sejarahnya museum terbentuk karena adanya pengaruh yang luar biasa dari
perkembangan ilmu pengetahuan. Kata Museum berasal dari bahasa Yunani yaitu Mouseion yang
berarti kuil tempat pemujaan terhadap Dewi-dewi Muze, putera Dewa Zeus dengan Mnemosyne.
Dewi-dewi Muze tersebut merupakan dewi-dewi penguasa ilmu pengetahuan dan kesenian, yang terdiri
antara lain :
1. Calliope, dewa syair kepahlawanan
2. Euterpe, dewa seni musik dan syair lyrik
3. Erato, dewa syair percintaan
4. Polithemnia, dewa syair puji-pujian yang bersifat suci
5. Clio, dewa sejarah
6. Thalia, dewa seni komedi
7. Terpsichore, dewa seni tari
8. Melpomene, dewa seni tragedi
9. Urania, dewa ilmu pengetahuan perbintangan (ilmu falak).
Dalam mitosnya bahwa kesembilan dari Dewi Muze putri Dewa Zeus tersebut menguasai
cabang ilmu pengetahuan dan kesenian. Mereka dipuja dalam suatu ritual penting untuk melengkapi
pengabdian masyarakat kepada dewa Zeus. Secara etimologis, kata Zeus berkaitan dengan arti kata
deos, dewa dan Theo yang berarti Tuhan. Kuil tempat pemujaan dewi-dewi Muze itu kemudian disebut
Muzeum.
Dalam perkembangannya kata Museum telah mengalami beberapa kali perubahan makna
sejalan dengan sejarah perkembangan museum. Embrio (cikal bakal) Museum yang kita kenal saat ini
sebenarnya telah ada pada masa prasejarah, dan kemudian berkembang sejalan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan sehingga museum dapat dipahami tentang maknanya dan arti pentingnya sampai
saat ini.
Terjadinya proses itu tidak lepas dari adanya naluri alamiah manusia sebagai makhluk
pengumpul (Collecting Insting). Perkembangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Masa Prasejarah
Berdasarkan hasil penelitian arkeologi telah ditemukan sekumpulan barang-barang berupa
kepingan-kepingan batu (oker), fosil kerang dari aneka bentuk, serta batu-batuan yang sangat
aneh bentuknya. Barang-barang tersebut diindikasikan sebagai barang-barang yang didapatkan
oleh hasil pengumpulan yang dilakukan oleh Manusia Neanderthal (manusia yang berdiam di
lembah Neander). Kumpulan koleksi-koleksi tersebut kemudian dikenal dengan nama Curio
Cabinet. Nama ini kemudian untuk menyebut museum pada awal mulanya.
2. Masa Abad Pertengahan
Museum dipakai untuk menyebut koleksi-koleksi pribadi para bangsawan, para pelindung dan
pecinta seni budaya yang kaya raya dan makmur, maupun para pecinta pengetahuan. Museum ini
tidak dibuka untuk umum, atau dapat dikatakan bahwa barang-barang yang berhasil dikumpulkan
tersebut hanya untuk “klangengan”. Hanya orang-orang tertentu saja yang diberi kesempatan
untuk melihat museum ini, karena koleksi-koleksi yang tersaji merupakan ajang prestise bagi
pemiliknya.
3. Masa Renaisance
Memasuki masa Renaisance di Perancis, minat kaum bangsawan, hartawan akan ilmu
pengetahuan tumbuh berkembang luar biasa. Orang-orang pemberani mulai bermunculan.
Mereka rela mempertaruhkan nyawa untuk mengarungi lautan guna mencari hal-hal yang baru
termasuk mencari benua baru. Dari hasil penemuannya mereka berhasil membawa oleh-oleh hal-
hal yang baru dan menarik bagi mereka dan bangsanya. Oleh-oleh orang kulit berwarna sebagai
budak, barang-barang aneh dan menarik yang di daerah mereka tidak ditemukan, cerita-cerita
maupun hal-hal lain yang bagi mereka sungguh aneh dan menarik. Semua itu mereka kumpulkan
dan telah menambah perbendaharaan pengetahuan yang tak ternilai harganya bagi Benua Eropa
Barat. Benda-benda hasil seni dan kebudayaan, maupun benda-benda hasil teknologi purba dari
luar Eropa merupakan modal koleksi awal yang kelak menjadi dasar pertumbuhan museum-
museum besar di Eropa. Golong pengumpul barang-barang kuna dan antik pada zaman ini sering
dikenal dengan kaum antiquarian.
4. Masa Ensiklopedi
Pada masa ini Museum pernah dipakai untuk menyebut kumpulan ilmu pengetahuan dalam
bentuk karya tulis seorang sarjana. Pada masa ini (masa sesudah Renaisance) ditandai dengan
makin banyaknya orang melakukan kegiatan untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   1
baik tentang manusia, pelbagai makhluk, flora dan fauna, tentang bumi dan jagad raya beserta
isinya.
5. Masa Revolusi Perancis
Revolusi Perancis tahun 1789 sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Demokratisasi dalam bidang ilmu pengetahuan segera berkembang. Istana-istana
raja, gereja-gereja yang indah dengan berbagai pernik-perniknya “dijadikan milik umum” yang
dapat dinikmati oleh umum. Bahkan banyak koleksi-koleksi perseorangan yang dihibahkan pada
perkumpulan-perkumpulan yang bergerak dalam bidang ilmu dan kesenian untuk dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Dari sinilah akhirnya pemahaman mengenai museum
berkembang sampai saat ini. Museum yang dulunya tertutup untuk umum menjadi museum yang
terbuka bagi siapa saja tanpa kecuali, seperti sekarang ini.
Di dorong oleh wawasan baru mengenai pendidikan dan kebudayaan, maka kalangan
profesional permuseuman dari seluruh dunia telah mendirikan suatu badan kerja sama profesional
yang disebut ICOM (International Council of Museums). Pembentukan badan ini bertujuan antara lain
untuk :
1. Membantu museum-museum yang ada di seluruh dunia;
2. Menyelenggarakan kerja sama antar museum dan antar anggota profesi permuseuman:
3. Mendorong pentingnya peranan museum dan profesi permuseuman dalam tiap paguyuban hidup;
4. Memajukan pengetahuan dan saling pengertian antara bangsa yang semakin luas.
Menyadari akan pentingnya peranan museum bagi setiap paguyuban hidup nasional dan
internasional, maka ahli permuseuman tingkat internasional yang tergabung dalam ICOM (International
Council of Museums) kemudian merumuskan definisi museum dalam musyawarah umum ke XI yang
diselenggarakan di Copenhagen pada tanggal 14 Juni 1974, bahwa yang dimaksud dengan museum
adalah suatu lembaga yang permanen, yang melayani kepentingan masyarakat dan kemajuannya,
terbuka untuk umum, tidak bertujuan mencari keuntungan, yang mengumpulkan, memelihara, meneliti,
memamerkan dan mengkomunikasikan benda-benda pembuktian material manusia dan
lingkungannya, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan rekreasi.

B. Selintas Sejarah Lembaga Purbakala


Perhatian terhadap peninggalan purbakala telah berlangsung sejak masa kolonial yaitu pada
abad ke-18. Pada awalnya, kegiatan tersebut hanya bersifat hobi atau kesenangan individu, kemudian
meningkat menjadi suatu kegiatan oleh kelompok, dan pada akhirnya menjadi urgensi atau
kepentingan dan keterlibatan lembaga karena peninggalan tersebut sangat menarik perhatian
berbagai kalangan.
Salah seorang naturalis Jerman bernama G.E. Rumphius (1628 – 1702 M), merupakan salah
satu perintis pemerhati budaya. Ia tidak hanya tertarik pada artefak budaya, namun juga tertarik pada
dunia flora dan fauna Nusantara. Karena ketertarikannya tersebut, ia berhasil mengumpulkan berbagai
benda tinggalan prasejarah. Tidak jarang, benda-benda prasejarah miliknya dihadiahkan kepada para
pejabat kolonial. Tidak sedikit pula benda-benda koleksinya ditulis, dan kemudian terkumpula menjadi
sebuah buku dengan judul “D’Amboinsche Rariteitkamer” (1705).
Dalam perkembangannya, minat akan dunia purbakala mulai bergeser dari kegiatan yang
bersifat individu menjadi kelompok. Hal itu ditandai dengan berdirinya “Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen” tanggal 24 April 1778 M. Tujuan dari didirikannya lembaga ini adalah
untuk memajukan pengetahuan-pengetahuan kebudayaan sejauh hal-hal ini berkepentingan bagi
pengenalan kebudayaan di kepulauan Indonesia dan kepulauan sekitarnya.
Ketika Indonesia berada dibawah penjajahan Inggris (1811 – 1816 M), pancatatan, penelitian
dan ekspos tentang kebudayaan pada umumnya dan kepurbakalaan pada khususnya, cukup
mendapatkan perhatian. Gubernur Jenderal Sir Stamford Raffles menuliskan berbagai pengalamannya
di wilayah jajahan ke dalam buku yang berisi berbatai ragam budaya yang berjudul “The History of
Java” yang diterbitkan tahun 1817. Ketika Belanda kembali menggantikan kekuasan Inggris di
Indonesia, dalam bidang kepurbakalaan dilakukan kunjungan dan penggambaran sistus-situs.
Kegiatan ini dipimpin oleh C.G.C. Reinward. Kegiatan purbakala berkembangan pesat terutama dalam
hal penelitian, observasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, inventarisasi
penggambaran, penggalian, maupun pembinaan bangunan kuno. Oleh karena itulah maka dibentuklah
lembaga swasta dalam hal itu dengan nama Archaelogische Vereeniging dibawah pimpinan Ir. J.W.
Ijzerman. Dari kegiatan tersebut dapat dicatat ahli foto yang sangat berjasa dalam bidang pelestarian
purbakala yaitu Isodore van Kinsbergen dari Belanda dan K. Chepas dari pribumi. Karya foto mereka
berhasil mengabadikan beberapa komplek percandian, artefak, pemandangan alam sekitar pantai
selatan, pesanggrahan Tamansari, Kotagede, lingkungan Keraton Yogyakarta, dan Sultan serta
keluarganya.
Atas campur tangan pemerintah Hindia Belanda, maka berdasarkan Surat Keputusan
Pemerintah Belanda (Gouvernement Besluit van 18 Mei 1901, No. 4) dibentuk sebuah komisi yaitu
”Commissie in Nederlandsch-Indie voor oudheidkundige onderzoek op Java en Madoera”. Komisi

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   2
tersebut selanjutnya diketuai oleh Dr. J.L.A. Brandes. Sepeninggalnya, komisi ini sempat terbengkalai
dalam tugas-tugasnya. Selanjutnya tahun 1910 M, sebagai ketua komisi diangkatlah Dr. N.J. Krom. Dia
memiliki pandangan yang tajam dalam bidang tinggalan kepurbakalaan di Hindia Belanda. Untuk
pengembangan kelembagaan, dia belajar tata organisasi kepurbakalaan di India dan Birma. Atas hasil
studinya, maka diusulkan adanya lembaga kepurbakalaan yang lebih representatif. Usulnya
mendapatkanpersetujuan pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan No.
62, 14 Juni 1913 M.
Dengan keluarnya surat keputusan tersebut, maka hapuslah ”Commissie in Nederlandsch-
Indie voor oudheidkundige onderzoek op Java en Madoera” yang bersifat sementara itu. Sebagai
gantinya, berdasarkan keputusan tersebut berdirilah ”Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie”
(Jawatan Purbakala di Hindia Belanda). Untuk memimpin Jawatan Purbakala tersebut, diangkatlah Dr.
N.J. Krom sebagai ketua yang pertama kali. Tugasnya tidak hanya menyangkut Jawa dan Madura,
tetapi seluruh Nusantara.
Setelah menjalankan tugas kurang lebih 3 tahun, pada pertengahan tahun 1916 M, Dr. N.J.
Krom yang pergi ke Negeri Belanda, poisisnya sebagai kepala OD (Oudheidkundige Dienst) atau Dinas
Purbakala digantikan oleh Dr. F.D.K. Bosch. Pada masa pelaksanaan tugasnya, Bosch banyak
melakukan upaya rekonstruksi terhadap candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam rangka
menjaga kelestarian benda purbakala, pada masa ini dikeluarkan peraturan yang mengikat upaya
pelestarian benda purbakala, yang kemudian disebut dengan MO (Monumentent Ordonantie) No. 19
tahun 1931 M Staatblad 238 yang kemudian diperbaiki tahun 1934. Keberadaan MO menandai adanya
kepastian hukum tentang upaya menjaga kelestarian tinggalan purbakala.
Pada pertengahan tahun 1936 M, Dr. F.D.K. Bosch digantikan oleh Dr. W.F. Stutterhim.
Sttuterhim mendirikan sebuah seklah A.M.S gaya baru di Solo dengan jurusan Sastra Timur. Dalam
kurikulum sekolah tersebut, ia memasukkan Sejarah Kesenian dan Kebudayaan Indonesia. Pada era
ini (1938 – 1939) Dr. W.H. Stuttehim melanjutkan misi Dr. F.D.K. Bosch yaitu melakukan pengawasan
pemugaran dan dokumentasi bangunan-bangunan yang memiliki koherensi dengan keraton, antara
lain Gedung Panggung Krapyak, Masjid Sela Panembahan, Situs Pesanggrahan Rejawinangun atau
Warung Bata, Benteng Baluwarti, dan Plengkung Tarunusura.
Tahun 1942 M, pemerintah Hindia Belanda digantikan oleh pasukan pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, usaha-usaha pengelolaan purbakala tidak mendapatkan perhatian
yang berarti. Kantor pusat di Jakarta tidak lagi aktif melakukuan upaya-upaya perlindungan dalam
bidang kepurbakalaan. Karena vakum akan kegiatan, maka kantor pusat dipindahkan ke Yogyakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, semua kegiatan difokuskan pada propaganda pemerintahan Jepang.
Tahun 1943, seksi kepurbakalaan turut membnatu dalam hal itu dengan dibentuknya lembaga
kebudayaan jaman Jepang yang disebut Keimin Bhunka Shidoso. Pada masa penjajahan Jepang
inilah, seorang pembesar Jepang di Magelang melakukan pembongkaran dengan ceroboh timbunan
batu di tenggara Candi Borobudur.
Memasuki masa kemerdekaan, pemerintah Belanda berusaha menghidupkan kembali OD
(Oudheidkundige Dienst). Dalam hal ini ditunjuk Ir. H.R. van Romondt sebagai pimpinan sementara
OD. Kegiatan dokumentasi peninggalan purbakala terus dilakukan, baik verbal, visual, audio visual,
dan piktorial. Kegiatn-kegiatan dapat dilihat dalam pelaksanaan pemugara Candi Siwa Prambanan.
Pada tahun 1947, OD dipimpin oleh Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers. Setelah terbentuknya NKRI, pada
tahun 1951 beberapa jawatan purbakala melebur menjadi Dinas Purbakala. Setelah 40 tahun dipimpin
oleh bangsa asing, tahun 1953 Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional dipimpin oleh orang
pribumi yaitu R. Soekmono. Dalam perkembangannya institusi tersebut berubah menjadi Lembaga
Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN).
Pada tahun 1975, perubahan struktur organisasi terjadi dalam tubuh LPPN. Selanjutnya
institusi tersebut dibagi menjadi dua unit, yakni yang bersifat teknis administrasi operasional atasu
pelestarian dikelola oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP), sementara yang bersifat penelitian
dipegang oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (PPPPN). Dalam
perkembangannya kedua institusi ini pernah berganti nama, yakni Direktorat Perlindungan dan
Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (DP3SP) dan kemudian berubah menjadi Direktorat
Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah).
Secara yuridis landasan hukum perlindungan peninggalan purbakala sejak Hindia Belanda
yaitu MO (Monumenten Ordonnantie), pada tahun 1992 telah diperbaharui yaitu dengan
diundangkannya UURI nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dua dekade kemudian
peraturan tersebut diganti kembali setelah diundangkannya UURI No 11 tahun 2010 tentang Cagar
Budaya. Lembaganya juga mengalami perubahan nama yaitu dari Direktorat Kepurbakalaan menjadi
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (DPCBM) dan dilengkapi dengan UPT di
sejumlah daerah bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   3
C. Sejarah Awal Museum Di Indonesia Abad XVII s.d. XIX
Kondisi alam Indonesia yang merupakan daerah tropis, menyebabkan alamnya kaya akan
tumbuh-tumbuhan aneh bagi bangsa Eropa. Bagi bangsa Eropa, tumbuh-tumbuhan di Indonesia
sangat menarik terutama rempah-rempah yang bernilai jual tinggi. Disamping itu, kedatangan mereka
ke Indonesia yang juga diikuti oleh para ilmuwan juga, mulai tertarik pada flora dan fauna yang ada di
Indonesia. Karena itulah ekspedisi dan penelitian ilmiah juga dilakukan oleh para ilmuwan Belanda di
Indonesia. Salah seorang peneliti tersebut adalah Geroge Eberhhard Rumpt (1628-1702). Dia adalah
seorang berkebangsaan Jerman yang bekerja untuk VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Ketika menjadi seorang suadagar, tahun 1660 dia mulai tertarik dengan flora, fauna dan alam di pulau
Ambon. Pada tahun 1662 dia mulai mengumpulkan berbagai spesies tumbuhan dan kerang di
rumahnya. Karena selaranya akan ilmu pengetahuan di jaman Renaisance dan kegemarannya akan
nama-nama Latin atau Yunani, namanya mulai terkenal dengan Rumphius.
Gejala awal akan berdirinya museum di Indonesia sudah mulai tampak pada sekitar akhir abad
XVIII ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di Eropa. Saat itu di Eropa
terjadi semacam revolusi intelektual (the Age of Enlightenment), yaitu suatu keadaan dimana orang
mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmu dan ilmu pengetahuan. Hal inilah kemudian
menyebabkan munculnya beberapa perkumpulan ilmu pengetahuan di Eropa. Oleh karena itulah, pada
tahun 1752 di Kota Haarlem (Belanda), berdiri perkumpulan “De Holandsche Maatschapij der
Wetenschappen” (Perkumpulan Ilmiah Belanda). Perkumpulan ini mempunyai beberapa cabang yang
tersebar di berbagai kota di Belanda. Hal ini mendorong orang-orang Belanda di Batavia (Indonesia)
untk mendirikan organisasi sejenis.
Suatu saat perkumpulan itu bermaksud mendirikan cabang di Batavia (Jakarta) yang pada
masa itu masih menjadi daerah jajahan Belanda sama seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Tetapi
para ilmuwan yang mendapat dukungan dari orang-orang penting pemerintah kolonial lebih memilih
mendirikan perkumpulan sendiri terpisah dengan perkumpulan-perkumpulan yang ada di Belanda.
Maka pada tanggal 24 April 1778 di Batavia (Jakarta) berdirilah perkumpulan ilmu pengetahuan yang
bernama “Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”. Perkumpulan ini mempunyai
semboyan "Ten Nutte van het Algemeen" (untuk kepentingan umum). Sedangkan tujuan dari berdirinya
lembaga ini adalah ingin memajukan penelitian di bidang biologi, ilmu alam, ilmu purbakala, ilmu
sastra, ilmu bangsa-bangsa, ilmu sejarah, kesenian dan juga menerbitkan hasil-hasil penelitian. Salah
seorang tokoh pendiri lembaga tersebut yang bernama J.C.M. Radermacher (1741‐1783), berkenan
menyumbangkan sebuah rumah di Kalibesar daerah perdagangan besar di Kota Jakarta lama untuk
pengembangan lembaga ini. Dia juga menyumbangkan sejumlah koleksi benda budaya dan buku yang
selanjunnya menjadi cikal bakal berdirinya museum dan perpustakaan nasional di Indonesia.
Disamping J.C.M. Radermacher yang seorang kolektor numismatik, terkait dengan aksinya
yang memberikan sumbangan terhadap perbendaharaan koleksi di “Bataviaasche Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen”, adalah Egbert Willem van Orsoy de Flines (1886-1964). Dia adalah
seorang kolektor keramik. Koleksi keramik hasil pengumpulannya juga diserahkan ke “Bataviaasche
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”. Raden Saleh Sjarif Bustaman (1814-1880), selain
seorang pelukis juga merupakan seorang bangsawan dan ilmuwan. Dalam perjalanan budayanya ke
Jawa sering dipakai untuk mengumpulkan benda-benda arkeologi dan manuskrip yang masih dimiliki
oleh keluarga-keluarga pribumi. Ekskavasi mencari fosil juga sering ia lakukan. Disamping lukisan,
koleksi-koleksi pribadi hasil perjalanan dan ekskavasinya memberikan sumbangan besar terhadap
perkembangan “Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”. Nama-nama lain yang
memberikan sumbangan cukup besar dalam pengembangan “Bataviaasche Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen”, antara lain F.W. Junghuhn (1809 – 1864), Bupati Galuh, Kinsbergen, dan Canter
Visscher.
Memasuki awal abad XIX, sejalan dengan peristiwa sejarah yang terjadi di Eropa maka di
Indonesia, pemerintah kolonial Belanda digantikan oleh Inggris yang berlangsung dari tahun 1811-1816
di bawah pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamfort Raffles. Lembaga tersebut
kemudian diambil alih. Sebagai direksi kemudian Raffles membangun gedung yang baru di Jalan
Majapahit 3 Jakarta dan mengubah nama lembaga dari “Bataviaasche Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen” menjadi “Literary Society”. Dulu gedung tersebut dikenal dengan nama gedung
“Societeit de Harmonie”. Lokasi tempat bangunan tersebut berdiri, sekarang dibangun gedung
sekretaris negara yang berlokasi di dekat Istana Kepresidenan Jakarta.
Dengan interval waktu masa kolonial Inggris di Indonesia yang relatif singkat tersebut Raffles
telah melakukan banyak kegiatan yang besar sumbangannya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Antara lain menerbitkan buku yang berjudul “History of Java”. Kemudian berhasil pula
membangun Kebun Raya Bogor sebagai pusat penelitian botani tropis. Disamping itu juga berhasil
membangun Benteng Malborough di Bengkulu.
Setelah masa kolonial Inggris berlalu dan Indonesia kembali dikuasai oleh pemerintah kolonial
Belanda, pada pertengahan abad XIX timbul perkembangan spesialisasi ilmu pengetahuan yaitu ilmu-
ilmu di bidang kebudayaan dan ilmu-ilmu pengetahuan alam. Lembaga yang dulu pernah dikelola oleh

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   4
pemerintah kolonial Inggris kembali ke tangan pemerintah kolonial Belanda dengan nama seperti
semula yaitu “Bataaviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”. Namun perhatian lembaga
ini lebih dipusatkan pada bidang ilmu kebudayaan. Terutama ilmu bahasa, ilmu sosial, ilmu bangsa-
bangsa, ilmu purbakala dan sejarah.
Di Batavia (Jakarta) anggota lembaga ini selalu bertambah. Perhatian di bidang kebudayaan
terus berkembang dan jumlah koleksi sebagai sarana penelitian meningkat luar biasa sehingga
gedung di jalan Majapait 3 Jakarta menjadi sempit. Tahun 1862 Pemerintah Kolonial Belanda
memutuskan membangun gedung baru di sebuah tempat yang berlokasi di Jalan Medan Merdeka
Barat No. 12 (lokasi Museum Nasional sekarang). Dulu tempat tersebut dikenal dengan nama
Koningsplein West. Tanahnya meliputi area yang kemudian di atasnya dibangun gedung Rechst
Hogeschool atau “Sekolah Tinggi Hukum” (pada masa Jepang pernah dipakai sebagai markas
Kempetai). Sekarang dimanfaatkan sebagai kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan. Pada
tahun 1868 gedung tersebut mulai dibuka untuk umum sebagai museum. Pada tahun 1923,
perkumpulan “Bataaviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen” memperoleh gelar
“Koninklijk” karena jasanya dalam bidang ilmiah dan proyek pemerintah, sehingga perkumpulan
tersebut bernama lengkap “Koninklijk Bataaviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”.
Bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta, museum tersebut sangat dikenal.
Mereka menyebutnya sebagai “Gedung Gajah” atau “Museum Gajah”. Hal itu karena di halaman
depan museum terdapat sebuah patung gajah berbahan perunggu. Patung gajah tersebut merupakan
hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke Indonesia,
khususnya ke museum tersebut pada tahun 1871. Masyarakat Jakarta kadangkala menyebut museum
tersebut sebagai “Gedung Arca” karena di dalamnya banyak tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca
yang berasal dari berbagai periode.

D. Perkembangan Museum Sampai Menjelang Tahun 1945


Perubahan pola pikir manusia selalu terjadi dari waktu ke waktu untuk menyesuaikan diri
dengan jiwa jaman yang menggerakkan sejarah yang terjadi. Di Batavia, pada tahun 1926 anggaran
dasar Museum KBG (“Koninklijk Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”) telah
mengalami perubahan. Lembaga museum telah terbagi dalam bagian-bagian yang masing-masing
mempunyai pimpinan sendiri. Bagian-bagian itu antara lain ilmu bahasa, ilmu bumi, ilmu bangsa-
bangsa, ilmu hukum adat, ilmu prasejarah, ilmu purbakala klasik, seni rupa, keramik dan ilmu sejarah.
Di tanah Jawa beberapa bangsawan juga menaruh perhatian besar pada bidang kebudayaan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, K.R.A Sosrodiningrat IV berperan mendirikan Museum
Radya Pustaka (1890) di Surakarta. Museum ini mendapat dukungan dari kalangan keraton, seperti
R.T.H. Joyodiningrat II dan G.P.H. Hadiwijaya. Tahun 1918 Mangkunegoro VII di Solo mendirikan
Museum Mangkunegoro.
Pada tahun 1919 para ilmuwan Belanda mendirikan sebuah instituut bernama Java Instituut di
Surakarta. Insituut ini bergerak dalam bidang penelitian kebudayaan di wilayah Jawa, Madura, Bali dan
Lombok. Untuk kelengkapan laboratorium penelitiannya, insituut ini mendirikan sebuah Museum yang
kemudian diberinama Museum Sonobudoyo yang berlokasi di Yogyakarta. Peresmian museum ini
dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada tanggal 6 November 1935.
R.A.A. Kromodjojo Adinegoro mempunyai andil dalam mengumpulkan koleksi di daerah
Trowulan, Jawa Timur. Pada 1912 dia mendirikan Museum Mojokerto, namun sisa-sisanya sukar
dilacak kembali. Pada 1924 arsitek Belanda Ir. Henry Maclaine Pont mendirikan Oudheidkundige
Vereniging Majapahit (OVM). Museum Mpu Tantular, juga di Jawa Timur, merupakan kelanjutan dari
Stedelijk Historisch Museum Surabaya, didirikan oleh Godfried Hariowald Von Faber pada 1933 dan
diresmikan pada 25 Juni 1937. Selain di Jawa, museum sejarah dan kebudayaan didirikan di Bali.
Pemrakarsanya adalah Dr. W.F.J. Kroon didukung para raja dan bangsawan Bali. Museum Bali dibuka
secara resmi pada 1932.
Tahun 1915 pemerintah militer Belanda mendirikan Museum Rumoh Aceh. Di Bukit Tinggi
didirikan pula sebuah museum bernama Museum Rumah Adat Baanjuang tahun 1933. Di Bukittinggi
pada 1935 diresmikan Museum Rumah Adat Baanjuang. Pendirinya adalah seorang Belanda,
Mondelar. Di Sumatra Utara atas prakarsa Raja Simalungun dibangun Museum Simalungun pada
tahun 1938. Museum-museum tersebut umumnya merupakan bagian dari bidang sejarah dan
kebudayaan.
Selanjutnya museum-museum yang bersifat ilmu pengetahuan sains didirikan di Bogor, yakni
Museum Zoologi (1894). Pendirinya adalah Dr. J.C. Koningsberger. Di Bandung, pemerintah Hindia
Belanda mendirikan Museum Geologi (1929). Tahun 1941 pemerintah kolonial mendirikan Museum
Herbarium di Bogor.
Jika diperhatikan dengan seksama dan mendalam, pendirian lembaga atau institut maupun
museum baik di bidang kebudayaan maupun sains tampak bahwa semua itu berkaitan erat dengan
pelaksanaan pemerintahan kolonial. Museum di bidang kebudayaan beserta lembaga penelitiannya
merupakan sumber pengenalan kebudayaan rakyat jajahan. Sedangkan museum sains beserta

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   5
lembaga penelitiannya berkatian erat dengan usaha eksploitasi sumber kekayaan alam wilayah
jajahan. Hal itu dilakukan oleh pemerintah kolonial sebagai usaha untuk mempertahankan wilayah
tersebut. Karena dengan memahami kebudayaan suatu bangsa akan mengetahui pola pikir bangsa
tersebut.

E. Perkembangan Museum Pada Masa Awal Kemerdekaan


Setelah Indonesia merdeka, keberadaan museum diabdikan pada pembangunan bangsa. Para
ahli bangsa Belanda yang aktif dalam lembaga atau museum yang berdiri sebelum tahun 1945 masih
diijinkan tinggal di Indonesia dan menjalankan tugasnya seperti biasa. Disamping bangsa Belanda,
bangsa Indonesiapun banyak pula yang aktif dalam lembaga-lembaga dan museum yang berdiri
sebelum tahun 1945 dan kemampuan merekapun tidak kalah dengan ahli bangsa Belanda. Dan pada
masa kemerdekaan dan seterusnya mereka aktif meningkatkan kemampunannya dalam berbagai
penelitian.
Lembaga-lembaga yang berdiri sebelum tahun 1945 kebanyakan kehilangan sumber
pembiayaan setelah masa kolonial berakhir. Pada tanggal 29 Pebruari 1950 KBG (“Koninklijk
Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”) diganti namanya Lembaga Kebudayaan
Indonesia dan disingkat LKI. Kurang lebih 12 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 17 September 1962
LKI dibubarkan dan museum kemudian diserahkan kepada Pemerintah RI dibawah pengawasan
Direktorat Jenderal Kebudayaan. Tanggal 28 Mei 1979 Museum Pusat menjadi Museum Nasional,
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0992/O/1979.
Pada tanggal 5 Januari 1966 Yayasan Bali Museum menyerahkan museumnya kepada
Pemerintah RI dan langsung dibawah pengawasan Lembaga Museum-Museum Nasional (waktu itu).
Tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan oleh Pemda TK I Yogyakarta kepada Pemerintah Pusat
dan dibawah pengawasan Direktorat Museum (waktu itu). Selain itu banyak museum yang berdiri
sebelum tahun 1945 diserahkan kepada pemerintah pusat. Seperti Museum Zoologi, Museum
Herbarium di Bogor dan masih banyak lagi baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 48 Tahun
2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum Nasional, maka Museum Nasional merupakan UPT
(Unit Pelaksana Teknis) di Lingkungan Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan. Museum Nasional
dikepalai oleh seorang Kepala Museum yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur
Jenderal Kebudayaan. Menurut peraturan tersebut, Museum Nasional mempunyai tugas melaksanakan
pengkajian, pengumpulan, registrasi, perawatan, pengawetan, pengamanan, penyajian, publikasi, dan
fasilitasi di bidang benda bernilai budaya berskala nasional. Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut,
selanjutnya Museum Nasional menyelenggarakan fungsi :
1. pengkajian benda bernilai budaya berskala nasional;
2. pengumpulan benda bernilai budaya berskala nasional.
3. perawatan dan pengawetan benda bernilai budaya berskala nasional;
4. pengamanan benda bernilai budaya berskala nasional;
5. penyajian benda bernilai budaya berskala nasional;
6. pelaksanaan publikasi benda bernilai budaya berskala nasional;
7. fasilitasi di bidang pengkajian, pengumpulan, perawatan, pengamanan, pengawetan, dan penyajian
benda bernilai budaya berskala nasional;
8. pelaksanaan layanan edukasi benda bernilai budaya berskala nasional;
9. pelaksanaan kemitraan dan promosi di bidang benda bernilai budaya berskala nasional;
10. pelaksanaan registrasi dan dokumentasi benda koleksi museum bernilai budaya berskala nasional;
11. pengelolaan perpustakaan Museum Nasional; dan
12. pelaksanaan urusan administrasi Museum Nasional.

F. Sekilas Pembinaan Museum di Indonesia


Setelah Indonesia merdeka, selain museum yang ada, semakin tampak gejala akan banyaknya
pendirian museum yang dilakukan oleh departeman-departeman dalam pemerintahan maupun oleh
yayasan-yayasan swasta. Agar pemanfaatan museum bagi pembangunan bangsa dapat maksimal,
maka harus dibina oleh instansi pemerintah yang mengurus bidang kebudayaan.
Pada tahun 1945 dalam masa kabinet pertama RI yang terbentuk tanggal 19 Agustus 1945 di
dalamnya terdapat kementrian pengajaran yang waktu itu dipegang oleh Ki Hadjar Dewantara. Dalam
kabinet II (kabinet Perlementer I, Kabinet Sjahrir) yang dibentuk tanggal 14 Nopember 1945
kementrian pengajaran dirubah menjadi kementrian pengajaran, pendidikan dan kebudayaan. Waktu itu
dijabat oleh Mr. Dr. Todung Gelar Sutan Gunung Mulia. Pada tahun 1948 pada masa kabinet hatta
yang dibentuk tanggal 29 Januari 1948 dalam kementerian pengajaran, pendidikan dankebudayaan
yang dijabat oleh Mr. Ali Sastroamidjojo mulai terdapat jawatan kebudayaan. Pada tahun 1957 dalam
Jawatan Kebudayaan dibentuk Bagian Urusan Museum. Pada tahun 1964, Bagian Urusan Museum
ditingkatkan menjadi Lembaga Museum-museum Nasional. Kemudian pada tahun 1966 pada masa

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   6
kabinet Ampera, Lembaga Museum-museum Nasional dirubah menjadi Direktorat Museum. Tahun
1975 Direktorat Museum disempurnakan menjadi Direktorat Permuseuman, yang waktu itu sebagi
direktur adalah Drs. Mohammad Sutaarga. Sekalipun demikian, masih ada multi administrasi di bidang
permuseuman. Dalam arti kata bahwa di luar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ada
departemen atau lembaga pemerintah yang menyelenggarakan dan mengelola museumnya masing-
masing.
Pembangunan permuseuman di Indonesia diawali dengan adanya Proyek Rehabilitasi dan
Perluasan Museum Pusat (Museum Nasional) dan museum Bali pada Pelita I (1969/1970-1973/1974).
Proyek Permuseuman itu berkembang menjadi Proyek Pengembangan Permuseuman di Indonesia
dan terakhir menjadi Proyek Pembinaan Permuseuman. Memasuki Pelita II ditetapkan suatu kebijakan
untuk memugar dan memperluas museum-museum daerah warisan Kolonial diarahkan menjadi jenis
museum, umum, dan bagi Propinsi yang belum memiliki museum didirikan museum baru dengan jenis
museum umum pula.
Pada Pelita II (1974/1975-1978/1979) pembangunan Permuseuman telah meliputi 11 Propinsi
di Indonesia. Melalui Direktorat Permuseuman pemerintah tidak saja memperhatikan dan
mengembangkan museum dilingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saja, tetapi juga
membina dan mengembangkan museum yang berada di luar Lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, museum yang dikelola oleh swasta dan pemerintah daerah.
Pada Pelita III (1979/1980-1983/1984) dan Pelita IV (1984-1989) pembangunan Permuseuman
telah menjangkau 26 propinsi. Penyempurnaan pembangunan museum Negeri Propinsi di Indonesia
dapat diselesaikan pad akhir Pelita V (1989/1990-1993/1994). Kegiatan Proyek masih berlanjut sampai
dengan Pelita VI (1994/1995-1998/1999). Di samping membangun museum Propinsi yang berjumlah
26 itu (DKI Jakarta diwakili oleh Museum Nasional) Direktorat Permuseuman juga mendirikan 4
museum yang ada di DKI Jakarta dan 1 museum khusus yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tujuan didirikan museum setelah Kemerdekaan adalah untuk kepentingan pelestarian warisan
budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan bangsa, dan sebagai sarana
pendidikan nonformal. Di samping itu Museum Negeri Propinsi yang merupakan jenis museum umum
itu diharapkan dapat menyajikan suatu gambaran yang konprehensif mengenai, baik warisan budaya,
aspek-aspek kesejarahan yang utama pada suatu Propinsi, maupun sejarah alamnya, juga penyajian
wawasan Nusantara dalam suatu tata pameran khusus sebagai pencerminan kesatuan bangsa.

G. Klasifikasi Museum
Sejak jaman kemerdekaan pertumbuhan museum di Indonesia tampak sengat luar biasa.
Museum-museum baru banyak bermunculan baik itu yang didirikan oleh departeman-departeman
maupun yayasan-yayasan swasta dengan macam-macam jenis koleksi yang disajikan. Untuk
memudahkan pendataan dibuat semacam klasifikasi untuk mengidentifikasikan sebuah museum.
Pengklasifikasian ini didasarkan atas tiga hal yaitu koleksi yang disajikan, ruang lingkup wilayah tugas
dan status hukumnya.
Berdasarkan koleksi yang disajikan museum dapat dibedakan menjadi dua yaitu museum
umum dan museum khusus. Museum umum adalah museum yang mempunyai koleksi yang tidak
hanya ditunjang oleh satu cabang ilmu saja, misalnya ilmu hayat, ilmu dan teknolgi, antropoligi,
ethnografi, dan lain-lain. Maka museum tersebut dilihat dari jenis koleksi nya termasuk museum
umum. Museum khusus adalah sebuah museum yang koleksi-koleksinya hanya ditunjang oleh satu
cabang ilmu saja, misalnya ilmu hayat, ilmu dan teknolgi, antropoligi, ethnografi, maupun seni. Sebagai
contoh museum khusus adalah Museum Sejarah Perjuangan (Museum Benteng Vredeburg
Yogyakarta, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Museum Seni Lukis Affandi, Musem Tektstil
Jakarta, dan sebagainya).
Menurut status hukumnya museum dibedakan menjadi dua yaitu museum pemerintah (negeri)
dan museum swasta. Museum pemerintah (negeri) adalah museum yang segala hal yang
berhubungan dengan pengelolaan museum ditanggung oleh pemerintah. Demikian pula museum
swasta, adalah museum yang segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan museum ditanggung
oleh yayasan. Sebagai contoh Museum Nasional Jakarta, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta,
Museum Sonobudoyo, karena didukung dengan dana dari pemerintah maka disebut museum
pamerintah. Lain dengan museum Monumen Yogya Kembali, Museum Wayang Kakayon, Museum
Batik Yogyakarta, dan sebagainya. Biaya pengelolaannya ditanggung oleh yayasan.
Menurut ruang lingkup wilayah tugasnya klasifikasi museum dibedakan sebagai berikut yaitu :
Museum Nasional, Museum Lokal (Provinsi, Kabupaten, Kotamadia, Kecamatan dll). Museum Nasional
adalah museum yang menggambarkan harta warisan sejarah dan kebudayaan nasional. Museum ini
menjadi urusan dan tanggungan pemerintah. Demikian pula museum lokal, adalah museum yang
menggambarkan harta warisan dan kebudayaan lokal. Museum lokal ini ruang lingkupnya dibagi
menjadi tingkat provinsi, kabupaten dan kotamadia. Museum Nasional hanya ada satu yaitu yang
berada di Jakarta yang terkenal dengan Museum Gajah. Pada awal mulanya Museum Provinsi ada 27
karena setiap provinsi sudah mempunyai museum, setelah diresmikannya Museum Negeri Provinsi

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   7
Timor Timur oleh Wakil Presiden Tri Sutrisno pada tanggal 17 Juni 1996. Pada masa itu Direktur
Direktorat Permuseuman yang ketika yaitu Dra. Sri Soejatmi Satari.

H. Museum Nasional Berdasarkan Permendikbud RI Nomor 48 Tahun 2012


Permendikbud RI Nomor 48 tahun 2012 ditetapkan di Jakarta tanggal 20 Juli 2012 dan
diundangkan tanggal 15 Agustus 2012 merupakan peraturan yang mengatur tentang Organisasi dan
tata kerja Museum Nasional. Museum Nasional adalah unit pelaksana teknis di Lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. Museum Nasional mempunyai tugas
melaksanakan pengkajian, pengumpulan, registrasi, perawatan, pengawetan, pengamanan, penyajian,
publikasi, dan fasilitasi di bidang benda bernilai budaya berskala nasional.
Museum Nasional terdiri atas:
1. Kepala;
2. Bagian Tata Usaha;
3. Bidang Pengkajian dan Pengumpulan;
4. Bidang Perawatan dan Pengawetan;
5. Bidang Penyajian dan Publikasi;
6. Bidang Kemitraan dan Promosi;
7. Bidang Registrasi dan Dokumentasi; dan
8. Kelompok Jabatan Fungsional.
Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melaksanakan urusan perencanaan, keuangan,
kepegawaian, persuratan dan kearsipan, ketatalaksanaan, barang milik negara, dan kerumahtanggaan
Museum. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Bagian Tata Usaha menyelenggarakan fungsi:
1. pelaksanaan urusan perencanaan;
2. pelaksanaan urusan keuangan;
3. pelaksanaan urusan kepegawaian;
4. pelaksanaan urusan ketatalaksanaan;
5. pelaksanaan urusan persuratan dan kearsipan;
6. pengelolaan barang milik negara; dan
7. penyusunan laporan Museum.

Bagian Tata Usaha terdiri atas:


1. Subbagian Perencanaan dan Tatalaksana;
Subbagian Perencanaan dan Tatalaksana mempunyai tugas melakukan urusan penyusunan
rencana, program, anggaran, dan laporan serta urusan ketatalaksanaan Museum.
2. Subbagian Keuangan dan Kepegawaian;
Subbagian Keuangan dan Kepegawaian mempunyai tugas melakukan urusan keuangan dan
kepegawaian Museum
3. Subbagian Rumahtangga.
Subbagian Rumahtangga mempunyai tugas melakukan urusan persuratan, kearsipan, barang milik
negara, dan kerumahtanggaan Museum.

Bidang Pengkajian dan Pengumpulan mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan


pengumpulan benda bernilai budaya berskala nasional. Dalam melaksanakan tugasnya, Bidang
Pengkajian dan Pengumpulan menyelenggarakan fungsi:
1. pelaksanaan identifikasi benda bernilai budaya berskala nasional;
2. pelaksanaan klasifikasi benda bernilai budaya berskala nasional;
3. pencarian dan pengumpulan benda bernilai budaya berskala nasional;
4. pelaksanaan katalogisasi benda bernilai budaya berskala nasional;
5. penyusunan konsep pemanfaatan benda bernilai budaya berskala nasional; dan
6. fasilitasi di bidang pengkajian dan pengumpulan benda bernilai budaya berskala nasional.
Bidang Pengkajian dan Pengumpulan terdiri atas:
1. Seksi Identifikasi dan Klasifikasi;
Seksi Identifikasi dan Klasifikasi mempunyai tugas melakukan identifikasi dan klasifikasi benda
bernilai budaya berskala nasional.
2. Seksi Pencarian dan Pengumpulan;
Seksi Pencarian dan Pengumpulan mempunyai tugas melakukan pencarian, pengumpulan, dan
fasilitasi pengkajian dan pengumpulan benda bernilai budaya berskala nasional.
3. Seksi Katalogisasi.
Seksi Katalogisasi mempunyai tugas melakukan katalogisasi dan penyusunan konsep
pemanfaatan benda bernilai budaya berskala nasional.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   8
Bidang Perawatan dan Pengawetan mempunyai tugas melaksanakan perawatan dan
pengawetan benda bernilai budaya berskala nasional. Dalam melaksanakan tugasnya, Bidang
Perawatan dan Pengawetan menyelenggarakan fungsi:
1. pelaksanaan observasi kondisi benda bernilai budaya berskala nasional;
2. pelaksanaan uji laboratorium benda bernilai budaya berskala nasional;
3. pelaksanaan perawatan benda bernilai budaya berskala nasional;
4. pelaksanaan pengawetan benda bernilai budaya berskala nasional; dan
5. pelaksanaan pemantauan lingkungan mikro benda bernilai budaya berskala nasional.
Bidang Perawatan dan Pengawetan terdiri atas:
1. Seksi Observasi;
Seksi Observasi mempunyai tugas melakukan pendataan, klasifikasi, dan penentuan penanganan
serta uji laboratorium benda bernilai budaya berskala nasional.
2. Seksi Perawatan;
Seksi Perawatan mempunyai tugas melakukan pembersihan, perbaikan, rekonstruksi, dan
restorasi benda bernilai budaya berskala nasional.
3. Seksi Pengawetan.
Seksi Pengawetan mempunyai tugas melakukan penguatan dan pelapisan serta pemantauan
lingkungan mikro benda bernilai budaya berskala nasional.

Bidang Penyajian dan Publikasi mempunyai tugas melaksanakan perancangan, penyajian dan
publikasi benda bernilai budaya berskala nasional.Dalam melaksanakan tugasnya, Bidang Penyajian
dan Publikasi menyelenggarakan fungsi:
1. pelaksanaan pembuatan rancangan pameran benda bernilai budaya berskala nasional;
2. pelaksanaan pembuatan sarana pameran benda bernilai budaya berskala nasional;
3. pelaksanaan pembuatan replika benda bernilai budaya berskala nasional;
4. pelaksanaan penyajian benda bernilai budaya berskala nasional;
5. pelaksanaan pengamanan benda bernilai budaya berskala nasional; dan
6. pelaksanaan publikasi benda bernilai budaya berskala nasional.
Bidang Penyajian dan Publikasi terdiri atas:
1. Seksi Perancangan;
Seksi Perancangan mempunyai tugas melakukan pembuatan rancangan dan sarana pameran
serta replika benda bernilai budaya berskala nasional.
2. Seksi Penyajian;
Seksi Penyajian mempunyai tugas melakukan penataan, pemajangan, dan pengamanan benda
bernilai budaya berskala nasional.
3. Seksi Publikasi.
Seksi Publikasi mempunyai tugas melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penyebarluasan data
dan informasi benda bernilai budaya berskala nasional.

Bidang Kemitraan dan Promosi mempunyai tugas melaksanakan layanan edukasi, kemitraan,
dan promosi di bidang benda bernilai budaya berskala nasional. Dalam melaksanakan tugasnya,
Bidang Kemitraan dan Promosi menyelenggarakan fungsi:
1. pelaksanaan layanan edukasi benda bernilai budaya berskala nasional;
2. pelaksanaan kemitraan di bidang benda bernilai budaya berskala nasional; dan
3. pelaksanaan promosi benda bernilai budaya berskala nasional.
Bidang Kemitraan dan Promosi terdiri atas:
1. Seksi Layanan Edukasi;
Seksi Layanan Edukasi mempunyai tugas melakukan pemberian layanan edukasi di bidang benda
bernilai budaya berskala nasional.
2. Seksi Kemitraan;
Seksi Kemitraan mempunyai tugas melakukan kemitraan di bidang benda bernilai budaya berskala
nasional.
3. Seksi Promosi.
Seksi Promosi mempunyai tugas melakukan promosi benda bernilai budaya berskala nasional.

Bidang Registrasi dan Dokumentasi mempunyai tugas melaksanakan pencatatan dan


pendokumentasian benda koleksi museum bernilai budaya serta pengelolaan perpustakaan. Dalam
melaksanakan tugasnya, Bidang Registrasi dan Dokumentasi menyelenggarakan fungsi:
1. pencatatan, inventarisasi, dan penghapusan benda koleksi museum bernilai budaya berskala
nasional;
2. pelaksanaan pendokumentasian benda koleksi museum bernilai budaya berskala nasional; dan
3. pengelolaan perpustakaan Museum Nasional.
Bidang Registrasi dan Dokumentasi terdiri atas:

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   9
1. Seksi Registrasi;
Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan pencatatan, inventarisasi, dan penghapusan benda
koleksi museum bernilai budaya berskala nasional.
2. Seksi Dokumentasi;
Seksi Dokumentasi mempunyai tugas melakukan pendokumentasian benda koleksi museum
bernilai budaya berskala nasional.
3. Seksi Perpustakaan.
Seksi Perpustakaan mempunyai tugas melakukan pengelolaan perpustakaan Museum Nasional.

Seluruh tugas yang diatur dalam struktur organisasi tersebut adalah untuk mencapai visi
Museum Nasional yaitu : Museum Kebudayaan Indonesai bertaraf Internasional. Sedangkan misinya
adalah :
1. Memberikan pelayanan prima di bidang pendidikan kebudayaan;
2. Menyelenggarakan pengkajian permuseuman yang berkualitas;
3. Menyajikan informasi koleksi untuk menumbuhkan apresiasi, imajinasi, dan inovasi.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   10
MUSEUM : TUGAS, MANFAAT DAN FUNGSINYA

Menurut musyawarah umum ke XI para ahli permuseuman tingkat internasional yang tergabung
dalam ICOM (International Council of Museums), definisi museum adalah suatu lembaga yang permanen,
yang melayani kepentingan masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk umum, tidak bertujuan mencari
keuntungan, yang mengumpulkan, memelihara, meneliti, memamerkan dan mengkomunikasikan benda-
benda pembuktian material manusia dan lingkungannya, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan rekreasi.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pengertian antara lain bahwa :
a. Museum merupakan lembaga yang tetap dan tidak mencari keuntungan
b. Museum merupakan lembaga yang melayani masyarakat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri,
dalam hal ini museum merupakan sarana sosial budaya
c. Museum memperoleh atau menghimpun barang-barang pembuktian tentang manusia dan
lingkungannya.

A. Tugas Museum
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan museum mempunyai
tugas mengumpulkan, memelihara, meneliti, serta memamerkan dan mengkomunikasikan benda-
benda pembuktian material manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan dan rekreasi.
Benda-benda yang dikumpulkan oleh museum setelah mengalami penanganan khusus dalam
proses pengumpulannya kemudian menjadi koleksi museum. Yang dimaksud dengan koleksi museum
adalah semua jenis benda bukti material hasil budaya manusia, alam dan lingkungannya yang
disimpan dalam museum dan mempunyai nilai bagi pembinaan dan atau pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan, teknologi dan kebudayaan. Ada beberapa cara dalam pengumpulan benda-benda bukti
material hasil budaya alam dan lingkungannya yang dilakukan oleh museum dapat melalui proses
antara lain penemuan, pembelian, hibah, titipan dan sitaan.
Setelah benda-benda tersebut sudah masuk masuk ke museum dalam arti menjadi koleksi
museum tentunya harus dijaga keberadaannya dalam arti dirawat. Perawatan koleksi ini dimaksudkan
untuk menjaga koleksi agar tidak mengalami kerusakan seperti oleh suhu, kelembaban, jamur, insek
(serangga) serta akibat mikro-organisme lainnya. Oleh karena itu dalam merawat koleksi harus selalu
memperhatikan kelembaban, suhu dan pencahayaan (kualitas ultra violet) koleksi yang bersangkutan.
Koleksi museum supaya dapat “berbicara” terhadap pengunjung museum tentunya harus
melalui proses penelitian untuk menguak “misteri” yang ada dari koleksi museum tersebut. Ada
“pesan” apa dibalik koleksi yang ada di museum. Hasil penelitian itu diharapkan dapat membuat
koleksi tersebut dapat “berbicara” tentang jati dirinya. Dalam proses inilah berlangsung adanya
penelitian koleksi museum.
Koleksi museum meski sudah diteliti dengan memakan biaya, waktu dan pikiran yang tidak
sedikit tidak akan bermanfaat apa-apa bila tidak dikomunikasikan kepada masyarakat. Specifikasi
museum yang terbuka untuk umum untuk studi, pendidikan dan rekreasi tidak akan teraktualisasi
sebelum koleksi museum dikomunikasikan. Oleh karenanya pengkomunikasian koleksi museum ini
memegang peranan yang sangat penting. Media paling efektif untuk mengkomunikasikan koleksi
museum adalah dengan penyelenggaraan pameran.
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya tersebut museum didukung oleh berbagai komponen
penggerak kegiatan museum yang beroperasi secara koodinatif dalam satu sistem yang menyatu
dimana komponen penggerak kegiatan museum yang beroperasi secara koodinatif dalam satu sistem
yang menyatu dimana komponen yang satu dengan yang lain saling berkaitan dan saling
mendukung. Komponen-komponen tersebut antara lain :
a. Bagian Ketatausahaan Museum (Administrasi)
Bagian ini menangani kegiatan-kegiatan antara lain surat menyurat, kearsipan, keuangan,
kepegawaian, perlengkapan protokol, kebersihan dan keamanan. Disamping itu ada tugas dari
bagian ini yang memerlukan penanganan khusus adalah perpustakaan museum, pengamanan
museum dan registrasi koleksi museum.
Seorang petugas registrasi koleksi (registrar) mempunyai tugas pokok antara lain :
1. Mencatat keluar masuknya benda-benda, baik yang dianggap calon koleksi museum
maupun yang sudah dijadikan milik museum untuk dijadikan koleksi.
2. Mencatat dalam buku induk registrasi semua benda yang telah menjadi koleksi museum,
sebagai bagian dari seluruh inventaris milik museum tersebut.
3. Turut melakukan pengawasan terhadap gudang studi koleksi dan tempat penyajian koleksi.
b. Bagian/kelompok kerja teknis koleksi (Kurator)
Kurator adalah sebutan bagi petugas yang mengelola koleksi termasuk penyimpanannya di ruang
storage. Tugas pokok dari kelompok ini adalah melaksanakan pengkajian koleksi. Pengkajian
koleksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk. Diantaranya ialah melakukan
pencatatan/pendataan koleksi museum, identifikasi koleksi, klasifikasi koleksi dan katalogisasi

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   11
koleksi museum. Data-data yang terkumpul sebagai hasil identifikasi dan klasifikasi koleksi
menjadi bahan acuan untuk membuat diskripsi koleksi. Dalam proses pembuatan diskripsi koleksi
ini memerlukan orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya. Misalnya untuk
mendiskripsi arca diperlukan seorang ahli ikonografi. Untuk koleksi etnografi diperlukan ahli
antropologi atau etnografi, untuk naskah-naskah lama diperluukan ahli filologi, untuk benda-benda
logam diperlukan seorang hali metalurgi, untuk benda keramik diperlukan ahli keramologi, dan
sebagainya.
c. Bagian Perawatan Koleksi
Bagian ini dalam museum dikenal dengan sebutan kelompok kerja konservasi. Kesehatan koleksi
dan pengamanan koleksi dari kerusakan akibat gangguan iklim dan lingkungan, cahaya,
serangga, micro organisme, pencemaran atmosferik, penanganan koleksi dari bahaya api menjadi
tanggungjawab dari kelompok ini. Orang yang brertugas melakukan pemeliharaan terhadap
koleksi museum dari berbagai macam kerusakan dikenal sebagai konservator.
d. Bagian Penyajian Koleksi
Bagian ini di museum disebut kelompok kerja teknis preparasi. Kelompok kerja teknis preparasi
menangani segala hal teknis penataan pameran yang memerlukan suatu pengetahuan yang
memerlukan fantasi, imajinasi dan ketrampilan teknis serta artistik tertentu. Penyajian koleksi
yang paling efektif di museum adalah dalam bentuk pameran. Ada tiga bentuk pameran, antara
lain pameran tetap (permanent exhibition), pemaran temporer (temporary exhibition), dan
pameran keliling (travelling exhibition). Orang yang bertugas dalam menyiapkan tata pameran di
museum dikenal dengan nama preparator.
e. Bagian Bimbingan Museum
Informasi yang terkandung dalam koleksi-koleksi museum dalam satu penyajian tata pameran
akan lebih komunikatif dengan didukung oleh seorang tenaga bimbingan yang bertugas
menyampaikan informasi tentang koleksi museum pada khususnya dan museum secara makro.
Orang yang bertugas dalam melakukan bimbingan di museum, disebut dengan edukator.
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya komponen-komponen penggerak museum seperti telah
disebutkan di atas diatur dalam satu sistem koordinasi di bawah seorang kepala museum sebagai
seorang yang bertanggung jawab penuh atas terselenggaranya pengelolaan sebuah museum. Dalam
melaksanakan tugas-tugasnya kelompok teknis tersebut (koleksi, preparasi, konservasi dan
bimbingan) secara administratif bertanggungjawab kepada Kepala Tata Usaha. Tetapi secara teknis
operasional bertanggungjawab langsung kepada Kepala Museum.

B. Fungsi Museum
Dari definisi menurut ICOM tentang arti Museum, dapat ditarik pengertian bahwa dari tugas-
tugas yang terbebankan pada museum itu, maka dari itu museum akan berfungsi antara lain sebagai
berikut :
1. Pengumpulan dan pengamanan warisan alam dan budaya
2. Dokumentasi dan penelitian ilmiah
3. Konservasi dan Preservasi
4. Penyebaran dan Pemerataan ilmu untuk umum
5. Pengenalan dan Penghayatan kesenian
6. Pengenalan kebudayaan antar daerah dan antar bangsa
7. Visualisasi warisan alam dan budaya
8. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia
9. Pembangkit rasa bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
Apabila semua jenis museum kita himpun secara multidisipliner, yakni yang ditunjang oleh
cabang-cabang ilmu pengetahuan alam, teknologi, dan ilmu-ilmu pengetahuan alam, terutama bila
metode dan visualisasi bahan-bahan pembuktian alam, manusia dan hasil karyanya, maka
pengunjung diharapkan akan mendapat kesan dan pengertian yang mendalam tentang asal-usulnya
dan ia dapat membanding-bandingkan dirinya yang serba terbatas dalam mengukur kalam Tuhan yang
tak terbatas. Sejarah adalah cermin yang hidup bergerak seperti cerita dan menolong manusia
bermawas diri.

C. Manfaat Museum
Suatu lembaga akan tetap tumbuh dan berkembang di masyarakat apabila ada manfaatnya.
Demikian pula museum sebagai lembaga yang bersifat permanen yang melayani kepentingan
masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk umum, tidak bertujuan mencari keuntungan, yang
mengumpulkan, memelihara, meneliti, memamerkan danmengkomunikasikan benda-benda
pembuktian material manusia dan lingkungannya, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan rekreasi.
Berdasar pada sebuah teorema bahwa museum merupakan sumber informasi bagi para
pengunjungnya maka manfaat museum dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Edukatif

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   12
Manfaat ini dirasa paling dominan oleh pengunjung museum. Dengan mengunjungi museum
seseorang bertambah pengetahuannya terutama berkenaan dengan benda-benda yang
dipamerkan di museum. Seseorang dapat mengetahui perkembangan peradaban di suatu
daerah, atau perkembangan peradaban yang mutakhir lewat koleksi-koleksi museum yang
berkaitan dengan berbagai cabang disiplin ilmu antara lain sejarah, arkeologi, antropologi,
sosiologi, politik, biologi, dll. Atau satu cabang ilmu khusus bagi museum khusus.
2. Inovatif
Dengan berkunjung ke museum seseorang akan mampu menemukan ide baru sehingga
menghasilkan karya baru. Seorang peneliti tidak segan-segan pulang balik ke museum karena
koleksi museum menyita perhatiannya. Dengan mengkaji koleksi yang ada di museum dapat
menghasilkan interpretasi baru, teori baru, dan hal-hal yang baru yang sebelumnya tidak
terpikirkan.
3. Imajinatif
Manfaat ini sangat dirasakan oleh pengunjung yang berjiwa seni. Misalnya seorang pelukis dapat
menjadikan koleksi museum sebagai obyek karya seninya. Atau seorang sutradara film akan
selalu mengunjungi museum sejarah perjuangan guna menumbuhkan imajinasi karyanya dalam
membuat film sejarah agar lebih bermutu.
4. Rekreatif
Dengan mengunjungi museum orang dapat merasa rileks, santai dari kesibukan sehari-harinya.
Rekreasi ini dapat berarti reil (nyata) atau imajinatif. Secara imajinatif pengunjung museum dapat
berekreasi ke masa lampau dengan menyimak koleksi-koleksi yang berasal dari jaman Jepang
misalnya. Dengan keterangan secukupnya tentang koleksi itu, maka dengan imajinasinya
pengunjung akan terbawa ke masa lampau, yaitu jaman Jepang.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   13
MUSEUM SEBAGAI WADAH
PEMELIHARAAN DAN PEMANFAATAN BENDA CAGAR BUDAYA

Perhatian tehadap keberadaan benda-benda cagar budaya sudah dimulai pada masa kolonial. Para
tokoh pelestari cagar budaya masa kolonial sudah mulai menyusun lembaga yang bertugas mengelola
pelestarian benda-benda purbakala. Pada tahun 1901 dibentuklah seubah panitia, yang merupakan badan
sementara yang bertugas di bidang kepurbakalaan. Badan ini dikenal dengan nama “Commissie in
Nederlandsch – Indie voor oudheidkundig onderzoek op Java en Madoera”. Badan tersebut semula
diketuai oleh Dr. J. L. A. Brandes. Badan ini sempat berkarya 5 tahun tanpa ketua, karena wafatnya Dr.
J.L.A. Brandes. Baru tahun 1910, Badan ini memiliki ketua lagi dengan dianggaktnya Dr. N.J. Krom.
Mengingat tugas yang diemban oleh Badan ini cukup berat, maka tidaklah mungkin jika badan ini
hanya bersifat sementara. Maka dibawah kepemimpinan Dr. N.J. Krom, lahirlah jawatan purbakala dengan
nama “Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch – Indie. Jawatan purbakala itu secara resmi berdiri pada
tanggal 14 Juni 1913 berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah tanggal 14 Juni 1913 no. 62. Adapun tugas
dari Jawatan itu adalah menyusun, mendaftar, dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala di
seluruh kepulaua, membuat rencana serta mengambil tindakan-tindakan dari bahaya runtuh lebih lanjut,
melakukan pengukuran dan penggambaran dan selanjutnya melakukan penelitian kepurbakalaan dalam arti
luas, juga dalam bidang epigrafi.
Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman
dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan
demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk menjaga kelestarian benda
cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian,
perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan benda cagar budaya. Pada
masa kolonial Belanda pengaturan tentang benda cagar budaya telah tertuang dalam Monumenten
Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238) yang kemudian diubah dengan
Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515). Namun karena
perkembangan kebijakan yang terjadi maka peraturan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
dewasa ini. Untuk mengatur agar pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya dapat berlangsung
secara maksimal maka pemerintah mengeluarkan UU RI nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang
mulai disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 November 2010.
Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari UU tentang cagar budaya sebelumnya, yaitu
UU RI nomor 5 tahun 1992. UU RI nomor 11 tahun 2010 terdiri dari XIII bab dan 120 pasal. Terkait dengan
cagar budaya, ada beberapa pengertian yang diatur dalam UU tersebut, antara lain
1. Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan
Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat
dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak
bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan
manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan
manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan
prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia
atau bukti kejadian pada masa lalu.
6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau
lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
7. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki
sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan
Cagar Budaya.
8. Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau
satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim
Ahli Cagar Budaya.
9. Cagar Budaya Nasional adalah Cagar Budaya peringkat nasional yang ditetapkan Menteri sebagai
prioritas nasional.
10. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya
sesuai dengan kebutuhan.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   14
11. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau
teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
12. Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta
pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak
bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
13. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai
penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip
pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
14. Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan
kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan
kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.

Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
atau
Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:
1. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
3. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
4. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini. Kepemilikan tersebut dapat diperoleh
melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan,
kecuali yang dikuasai oleh Negara. Warga negara asing dan/atau badan hukum asing tidak dapat memiliki
dan/atau menguasai Cagar Budaya, kecuali warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tinggal
dan menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap orang yang memiliki dan/atau
menguasai Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki
dan/atau dikuasainya rusak, hilang, atau musnah wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di
bidang Kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait.
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya bergerak yang
dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang dapat disimpan dan/atau dirawat di
museum. Mengenai museum ini diatur dalam Peraturan Pemerintah RI nomor 66 tahun 2015 yang
ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 19 Agustus 2015. Ada beberapa hal yang menarik terkait dengan
museum menurut peraturan pemerintah ini, antara lain :
1. Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan
mengomunikasikannya kepada masyarakat.
2. Koleksi Museum yang selanjutnya disebut Koleksi adalah Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya dan/atau Bukan Cagar Budaya yang merupakan bukti material
hasil budaya dan/atau material alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, teknologi, dan/atau pariwisata.
3. Pemilik Museum adalah pemerintah, pemerintah daerah, setiap orang atau masyarakat hukum adat
yang mendirikan museum.
4. Registrasi adalah proses pencatatan dan pendokumentasian Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya atau Bukan Cagar Budaya yang telah ditetapkan menjadi
Koleksi.
5. Inventarisasi adalah kegiatan pencatatan Koleksi ke dalam buku inventaris.
6. Pengelolaan Museum adalah upaya terpadu melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Koleksi
melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat.
7. Pemanfaatan Museum adalah pendayagunaan Koleksi untuk kepentingan sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
8. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah geografis tertentu
yang memiliki perasaan kelompok, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan/benda adat, dan
perangkat norma hukum adat.

Pendirian museum dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan Masyarakat
Hukum Adat. Museum yang didirikan harus memenuhi persyarakatan antara lain :
1. memiliki visi dan misi;
2. memiliki Koleksi;
3. memiliki lokasi dan/atau bangunan;
4. memiliki sumber daya manusia;

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   15
5. memiliki sumber pendanaan tetap; dan
6. memiliki nama Museum.

Kegiatan pencatatan Koleksi di museum meliputi:


a. Registrasi yang dilakukan oleh register; dan
b. Inventarisasi yang dilakukan oleh Kurator.
Registrasi dan Inventarisasi merupakan dokumen Koleksi yang menjadi satu kesatuan dengan Koleksi.

Keberberadaan koleksi museum dapat dihapuskan apabila :


1. rusak;
2. hilang;
3. musnah; dan/atau
4. material atau bahannya membahayakan.

Koleksi yang hilang, baru dapat dihapus keberadaannya di museum setelah tidak dapat diketemukan lagi
lebih dari 6 tahun.

Museum dapat meminjam dan / atau meminjamkan koleksi yang dimilikinya, dengan alasan yang dapat
diptangungjawabkan, antara lain untuk :
a. kepentingan kebudayaan;
b. pengembangan pendidikan dan/atau ilmu pengetahuan;
c. penelitian; dan/atau
d. promosi dan informasi.

Benda cagar budaya yang telah disimpan di museum otomatis menjadi koleksi museum yang akan
mendapat penanganan khusus sebagai benda koleksi yang harus dikaji, dirawat, disajikan untuk dapat
dinikmati oleh pengunjung museum.Untuk menghindari kerusakan, kehilangan, dan atau kemusnahan
benda cagar budaya yang mempunyai risiko kerusakan dan keamanan, nilai bukti ilmiah dan sejarah atau
seni yang nilai ekonominya tingggi dan sangat langka, maka museum dapat membuat tiruannya. Proses
pembuatan tiruan harus dilaporkan kepada menteri dalam hal ini adalah menteri yang berkaitan dengan
bidang kebudayaan.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   16
SELAYANG PANDANG
KOLEKSI MUSEUM NASIONAL

Di Indonesia koleksi museum umum dikelompokkan menjadi 10 jenis koleksi. Pengelompokan itu
didasarkan atas konteks ilmu yang melatarbelakanginya. Adapun 10 jenis koleksi tersebut antara lain :
1. Jenis koleksi Geologika, adalah koleksi museum berupa benda yang menjadi obyek ilmu geologi, antara
lain fosil dan benda-benda bentukan alam lainya (permata, granit, andesit). Contoh koleksi geologika
adalah batu barit.
2. Jenis koleksi Biologika, adalah koleksi museum berupa benda yang menjadi objek penelitian ilmu
biologi, atara lain tengkorak atau rangka manusia, tmbuh-tumbahan dan hewan, misalnya burung di
obset / dikeringkan.
3. Jenis koleksi Etnografika, adalah koleksi museum berupa benda yang menjadi objek penelitiian ilmu
entongrafi. Benda-benda tersebut merupakan hasil budaya atau menggambarkan identitas suatu etnis.
Misalnya anyaman, noken dll.
4. Jenis koleksi Arkeologika, adalah koleksi museum berupa benda yang menjadi objek penelitian
arkeologi. Benda tersebut merupakan hasil peninggalan manusia dari zmaan prasejarah sampai dengan
masuknya pengaruh kebudayaan barat. Bangunan benteng, gua-gua jepang, candi dll.
5. Jenis koleksi Numismatika / Heraldika, benda-benda koleksi museum berupa mata uang / alat tukar yang
sah, terdiri dari mata uang logam dan mata uang kertas. Heraldika adalah setiap tanda jasa, lambang
dan pangkat resmi (termasuk cap / stempel).
6. Jenis koleksi Historika, adalah Koleksi museum yang berupa benda yang bernilai sejarah dan menjadi
obek penelitian sejarah benda bersebut dari sejarah masuknya budaya barat sampai dengan sakarang.
Misalnya senapan larass panjang, meriam, maupun pedang para pejuang.
7. Jenis koleksi Filologika, adalah Koleksi museum yang berupa benda yang menjadi obek penelitian
filologi, misalnya naskah kuno, tulisan tangan yang menguraikan sesuatu hal atau peristiwa.
8. Jenis koleksi Keramologika, adalah koleksi museum yang berupa benda yang dibuat dari bahan tanah
liat bakar (baked clay) berupa pecah belah, misalnya : guci.
9. Jenis koleksi Senirupa, merupakan koleksi museum berupa benda seni yang mengekspresikan
pengalaman artistik melalui objek dua dimensi atau tiga dimensi. Misalnya lukisan, relief, patung, dan
sebagainya.
10. Jenis koleksi Teknologika, koleksi museum berupa benda / kumpulan benda yang menggambarkan
perkembangan teknologi yang menonjol berupa peralatan atau hasil produsi yang dibuat secara massal
oleh suatu industri / pabrik, contoh gramaphone, peralatan tenun, peralatan pemutara film dll.
Pada tahun 1980, semua koleksi bku di Perpustakaan Nasional dipindahkan ke Perpustakaan
Nasional di Jl. Salemba Raya. Pada tahun 1989, koleksi naskah menyusul dipindahkan ke Perpustakaan
Nasional, dan kemudian pada tahun 1998, semua koleksi seni rupa dipindahkan ke Galeri Nasional di
Jalan Merdeka Timur.
Museum Nasional sebagai museum umum, tentunya memiliki otoritas untuk mengelola koleksi-
koleksi yang terkait dengan berbagai macam ilmu pengetahuan tersebut. Beberapa koleksi yang dikelola
oleh Museum Nasional, ada yang dimasukkan dalam kategori koleksi unggulan. Adapun koleksi-koleksi
unggulan tersebut antara lain :
1. Koleksi Prasejarah
Prasejarah merupakan masa dimana manusia belum mengenal tulisan, sehingga sering dikenal
dengan nama jaman Nirleka (Nir = tanpa, Leka = tulisan). Di Indonesia, masa prasejarah dimulai sejak
keberadaan manusia sekitar 1,5 juta tahun yang lalu hingga dikenalnya tradisi tulisan pada abad ke 5
masehi, yaitu ketika ditemukanya prasasti Yupa di Kutai Kalimantan Timur. Peninggalan-peninggalan
pada masa prasejarah ini berupa fosil, tulang belulang manusia dan binatang serta artefak. Aratefak
adalah benda-benda yang pernah dibuat manusia atau dipakai sebagai alat oleh manusia. Secara
umum, masa prasejarah dapat dibagi menjadi 2 jaman, yaitu jaman batu dan jaman logam. Jaman batu
menghasilkan artefak paleolitik dan mesolitik (untuk berburu dan mengumpulkan makan), neolitik
(untuk bercocok tanam). Jaman logam menghasilkan artefak perunggu dan besi. Beberapa koleksi
benda-benda masa prasejarah Museum Nasional antara lain :
a. Replika Tengkorak Homo Wajakensis
Tengkorak aslinya ditemukan di daerah Wajak, Jawa Timur, tepatnya di ceruk lereng pegunungan
karst dekat Tulung Agung. Tengkorak tersebut ditemukan oleh B.D. van Rietschoten pada tahun
1889. Volume otak tengkorak ini sekitar 1630 cc, jadi lebih besar dari Pithecantropus Erectus. Wajak
kedua ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama berupa fragmen
tekorak, rahang atas dan bawah, tulang kering, serta tulang paha. Karena ditemukan di Wajak, dan
tergolong jenis Homo Sapiens, maka kemudian dikenal dengan Homo Wajakensis atau “manusia
dari Wajak”. Manusia purba jenis ini diperkirakan hidup antara 40.000 – 25.000 tahun yang lalu,
pada lapisan Pleistosen Atas. Makanannya sudah dimasak walaupun masih sangat sederhana.
Tengkorak Homo Wajakensis memiliki banyak persamaan dengan tengkorak penduduk asli

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   17
Australia, Aborigin. Oleh karena itu, Eugene Dubois menduga bahwa Homo WajakensIs termasuk
dalam ras Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan menurunkan bangsa Aborigin. Fosil
Homo Wajakensis juga memiliki kesamaan dengan fosil manusia Niah di Serawak Malaysia,
manusia Tabon di Palawan, Filipina, dan fosil-fosil Australoid dari Cina Selatan, dan Australia
Selatan.
b. Kapak Genggam
Kapak genggam adalah sebuah batu yang merip dengan kapak namun tidak bertangkai, dan cara
menggunakannya adalah dengan digenggam. Kapak model seperti ini juga dikenal dengan nama
Kapak Perimbas, dan dalam ilmu prasejarah disebut chopper yang berarti alat penetak. Kapak
genggam ini pernah ditemukan oleh Gustav Heinrich Ralph von Konigswald (GHR. Von
Koenigswald) pada tahun 1935 di Pacitan Jawa Timur. Biasanya, sebuah kapak genggam terbuat
dari batu gamping. Batu dipahat memanjang atau diserpih sehingga bentuknya lonjong. Kapak
genggam biasanya digunakan untuk menumbuk biji-bijian, membuat serat-serta dari pepohonan,
membunuh binatang, dan sebagai senjata menyerang lawannya.
Dari hasil penelitian, kapak jenis ini berasal dari lapisan Trinil, yaitu masa Pleistosin Tengah.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pendukung dari kebudayaan kapak genggam adalah
manusia Pithecanthropus Erectus. Sebaran kapak genggam selain di Pacitan Jawa Timur ada di
Jampang Kulon, Parigi Jawat Timur, Tambah Sawat, Lahat, Kali Anda Sumatra, Awangbangkal
Kalimantan, Cabenge Sulawesi, Sembiran dan Terunyan Bali. Selain di Indonesia, kapak genggam
juga ditemukan di Peking Tiongkok pada goa-goa Choukoutien. Di Peking juga ditemukan fosil yang
mirip Pithecanthropus Erectus, yang kemudian disebut Sinanthropus Pekinensis (Manusia Peking).
c. Belincung
Belincung merupakan variasi dari kapak persegi. Belincung merupakan kapak punggung tinggi,
karena bentuk punggung tersebut penamping lintang berbentuk segitiga, segi lima, atau setengah
lingkaran. Penamanaan kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern, atas dasar penampang
lintangya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak ini terdiri dari berbagai
ukuran. Yang berukuran besar lazim dikenal dengan nama beliung / belincung dan berfungsi
sebagai cangkul alat bercocok tanam. Sedangkan yang kecuil disebut tarah / tatah dan berfungsi
sebagai alat pahat untuk mengerjakan kayu.
Belincung dan kapak pada umunya dibuat dari jenis batuan setengah permata dan tergolong
benda yang terindah dalam perbendaharaan kapak-kapak batu di dunia. Variasi ini (belincung)
banyak ditemukan di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Bali. Di semenanjung Malaya, belincung juga
ditemukan dan dikenal dengan nama Kapak Paruh. Jenis kapak yang berpenampang lintang
setengah lingkaran dengan garis dasar leibh kurang cekung itu oleh Heekeren digolongkan sebagai
jenis “kapak perisai”, karena bentuknya menyerupai perisai lonjong.
Belincung biasanya terbuat dari batu kalsedon (batu api), agathe, maupun yasper yang
atasnya (bidang distal) melengkung, sedang bidang bawanya (bidang proximal) sedikit melengkung.
Biasanya bagian pangkal lebil kecil dari pada bagian ujungnya. Selain dari kalsedon, belincung juga
dibuat dari batu biasa. Bagian ujungya disebut juga bagian tajaman, digosok atau diasah pada
bagian sisi bawah (bidang proximal saja). Nampaknya pada masa itu sudah ada spesialisasi dalam
masyarakat. Ada masyarakat yang hanya membuat belincung / beliung tanpa digosok dan masih
dalam bentuk kasaran. Kemudian dibawa di tempat lain untuk dihaluskan. Tempat-tempat
pembuatan kapak beliung / belincung yang masih kasar tersebut dinamakan atelier. Beberapa
atelier ditemukan di Punung, Jawa Timur, dan Pasir Kuda (Jawa Barat). Melihat belincung ada yang
dibuat dari batu api atau batu kalsedon merupakan batu setengah permata, maka diduga belincung
tersebut merupakan alat yang dipakai pada upacara keagaman, azimat atau tanda kebesaran. Hal
ini terlihat dari beberapa temuan, belincung tidak ada tanda-tanda bekas penggunaan. Belincung
berkembang pada masa neolitikum, dimana peralatan batu sudah mulai dihaluskan.
d. Fosil Kerang
Kjokkenmodinger (bahasa Denmark) adalah sebutan bukit kerang yang disebabkan dari
penumpukkan kulit-kulit kerang sebagai limbah makanan komunitas prasejarah di masa Mesolitik.
Keberadaan Kjokkenmoddinger ini diteliti oleh Dr. P.V. van Stein Callenfels pada tahun 1925 dan
meurut penelitian bahwa kehidupan manusia pada waktu itu bergantung pada hasil menangkap
siput dan kerang. Pada masa mesolitik, berdasarkan rangka manusia yang ditemukan di beberapa
wilayah Sumatera diketahui bahwa mereka menetap di gua-gua dekat sungai atau di pesisir pantai.
Tempat tinggal mereka ini menjadikan komunitas masa itu mengkonsumsi makanan laut (sea food)
dan kerang menjadi makanan utamanya.
e. Kendi
Kendi berbahan tanah liat yang dibakar, ditemukan di Melolo, Sumba Timur, Nusat Tenggara Timur,
diperkirakan berasal dari masa perundagian. Kendi ini merupakan salah satu bekal kubur yang
ditemukan di komplek pekuburan tempayan di desa Melolo, sumba Timur Nusa Tenggara Timur ,
yang dibawa oleh Rodenwaldt tahun 1923 ke museum. Benda-benda lain yang ditemukan bersama
dengan kendi antara lain jimat berbentuk kepala babi, gelang kerang, manik-manik dan lain-lain

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   18
yang ditemukan dalam sebuah tempayan besar bersma-sama dengan rangka manusia.
Penguburan dalam tempayan biasanya dilakukan hanya untuk orang-orang penting saja dan
umumnya merupakan penguburan kedua (secondary burial).
Pada umumnya kendi-kendi yang diketemukan dalam tempayan-tempayan di keomplek pekuburan
tersebut mempunyai lukisan muka (wajah) menuasia pada pegangan atau leher kendi, ang diduga
menggambarkan arwah nenek moyang. Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa pada
masa itu sudah terdapat kepercdayaanyang berupa pemujaan arawah nenek moyang. Mereka
melakukannya agar mendapatkan keselamatan di dunia.
f. Arca Kerbau
Arca Kerbau berbahan perunggu koleksi Museum Nasional, di temukan di Limbangan, Bandung,
Jawa Barat. Dalam masa prasejarah kerbau merupakan binatang yang dihormati dan pipuja dan
bahkan sampai sekarang binatang ini dianggap memiliki kekuatan gaib. Contohnya dapat dilihat
ketika dalam sebuah pembangunan gedung ada penanaman kepala kerbau. Rupanya pemujaan
terhadap binatang ini sudah berkembang pada masa bercocok tanam dan mencapai puncaknya
pada masa perundagian. Hal ini terbukti adanya peninggalan-peninggalan, terutama megalitik, yang
berupa lukisan, pahatan dari acra dari binatang ini. Karena jasanya yang besar pada manusia masa
itu, maka binatang ini menjai binatang pujaan. Dalam perkembangan selanjutnya lukisan atau arca
yang bertendensi pemujaan pada binatang ini hidup terus, bahkan pada daerah-daerah yang masih
melanjutkan tradisi megalitik, bahyak dijumpai lukisan ataupun arca kerbau. Menurut van Heekeren
kemungkinan arca-arca ini dipergunakan sebagai ajimant, untuk melindungi binatang ternak dan
membuat benatang ternak menjadi subur.
g. Kapak Upacara
Salah satu kapak upacara koleksi Museum Nasional adalah kapak upacara yang ditemukan dari
Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Bahan perunggu dengan ukuran tinggi 70,5 cm, Lebar 45 cm,
lebar lehar 28,8 cm. Kapak ini diperkirakan berasal dari masa perundagian. Kapak ini digunakan
sebagai kapak upacara tertentu guna menolak bahaya. Topeng yang digambarkan pada benda-
benda upacara diinterpretasikan sebagai pelindung dalam mengahadapi bahaya dari luar.
Kapak upacara yang lain ditmukan di Pulau Rote, Nusa Teggaran Timur. Kapak ini ditemukan di
desa Landu, Pulau Rote Utara pada tahun 1875 dan kemudian disumbangkan ke Museum
Nasional. Dari bentuknya dapat diketahui bahwa kapak ini tidak digunakan untuk kegiatan sehari-
hari. Bentuk tangkainya panjang melengkung pada pangkalnya terdapat bulatan yang menyerupai
cakram yang bergerigi. Di cakram tadi melekat kapak bundar besar yang dihiasi dengan lukisan
topeng yang memaki hiasan kepala. Hiasan kepala topeng tadi mirip dengan hiasan kepala boneka
Cili dari Bali. Pada ujung tangkai kapak yang panjang terdapat hiasan yag menyerupak sumping
penari. Tipe Kapak Rote ini, hanya ditemukan 3 buah, satu diantaranya terbakar pada pameran
Paris, tahun 1931.

2. Koleksi Arkeologi
Koleksi arkeologi meliputi benda-benda budaya hasil kegiatan manusia dari masa Hindu-
Buddha dan lebih dikenal dengan sebutan masa Klasik Indonesia. Masa ini berlangsung dari awal abad
ke 5 – 15 Masehi, dimana berkembang kebudayaan lokal yang dipengaruhi oleh kebudayaan India.
Beberapa koleksi benda-benda arkeolgi Museum Nasional antara lain :
a. Genta Pendeta
Koleksi genta pendeta berbahan perunggu dan berukuran tinggi 28,8 cm, diameter 16 cm.
Diperkirakan berasal dari abad 9 -10 M dan ditemukan di Desa Bibul, Jampang Wetan, Cianjur,
Jawa Barat. Pada genta tersebut bagian atasnya dihias dengan wajra berujung lima. Dasar wajra
dihias dengan daun bunga teratai dan hiasan bungga dan daun-daunan. Wajra adalah lambang
petir yang merupakan senjata dari Dewa Indra, yang merupakan atribut dewa-dewa Hindu maupun
Budha. Wajra dianggap dapat mengusir pengaruh roh jahat. Genta ini mempunya anak genta, dan
dipergunakan oleh pendeta pada waktu upacara.
b. Buddha
Arcah Buddha koleksi Museum Nasional berbahan pernggu dengan ukuran lebar 42 cm, tebal 18
cm. ditemukan di Sikendong, Sulawesi. Arca ini digambarkan berdiri, bagian kaki sebatas paha dan
kedua tangannya patah dan hilang. Diperkirakan tangah kanan bersikap abhayamudra, yaitu
menolak bahaya. Tangan kiri memegang ujung jubah. Jubah menutupi bahu kiri, tipis berlipit-lipit.
Lipatan jubah yang demikian ini menunjukkan ciri kesenian Amarawati yang berkembang di India
Selatan pada abad ke 2 – 5 M. Menurut A.J. Bernet Kempers mengatakan bahwa arca ini mungkin
diimport dari India Selatan, yaitu Amarawati, dan berasal dari abad 2-5 M. Sedangkan Ahli lain
memperkirakan arca ini berasal dari seni arca di Ceylon kira-kira abad 8 M. Buddha yang serupa ini
juga diketemukan di Dongdoung (Vietnam Selatan). Di duga arca ini adalah Buddha Dipankara
yaitu dewa pelindung para pelaut.
c. Bejana Zodiak

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   19
Bejana Zodiak merupaka koleksi Museum Nasional yang diteukan di Wonojoyo, Sukrejo, Kediri,
Jawa Timur. Bahan perunggu dengan ukuran tinggi 14, 3 cm, diameter 12,8 cm dan berasal dari
abad ke 14 M. Dipakai sebagai tempat air suci, dan dihiasi dengan gambar-gambar tanda
perbintangan (astronomi). Banyak ditemukan di daerah pegunungn Tengger, Jawa Timur. Bejana
tersebut dipergunakan dalam suatu upacara keagamaan tertentu. Kecuali tanda-tanda
perbintangan digambarkan juga beberapa figur dari para leluhur. Pada waktu itu rupa-rupanya tata
surya sudah diperhatikan oleh kaum tani guna keperluan memperhitungkan musim untuk
mengerjakan sawahnya. Di jaman Indonesia kuno gamar-gambar binatang lambang perbintangan
tersebut diberi nama dalam bahasa Sansekerta. Dibali nama-nama Sansekerta ini masih dipakai.
Pada periode yang lebih muda digunakan nama-nama dalam bahasa Arab. Nama-nama binatang
lambang perbintangan itu ialah :

No Inggris Sanskrit Latin No Inggris Sanskrit Latin


1 The Ram Mesa Aries 7 The Scales Tula Libra
2 The Bull Resabha Taurus 8 The Vrsika Scorpio
Scorpion
3 The Twins Mithuna Gemini 9 The Archer Dhanuh Sagitarius
4 The Crap Karkataka Cancer 10 The Goat Makara Capricorn
5 The Lion Singha Leo 11 The Sater Kumbha Aquarius
Cancer
6 The Virgin Kanya Virgo 12 The Fish Mina Pisces

d. Siwa Mahadewa
Arca Siwa Mahadewa koleksi Museum Nasional berbahan perunggu dengan ukuran tinggi 96 cm.
Ditemukan di Sungai Wadas, Adiwarna, Tegal, Jawa Tengah dan diperkirakan berasal dari abad 9-
10 M. Dewa Siwa di Indonesia dipuja dala berbagai fungsi. Denan demikian Siwa mempunyai
bermacam-macam bentuk sesuai dengan fungsi waktu dipujanya. Sebagai Mahadewa, Siwa
merupakan dewa tertinggi, digambarkan berdiri, bertangan empat, tangan belakang kiri memegang
kebut lalat, tangan depatan kiri memegang sebuah kendi. Bermahkota tinggi yang dihias dengan
candra kapala. Memakai tali kasta (upavita) berbentuk ular yang kepalanya telah rusak. Kainnya
bergambar kulit dan kepala harimau. Kedua mata dan mata ketiga pada dahi bertatahkan perak,
sedangkan bibir bahwahnya berlapiskan emas. Arca ini merupakan salah satu contah terindah dari
hasil kary seni Indonesia kuno. Diketemukan di dalam sebuah sunyga dalan boleh dikatakan cukup
utuh.
e. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur merupakan prasasti yang berupa tiang batu bersurat dengan tinggi sekitar 176
cm. Prasasti ini ditulis dengan huruf palawa dan berbasa Melayu Kuna serta berangka tahun 608
saka (28 April 686 M). Prasasti tersebut dikenal juga dengan nama Prasasti Sriwijaya IV. Berisi
tentang sumpah dan kutukan bagi mereka yang tidak patuh dan setia kepada raja. Prasasti
diketemukan di Sungai Menduk, Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama Kota Kapur,
dan merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti itu ditemukan oleh
J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti pertama yang
diketemukan mengenai Kerajaan Sriwijaya.
Setelah ditemukan, selanjutnya prasasti tersebut mulai diteliti dan dianalisis. Orang yang pertama
kali melakukan analisis terhadap prasasti ini adalah H. Kern seorang seorang ahli epigrafi
berbangsa Belanda yang bekerja di “Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen” di
Batavia. Analisa semula oleh H. Kern, bahwa Sriwijaya dikira nama seorang raja. Namun atas jasa
seorang arkeolog dan juga sejarawan Perancis yang mengkhususkan diri diwilauah Asia Tenggara,
bernama George Coedes, rahasia nama Sriwijaya terungkap bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah
kerajaan di Sumatra pada abad ke 7 Masehi.
f. Prajnaparamita
Prajnaparamita adalah sebuah arca batu yang berukuran tinggi 126 cm. Arca ini ditemukan di
reruntuhan Cungkup Putri dekat Candi Singhasari, Malang Jawa Timur. Diperkirakan arca ini ada
pada pada abad ke 13 Masehi. Prajnaparamaita adalah Dewi Kebijaksanaan, kebajikan dan juga
merupakan lambang ilmu pengetahuan yang sempurna. Masyarakat lebih mengenal arca ini
sebagai perwujudan dari Ken Dedes. Akan tetapi ahli arkeologi sekarang menafsirkan sebagai
perwujudan dari Rajapatni Gayatri, yaitu salah satu Raden Wijaya yang merupakan raja pertama
(pendiri) kerajaan Majapahit, Jawa Timur. Arca ini pertama kali diketahui pertama kali oleh D.
Monnereau seorang aparat Hindia Belanda kurang lebih tahun 1819. Pada tahun 1820 dia
memberikan arca ini kepada C.G.C. Reinwardt, yang kemudian memboyongnya ke Belanda dan
akhirnya arca ini menjadi koleksi Rijksmuseum voor Volkenkunde di Kota Leiden. Pada bulan
Januari 1978 Rijksmuseum voor Volkenkunde (Museum Nasional untuk Etnologi) memgembalikan
arca ini kepada Indonesia, dan ditemputkan di Museum Nasional Jakarta.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   20
g. Temuan Wonoboyo
Temuan Wonoboyo merupakan temuan arkeologi penting, yang beruapa artefak emas dan perak
yang diperkirakan berasal dari abad ke 9 masa Kerajaan Medang (Kerajaan Mataram Kuno) di
Jawa Tengah. Benda-benda tersebut diketemukan pada tanggal 7 Oktober 1990 di Dusun
Plosokuning, Desa Wonoboyo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, tidak jauh dari komplek Candi
Prambanan. Benda tersebut diketemukan oleh Witomoharjo dan 5 orang temannya di tanah sawah
milik Ny. Cipto Suwarno. Ketika ditemukan benda-benda tersebut berada dalam sebuah guci besar
keramik China.
Berdasarkan Prasasti Mantyasih tahun 907 yang dibuat oleh Dyah Balitung, disebutkan bahwa raja
pertama Kerajaan Medang (yang waktu itu itu beribukota di Poh Pitu / daerah Kedu), adalah Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya. Namun pada umumnya para sejarawah menyebut ada 3 dinasti yang
pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Dinasti / Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra untuk
periode Jawa Tengah, dan Wangsa Isyana untuk periode Jawa Timur. Dinasti Sanjaya menganut
agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai
Panangkaran (Pengganti Sanjaya sekitar tahun 770), kekuasaan Medang direbut oleh Wangsa
Syailendra yang beragama Budha Mahayana. Menurut terori Bosch, nama raja-rja Medang dalam
Prasasti Mantyasih dinggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sedangkan
menurut Slamet Myuljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran
sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa
Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna
“penguasa di”. Jadi gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan penguasa di Panangkaran,
nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana. Slamet Muljana
mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai dengan Rakai Garung dengan nama-nama raja
Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratunga.
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul
pada periode Jawa Timur. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di
Tamwlang. Perpindahan kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur ini, menurut teori van
Bammelen dikarenakan terjadinya bencana alam meletusny Gunung Merapi. Konon sebagian
puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan,
yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan
tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.
h. Manjusri Sikhadara
Manjusri Sikhadara merupakan arca koleksi Museum Nasional yang berbahan perak yang
ditemukan di Ngemplak, Semongan, Semarang, Jawa Tengah berukurang 29 x 16 x 16 cm.
Diperkirakan arca tersebut berasal dari awal abad ke 10 Masehi. Koleksi ini ditemukan tahun 1927.
Di dalam seni arca, bentuk Manjusri ada dua macam yaitu Majusri Sikhadhara dan Khagarba.
Manjusri Khagarbha digambarkan membawa pedang yang diacungkan ke atas siap untuk
memotong segala kegelapan dan kesalahan. Sedangkan Manjusri Sikhadara dilukiskan duduk
dalam sikap lalita-asana. Bertangan dua, tanagan kanan bersikap warada-mudra : yaitu telapak
tangannya menghadap ke atas. Sikap tangan seperti ini mempunyai arti memberikan sesuatu.
Telapak tersebut dihias dengan goresan silang. Tangan kiri memegang bunga teratai ungu setengah
terbuka (utpala), di atasnya terletak sebuah buku yang berarti pencerahan yang benar. Leher
berlekuk tiga merupakan lekuk kebahagiaan. Pada kaki terdapat pecahan lempengan perak yang
bersii inskripsi huruf Pre-Nagari. Dari bentuk hurufnya dapat diperkirakan bahwa tulisan ini berasal
dari abad 10 M. Hiasan mahkota dan gaya dari arca ini sama dengan gaya arca dari kesenian India
Timur Laut yaitu kesenian pada jaman Kerajaan Pala.
i. Mukhalingga
Mukhalingga merupakan salah satu koleksi arkeologi Museum Nasional yang diketemukan di
Singasari, Jawa Timur. Lingga tersebut berbahan batu dan diperkirakan berasal dari tahun 1361 M.
Lingga tersebut berhiaskan wajah Kala atau Bhoma. Kala sering dipahatkan pada bagian atas pintu
candi Hindu yang fungsinya sebagai penjaga atau penolak bahaya. Di atas kepala kala terdapat
angka tahun 1283 Saka atau 1361 Masehi.

3. Koleksi Numismatik, Heraldik dan Keramik


Koleksi numismatik terdiri dari benda-benda seperti koin, uang kerta dan token yang pernah
beredar dan digunakan oleh masyarakat, di sampint itu juga terdapat alat cetak uang. Koleksi
numismatik Museum Nasional sebagian besar berasal dari masa kerajaan-kerajaan Indonesia kuno,
masa kolonial (Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang) hingga masa Kemerdekaan. Selain koleksi
numismati dari dalam negeri, juga terdapat koleksi numismatik yang berasal dari negara-negara di
benua Asia, Eropa, Afrika, Amerika dan Ausralia. Sedakan koleksi heraldik yang dimiliki oleh museum
nasional adalah lambang-lambang seperti medali / tanda jasa, cap / stempel, dan amulet.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   21
Keramik adalah benda yang terbuat dari tanah liat, bahan batuan dan porselin yang dibakar
dengan suhu tinggi maupun rendah. Koleksi keramik kuno di Museum Nasional yang terbanyak berasal
dari Cina, dari masa dinasti Han (206 SM – 220 M) sampai dengan masa dinasti terakhir, yaitu dinasti
Qing (1644-1912). Lainnya berasal dari Vietnam (abad 14 – 16 M), Thailad (abad 14 – 16), Jepang
(abad 17 – 19 M) Timur Tengah (18 – 19 M),dan Eropa (abad 17 – 19 M).
Ditemukannya keramik tersebut, menunjukkan bahwa pada masa iu bangsa Indonesia telah
mengadakan hubungan dengan bangsa lain. Ada kemungkinan keramik menjadi alat tukar menukar
barang (barter). Selain dalam dunia perdagangan, keramik diduga pula datang ke Indonesia sebagai
hadiah, upeti atau barang bawaan.
a. Uang Gobog
Koleksi uang gobog milik Museum Nasional berukuran diameter 94,20 m teal 3,60 mm dan berat
152 gr. Uang ini berasl dari jaman Kerajaan Majapahit. Uang gobog adalah mata uang tembaga.
Dalam uang gobog ini terdapat relief yang menggambarkan cerita mengenai Damarwulan. Uang
gobog lebih dikenal sebagai jimat atau benda sajian upacara.
b. Uang Kepeng
Uang kepeng milik Museum Nasional ditemukan di Banten, Jawa Barat dengan diameter 52,45 mm
tebal 0,85 mm dan berat 3,5 gr dan berbahan tembaga. Mata uang tembaga ini disebut kepeng. Di
bagian tengah berlobang segi lima. Sekitar lobang itu terdapat tulisan berhuruf Arab : Pangeran
Ratu Ing Banten (Putera Mahkota Ratu di Banten). Kemudian di sisi belakang tidak bertuliskan.
Jenis mata uang ini diedarkan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Muhammad sebagai
Sultan Banten (1580-1596), yang bergelar Pangeran Ratu ing Banten. Beliau meninggal dunia
pada saat ekpedisi di Sumatra ntuk merebut pelabuhan di Selat Malaka.
c. Uang Mass
Uang Mass koleksi Museum Nasional berasal dari Kasultanan Aceh, Daerah Istimewa Aceh. Mata
uang emas ini pertama menunjukkan sisi depan yang bertuliskan huruf Arab, yang berbunyi Paduka
Sri Sultanah Taj Alam Sah, sedangkan pada sisi belakang bertulisan Qafiat Ad-Din Berdaulat Sah.
Mata uang ini diedarkan pada masa pamerintahan Sultanah Taj Alam yang memakai gelar Sri
Sultan Tajul Alam Safiattudin Sah Berdaulat Sillulahi Fialam binti Sultan Raja Iskandar Muda
Johan Berdaulat. Beliau memerintah Aceh dari tahun 1641 – 1675. Beliau menggantikan suaminya
di singgasana setelah suaminya meninggal. Suaminya berama Sultan Iskandar Thani Allaudin
Mughayat Sah. Sultanah Taj Alam Sah adalah putri Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam yang
terkenal, yang bertahta pada awal kegiatan VOC di Indonesia. Belau sanggup mempersatukan
rakyat dan memajukan perekonoma dan kemakmuran Aceh. Beliau juga
mengembangkanhubungan antara Aceh dan negara-negara Islam di luar Indonesia. Ia berusha
keras menentang orang Portugis yang memonopoli perdagangan di sepanjang Selat Malaka.
Sultanah Taj Alam adalah wanita pertama yang menduduki tahta kerajaan Aceh. Mata uang emas
beredar di Aceh dan sejak abad ke 13 telah digunakan dalam perdagangan dengan orang-orang
Arab dan Turki.
d. Uang Dinara (Jingara)
Mata uang Dinara koleksi Museum Nasional berasal dari Kerajaan Goa Sulawesi Selatan. Mata
uang ini terbuat dari perak. Di sisi depat bertulisaan huruf Arab yang berbunyi “Khalidullah Malik Wa
Sultan Amir”, sedangkan pada sisi belakang bertuliskan Assultan Hasanuddin. Mata uang Dinara ini
dicetak pada masa pemerintahan Sultan Amir Hamzah pada tahun 1669. Sultan Amir Hamzah
adalah keturunan Sultan Hasanuddin yang terkenal karena keuletannya melawan VOC. Untuk
penghormatannya, namana dicantumkan di setiap mata uang yang dicetak oleh Sultan Goa. Goa
menempati suatu peranan penting sebagau suatu pusat perdagangan bagi pedagang-pedagang
dari Maluku dan saudagar-saudaragar asing.
e. Uang Tekstil (Kampua)
Koleksi Museum Nasional berupa Uang Tekstil (Kampua) berasal dari Kerajaan Buton Sulawesi
Tenggara. Jenis uang ini terbuat dari sehelai kecil tenunan kasar empat persegi panjang. Tagam
hias dan warna diubah setiap tahun. Tenunan dibuat oleh para putri istana, coraknya setiap tahun
diganti untuk mencegah pemalsuan. Pemesan tenunan diatur oleh Mantri Besar. Kampua tidak
hanya beredar di Buton dan pulau-pulau sekitarnya, tetapi juga sampi ke Maluku. Kemungkinan
uang ini masih digunakan hingga awal abad 20.
f. Uang Real Batu
Koleksi Museum Nasional berupa uang real batu diketemukan di Kerajaan Sumenep Jawa Timur.
Bentuk mata uang adalah persegi empat dan terbuat dari perak. Pada sisi depan terlukis sebuah
puri dan seekor singa diantara garis silang. Di sudut kanan atas ada cap dengan huruf arab :
Sumenep. Sisi belakang memperlihatkan lambang kerajaan Spanyol diantara nomor 8 dan huruf
OMP. Real batu beredar di daerah-daerah dibawah kasultanan Sumenep pada sekitar abad 19.
Mata uang tersebut adalah mata uang Spanyol yang dicap dengan tanda pengenal baru.
g. Uang Dukaton

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   22
Koleksi Museum Nasional berupa uang dukaton berasal dari Belanda. Mata dukaton merupakan
mata uang bulat yang terbuat dari perak. Sisi muka dari mata uang tampak ksatria menunggang
kuda, menghadap ke kanan. Tangan kanannya memegang sebilan pedang dan tangan kirinya
memegang tali kekang kuda. Diabwah gambar itu tampak lambang pemerintaan propinsi Frisia
Barat melukiskan dua ekor singa berdiri menghadap ke sebelah kiri. Disisi kanan dari atas ke
bawawah terdapat huruf MO (neta), NO (va), ARG (entea), GONFOE (deratarum), sedangkan pada
sisi kiri terdapat huruf – huruf BELG (icarum), PRO (vinciarum), WEST (risia). Terjemahan
bebasnya : Mata uang perak bar dari kesatuan Propinsi Belgia Frisia Barat.
Di atas pedang digambarkan sebuah kapal – herring, yaitu sejenis kapal untk menangkap ikan
heering, yang merupakan suatu tanda khusus dari pencetak Pieter Buyseken dari kota Medemlik.
Sisi belakang di bagian tengah memperlihatkan lambang pemerintah Staten General. Di bagian
bawah terdapat angka tahun 1774. Di seblelah kanan terdapat kata CONCORDIA, dibawah terdapat
kata RES PARVAE, dan di sebelah kiri daerai kata CRESCUNT. Terjemahannya berbunyi : Dengan
kesepakatan hal-hal kecil tumbuh. Dukaton digunakan oleh VOC di Indonesia sebagai alat
pembayaran sah. Mereka memperkenalkan mata uang yang dicetak indah yang terbuat dari emas
dan perak untuk menarik perhatian pimpinan-pimpinan suku bangsa.
h. Uang Gulden
Koleksi uang Gulden milik Museum Nasional berbahan kertas asal Belanda panjang 13,8 cm leber
7,5 cm berasal dari tahun 1939. Uang ini mempunyai nilai nominal 5 gulden. Sisi muka terdapat
gambar penari wayang dan tulisan De Javasche Bank. Bank tersebut merupakan bank milik Belanda
yang diubah menjadi milik Indonesia pada tahun 1952 oleh Syafrudin Prawiranegara, yang
kemudian menjadi Gubernur BI yang pertama.
i. Medali “Bataviasche Genootschap”
Koleksi medali ini berbahan peran berlapis emas, asal dari Belanda. Berasal dari tahun 1878
denganukuran diameter 40,7 mm, tebal 2,5 mm denga berat 20 gr. Medal ini merupakan
peringatan 100 tahun berdirinya lembaga masyarakat Belanda Batavia Genootschap 24 April 1778
– 1878.
j. Uang Doit
Koleksi Museum Nasional berupa uang Doit berbahan emas dan dicetak di Hoorn, West Frisia,
Belanda. Diperkirakan berasal dari tahun 1731 N. Uang tersebut berukuran diameter 15,86 mm dan
tebal 0,9 mm serta berat 3,7 gr. Uang ini berlaku pada masa pemeritahan VOC (Vereenigde Oos
Indische Compagnie) di Indonesia.
k. Uang Sen
Koleksi Uang Sen milik Museum Nasional berbahan aluminium. Uang ini berukuran diameter 26
mm, tebal 1,63 mm dan berat 2,32 gr. Uang ini ditemukan di Irian Jaya (Papua), Indonesia pada
tahun 1962. Uan ini khusus beredar di wilayah Papua yang dahulunya bernama Irian Barat untuk
menggantikan peredaran uang Gulden pada waktu Belana masih menduduki wilauah itu (dulu
bernama Nederlands Niew Guinea).
l. Piring
Koleksi Museum Nasional berupa piring dibuat di Cina (Dinasti Yuan, abad 14 M). Koleksi berbahan
porselin ini ditemukan di Halmahera, Maluku Utara. Hiasan warta biru putih dibawah glasir, motif 8
benda berharga Tao, bunga peoni, burung Hong, dan ombak air. Di duga di masa lalu termasuk
salah satu barang dagangan yang dijual atau ditukar dengan rempah-rempah. Burung Hong adalah
burung Phoenix. Satwa itu digambarkan memiliki kepala seperti burung pelikan, berleher seperti
ular, berekor sisik ikan, bermahkota burung merak, bertulang punggung mirip naga, berkulit sekeras
kura-kura. Sementara bulunya memiliki lima warna lambang lima kebajikan, ekornya dapat
menghasilkan suara musik jika bergerak dan bersinggunggan dengan angin, dan ia lebih banyak
bersembunyi, hanya muncul pada saat sebuah negara mengalami malapetaka. Satwa itu diyakini
akan memperbaiki keadaan dan mendamaikan suasana.
m. Guci
Koleksi Guci milik Museum Nasional berbahan porselin. Ditemukan di Sulawesi dan diperkirakan
dibuat di Vietnam dan berasal dari abad 15. Hiasan bunga peoni dan binatang mitos kilin warna biru
keunguan di bawah glasir, yang dilukis dengan ketelitian dan indah.

4. Koleksi Sejarah
Koleksi sejarah Museum Nasional adalah benda-benda yang mengandung nilai sejarah dan
merupakan benda peninggalan dari masa pendudukan bangsa Eropa di Indonesia (abad 16 – 19 M).
Koleksi sejarahantara lain adalah furniture, keramik, lampu, gelas, bendera, prasasti, genta, patung,
meriam, dan lain-lain. Benda-benda tersebut ada yang berasal dari luar negeri ada pula yang dibuat di
Indonesia.
a. Meriam
Salah satu meriam koleksi Museum Nasional adalah meriam yang ditemukan di Solo, Jawa Tengah.
Meriam tersebut berbahan perunggu dengan panjang 54 cm dan diamter 8 cm. Meriam tersebut

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   23
berasal dari abad 18 M. Indonesia mulai mengenal meriam sejak abad 16 M, ketika bangsa portugis
datang ke Indonesia. Mereka melengkapi kapal mereka dengan meriam untuk melindungi diri dari
serangan musuh, bajak laut atau untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Kata meriam
berasal dari bahasa Portugis untuk menyebut “Santa Mariam”. Prajurit-prajurit Portugis dalam
peperangan selalu meminta perlindungan dari roh-roh suci seperti Santa Mariam. Kata Mariam
kemudian dilafalkan oleh orang-orang Indonesia menjadi Meriam yang dimaksud untuk menembak
jarak jauh. Meriam jenis ini disebut dengan meriam bumbung. Meriam ini tidak digunakan sebagai
alat perang, namun biasanya diguakan sebagai alat upacara atau biasa disebut sebagai meriam
lela. Meriam ini merupakan peninggalan istana Mangkunegara dan pernah dipakai saat penobatan
raja Mataram (Pakubuwono II) tahun 1727.
b. Padrao
Padrao merupakan koleksi Museum Nasional yang ditemukan di Jalan Cengkeh Jakarta. Koleksi
tesebut berbahan bagu andesit dengan ukuran tinggi 198 cm, dan lebar 67,58 cm. Padrao
merupakan prasasti perjanjian atara Portugis dan Kerajaan sunda. Pada tahun 1522, Gubernur
Portugis di Malaka George d’Albuquerque mengutus Henrique Leme untuk mengadakan hubungan
dagang dengan raja Sunda yang bergelar “Samiam”. Perjanjian atara Kerajaan Portugis dan
Kerajaan Sunda dibuat tanggal 21 Agustus 1522. Isi perjanjia tersebut antara lain Portugis diizinkan
untuk mendirikan kantor dagang berupa sebuah benteng di wilaya Sunda Kelapa dan ditempat
tersebut didirikan batu peringatan (padrao) dalam bahasa Portugis. Kerajaan Sunda menyetujui
perjanjian tersebut, selain karena hubungan perdagangan, juga untuk mendapat bantuan Portugis
dalam menghadapi kerajaan Islam Demak. Namun perjanjian tersebut tidak terlaksana karena tahun
1527 Fatahuillah berhasil menguasai Sunda Kelapa.
c. Patung Rafles
Koleksi Museum Nasional berupa Patung Rafles berasil dari abad 19. Patung ini adalah patung
tokoh Inggris Sir Thomas Stamford Raffles seorang letnan gubernur di Indonesia selama masa
pemerintah Inggris tahun 1811 – 1816. Beberapa kebijakan yang dicanangkan oleh Raffles selama
memimpin Indonesia, antara lain :
• Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan, hal ini sebagai usaha agara dapat mengontrol wilayah-
wilayah tersebut.
• Sistem baru di bidang peradilan.
• Meringankan kerja rodi.
• Melarang perbudakan.
• Mendirikan Kebun Raya Bogor.
d. Pelana Kuda Pangeran Diponegoro
Pelanda Kuda Pangeran Diponegoro merupakan koleksi sejarah Museum Nasional. Pelana kuda
tersebut menemani Pangeran Diponegoro dalam perjuangan melawan Belanda sejak 21 Juli 1825
sampai dengan ditangkap dalam meja perundingan. Sebagai pampasan perang, pusaka-pusaka
pangeran Diponegoro ikut dirampas termasuk Keris Nogosiluman, Pelana Kuda, Tombak Kyai
Rondhan, serta Tongkat Kyai Cokro. Kemudian pada tahun 1977, atase pendidikan dan kebudayaan
di Belanda, pada waktu itu Prof. Dr. Koesnadi Hardjosoemantri melakukan pendekatan dengan
pemerintah Belanda untuk memulangkan beberapa artefak Indonesia yang berada di Belanda. Dan
pada tahun 1978, bertepatan dengan 200 tahun hari jadi Museum Pusat, pihak Belanda yang
diwakili oleh Prof. Dr. F.H. Pott (direktur Rijkmuseum voor Volkenkunde di Leiden) yang bertindak
atas nama menteri kebudayaan, rekreasi, dan pekerjaan masyarakat Belanda menyerahkan
beberapa artefak dan benda-benda bersejarah peninggalan budaya kepada pemerintah Indonesia
yang diwakili oleh Drs. Amir Sutaarga direktur museum pusat dan atas nama Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI. Bersamaan dengan pelana kuda Pangeran Diponegoro, diserahkan pula
benda-benda budaya lainnya seperti perhiasan Cakranegara serta payung dari Lombok, dan artefak
kitab Negara Kertagama.

5. Koleksi Geografi
Benda budaya yang berkenaan denganvan sejarah alam dan lingkungan, baik berupa fosil, batuan,
flora dan fauna, peralatan geografi dan sebagainya dapat dimasukkan ke dalam kelompok koleksi
Geografi. Koleksi geografi Museum Nasional saat ini terdiri dari fosil, yaitu fosil toxaster dan amonit
yagn berumur 75-135 juta tahun, koleksi batuan antara lain batuan sediman, dan metamorf. Berbagai
jenis peta antar lain peta tengan aneka budaya bangsa Indonesia, peta dunia pada sekitar abad ke 15 –
17, peta Indonesia abad ke 16, peta perkembangan kota Batavia abad 16 - 18, dan lain-lain. Selain itu
ada pula koleksi berbagai kelengkapan navigasi seperti kompas, chronometer, sextan, juga beberpa
miniatur kapal, yaitu Phinisi, Lete, Nade, dan Bali.
a. Peta Selat Sunda
Peta Selat Sunda milik Museum Nasional diperoleh dari Leiden, Netherland. Peta tersebut berbahan
kerjas dengan panjang 45 cm dan lebar 35 cm dengan bahan kertas dan diperkirakan berasal dari
abad 17. Peta tersebut berupa peta warna kedalaman laut di Selat Sunda pad atahun 1729. Peta

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   24
tersebut dibuaty oleh Pierre van der Aa. Peta digambar dengan belum mengikuti aturan kartografis
secara tepat. Dalam peta tercantum kedalaman laut di sekitar pantai pulau Jawa, Sumatra dan
pulau-pulau kecil di sekitar Selat Sunda seperti Princen Eylanden (Pulau Panaitan), Crakatau
(Kratau) dan lain-lain. Pada saat pemetaan daerah Selat Sunda, kepulauan Krakatau masih
menunjukkan keadaan sebelum mengalami letusan dahsyat tahun 1883.
b. Perahu Pinisi (model)
Koleksi Museum Nasional ini merupaan model perahu pinisi yang ditemukan Ujung Pandang
Sulawesi Selatan. Koleksi ini berbahan kayu dan kain dengan panjang 140 cm tinggi 95 cm. Perahu
Pinisi merupakan perahu Suku Bugis. Bentuk aslinya memiliki layar 7 dan bertiang 2. Pinisi
mengalami perubahan sebagai alat angkut niaga terbesar di Nusantara.

6. Koleksi Etnografi
Koleksi etnografi Museum Nasional menyajikan benda-benda atau hasil budaya dari suku-suku
bangsa di seluruh Indonesia. Benda-benda etnografis tersebut berupa peralatan hidup yang digunakan
oleh suatu suku bangsa baik yang dipakai untuk keperluan upacara maupun sehari-hari. Koleksi
etnografi menunjukkan pengaruh berbagai kebudayaan pada masa Hindu, Islam, dan msa kolonial yang
disesuikan dengan kebudayaan setempat.
Untuk menggambarkan keanekaragaman budaya dari Sabang sampai Merauke, ruang
etnografi dibagi menjadi tiga ruang. Yaitu kelompok wilayah Indonesia bagian barat yaitu Pulau Sumatra
dan Jawa. Kelompok Indonesia bagian tengah yaitu Pulau Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Dan
kelompok Indonesia bagian timur yaitu Kepulauan Nusata Tenggara, Maluku dan Papua. Sebagian
besar koleksi etnografi dikumpulkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda terutama pada
pertengahan abad ke 19 dan awal abad ke 20 Masehi. Pengumpulan koleksi antara lain dilakukan
melalui kegiatan ekspedisi ilmiah, ekspedisi militer, atau oleh perorangan seperti dari pejabat pemerintah
dan para penyebar agama.
Selain ruang-ruang tersebut, koleksi etnografi juga mempunyai ruang pamer khusus. Ruang
miniatur rumah adat memamerkan berbagai model rumah adat dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
Ruang tekstil menampilkan berbagai koleksi tekstil yang berasal dari seluruh wilayah nusantara. Di
Indonesia tekstil tadak hanya berfungsi sebagai pakaian tetapi juga mempunuyai fungsi simbolis yang
memiliki arti secara sosial dan religius yang dipakai pada upacara-upacara tertentu. Ruang khasanah
emas etnografi menyajikan koleksi yang dibuat dari logam mulia khususnya emas. Sebagian dari
koleksi emas etnografi merupakan benda-benda kebesaran di Nusantara yang berkembang pada abad
ke 17 sampai awal abad ke 20 Masehi.
a. Wadah Sirih
Koleksi Museum Nasional Wadah Sirih berasal dari Alas Aceh dan berbahan daun pandang dan
kain katun. Wadah sirih ini dibuat dari anyaman daun pandan bermotif krawangan, di dalam dilapisi
dengan kain katun berwarna merah dan hijau. Makan sirih merupakan adat kebiasaan suku-suku
bangsa di Indonesia yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Upacara makan sirih
biasanya dilakukan pada upacara menyambut tamu atau upacara perkawinan. Makan sirih
merupakan simbul keramahan dan kebersamaan.
b. Hiasan Telinga
Koleksi Hiasan Telinga milik Museum Nasional berasal dari Dayak, Kalimantan dan berbahan besi.
Hiasan telinga tersebut berbentuk motif aso, yaitu perpaduan antara naga dan anjing yang distillir.
Motif Aso merupakan motif khas Dayak di Kalimantan. Motif naga adalah simbul dunia bawah yang
diasosiasikan dengan air. Air merupakan simbul perempuan yang dikaitkan dengan kesuburan.
c. Mas Piring
Mas Piring koleksi Museum Nasional berbahan emas, perak, suasa dan berasal dari Leti Maluku.
Mas piring berfungsi sebagai pembayaran denda bila terjadi pelanggaran adat. Pada masa
pemerintahan Kolonial Belanda di Maluku sekitar tahun 1887, bila terjadi pelanggaran adat,
masyarakat sering dihukup dengan membayar denda berupa piring emas sesuai dengan adat
setempat. Motif binatang pada piring ini antara lain bebek, ikan dan bunga dibagian tengah.
d. Tombak Ligan
Tombak Ligan koleksi Museum Nasional berbahan emas, permata, besi, nikel dan kayu. Koleksi
tersebut diperoleh dari Yogyakarta. Tombak ligan merupakan tombak kebesaran yang berhias
burung garuda bermahkota dengan ujung tombak keluar dari paruh garuda. Pola pamor pada mata
tombak disebut Pamor Miring. Motif garuda dalam mitologi Hindu merpakan kendaraan dewa Wisna
disamping juga merupakan burung matahari atau rajawali matahari. Tombak ini dihadiahkan kepada
Gubernur Jenderal Pahut oleh Sri Sultan HB VI sekitar tahun 1856 – 1860.
e. Topeng Hudo
Koleksi Museum Nasional Topeng Hudo berasal dari Dayak Kenyah, Apo Kayan, Kalimantan Timur.
Topeng ini dibuat dari bahan kayu, kulit binatang dan kaca. Topeng Hudo disebut juga Budot dipakai
dalam tarian ritual pada waktu upacara panen. Dipakai oleh penari laki-laki dan pawangnya. Topeng

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   25
ini digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan dan dimaksudkan untuk menakut-nakuti
hama penyakit agar tidak merusak tanaman.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   26
BENDA-BENDA BERSEJARAH DALAM GAMBAR

Replika Prasasti Ciaruetun di Museum Nasional

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi


sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor.
Prasasti tersebut merupakan peninggalan kerajaan
Tarumanagara. Pada tahun 1863 di Hindia Belanda, sebuah
batu besar dengan ukiran aksara purba dilaporkan ditemukan di
dekat Tjampea (Ciampea), tak jauh dari Buitenzorg (kini Bogor).
Batu berukir itu ditemukan di Kampung Muara, di aliran sungai
Ciaruteun, salah satu anak sungai Cisadane. Segera pada
tahun yang sama, Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin
Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) di Batavia. Akibat
banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang
bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke
tempat semula. Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar
tidak terulang terseret banjir bandang. Selain itu prasasti ini kini dilindungi bangunan pendopo, untuk
melindungi prasasti ini dari curah hujan dan cuaca, serta melindunginya dari tangan jahil. Replika berupa
cetakan resin dari prasasti ini kini disimpan di tiga museum, yaitu Museum Nasional Indonesia dan Museum
Sejarah Jakarta di Jakarta dan Museum Sri Baduga di Bandung. Cap telapak kaki melambangkan
kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan
Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu mungkin dimaksudkan sebagai tanda keaslian, mirip
dengan tanda tangan zaman sekarang. Hal ini mungkin sebagai tanda kepemilikan atas tanah.

Prasasti Mulawarman

Prasasti Mulawarman, atau disebut juga Prasasti Kutai, adalah sebuah prasasti
yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa
yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan.
Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa
Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400
Masehi. Isinya menceritakan Raja Mulawarman yang memberikan sumbangan
kepada para kaum Brahmana berupa sapi yang banyak. Mulawarman
disebutkan sebagai cucu dari Kudungga, dan anak dari Aswawarman. Prasasti
ini merupakan bukti peninggalan tertua dari kerajaan yang beragama Hindu di
Indonesia. Nama Kutai umumnya digunakan sebagai nama kerajaan ini
meskipun tidak disebutkan dalam prasasti, sebab prasasti ditemukan di
Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam.

Prasasti Tugu di Museum Nasional

Adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara.


Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada
tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan
gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi
pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada
musim kemarau.
Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk
seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari lima
baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua
prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga
tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan pada analisis

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   27
gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini
berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki
kemiripan aksara, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah
orang yang sama.
Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara lainnya, Prasasti Tugu merupakan prasasti
yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa
pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai
dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga.
Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yag pada ujungnya dilengkapi
semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi
sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.

Prasasti Cangal koleksi Museum Nasional

Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti


Sanjaya) adalah prasasti dalam bentuk candra sengkala berangka tahun
654 Saka atau 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi Gunung
Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti yang ditulis pada stela batu ini menggunakan aksara
Pallawa dan bahasa Sanskerta.[1] Prasasti dipandang sebagai
pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa
universal dari Kerajaan Mataram Kuno.
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di
desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi
raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak
Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:


Bait 1 : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa
Wisnu
Bait 7 : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan
padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari
penduduk Kunjarakunjadesa
Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam
tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat
Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung
Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari.
Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak
perempuannya (Sannaha)
Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan,
tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat
hidup serba senang.
Kunjarakunja-desa dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai tempat
pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India selatan. Dalam epik Ramayana,
diceritakan bahwa Rama, Sinta, dan Laksmana mengunjungi pertapaan Agastya di gunung Kunjara.

Prasasti Kalasan Koleksi Museum Nasional

Prasasti Kalasan adalah prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya


dari Kerajaan Mataram Kuno yang berangka tahun 700 Saka
atau 778 M. Prasasti yang ditemukan di kecamatan Kalasan,
Sleman, Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf Pranagari (India
Utara) dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan, bahwa
Guru Sang Raja berhasil membujuk Maharaja Tejahpura
Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika
keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan
keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagi
Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta, serta
penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha).
Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   28
Prasasti Amoghapasa

Prasasti Amoghapasa adalah prasasti yang tertulis pada bagian belakang


stela (sandaran) patung batu yang disebut pāduka Amoghapāśa
sebagaimana disebutkan dalam prasasti Padang Roco. Pada tahun 1347,
Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian belakang patung
tersebut untuk menyatakan bahwa patung ini melambangkan dirinya.
Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan
nomor inventaris D.198-6469 (bagian arca). Patung ini merupakan hadiah
dari Kertanagara raja Singhasari kepada Tribhuwanaraja raja Melayu di
Dharmasraya pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi. Pada bagian lapik
(alas) arca ini terdapat manuskrip yang disebut prasasti Padang Roco yang
menyebutkan penghadiahan arca ini.
Terdapat manuskrip yang dipahat kembali pada bagian belakang patung ini,
yang dituliskan dalam bahasa Sanskerta. Tata bahasa dari pahatan
manuskrip ini tidak terstruktur, sehingga menyulitkan dalam
menerjemahkannya secara benar. Sebagian besar isinya merupakan puji-
pujian kepada Adityawarman. Dari beberapa teks yang sudah jelas, dapat membantu untuk memperkirakan
maksud dari manuskrip ini. Fokus utama adalah tentang pengukuhan atau pratista, dari patung Amoghapasa
oleh Ācārya (Pendeta Guru) Dharmaśekara atas perintah Adityawarman atau nama lainnya
Ādityawarmodaya. Disebutkan pula, Adityawarman menyatakan dirinya menjadi Maharajadiraja dengan
gelar Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa dengan memulihkan
keadaan sebelumnya (Kerajaan Melayu) dan kemudian menamakannya Malayapura pada tahun 1347
Masehi.

Prasasti Manjusri Koleksi Museum Nasional

Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang dipahatkan


pada bagian belakang Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada
awalnya ditempatkan di Candi Jago (sekarang tersimpan di
Museum Nasional dengan nomor inventaris D. 214). Candi
Jago atau Candi Tumpang atau Candi Jinalaya (pura)
merupakan tempat asalnya patung Manjusri ini. Candi
tersebut mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara
untuk menghormati ayahandanya, raja Wisnuwardhana
yang mangkat pada tahun 1268. Berdasarkan tafsiran
Bosch dari tulisan pada prasasti tersebut, kemungkinan
Adityawarman mendirikan candi tambahan di lapangan
Candi Jago tersebut, atau mungkin pula candi yang
didirikan tahun 1280 sudah runtuh dan digantikan dengan
candi baru. Tidak adanya sisa-sisa bangunan besar di samping Candi Jago yang sekarang, sehingga
menunjukkan penjelasan yang kedua lebih masuk akal. Hal ini didukung pula oleh gaya relief dan ukiran
pada candi tersebut, menurut analisis Stutterheim, membuktikan bahwa candi yang sekarang ini lebih baru
daripada abad ke-13. Karakter Manjusri dianggap sebagai personifikasi dari kebijaksanaan transenden. Dia
duduk di atas takhta berhiasan teratai yang gemerlapan, pada tangan kirinya ia memegang sebuah buku
(sebuah naskah daun palem), tangan kanannya memegang pedang (yang bermakna untuk melawan
kegelapan), dan pada dadanya dilingkari tali. Ia juga dikelilingi oleh empat dewa, yang semuanya bermakna
replika dirinya sendiri.

Prasasti Padang Roco Koleksi Museum Nasional

Prasasti Padang Roco adalah sebuah prasasti yang ditemukan pada tahun
1911 di hulu sungai Batanghari, kompleks percandian Padangroco, nagari
Siguntur, kecamatan Sitiung, kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Prasasti ini merupakan sebuah lapik (alas) arca Amoghapāśa yang pada empat
sisinya terdapat manuskrip (NBG 1911: 129, 20e). Prasasti ini dipahatkan 4
bari s tulisan dengan aksara Jawa Kuno, dan memakai dua bahasa (Melayu
Kuno dan Sanskerta) (Krom 1912, 1916; Moens 1924; dan Pitono 1966).
Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   29
nomor inventaris D.198-6468 (bagian alas atau prasasti) dan D.198-6469 (bagian arca). Prasasti ini
berangka tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi, dituliskan pada arca Amoghapāśa hadiah dari śrī
mahārājādhirāja keṛtanagara wikrama dharmmottunggadewa raja dari kerajaan Singhasari di Jawa untuk
rakyat dan Raja Kerajaan Melayu Dharmasraya di Sumatera. Prasasti ini menceritakan bahwa pada tahun
1208 Saka, atas perintah raja Kertanegara dari Singhasari, sebuah arca Amoghapasalokeswara
dipindahkan dari Bhumijawa ke Swarnabhumi untuk ditegakkan di Dharmasraya. Dengan hadiah ini
diharapkan agar rakyat Swarnabhumi bergirang hati dan bersuka cita, terutama rajanya śrī mahārāja śrīmat
tribhuwanarāja mauliwarmmadewa.

Prasasti Mula Malurung Koleksi Museum Nasional

Prasasti Mula Malurung adalah piagam pengesahan penganugrahan desa


Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja. Prasasti ini
berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada
tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya
Wisnuwardhana raja Singhasari. Kumpulan lempengan Prasasti Mula
Malurung ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh
lempeng ditemukan pada tahun 1975 di dekat kota Kediri, Jawa Timur.
Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali ditemukan tiga lempeng di lapak
penjual barang loak, tak jauh dari lokasi penemuan sebelumnya.
Keseluruhan lempeng prasasti saat ini disimpan di Museum Nasional
Indonesia, Jakarta. Pranaraja yang menda pat hadiah desa Mula dan desa
Malurung disebutkan sebagai seorang pegawai kerajaan Kadiri yang setia
dan rajin. Ia mengabdi pada tiga raja sebelum Kertanagara, yaitu Bhatara
Parameswara, Guningbhaya, dan Tohjaya. Adapun Kertanagara saat itu
(1255) baru menjadi raja bawahan di Kadiri, belum menjadi raja Singhasari.
Hadiah untuk Pranaraja telah dijanjikan oleh Seminingrat raja Tumapel.
Seminingrat lalu memerintahkan putranya, Kertanagara untuk
melaksanakannya. Seminingrat merupakan nama lain dari Raja Wisnuwardhana. Tokoh bernama Pranaraja
juga ditemukan dalam Pararaton, yaitu nama seorang pembantu Tohjaya yang mengusulkan supaya
Ranggawuni dan Mahisa Campaka dibunuh. Namun pengarang Pararaton mengisahkan Pranaraja sebagai
seorang penghasut.

Prasasti Singhasari atau Prasasti Gadjah Mada koleksi Museum Nasional

Prasasti Singhasari ini dikenal juga dengan sebutan Prasasti Gajah Mada,
ditemukan pada tahun 1904 di kolam Haji Napi’i di sebelah utara Candi
Singosari, Malang dan sekarang berada dan menjadi koleksi Museum
Nasional Jakarta, dengan nomor inventaris D 111. Prasasti tersebut berangka
tahun 1273 Saka (1351 M), beraksara Jawa Kuno dan bahasa Jawa Kuno
dengan pahatan yang dalam sehingga sangat jelas dibaca. Hampir tidak ada
kerusakan yang berarti dari fisik prasasti itu, kecuali ada pahatan yang dalam
dan berbentuk persegi yang menimpa beberapa huruf. Hingga sekarang belum
diketahui apa maksud dari pahatan persegi yang dalam tersebut. Prasasti ini
terbuat dari bahan batu andesit de ngan bertuliskan 17 baris. Prasasti ini ditulis
untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang
dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada untuk menghormati
“Mahabrahmana Sewasogata”, yaitu para pendeta dari aliran “rsi”, Saiwa dan
Bauda, yang ikut meninggal bersama Raja Kertanagara dari kerajaan
Singhasari ketika diserang musuh. Ketika prasasti ini dikeluarkan, raja
Majapahit yang memerintah ketika itu adalah Ratu Tribhuwanotunggadewi. Diperkirakan Caitya yang
dibangun tersebut adalah salah satu candi kecil yang ada di sekitar Candi Singosari. Paruh pertama prasasti
ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk pemaparan letak benda-benda
angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah
caitya. Menurut pembacaan Trigangga prasasti ini dikeluarkan pada hari Selasa tanggal 26 April 1351.

Prasasti Telaga Batu Koleksi Museum Nasional

Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir,
Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935. Prasasti ini sekarang disimpan di
Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga
Batu 2, yang berisi tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti. Pada tahun-tahun sebelumnya

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   30
ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-
prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada seb uah batu andesit yang sudah dibentuk sebagaimana
layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di bagian atasnya terdapat
hiasan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di bagian bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran)
tempat mengalirkan air pembasuh. Tulisan pada prasasti berjumlah 28 baris, berhuruf Pallawa, dan
berbahasa Melayu Kuno.
Tulisan yang dipahatkan pada prasasti cukup panjang, namun secara garis besar isinya tentang kutukan
terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah dātu.
Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang
berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.
Disebutkan orang-orang tersebut mulai dari putra raja
(rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima
(senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka),
bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim
(dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh),
pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata
(vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola
(adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka),
kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī
hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Prasasti ini salah satu prasasti kutukan yang paling lengkap
memuat nama-nama pejabat pemerintahan. Beberapa
sejarahwan menganggap dengan keberadaan prasasti ini, diduga
pusat Sriwijaya itu berada di Palembang dan pejabat-pejabat
yang disumpah itu tentunya bertempat-tinggal di ibukota
kerajaan. Soekmono berpendapat berdasarkan prasasti ini tidak
mungkin Sriwijaya berada di Palembang karena adanya
keterangan ancaman kutukan kepada siapa yang durhaka
kepada kedatuan, dan mengajukan usulan Minanga seperti yang
disebut pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di
sekitar Candi Muara Takus sebagai ibukota Sriwijaya.

Prasasti Sukabumi atau Prasasti Harinjing Koleksi Museum Nasional

Prasasti Sukabumi adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di


perkebunan Sukabumi, tepatnya di Desa Siman, Kecamatan Kepung,
Kediri, Jawa Timur, yang berada di punggung Gunung Kelud. Prasasti ini di
kalangan ahli epigrafi lebih dikenal dengan nama Prasasti Harinjing. Tulisan
yang terdapat pada kedua belah sisi prasasti ini ditulis dengan aksara dan
bahasa Jawa Kuno. Prasasti ini terdiri dari tiga buah piagam yang
mengenai hal yang sama. Bagian de pan disebut Prasasti Harinjing A.
Isinya menyebutkan bahwa pada 11 suklapaksa bulan Caitra tahun 726
Saka (25 Maret 804 Masehi) para pendeta di daerah Culanggi memperoleh
hak sima (tanah yang dilindungi dari pajak) atas daerah mereka karena
telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing. Bagian
belakang, Prasasti Harinjing B, baris 1-23 menyebutkan bahwa Sri
Maharaja Rake Layang Dyah Tulodhong pada 15 Suklapaksa bulan Asuji
tahun 843 Saka (19 September 921 Masehi) mengakui hak-hak para
pendeta di Culanggi karena mereka masih tetap harus memelihara saluran
Harinjing.
Mulai baris selanjutnya, disebut Prasasti Harinjing C, menyebutkan bahwa
hak serupa diakui pula pada 1 Suklapaksa bulan Caitra
tahun 849 Saka (7 Maret 927 Masehi).

Prasasti Kedukan Bukit Koleksi Museum Nasional

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg


pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan
Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan,
di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi.
Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm,

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   31
ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di
Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai
berikut: Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan menaklukan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini
(Sungai Musi, Sum atera Selatan). Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Minanga Tamwan
adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Ada juga
berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu ditaklukkan oleh Dapunta Hyang,
tempat penaklukan Malayu terjadi sebelum menaklukan Minanga dengan menganggap isi prasasti ini
menceritakan penaklukan Minanga. Sementara itu Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan
bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti 'temuan'), yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai
Kampar Kiri di Riau, yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Kemudian ada yang berpendapat Minanga
berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (Provinsi
Sumatera Utara sekarang). Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari
luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.

Prasasti Talang Tuo koleksi Museum Nasional

Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant


Westenenk (Residen Palembang) pada tanggal 17
November 1920 di kaki Bukit Seguntang / Bukit Siguntang
dan dikenal sebagai salah satu peninggalan Kerajaan
Sriwijaya. Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar
yang ditulisi berukuran 50 cm × 80 cm. Prasasti ini berangka
tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam
Aksara Pallawa, Berbahasa Melayu Kuno, dan terdiri dari 14
baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan
mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel
dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun
1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional
Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.145.p

Prasasti Wanua Tengah III Koleksi Museum Nasonal

Prasasti Wanua Tengah III adalah prasasti dari tahun 908 M pada
zaman Kerajaan Mataram Kuno, yang ditemukan November 1983.
Prasasti ini di sebuah ladang di Dukuh Kedunglo, Desa Gandulan,
Kaloran, sekitar 4 km arah timur laut Kota Temanggung. Prasasti ini
disimpan di Balai Arkeologi Yogyakarta. Di dalam prasasti ini
dicantumkan daftar lengkap dari raja-raja yang memerintah bumi
Mataram pada masa sebelum pemerintahan raja Rake Watukara Dyah
Balitung. Prasasti ini dianggap penting karena menyebutkan 12 nama
raja Mataram, sehingga melengkapi penyebutan dalam Prasasti
Mantyasih (atau nama lainnya Prasasti Tembaga Kedu) yang hanya
menyebut 9 nama raja saja. Prasasti Wanua Tengah III ini terdiri dari
dua lempengan, pertama dengan ukuran 53,5 x 23,5 cm dan
ketebalan kira-kira 2,5 mm, kedua dengan ukuran 56 x 26 cm dan
ketebalan sama. Keduanya adalah lempengan tembaga. Lempeng
pertama ditulisi satu sisi saja dengan tulisan 17 baris, sedangkan
lempeng kedua tulisi bolak-balik, masing-masing 26 dan 18 baris.

Arca Harihara koleksi Museum Nasional

Harihara merupakan perwujudan gabungan antara Dewa Wisnu (Hari) dan Dewa Siwa
(Hara). Juga dikenal dengan sebutan Shankaranarayana ("Shankara" adalah Dewa
Siwa, dan "Narayana" adalah Dewa Wisnu), Harihara sangat dihormati oleh kedua
Vaishnavites dan Shaivites sebagai dewa yang maha kuasa. Indonesia memiliki sebuah
area Harihara yang terkenal karena mewujudkan Raja Wijaya, Raja Majapahit pertama,
dengan gelar Kertarajasa Jayawarddhana dan sekarang tersimpan di Museum P usat,
Jakarta. Tangan kanan belakang memegang sangka, tangan kanan depan memegang
askamala, tangan kiri belakang dan tangan kiri depan memegang gada. Arca ini berasal

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   32
dari Simping, Jawa Timur, yang menurut Nagarakertagama pernah dikunjungi Hayam Wuruk karena candi
Wijaya, kakeknya, perlu dipugar kembali.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   33
Arca Bhairawa Koleksi Museum Nasional

Arca Bhairawa adalah patung batu raksasa dan kini menjadi salah
satu koleksi pameran utama di Museum Nasional Indonesia. Arca ini
menggambarkan "Bhairawa", suatu dewa-raksasa dalam aliran
sinkretisme Tantrayana, yaitu pengejawantahan Siwa sekaligus Buddha
sebagai raksasa yang menakutkan. Arca ini dikaitkan sebagai
perwujudan Raja Adityawarman karena ia adalah penganut Buddha
aliran Tantrayana Kalachakra. Patung batu raksasa ini berukuran tinggi
4,41 meter dan berat 4 ton dan terbuat dari batu andesit. Bhairawa
digambarkan sebagai raksasa mengerikan sebagai perwujudan hasrat
negatif, serta merupakan perwujudan Siwa sekaligus Buddha dalam
aliran Tantrayana. Arca Bhairawa ini memiliki dua tangan, tangan kiri
memegang mangkuk dari tengkorak manusia berisi darah manusia dan
tangan kanan membawa pisau belati. Penggambaran Bhairawa
membawa pisau konon untuk menunjukkan upacara ritual Matsya atau
Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah dalam
upacara meminum darah.
Bhairawa merupakan dewa Siwa dalam salah satu aspek
perwujudannya. Bhairawa berkategori ugra (ganas) dan digambarkan
bersifat kejam, berwujud mengerikan, memiliki taring, dan bertubuh
sangat besar seperti raksasa. Rambutnya disanggul besar ke atas
menyerupai bola, tetapi ditengahnya terdapat arca Buddha Amitabha,
laksana atau atribut seperti ini merupakan atribut bod hisattwa
Awalokiteswara, hal ini menggambarkan aspek sinkretisme Tantrayana
yang memadukan unsur Hindu dan Buddha. Bhairawa mengenakan
perhiasan yang raya berupa mahkota dan kalung, sementara kelat
bahu, gelang tangan dan gelang kakinya berupa belitan ular,
sedangkan ikat pinggangnya berukir kepala kala. Bhairawa ini digambarkan tengah menginjak orang cebol
yang tengah terlentang dan berdiri di atas lapik delapan tengkorak berjajar yang menggambarkan lapangan
mayat.
Arca raksasa ini aslinya terletak di bukit di tengah persawahan di kompleks percandian Padang Roco,
Dharmasraya, Sumatera Barat, menghadap ke arah timur dan dibawahnya mengalir sungai Batanghari.
Dulu, di tempat strategis itu Bhairawa dengan gagah berdiri memandang ke arah Sungai Batanghari,
sehingga siapa pun yang melewati sungai tersebut akan mudah melihatnya. Dikatakan strategis karena
Padang Roco merupakan gerbang masuk melalui Batanghari menuju pusat pemerintahan Kerajaan Malayu
di Sumatera Barat, dan arca raksasa ini berfungsi sebagai markah tanah.
Arca raksasa ini sempat roboh dan terkubur tanah, hanya satu sisi bagian lapik (alas) yang menyembul
ke permukaan tanah. Penduduk setempat yang tidak menyadari keberadaan arca itu menjadikan batu itu
sebagai batu pengasah parang dan membuat lubang lumpang batu sebagai lesung untuk menumbuk padi.
Hingga kini pun bekas lubang itu dapat ditemukan pada sisi landasan arca ini. Patung yang dikaitkan
dengan perwujudan Raja Adityawarman itu diangkut oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935 ke
Kebun Margasatwa Bukittinggi. Lalu pada tahun 1937 arca ini diboyong ke Museum Nasional di Batavia dan
menghuni Museum Nasional hingga kini.

Arca Ganesha Koleksi Museum Nasional

Di dalam agama Hindu, Ganesa atau Ganesha termasuk salah satu


dewa yang paling populer, di samping Dewa-dewa Trimurti, yakni
Brahma (dewa pencipta alam semesta), Wisnu (dewa pemelihara
alam semesta), dan Siwa (dewa perusak alam semesta). Ganesha
adalah dewa berkepala gajah. Di kalangan masyarakat Hindu,
Ganesha dianggap setengah manusia dan setengah dewa. Peranan
Ganesha begitu penting karena dia adalah anak Dewa Siwa. Ganesha
merupakan dewa ilmu pengetahuan. Ciri utama Ganesha adalah
memiliki belalai yang sedang mengisap isi mangkok dalam
genggaman tangan depannya. Isi mangkok itu diibaratkan
pengetahuan yang tak pernah habis.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   34
Arca dewa Wisnu di Museum Trowulan

Di Museum Trowulan, Mojokerto, terdapat arca yang paling terkenal yaitu


Arca Raja Airlangga, digambarkan sebagai Dewa Wishnu yang
mengendarai Garuda, dari Candi Belahan. Arca ini merupakan
penggambaran dari Raja Kahuripan yang bernama Airlangga, yang
dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu. Setelah membagi Kahuripan
menjad Kediri dan Jenggal tahun 1045, Airlangga menjadi pertapa dengan
gelar Resi Gentayu. Ketika ia meninggal tahun 1049, arca bernomor 405
itu dibuat untuk memujanya sebagai jelmaan Wisnu, dewa penelamat
danpenjaga dunia. . garuda yang ditungganingya juga merupakan simbol
kerjaa Kediri (Garudamukha). Arca tersebut merupakan salah satu koleksi
yang ada di Museum Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawatimur.

Arca Prajnyaparamita, koleksi Museum nasional

Prajnyaparamita adalah dewi dalam pantheon agama Buda yang


mempunyai kedudukan tinggi di dalam aliran Mahayana. Ia dianggap
sebagai istri Buda dan merupakan lambang ilmu pengetahuan yang
sempurna. Arca berparas jelita yang oleh masyarakat dikenal juga
dengan nama Ken Dedes ini dibuat dari batu andesit berwarna abu-abu
muda dengan ukuran tinggi 126 cm, lebar 55 cm, dan tebal55 cm. Arca
Prajnyaparamita yang dibuat pada sekitar abad XII-XIII tersebut
ditemukan di desa Singosari pada tahun 1818 oleh asisten Residen
Malang, D. Monnereau. Pada tahun 1822 arca dibawa ke Belanda oleh
Prof. C.G.C Reinward dan tahun 1841 diserahkan ke Museum van
Oudheden (sekarang Museum of Antiquities) di Leiden dengan nomor
inventaris 1403-1587. Pada tahun 1903 arca kemudian dipindahkan ke
Rijksmuseum voor Volkenkunde sebelum akhirnya diserahkan kepada
Pemerintah Indonesia pada bulan Januari 1978. Kini Arca
Prajnyaparamita menjadi koleksi di Museum Nasional dengan nomor
inventaris 17774. Arca dalam keadaan relatif baik, hanya terdapat cacat
(gumpil) di bagian lapik sisi sebelah kanan. Selain itu, bagian puncak
prabha di belakang kepala arca juga telah aus permukaannya.

Arca perwujudan Bodhisattwadewi (bodhisattwa wanita) Prajnaparamita


yang paling terkenal adalah arca Prajnaparamita dari Jawa kuno. Arca ini
diperkirakan berasal dari abad ke-13 Masehi pada era kerajaan
Singhasari. Arca ini ditemukan di reruntuhan Cungkup Putri dekat Candi
Singhasari, Malang, Jawa Timur. Menurut kepercayaan setempat, arca
ini adalah perwujudan Ken Dedes ratu pertama Singhasari, mungkin
sebagai arca perwujudan anumerta dia. Akan tetapi terdapat pendapat
lain yang mengaitkan arca ini sebagai perwujudan Gayatri, istri Kertarajasa raja pertama Majapahit. Arca ini
pertama kali diketahui keberadaannya pada tahun 1818 atau 1819 oleh D. Monnereau, seorang aparat
Hindia Belanda. Pada tahun 1820 Monnereau memberikan arca ini kepada C.G.C. Reinwardt, yang
kemudian memboyongnya ke Belanda dan akhirnya arca ini menjadi koleksi Rijksmuseum voor Volkenkunde
di kota Leiden. Pada Januari 1978 Rijksmuseum voor Volkenkunde (Museum Nasional untuk Etnologi)
mengembalikan arca ini kepada Indonesia, dan ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta hingga
kini. Kini arca yang luar biasa halus dan indah ini ditempatkan di lantai 2 Gedung Arca, Museum Nasional,
Jakarta. Arca Prajnaparamita ini adalah salah satu mahakarya terbaik seni klasik Hindu-Buddha Indonesia,
khususnya seni patung Jawa kuno. Arca dewi kebijaksanaan transendental dengan raut wajah yang tenang
memancarkan keteduhan, kedamaian, dan kebijaksanaan; dikontraskan dengan pakaiannya yang raya
mengenakan Jatamakuta gelung rambut dan perhiasan ukiran yang luar biasa halus. Dewi ini tengah dalam
posisi teratai sempurna duduk bersila diatas padmasana (tempat duduk teratai), dewi ini tengah bermeditasi
dengan tangan melakukan dharmachakra-mudra (mudra pemutaran roda dharma). Lengan kirinya

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   35
mengempit sebatang utpala (bunga teratai biru) yang diatasnya terdapat keropak naskah Prajnaparamita-
sutra dari daun lontar. Arca ini bersandar pada stella (sandaran arca) berukir, dan di belakang kepalanya
terdapat halo atau aura lingkar cahaya yang melambangkan dewa-dewi atau orang suci yang telah
mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi.

Arca Ratu Suhita, koleksi museum nasional

Arca ini menggambarkan Ratu Suhita yang memerintah tahun 1429-


1447. Arca yang ditemukan di Tulungagung, Jawa Timur ini sekarang
disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia. Suhita memerintah
berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara
Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre
Wirabhumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra
Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre
Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut
secara tegas dalam Pararaton. Nama Suhita juga muncul dalam
kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja
Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin
masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng
Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga. Pada tahun
1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula.
Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya. Karena
tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah
Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.

Arca Dewi Parwati, koleksi museum nasional

Arca ini sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi, yaitu


ratu Majapahit yang merupakan ibunda Hayam Wuruk. Tribhuwana
Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah
tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar
abhisekanya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa
Jayawisnuwardhani. Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau
disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari
Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat
dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan
Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di
Jiwana bergelar Bhre Kahuripan. Tribhuwana Wijayatunggadewi
diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti
Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang
tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan
agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi
raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk. Tidak
diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton
hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah
pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Menurut
Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi
Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu
Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan
di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   36
Mangkok Ramayana

Bahan emas, ditemukan di Dusun Plosokuning, Desa Wonoboyo,


Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah. Pada bagian luar mangkuk yang
berlekuk enam, dihiasi relief cerita Ramayana yang menceritakan
penculikan dewi Sita oleh Rawana. Oleh karena itu mangkuk ini
dikenal dengan sebutan mangkuk Ramayana. Relief-relief tersebut
dibuat dengan teknik solder dan teknik tempa mengambil sistem
tempa dari sisi dalam (repousse technique). Pembuatannya sangat
halus dan indah sehingga mangkuk ini merupakan benda paling indah
(bernilai estetika tinggi) di antara temuan-temuan Wonoboyo lainnya.

Mahkota Kerajaan Siak

Bahan emas, Mirah, Berlihan. Ditemukan di Siak Sri Indrapura, Riau.


Mahkota ini berasal dari keluarga kesultanan Siak Sri Indrapura di
Riau. Dibuat dari emas dan dihiasi permata berlian dan mirah, bermotif
filigri dengan berbagai teknik. Setelah kemerdekaan Indonesia tahun
1945, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kedaulatannya dan tunduk
kepada pemerintah RI dan memberikan mahkotanya kepada
pemerintah RI untuk kemudian diserahkan dan dipamerkan di
Museum Nasional.

Wadah Tinta Tattoo

Bahan kayu, ditemukan di Kalimantan Tengah. Kayu berukir dengan


bentuk anjing berkepala naga disebut motif aso. Motif ini merupakan
perwujudan nenek moyang yang amat ditakuti orang Dayak. Motif ini
juga merupakan simbol kesuburan. Bagian punggung aso terdapat dua
buah cekungan yang berfungsi sebagai wadah cairan tinta untuk tattoo
atau merajah. Bagi orang Dayak merajah bagian tubuh dengan motif-
motif tertentu dapat merupakan simbol bahwa ia orang Dayak, simbol
kejantanan bagi laki-laki-laki dan juga sebagai simbol kebangsawanan
laki-laki maupun perempuan. Menurut kepercayaan orang Dayak
apabila ia meninggal kelak, bekas tattoo yang berwarna hitam ditubuh
mereka akan berubah menjadi emas dan tubuhnya akan bercahaya.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   37
Arca Durga Mahesasuramardhini, Koleksi Museum Nasional

Durgamahasisuramardhini yang merupakan gabungan dari kata


Durga, Mahisa, Asura, dan Mardhini. Arca Dewi Durga memiliki
banyak tangan, lebih dari 8, 12 atau pada beberapa arca sampai
dengan 16. Dewi Durga adalah nama sakti atau istri Dewa Siwa,
Mahisa adalah kerbau, Asura berarti raksasa, sedang Mardhini
berarti menghancurkan atau membunuh. Jadi,
Durgamahasisuramardhini berarti Dewi Durga yang sedang
membunuh raksasa yang ada di dalam tubuh seekor kerbau.
Durga merupakan tokoh dewi yang terkenal di India, dan juga
sangat di puja-puja dalam agama Hindu. Dia dipuja di musim
gugur pada pertengahan kedua bulan Asvina di propinsi India
Timur Laut. Dewi Durga pembunuh mahisa (kerbau) yang
penjelmaan asura (raksasa musuh para dewa yang sering
menyerang khayangan). Dewi Durga ditugaskan untuk menghalau
asura. Asura bisa menjelma jadi berbagai macam bentuk,
misalnya gajah, singa, kerbau. Sebelum muncul wujud aslinya,
diwujudkan dengan mahisa (kerbau). Setelah mahisa dibunuh
ditombak dengan trisula, muncul wujud aslinya (asura). Menjelma
keluarnya dari ubun-ubun (kepala). Sebagai dewi yang
digambarkan sedang berperang, Durga membawa senjata. Tangan atasnya membawa cakra dan yang
dibekali oleh dewa wisnu. Dia juga bawa pedang yang panjang dan busur panah dengan mata panahnya.
Tangan sebelah kanan depan menarik ekor dari kerbau (mahisa yang sudah mati). Tangan kiri menjambak
rambut asura. Tangan lainnya bawa pitaka (perisai) dan Cangka, dibuat dari cangkang kerang pemberian
Dewa Wisnu. Durga digambarkan dalam adegan kemenangan setelah berhasil mengalahkan asura yang
berubah bentuk seperti kerbau yang sangat besar.

Arca Brahma, Koleksi Museum Nasional

Dewa Brahma digambarkan sebagai sosok dewa dengan empat muka


yang menghadap ke empat penjuru arah mata angin (Caturmukha
Brahma) yang melambangkan kekuasaan terhadap Catur Weda, Catur
Yuga (empat siklus waktu), Catur Warna (empat pembagian
masyarakat berdasarkan keterampilan). Dia dilukiskan sebagai seorang
pria tua dengan janggut putih yang memiliki makna leluhur dari seluruh
jagat raya, memiliki empat tangan yang memegang alat-alat seperti:
1. Aksamala/tasbih : simbol tiada awal dan tiada akhir.
2. Sruk (sendok besar), dan Surva(sendok biasa) simbol dari
upacara yadnya.
3. Kamandalu/kendi simbol dari keabadian.
4. Pustaka yang merupakan simbol dari Ilmu Pengetahuan.
Dia berwahana Hamsa (Angsa) putih yang merupakan simbolisasi dari
kebijaksanaan, dan kemampuan memilah baik dan buruk. Terkadang
dia juga digambarkan sedang duduk dalam keadaan meditasi di atas
bunga Padma (lotus) Merah yang merupakan lambang Kesucian lahir
bathin.Dewa Brahma disandingkan dengan Dewi Saraswati sebagai

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   38
dewi Ilmu Pengetahuan. Hal ini merupakan sebuah makna tersirat bahwa suatu penciptaan atau suatu karya
tanpa landasan ilmu pengetahuan adalah sia-sia.

Arca Amoghapasa, koleksi museum nasional

Arca Amoghapasa adalah patung batu pāduka Amoghapāśa sebagai


salah satu perwujudan Lokeswara sebagaimana disebut pada prasasti
Padang Roco. Patung ini merupakan hadiah dari Kertanagara raja
Singhasari kepada Tribhuwanaraja raja Melayu di Dharmasraya pada
tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi. Pada bagian lapik (alas) arca ini
terdapat tulisan yang disebut prasasti Padang Roco yang menjelaskan
penghadiahan arca ini. Berita pengiriman arca Amoghapasa ini tertulis
pada alas arca bertanggal 22 Agustus 1286. Sedangkan pada bagian
belakang arca terdapat tulisan yang disebut dengan prasasti
Amoghapasa bertarikh 1346 Masehi. Amoghapasa adalah salah satu
boddhisatwa perwujudan Lokeswara atau Awalokiteswara dalam
kepercayaan Buddha Mahayana yang melambangkan sifat welas
asih.[2] Sebagaimana digambarkan dalam prasasti Padang Roco, arca
ini diiringi empat belas pengikut (murid) Amoghapasa. Empat orang
berdiri di kedua sisi dengan sikap tubuh menengadah sambil
menghormat dan memuliakan Amoghapasa, sementara sepuluh lainnya duduk di atas padma melayang di
latar belakang. Pada bagian bawahnya terukir tujuh ratna berupa lambang-lambang buddhisme yaitu stupa,
cakra, tara, boddhisatwa, kijang, dan gajah. Sayang sekali wajah dan lengan Amoghapasa ini telah rusak,
demikian pula ukiran beberapa pengikutnya telah rusak.

Arca Bhairawa Singasari Jawa Timur

Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara dari Candi Singosari


kini masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda. Menurut
catatan sejarah, Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari, saat
diserang oleh tentara Kerajaan Kediri (1292) sedang pesta makan
minum sampai mabuk. Kenyataannya adalah bahwa pada saat
serbuan tentara Kediri tersebut Kertanegara bersama dengan para
patihnya, para Mahãwrddhamantri dan para pendeta-pendeta
terkemukannya sedang melakukan upacara-upacara Tantrayana.
Kertanegara adalah seorang penganut setia aliran Budha Tantra.
Prasasti tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok di surabaya
menyatakan bahwa Krtanegara telah dinobatkan sebagai Jina
(Dhyani Buddha) yaitu sebagai Aksobya, dan Joko Dolok itu adalah
arca perwujudannya. Sebagai Jina, Kertanegara bergelar
Jnanaciwabajra. Setelah wafat ia dinamakan Çiwabuddha yaitu
dalam kitab Pararaton dan dalam Nagarakartagama >Mokteng (yang
wafat di) Çiwabuddhaloka sedangkan dalam prasasti lain >Lina ring
(yang wafat di) Çiwabuddhalaya. Kertanegara dimuliakan di Candi Jawi sebagai Bhatara Çiwabuddha/
SiwaBuddha di Sagala bersama dengan permaisurinya Bajradewi, sebagai Jina (Wairocana) dengan Locana
dan di Candi Singosari sebagai Bhaiwara. Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata “Tan” yang artinya
memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada Dewa itu. Di India penganut Tantrisme banyak terdapat di

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   39
India Selatan dibandingkan dengan India Utara. Kitab kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali
antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara.
Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet, dan Indonesia dari Tantrisme munculah suatu faham
“Bhirawa” atau “Bhairawa” yang artinya hebat.

Patung Hutan Baluran

Patung yang diketemukan di Hutan Baluran Situbondo, Jawa Timur, pada 10 Maret
2013 ini pada akhirnya di pastikan keasliannya juga sebagai benda purbakala.
Patung itu dinyatakan juga sebagai Patung Dewi Laksmi serta peninggalan dari
masa Kerajaan Majapahit. Arca ini Termasuk unik lantaran diketemukan di Lokasi
Kekuasaan Majapahit Timur yang belum tersentuh sama-sekali peninggalan
bersejarahnya.

Nekara, koleksi musum nasional

Istilah untuk menyebut nekara berbeda-beda tergantung kepada


bahasa dan wilayah tempat nekara itu diketemukan. Nama lokal
untuk nekara di Bali adalah bulan dan sasih, di Maluku nekara
disebut tifa guntur, di wilayah Sangeang (NTB) nekara disebut
makalamau. Di Pulau Alor nekara disebut moko, di Pulau Pantar
disebut kuang, dan di Kabupaten Flores Timur nekara disebut
dengan wulu.
Meyer, Foy, dan De Groot menyebut nekara sebagai bronze
pauke. Heger menyebutnya metall trommen. Dalam bahasa
Belanda disebut ketle trom, dalam bahasa Denmark kedel trommen,
Dalam bahasa Prancis tambour metallique, di Jerman nekara disebut dengan nama pauke, dan dalam
bahasa Inggris nekara sama dengan kettle drum. Semua istilah dan bahasa tersebut pada umumnya
memiliki arti yang sama, yaitu genderang.

Candrasa

Bahan dari perunggu. Ditemukan di Bandung, Jawa Barat. Sejenis


kapak upacara. Mempunyai mata kapak melebar ke samping.
Kedua ujungnya melengkung ke dalam. Pada gagang terdapat
motif geometris dikombinasikan dengan motif lengkung kecil. Motif
hias seperti ini umum dijumpai pada kapak-kapak perunggu dari
masa prasejarah. Candrasa digunakan sebagai perlengkapan
upacara.

Hiasan telingan, koleksi museum nasional

Berbahan besi, asal dari dayak kalimantan. erhiasan telinga berbentuk


motif aso, yaitu perpaduan antara naga dan anjing yang distilir. Motif
aso merupakan motif khas Dayak di Kalimantan, motif naga adalah
simbol dunia bawah yang diasosiasikan dengan air. Air juga merupakan
simbol perempuan yang dikaitkan dengan kesuburan.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   40
Kjokenmodinger, Koleksi Museum Nasional

Bahan kerang, di pantai timur Sumatra, jaman Mesolitik. Kjokkenmodinger


(bahasa Denmark) adalah sebutan bukit kerang yang disebabkan dari
penumpukkan kulit-kulit kerang sebagai limbah makanan komunitas prasejarah
di masa Mesolitik. Pada masa mesolitik, berdasarkan rangka manusia yang
ditemukan di beberapa wlayah Sumatera, diketahui bahwa mereka menetap di
gua-gua dekat sungai atau di pesisir pantai. Tempat tinggal mereka ini
menjadikan komunitas masa itu mengonsumsi makanan laut (sea food).
Kerang menjadi makanan utama manusia prasejarah.

Beliung, Koleksi Museum Nasional

Berbahan Kalsedon, ditemukan di Sukabumi, Jawa barat, masa Mesolitikum.


eliung persegi atau kapak persegi merupakan alat batu yang paling dominan dari
masa neolitik (masa bercocok tanam). Penemuannya hampir di seluruh kepulauan
Indonesia, khususnya di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Oleh karena itu, sering
kali beliung persegi dijadikan acuan bagi masa neolitik di Indonesia. Bahan batuan
yang digunakan bermacam-macam, dari batuan semi permata hingga batuan
biasa seperti gamping. Penggunaan jenis batuan kerap menentukan fungsi dari
beliung tersebut, apakah sebagai alat kerja pertanian, benda upacara atau benda
pertukaran. Beliung temuan dari daerah Sukabumi, Jawa Barat ini, dibuat dari
batuan kalsedon (jenis batuan semi permata). Proses pembuatan yang sempurna
hingga proses pengupaman (pengasahan) menghasilkan kilau dan
memperlihatkan tekstur batuannya yang indah.
Ditinjau dari fungsinya, tampak beliung ini tidak digunakan sebagai alat kerja
melainkan sebagai benda upacara, bekal kubur, dan kemungkinan juga sebagai benda barter.

Hiasan Perahu Kora

Bahan kayu, kerang, berasalah dari Kepulauan


Tanimbar. Hiasan ujung perahu Kora dari kepulauan
Tanimbar ini berbentuk seperti kerucut yang
menyerupai layar perahu. Salah satu sisinya dihiasi
dengan kulit kerang putih. Pada bagian atau bidang
yang kosong dihiasi dengan ukiran bentuk spiral
serta bentuk binatang berkaki empat di bagian
bawah.

Alam pikiran masyarakat dari suku-suku bangsa di Indonesia mengenal adanya dunia atas dan dunia
bawah. Maka binatang berkaki empat dianggap sebagai binatang keramat. Sementara bentuk spiral
sudah ada sejak zaman perunggu atau kebudayaan Dongson melintas jauh sampai di bagian timur
Indonesia.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   41
Mamolo atau Mastaka

Mamolo atau Mastaka ini disebut Rama, nama salah seorang tokoh wayang
purwa, anak Raja Kosala yang dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu yang
beristrikan Dewi Sita. Dalam bahasa Sunda, mamolo atau mastaka berarti
kepala. Dalam adat-istiadat mereka, kepala merupakan bagian yang paling
tinggi dan dianggap suci. Itu sebabnya benda ini diletakkan di atas. Hiasan atap
ini berbentuk segi empat atau bulat yang meruncing ke atas. Mamolo biasanya
terbagi menjadi tiga bagian, yakni bagian bawah, bagian tengah, dan bagian
atas. Tiap-tiap bagian dibuat dengan cara bertahap. Pertama, dibuat bagian
bawah dengan bentuk lebar yang disebut indung (ibu). Kedua, dibuat bagian
tengah yang bentuknya menekuk ke dalam dan mempunyai pinggang yang
disebut anak. Ketiga, dibuat bagian atas yang berukuran hampir sama dengan
bagian bawah, namun bentuknya meruncing ke atas. Bagian puncaknya dapat
dilepaskan, disebut incu (cucu), tempat meletakkan mahkota. Mamolo tidak
hanya sebagai penghias atap yang memberikan kesan bangunan menjadi lebih
tinggi dan anggun. Juga berguna untuk menguatkan puncak atap. Hiasan ini
diletakkan di atas masjid atau kuburan para wali penyebar agama Islam di
daerah Jawa Barat, khususnya di daerah Cirebon dan Banten.

Uang Pitih Teboh

Uang ini berbentuk segi delapan dengan lubang bundar di bagian


tengah. Terbuat dari timah dengan berat 1,44 gram. Berasal dari
Palembang, Sumatera Selatan. Pada salah satu sisi tertera tulisan
Arab, “Haza fulus fi Balad Palembang-1219”. Dari angka tahun Hijriyah
yang tertera 1219 (=1804 Masehi), diketahui uang ini beredar pada
masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin. Koleksi ini memiliki
No. Inv. 12991

Uang Kasha

Uang ini berbentuk bundar dengan lubang berbentuk segi enam di bagian
tengah. Terbuat dari kuningan dan mempunyai berat 3,57 gram. Berasal
dari masa Kesultanan Banten, abad ke-16 M. Pada salah satu sisinya
tertera tulisan Arab berbahasa Jawa, “Pangeran Ratu Ing Banten”, gelar
Sultan Maulana Muhammad. Beliau memerintah Banten pada tahun
1580-1596. Koleksi ini memiliki No. Inv. 13621

Medali JP Coen 

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   42
 
 
 
 
 
Bahan perunggu, ditemukan di Belanda. Medali tanda penghargaan 350
tahun kelahiran Jan Pieter Zoon Coen (1587-1937), pendiri kota Batavia
pada masa Hindia Belanda (Indonesia). Coen pernah menjabat Gubernur
Jenderal dan meninggal dunia pada 1629. Nama Batavia berasal dari
Batavieren, suku bangsa nenek moyang bangsa Belanda yang berasal
dari Jerman. Nama Batavia kemudian diusulkan oleh Van Raai pada 12
Maret 1619.

Batu Duga

Bahan, timah, tali. Ditemukan di Indonesia. Biasanya digunakan oleh


pelaut tradisional, sebagai alat untuk mengetahui kedalaman laut demi
keselamatan pelayaran. Kedalaman laut dapat diketahui dengan cara
mengulur batu duga ini sampai ke dasar laut dengan arah tegak lurus.
Panjang tali yang terulur ke dasar laut itulah yang dianggap kedalaman laut.
Batu duga ini terbuat dari timah sehingga meskipun berukuran kecil tetapi
berat. Pada bagian atas dari batu duga ini terdapat lubang pengait,
berfungsi mengaitkan batu duga dengan tali yang akan diulur.

Sextan

Bahan Kuningan, ditemukan di Indonesia. Sextant merupakan alat


yang berfungsi untuk mengukur tinggi kulminasi benda-benda langit
(matahari, bulan, planet, bintang) di atas horizon kodrat. Pengukuran ini
sangat penting untuk menentukan tempat atau posisi kapal di samudera
ataupun pesawat terbang di udara. Dalam menentukan posisi kapal
biasanya dilakukan pada siang hari dengan menembak matahari dengan
menggunakan alat ini. Sextant terdiri atas (1) Cermin index, (2) setengah
kaca bening (kaca horizon) dan setengah cermin, serta (3) Teropong.

Meriam

Museum Nasional memiliki beberapa koleksi meriam kuno.


Pengunjung dapat menjumpainya di halaman depan. Selain itu
terdapat pula di ruang pameran gedung baru.Meriam-meriam
kuno tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia. Pada zaman
penjajahan, berbagai peperangan sering terjadi di wilayah laut
dan darat. Meriam dipakai karena mampu menembak musuh dari
jarak jauh. Lagi pula meriam sangat kokoh, karena bahannya
dari besi dan perunggu. Meriam mulai dikenal di Indonesia sejak
abad ke-16, dibawa oleh bangsa Portugis. Kata meriam berasal
dari Maria(m), nama yang sering diucapkan orang-orang Portugis
ketika menggunakan senjata tersebut dalam pertempuran. Maria dianggap pelindung dan pemberi
keselamatan bagi mereka. Dari bentuknya, meriam dibedakan menjadi tiga macam, yakni meriam bumbung,
meriam coak, dan meriam lela. Meriam bumbung berbentuk seperti bumbung, yakni pipa yang terbuat dari
bambu. Meriam coak, mendapat nama itu karena bagian pangkal meriam terbuka atau terkuak. Dalam dialek
Betawi terbuka atau terkuak disebut coak. Meriam lela berukuran lebih kecil daripada meriam-meriam di

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   43
atas, namun modelnya menarik. Meriam lela digunakan dan dibunyikan pada saat upacara, misalnya dalam
pengangkatan seorang raja, menerima tamu penting, melamar calon pengantin, dan menghormati kematian
orang terpandang. Menurut fungsinya, meriam dibedakan menjadi tiga macam, yakni meriam kapal, meriam
benteng, dan meriam artileri. Meriam kapal biasanya berlaras pendek dan berukuran besar, namun dapat
menembak lebih jauh. Meriam benteng berukuran paling besar dan berat, biasanya ditempatkan di setiap
sudut benteng atau di sepanjang pantai. Sedangkan meriam artileri umumnya berukuran sedang dan kecil
serta mudah dibawa atau didorong saat perang. Beberapa meriam dilengkapi dengan ragam hias. Selain
untuk memperindah meriam, juga mempunyai makna dan arti tertentu, misalnya berupa lambang dan
tulisan. Lambang atau tulisan dimaksudkan sebagai jatidiri meriam tersebut, sehingga bermanfaat untuk
para peneliti. Biasanya yang tertera adalah tahun pembuatan, asal meriam, dan nama penguasa waktu itu.
Zaman terus berubah. Muncul tingkah laku masyarakat yang bersifat religio-magis. Akibatnya banyak
peninggalan meriam kuno diberi nama dan dipuja-puja orang. Meriam Si Jagur adalah salah satu contohnya.
Dulu meriam ini banyak dikunjungi peziarah yang mencari berkah. Meriam tersebut selalu diberi sesajian.
Semula meriam ini terletak di Pasar Ikan, kemudian dipindahkan ke Museum Nasional. Sekarang Si Jagur
ditempatkan di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta.

Cupeng

Tiga buah koleksi Museum Nasional yang belum banyak diketahui


orang adalah cupeng, badong, dan jempang. Ketiga koleksi itu
berkenaan dengan kaum wanita dan terbuat dari emas. Cupeng adalah
semacam celana bergembok atau berkunci. Istilah ini dikenal di Aceh.
Pada awalnya cupeng merupakan benda upacara yang dipakai oleh
anak wanita kecil. Fungsinya adalah sebagai penutup kelamin.
Bentuknya seperti hati dan pemasangannya diikat dengan benang pada
perut si anak. Salah satu artefak yang terkenal berbahan emas 22
karat, berukuran tinggi 6,5 cm dan lebar 5,8 cm. Cupeng emas umum
digunakan oleh orang terpandang. Artefak tersebut penuh ukiran,
pinggirannya berhiaskan motif tapak jalak, bagian tengah bermotif
bunga teratai dikelilingi deretan bunga bertajuk empat helai dalam
bentuk belah ketupat. Bagian tengah bunga tadi bermatakan jakut
merah. Menurut tradisi lama, cupeng harus dipakai oleh anak wanita yang berusia dua hingga lima tahun.
Atau digunakan ketika anak mulai berjalan sampai anak mulai pandai mengenakan sarung sendiri. Mereka
percaya, cupeng merupakan penangkal roh jahat. Pada pemakaian pertama, benang yang dikalungkan
terlebih dulu diberikan mantera atau jampi-jampi oleh seorang dukun. Selain di Indonesia, cupeng dikenal di
Semenanjung Malaysia. Di sana disebut caping. Diduga, caping diperkenalkan ke Asia Tenggara oleh
pedagang-pedagang India pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, dari abad ke-7 hingga ke-12. Di
Malaysia caping sangat populer di daerah utara, selatan, dan pantai timur Malaysia. Sedangkan di Indonesia
cupeng banyak dipakai oleh penduduk Melayu sekitar pantai timur Sumatera, Dayak, Bugis, Makasar, dan
Aceh.

Badong

Hampir serupa dengan cupeng adalah badong. Badong merupakan


perhiasan untuk wanita bangsawan atau tokoh yang dihormati.
Penggunaannya diletakkan di luar kain, tepat di depan alat kelamin
wanita. Badong adalah simbol bagi wanita yang telah menikah dan
dipakai pada saat suami mereka sedang berperang atau sedang
berada di luar rumah. Badong juga digunakan oleh para pertapa
atau pendeta wanita. Maksudnya untuk melawan godaan agar
selamanya tidak melakukan hubungan intim dengan lawan jenis.
Badong berbahan emas ini ditemukan di daerah Madiun,
kemungkinan berasal dari masa Majapahit sekitar abad ke-14/15.
Yang unik, permukaan badong dihiasi relief cerita Sri Tanjung,
seorang wanita suci yang dituduh berselingkuh oleh suaminya,
Sidapaksa, dan kemudian dibunuh. Namun suatu saat Dewi Durga datang menolong Sri Tanjung dengan
memberikan seekor “gajamina” (ikan gajah) untuk menyeberangi sungai dunia bawah menuju surga sebagai
imbalan atas kesucian dirinya.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   44
Jempang

Mirip dengan cupeng dan badong adalah jempang. Artefak ini


ditemukan di Gowa, Sulawesi Selatan. Jempang juga merupakan
penutup kemaluan wanita, merupakan pakaian sehari-hari untuk
gadis-gadis muda dari kalangan bangsawan. Ketiga artefak adalah
peninggalan masa lalu yang salah satu fungsinya untuk penangkal
perselingkuhan. Jadi selain sebagai benda budaya, juga
menunjukkan bahwa kaum wanita sudah mendapat perhatian
khusus sejak lama.

Uang Kampua

Bahan Kain Katun. Uang kampua disebut juga bida. Uang


ini sangat unik dan langka. Dibuat dengan keterampilan
tangan. Cara pembuatannya bukan dicetak tapi ditenun
oleh putri-putri istana atau kalangan kerajaan. Mata uang
ini beredar pada abad ke-19 di Kerajaan Buton, Sulawesi
Tenggara. Kemungkinan kampua merupakan uang tertua
di Pulau Sulawesi. Selain di Buton, kampua juga pernah
diberlakukan di Bone, Sulawesi Selatan, dengan bahan
serat kayu. Menurut legenda, kampua diciptakan pertama
kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona. Dia memerintah sekitar abad ke-14. Keunikan lain uang
kampua adalah agar terkendali maka jumlah dan corak uang ini ditentukan oleh ‘panitia’ pimpinan Menteri
Besar Kerajaan yang disebut ‘Bonto Ogena’. Dialah yang melakukan pengawasan dan pencatatan atas
setiap lembar kain kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong.
Pengawasan oleh ‘Bonto Ogena’ juga dimaksudkan agar tidak timbul pemalsuan. Karena itu, hampir setiap
tahun motif dan corak kampua selalu diubah-ubah. Hukum di sana memang sangat ketat dan berat. Barang
siapa yang ketahuan membuat atau memalsukan uang kampua akan dipancung. Standar pemotongan kain
kampua adalah dengan mengukur lebar dan panjangnya, yakni empat jari untuk lebarnya dan sepanjang
telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya.
Tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang ‘Bonto Ogena’ itu sendiri.
Mata uang kampua banyak digunakan pada masa pemerintahan Sultan Dayan pada abad ke-14. Tapi
diyakini pembuatannya sudah dilakukan pada pemerintahan raja sebelumnya. Disayangkan, informasi yang
akurat belum ditemukan. Kampua menjadi populer karena Sultan Dayan memerintahkan agar setiap
transaksi menggunakan mata uang tersebut. Barang siapa yang ketahuan menggunakan mata uang lain,
akan dihukum mati. Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu ‘bida’
(lembar) kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda memasuki wilayah Buton
kira-kira tahun 1851, fungsi kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan oleh uang-uang buatan
“Kompeni”. Ditetapkan bahwa nilai tukar untuk 40 lembar kampua sama dengan 10 sen duit tembaga atau
setiap empat lembar kampua mempunyai nilai sebesar satu sen. Walaupun demikian, kampua tetap
digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai 1940. Selain di Museum Nasional, koleksi
uang kampua juga dimiliki Museum Bank Indonesia Jakarta Kota dan Museum Mpu Tantular Surabaya.

Kisi‐kisi Materi LCC Permuseuman 2020   45

Anda mungkin juga menyukai