Anda di halaman 1dari 3

G.

Perlibatan Jaringan Sosial


Jaringan social adalah struktur social yang terdiri dari elemen-elemen individual atau
organisasi. Jaringan ini menunjukkan jalan di mana mereka berhubungan karena kesamaan
sosialitas. Jaringan social adalah peta semua ikatan yang relevan antar simpul yang dikaji.
Jaringan tersebut dapat pula digunakan untuk menentukan modal social actor individu.
Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar individu dalam suatu
kelompok ataupun antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang
terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal.

1. Hubungan Keluarga dalam Penyalahgunaan Napza


Keterlibatan jaringan sosial dalam penyalahgunaan Napza yaitu hubungan individu dengan
keluarga, pertemanan, dan masyarakat dalam penyalahgunaan Napza. Pola interaksi dalam
keluarga terbagi menjadi empat, yaitu pola interaksi demokratis, pola interaksi protektif, pola
interaksi laissez faire, dan pola interaksi otoriter. Pola interaksi demokratis adalah keadaan
dimana di dalam pola ini baik anak maupun orang tua mempunyai pengertian yang sama tentang
peran yang diharapkan dari masingmasing pihak dalam kehidupan keluarga. Figur orang tua
dalam pola interaksi ini menjadi model peran maupun panutan bagi anak. Pola berikutnya adalah
pola interaksi protektif, pada pola ini orang tua cenderung melihat anak sebagai pribadi yang
harus dilindungi dan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa campur tangan orang tuanya. Akibatnya
anak menjadi tidak berkembang kemandiriannya dan selalu bergantung pada dukungan orang
tua. Pola interaksi laissez faire menunjukkan baik anak maupun orang tua tidak peduli akan apa
yang dilakukan masing-masing sejauh kepentingan mereka tidak saling berbenturan. Di mata
anak, orang tua semacam ini adalah figur fisik yang melahirkan namun bukan figur psikologis
yang memberi kehangatan. Pola interaksi yang terakhir adalah pola interaksi otoriter, dalam pola
ini anak dianggap orang tua sebagai pihak yang harus tunduk kepada perintah orang tua.
Keterikatan orang tua dan anak tidak didasari rasa hormat atau menghargai tetapi rasa takut
karena orang tua dianggap sebagai figur yang menumbuhkan rasa takut bukan rasa aman.
Dalam kasus penyalahgunaan Napza pada individu dapat dipengaruhi oleh pola komunikasi
dan sistem keluarga. Sistem keluarga dewasa ini lebih condong ke dalam keluarga yang
enmeshed (kaku), separated (terpisah), disangeged (tercerai berai) sehingga menimbulkan
keinginan seseorang mencari tempat dan kelompok baru yang dapat memenuhi kebutuhan
dirinya, khususnya kebutuhan psikologis dan sosialnya. Hal ini juga menunjukkan pola
komunikasi keluarga yang rendah atau kurang baik dapat memicu penyalahgunaan Napza.

2. Hubungan Pertemanan dalam Penyalahgunaan Napza


Individu berinteraksi dalam lingkungan sekitarnya yang terwujud melalui interaksi dengan
lingkungan sosialnya seperti berinteraksi dengan teman sebaya atau berinteraksi dalam
lingkungan sekolah dan lain sebagainya. Menurut Asher dan Mc Donald; Bukowski, Motzoi, dan
Meyer dalam Santrock Pada tahun 2012 menyebutkan bahwa memiliki relasi yang bersifat
positif sangatlah penting dalam berinteraksi terutama pada masa kanak-kanak pertengahan dan
akhir. Memiliki relasi positif di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir tidak hanya
memberikan hasil yang positif di masa itu tetapi juga terkait dengan relasi yang positif di masa
remaja dan dewasa. Relasi positif ini didapat melalui pola interaksi yang positif pula. Di era
globalisasi saat ini kebanyakan relasi yang terbentuk dalam berinteraksi dengan teman sebaya
adalah relasi negatif. Terlihat dari munculnya perkelahian antar siswa, munculnya kelompok
pertemanan yang bersama-sama mencoba minuman beralkohol, mengonsumsi obat-obatan
terlarang, dan lain sebagainya. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh seseorang yang
berkeinginan untuk diterima oleh suatu kelompok dengan cara melakukan apa yang biasa
anggota kelompok tersebut lakukan.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Bukowski, dan Parker dalam Santrock
(2012) menyebutkan bahwa semakin bertambahnya usia, ukuran kelompok yang dimiliki oleh
individu itu sendiri akan semakin bertambah besar yang mengakibatkan pemantauan dari orang
dewasa terhadap kelompok pertemanan tersebut menjadi berkurang. Menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Puspitawati mengatakan bahwa solidaritas sangat dijunjung tinggi oleh
kelompok teman bermain. Apapun akan dilakukan demi menjaga kelompok tersebut dan anggota
kelompok dalam mempertahankan posisinya di dalam suatu kelompok pertemanan.
Pada umumnya anak-anak yang mengalami penolakan akan terlibat dalam kenakalan remaja
bahkan hingga putus sekolah. Anak-anak yang mengalami penolakan ini pun kurang
berpartisipasi di lingkungannya. Coie dalam Santrock (2012) mengungkapkan alasan mengapa
anak yang agresif dan ditolak kawan sebayanya memiliki masalah dalam relasi sosialnya, yaitu
pertama, anak yang ditolak dan agresif cenderung lebih impulsif dan memiliki masalah dalam
mempertahankan atensi dan akibatnya mereka cenderung mengganggu aktivitas yang sedang
berlangsung di kelas dan dalam kegiatan berkelompok. Kedua, anak yang ditolak dan agresif
cenderung lebih reaktif secara emosi. Mereka lebih mudah marah dan mungkin lebih sukar
tenang sesudahnya, kemudian mereka menjadi lebih mudah marah dan melakukan penyerangan
baik secara fisik maupun verbal. Ketiga, anak-anak yang ditolak kurang memiliki keterampilan
sosial yang diperlukan untuk berkawan dan mempertahankan relasi yang positif dengan kawan
sebaya. Ketiga alasan tersebut telah dibuktikan dan diperkuat oleh hasil penelitian Indiyah
(2005) yang mengungkapkan bahwa seseorang yang melakukan penyalahgunaan Napza yaitu
akibat dari hubungan dalam lingkungan masyarakat yang kurang harmonis. Hal tersebut
ditunjukkan dengan sikap masyarakat yang kurang bersahabat.
Kelompok pertemanan memiliki peranan penting dalam penyesuaian diri pada remaja dan
sebagai persiapan bagi kehidupan di masa yang akan datang, serta berpengaruh pada pandangan
dan perilaku. Hal ini disebabkan remaja sedang berusaha untuk membebaskan diri dari keluarga
dan tidak ingin bergantung kepada orang tua.
Pada umumnya factor penyebab seseorang melakukan penyalahgunaan Napza cenderung
positif disebabkan factor individu sebagai anggota kelompok dan indentitas remaja, yaitu adanya
kecenderungan seseorang memegang peran dalam kelompok bergaul, kecenderungan seseorang
berkorban untuk kelompoknya, kecenderungan seseorang ingin terpandang dalam kelompoknya,
kecenderungan seseorang takut dikeluarkan dari anggota kelompok, dan kecenderungan
seseorang menggunakan Napza dibenarkan oleh kelompoknya. Hasil penelitian Jaji (2009)
mengungkapkan pengaruh teman sebaya terhadap penyalahgunaan Napza, pada umumnya
penyalahgunaan ini karena dikenalkan oleh teman, dan mengonsumsinya pun bersama-sama
antara 3-5 orang. Perilaku penyalahgunaan Napza pada remaja juga akibat sosialisasi atau
interaksi remaja dengan lingkungannya.

3. Hubungan Masyarakat dalam Penyalahgunaan Napza


Kondisi lingkungan social yang tidak sehat atau rawan merupakan factor yang dapat
menyebabkan terganggunya jiwa atau kepribadian seseorang kearah perilaku yang menyimpang
yang pada akhirnya akan menyebabkan seseorang tersebut terlibat dalam penyalahgunaan Napza.
Lingkungan yang rawan tersebut diantaranya ialah tempat hiburan yang buka hingga larut malam
hingga dini hari di mana sering sekali digunakan sebagai tempat transaksi dan pelacuran,
perumahan yang padat kumuh, banyaknya penertiban, tontontan di televise, dan sejenisnya yang
bersifat pornografi, kekerasan hingga kriminalitas antar warga dan antar sekolah (Ratna, 2017).

DAPUS :

Rika Sri, dkk. (2019). “Hubungan Lingkungan Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja
Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Pekan Baru”. Midwifery Journal, Vol. 4
No. 2 Juli 2019, 83-88. ISSN 2503-4340.

Qanita Windya. 2014. Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) di Kalangan Remaja.

Anda mungkin juga menyukai