Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue

DBD merupakan re-emerging disease dan endemis di seluruh negara beriklim tropis

di dunia. Penyakit ini juga bisa ditemukan dikawasan subtropis. DBD disebabkan oleh

virus dengue, termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae. (Suhendro dkk,

2009) Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat

rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. (Suhendro dkk, 2009) Terdapat 4 serotipe

virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. (Simons et al, 2012) Penularan infeki virus

dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes terutama A. aegypti dan A.

albopictus. Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan

virus dengue yaitu vektor : perkembangan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor

di lingkungan, tranportasi vektor dari satu tempat ketempat lain, penjamu : terdapatnya

penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis

kelamin, lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan. (Suhendro dkk, 2009)

2.2. Patogenesis Demam Berdarah Dengue

Patogenesis DBD sampai saat ini masih dalam perdebatan. (Suhendro dkk, 2009)

Berbagai teori/hipotesis dikemukakan. Respon imum yang diketahui berperan dalam

patogenesis DBD yaitu :


1. Infeksi sekunder (heterologous teory), dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder

disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi primer oleh satu serotipe virus

dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut

untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi

sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini

terjadi karena antibody heterologous yang terbentuk pada infeksi primer, akan

membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang

tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius

(Suhendro dkk, 2009), selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL-6,

TNF- α dan PAF, akibatnya akan terjadi peningkatan infeksi virus dengue. TNF-α

akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma

ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang

mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain

menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang

bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock

hipolemik) dan perdarahan. (Martina et al, 2009) Teori ini masih diperdebatkan.

(Sutirta dkk, 2012)


Gambar 2.1. Patogenesis perdarahan pada DBD.

(sumber : Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di

Indonesia)

2. ADE pada prinsipnya sama, dengan infeksi virus sekunder hanya berbeda dari sisi

sudut pandang. Teori ADE merupakan peranan sentral dari patogenesis DBD, karena

teori ini dapat dihubungkan dengan berbagai mekanisme lanjutan seperti

trombositopenia, gangguan koagulasi dan kebocoran plasma. Teori ADE menjelaskan

bahwa pembentukan antibodi non netralisir akan mempermudah sel terinfeksi oleh

virus dan memicu replikasi virus. (Sutirta dkk, 2012) Pada infeksi kedua yang dipicu

virus dengue dengan serotipe yang berbeda, maka virus dengue yang berperan sebagai

super antigen setelah difagositosis oleh monosit/makrofag. Antigen ini membawa

muatan polypeptide spesifik yang berasal dari MHC II, yang kemudian akan berikatan

dengan limfosit T CD4+ dengan perantara TCR. Limfosit CD4+ akan mengeluarkan

substansi Th1 yaitu berupa IFN-ˠ, IL-2, dan CSF. Peningkatan IFN-ˠ akan memicu
makrofag mengeluarkan sitokin yang bersifat vasoaktif dan prokoagulasi seperti IL-1,

IL-6, TNF-α, platelet activating factor, dan NO. (Suhendro dkk, 2009)

3. Virulensi Virus adalah kemampuan dari virus untuk menimbulkan penyakit. (Sutirta

dkk, 2012) Kemampuan ini dihubungkan dengan serotipe dari virus dengue untuk

masing-masing daerah. Di Indonesia yang mendominasi adalah DEN-3. Viral load

(titer) dari virus yang ada dalam tubuh pasien DBD mempunyai hubungan positif

terhadap derajat beratnya penyakit. (Suhendro dkk, 2009)

4. Mediator inflamasi merupakan reaksi penghubung antara ADE dengan komplikasi

DBD. Pada reaksi ini yang berperan adalah sel limfosit (T-helper/CD4, T-

sitotoksik/CD8), sel B, monosit/makrofag, sel endotel, sitokin, serta aktivasi

komplemen (C3a dan C5a) menyebabkan puncak reaksi berupa trombositopenia,

kerusakan endotel, meningkatkan permeabilitas kapiler, DIC, dan DSS. (Sutirta dkk,

2012)

2.2.1. Patogenesis Trombositopenia

Patogenesis dari trombositopenia terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu :

1. Penurunan produksi trombosit, akibat supresi sumsum tulang (Suhendro dkk, 2009)

Terjadi depresi tulang yaitu tahap hiposeluler pada hari ke 3-4 demam dan

perubahan patologis sistem megakariosit, eritoblast, dan prekursor mieloid. Penemuan

ini dijelaskan dengan adanya infeksi virus langsung pada sel hematopoietik progenitor

dan sel stromal. Hal ini sesuai dengan keadaan klinis pasien demam berdarah dengue

yang mengalami penurunan trombosit pada hari ke-3 dan terjadi trombositopenia pada

hari ke 4-5 demam. (Sutirta dkk, 2012)

2. Meningkatnya detruksi trombosit (Suhendro dkk, 2009)


Antibodi anti-NS1 bereaksi silang dengan sel endotel yang merangsang sel ini

untuk menghasilkan NO dan apoptosis. NO berfungsi untuk menghambat replikasi

virus dengue, akan tetapi diproduksi dalam jumlah berlebihan menyebabkan

kerusakan sel.

Antibodi anti-NS1 juga bereaksi silang dengan platelet dan menyebabkan

trombositopenia. Pengaruh reaksi silang dari antibodi dan platelet menyebabkan

terjadinya lisis dari platelet, agregasi platelet, dan mengaktivasi komplemen yang

akan memperparah lisis dari platelet. (Sutirta dkk, 2012)

3. Pemakaian jumlah trombosit berlebih (Suhendro dkk, 2009)

Peningkatan pemakaian platelet dapat memperburuk keadaan trombositopenia.

Selain pada peningkatan pemakaian trombosit, pada fase akut infeksi virus dengue

sekunder, parameter kogulasi seperti jumlah platelet dan aPTT atau parameter

fibrinolis dari tPA dan PAI-1 mengalami perubahan. aPTT memanjang sementara itu

tPA juga meningkat. Hal tersebut menyebabkan aktivasi koagulasi dan fibrinolisis

terjadi bersamaan. Jika hal ini terus terjadi maka bisa menyebabkan DIC pada DBD.

(Sutirta dkk, 2012)

2.3. Gambaran Klinis Demam Berdarah Dengue

Gambaran klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau berupa demam

yang tidak khas. (Suhendro dkk, 2009) Manifestasi klinis DBD diibaratkan seperti tapal

kuda, yang terbagi menjadi 3 fase sebagai berikut :

1. Fase demam (WHO,2009)

Pasien tiba-tiba mengalami demam tinggi. Demam akut terjadi selama 2-7 hari

dan kadang-kadang mengeluh facial flushing, sakit seluruh badan, mialgia,


arthralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorokan,

injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Tes tourniquet yang

positif pada fase ini meningkatkan kemungkinan adanya infeksi virus dengue.

Perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan pada membran mukosa dapat

terjadi pada fase ini. Perdarahan vaginal dan gastrointestinal serta perdarahan otak

dapat terjadi pada fase ini walaupun sangat jarang. Hepatomegali dapat terjadi

beberapa hari setelah demam. (Simons et al, 2012)

2. Fase kritis (WHO, 2009)

Pasien mengalami penurunan suhu tubuh menjadi 37,5-38oC selama 3-7 hari

dan meningkatkan permeabilitas kapiler dengan meningkatnya hematokrit. Ini

merupakan awal dari kebocoran plasma yang terjadi setelah 24-48 jam. (Sudjana,

2009)

Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopenia progresif disertai

penurunan trombosit. Derajat dari kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan

ascites merupakan tanda adanya kebocoran plasma yang dapat dideteksi.

Peningkatan nilai hematokrit pada fase ini biasanya memperlihatkan keparahan

dari adanya kebocoran plasma. Syok terjadi disebabkan adanya kebocoran plasma

yang berkurangnya perfusi jaringan. Bila terjadi syok berkepanjangan dapat

terjadi hipoperfusi jaringan, asidosis metabolik, dan DIC. Hal ini akan

menyebabkan terjadinya perdarahan yang berat sehingga nilai hematokrit aka

turun saat terjadi syok berat. (Simons et al, 2012)


3. Fase penyembuhan (WHO, 2009)

Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskular

ke intravascular secara perlahan pada 48-78 jam setelahnya. Keadaan umum

penderita membaik, nafsu makan membaik, hemodinamik stabil dan diuresis

membaik. (Sudjana, 2009)

Nilai hematokrit kembali stabil dikarenakan efek dari adanya reabsorbsi cairan

ekstravascular. Jumlah leukosit biasanya akan menigkat disertrai dengan

peningkatan jumlah trombosit. (Simons et al, 2012)

Gambar 2.2. Fase-fase infeksi dengue.

(sumber : Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control)

2.4. Definisi Kasus Infeksi Dengue

1. Klinis
Gejala klinis berikut harus ada, yaitu :

A. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus

menerus selama 2-7 hari.

B. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan :

a. Uji Tourniquet positif

b. Petekie, ekimosis, purpura

c. Perdarahan mukosa, epitaksis, perdarahan gusi

d. Hematemesis dan atau melena

e. Pembesaran hati

C. Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan

nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak

gelisah.

2. Laboratoris

A. Trombositopenia (100.000/µl atau kurang)

B. Adanya kebocoran plasma karena penigkatan permeabilitas kapiler, dengan

manifestasi sebagai berikut :

a. Peningkatan hematokrit ≥ 20%

b. Penurunan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar, setelah dilakukan

penggantian volume plasma.


Dua kriteria klinis ditambah satu dari kriteria laboratoris (atau hanya peningkatan

hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis. (Hadinegoro, 2006)

2.5. Derajat Klinik Infeksi Dengue

WHO pada tahun 2009 membagi derajat klinik pasien infeksi dengue sebagai berikut :

Gambar 2.3. Derajat klinik infeksi dengue.

(sumber : Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control)

1. Dengue tanpa tanda bahaya (Sudjana, 2009)

Merupakan kemungkinan infeksi virus dengue pada pasien yang bertempat tinggal

atau memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemik. Pasien tersebut demam dan

memiliki dua atau lebih dari gejala dan tanda berikut :

a. Mual, muntah

b. Ruam

c. Tes tourniquet positif

d. Nyeri kepala

e. Mialgia (WHO, 2009)


2. Dengue dengan tanda bahaya (Sudjana, 2009)

Merupakan infeksi virus dengue yang membutuhkan observasi ketat. Kriteria pada

derajat ini adalah berdasarkan tanda dan gejala pada derajat 1 disertai adanya tanda

bahaya, yaitu:

a. Nyeri perut

b. Muntah persisten

c. Perdarahan mukosa

d. Letargi

e. Kegelisahan

f. Hepatomegali >2 cm

g. Ascites

h. Efusi pleura

i. Laboratorium : peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit yang

cepat. (WHO, 2009)

3. Dengue Berat (Sudjana, 2009)

Merupakan infeksi virus dengue yang membutuhkan observasi ketat dan merupakan

kegawatdaruratan medik. Kriteria pada derajat ini adalah berdasarkan tanda dan gejala

pada derajat 1 dan 2 disertai adanya tanda dan gejala berupa :

A. Kebocoran plasma berat yang akan mengakibatkan :

1. Syok (SSD)
2. Penumpukan cairan dengan distress respirasi

B. Perdarahan berat

C. Kerusakan organ yang berat, meliputi :

1. Hepar : SGOT atau SGPT ≥ 1000

2. SSP : Penurunan kesadaran

3. Jantung dan organ yang lainnya (WHO, 2009)

2.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka DBD adalah

dengan melalui pemeriksaan darah lengkap yaitu kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah

trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran

limfosit plasma biru. Pemeriksaan darah lengkap biasanya digunakan untuk prosedur skrining

dan membantu untuk menunjang diagnosis dari berbagai penyakit. Pemeriksaan darah

lengkap sebaiknya dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Tes tambahan lainnya

sebaiknya dilakukan jika ada indikasi. Tes tambahan tersebut seperti tes fungssi hepar,

glukosa, serum elektrolit, urea, dan creatinin, bicarbonate, kardiak enzim, dan ECG.

(Suhendro dkk, 2009)

2.6.1. Pemeriksaan Jumlah Trombosit

Selain hemokosentrasi, maka yang selalu terjadi pada penderita DBD adalah

trombositopenia. (Purwanto, 2002) Penurunan jumlah trombosit dibawah 100.000/µl darah

biasanya ditemukan antara hari 3-8 dari sakitnya. (Suhendro dkk, 2009) Menurut makro di

India tahun 2007 menuliskan bahwa penderita dengan kadar trombosit <20.000/cumm
merupakan kelompok risiko tinggi terjadi perdarahan karenanya indikasi untuk diberikan

transfusi trombosit, sedangkan kelompok risiko sedang terjadi perdarahan (trombosit 20.000 -

40.000/cumm) indikasi diberikan trombosit bila terjadi perdarahan. Kelompok dengan risiko

ringan perdarahan (trombosit 41.000 - 50.000/cumm) tidak diberikan transfusi trombosit.

(Rena dkk, 2009) Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah

trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan dilakukan pertama saat pasien

diduga menderita DBD, bila normal maka diulang pada hari ketiga sakit, tetapi bila perlu

diulangi setiap hari sampai suhu turun. (Hadinegoro, 2006)

Hitung trombosit dapat digunakan sebagai alat bantu untuk diagnosis dengue karena

menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi mulai dari hari ke-4 panas (67,7% dan

87,5%), bahkan pada hari ke-5 sampai ke-7 menunjukkan angka 100%. Spesifisitas yang

sangat tinggi pada penggunaan trombositopenia sebagai parameter disebabkan karena

jarangnya penyakit infeksi yang disertai dengan penurunan hitung trombosit sampai di bawah

150 000/mm3. Bahkan jika digunakan kriteria trombosit di bawah 100 000/ mm 3, spesifisitas

hampir mencapai 100% sejak hari pertama, namun mengurangi sensitivitas antara 10-20%.

Dengan demikian pemeriksaan trombosit harian akan sangat membantu diagnosis dengue

karena meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya. Nilai rujukan jumlah trombosit normal

dalam darah menurut Dacie adalah 150.000 – 400.000 per mm3. Selain pada infeksi dengue,

kedua gejala klinis ini umumnya ditemukan pada Idiopathic ITP, tifoid, chikungunya dan flu

burung. (Suwandono, 2011)

2.6.2. Pemeriksaan Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit adalah besarnya volume sel-sel eritrosit seluruhnya dibandingkan

volume keseluruhan darah dan dinyatakan dalam %. Tujuan pemeriksaan nilai hematokrit

adalah mengetahui adanya nilai hemokentrasi pada DBD. Prinsip pemeriksaanya adalah
darah dengan antikoagulan diputar kemudian dibandingkan panjang kolom total cairan. Ada 2

metode pemeriksaan yaitu makrohematokrit dan mikrohematokrit. (Purwanto, 2002)

Pada penderita DBD nilai hematokrit meningkat sampai lebih dari 20%. Peningkatan

nilai hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi akibat kebocoran

plasma ke ruang ekstravaskular disertai efusi cairan serosa, melalui kapiler yang rusak.

Akibat kebocoran ini volume plasma menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan

terjadinya syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Pada kasus-kasus berat yang telah

disertai perdarahan, umumnya nilai hematokrit tidak meningkat, bahkan malahan menurun.

(Suwandono dkk, 2011) Namun kadar nilai hematokrit dipengaruhi oleh adanya penggantian

cairan awal dan perdarahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi pada perawatan

penderita dengan pemeriksaan nilai hematokrit. (Purwanto, 2002) Pemeriksaan nilai

hematokrit hendaknya dilakukan setiap 2 jam sekali dalam waktu 6 jam. Apabila sudah

terjadi perbaikan pemeriksaan nilai hematokrit dilakukan setiap 4 jam sampai keadaan klinis

pasien membaik. Nilai rujukan nilai hematokrit normal menurut Dacie adalah :

1. Pria : 47 ± 7%

2. Wanita : 42 ± 5%

3. Bayi baru lahir : 54 ± 10%

4. Bayi 3 bulan : 38 ± 6%

5. Bayi 3-6 bulan : 40 ± 5%

6. Bayi 10-12 bulan : 41 ± 4%


Beberapa penyakit lain yang dapat mempengaruhi peningkatan nilai hematokrit

diantaranya adalah dehidrasi, diare berat, polisitemia vera, asidosis diabetikum, TIA,

eklampsia, trauma, pembedahan, luka bakar. (Rena dkk, 2009)

2.6.3. Pemeriksaan Lainnya

Pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk menapis infeksi dengue yaitu :

1.Leukosit dapat normal atau menurun (> 45% dari total leukosit) disertai plasma biru,

>15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. (Suhendro dkk,

2009) Selanjutnya pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan sel neutrophil menurun

sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat. (Hadinegoro, 2006)

2.Dilakukan pemeriksaan PT, aPTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang

dicurigai perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

3.Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

4. SGOT/SGPT dapat meningkat.

5.Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi

mulai hari ke 3-5 meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG

pada infeksi primer terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai

terdeteksi hari ke-2. (Suhendro, 2009)

6.Pemeriksaan Anti-NS1 Dengue (Ag NSl) diharapkan memberikan hasil yang lebih

cepat dibandingkan pemeriksaan serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat

terdeteksi dalam darah pada hari pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup

mudah, praktis dan tidak memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-

l yang spesifik terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue
sudah dapat ditegakkan lebih dini. Menurut dusaart dkk pada sampel darah infeksi

dengue di Guyana menunjukkan Ag NS-l dapat terdeteksi mulai hari ke-0 (onset

demam) hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang cukup tinggi. Pada penelitian ini

didapatkan sensitivitas deteksi Ag NS-l sebesar 88,7% dan 91 % sedangkan spesifisitas

mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan isolasi virus dan RT-PCR dengan

kontrol sampel darah infeksi non-dengue. Penelitian lainnya di Singapura pemeriksaan

anti-NS1 secara Elisa memberikan sensitivitas sampai 93,3 %. (Sudjana, 2009)

7. Pemeriksaan radiologis foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks

kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma yang hebat, efusi pleura dijumpai pada

kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG.

(Suhendro dkk, 2009)

Anda mungkin juga menyukai