Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 18

Tutor : Dr. dr. Legiran, M. Kes.


Disusun oleh: Kelompok B8
Kelas Beta 2016

Frilla Adhany Marsya 04011181621048


Fatrina Mahadewi 04011181621050
Mutiara Tri Florettira 04011181621058
Iza Netiasa Haris 04011181621060
Resiana Citra 04011281621106
Tiara Putri Yosineba 04011281621134
Nada Premawedia 04011281621135
Bella Stevanny 04011281621154
Aldo Aulia Rahman 04011281621157

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang
berjudul “Laporan Tutorial Skenario B Blok 18” sebagai tugas kompetensi
kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur,
hormat, dan terima kasih kepada :
1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran
diskusi tutorial,
2. Dr. dr. Legiran, M. Kes. selaku tutor kelompok B8
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD Beta 2016
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan
tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga
kita selalu dalam lindungan Tuhan.

Palembang, 23 Oktober 2018

Kelompok B8

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................iii
Kegiatan Diskusi ................................................................................................1
Skenario ..............................................................................................................2
I. Klarifikasi Istilah.....................................................................................3
II. Identifikasi Masalah.................................................................................4
III. Analisis Masalah......................................................................................5
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan............................................................44
V. Sintesis...................................................................................................45
VI. Kerangka Konsep...................................................................................89
VII. Kesimpulan............................................................................................90
Daftar Pustaka...................................................................................................91

iii
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : Dr. dr. Legiran, M. Kes.


Moderator : Bella Stevanny
Sekretaris 1 : Resiana Citra dan Frilla Adhany Marsya
Sekretaris 2 : Mutiara Tri Florettira dan Fatrina Mahadewi
Pelaksanaan : 22 dan 24 Oktober 2018
10.00-12.30 WIB

Peraturan selama tutorial:


1. Semua peserta wajib aktif dalam kegiatan diskusi
2. Mengangkat tangan sebelum menyampaikan pendapat.
3. Menjawab dan menyampaikan pendapat apabila telah diizinkan oleh
moderator.
4. Tidak langsung menyanggah pendapat orang lain.
5. Tidak diperbolehkan mengoperasikan hp setelah tahap klarifikasi istilah.
6. Meminta izin terlebih dahulu dari moderator jika hendak keluar

1
SKENARIO B BLOK 18 TAHUN 2018

Tn. AG, usia 35 tahun, datang ke RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang dirujuk dari puskemas
dengan keluhan bercak merah kehitaman di punggung yang terasa panas, nyeri, dan gatal.
Pada bagian tengah bercak merah, terdapat beberapa lenting. Bibir terasa agak menebal
setelah seharian minum obat yang diberikan dokter puskesmas untuk keluhan influenza.
Penderita mengatakan sudah ketiga kalinya menderita gejala seperti ini setelah meminum
obat untuk penyakit yang sama. Gejala yang diderita pada kekambuhan terakhir lebih parah
dan lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : sadar dan kooperatif
Vital sign : TD : 120/80mmHg, Nadi : 88x/menit, RR : 20x/menit, suhu 37,5oC
Keadaan spesifik : dalam batas normal
Status dermatologikus :
Regio labialis, trunkus posterior, femoralis dekstra dan abdomen:
Patch eritem dengan tepi hiperpigmentasi, lentikuler sampai numuler, tepi lesi eritem dan
sedikit edema, beberapa lesi tedapat vesikel di bagian tengah.

2
I. Klarifikasi Istilah
No
Istilah Pengertian
.
Bercak merah
1. Bercak hiperpigmentasi
kehitaman
Lenting / vesikel Kulit melepuh yang muncul berbentuk gelembung yang berisi
2.
cairan berukuran < 0,5 cm
Patch eritem Perubahan warna menjadi kemerahan akibat adanya
3.
vasodilatasi kapiler dengan diameter >1 cm.
4. Regio labialis Bagian bibir
5. Trunkus posterior Batang tubuh bagian belakang (punggung)
Influenza Infeksi virus akut pada saluran pernapasan disebabkan oleh
6.
influenza virus A, B, dan C.
7. Hiperpigmentasi Pigmentasi yang meningkat secara abnormal.
8. Lentikuler Lesi sebesar biji jagung
9. Numuler Lesi sebesar uang logam atau koin 100 rupiah.
Lesi eritem Perubahan warna pada kulit menjadi warna kemerahan akibat
10.
adanya vasodilatasi kapiler
Edema Pengumpulan cairan secara abnormal dalam ruang jaringan
11.
interseluler tubuh

II. Identifikasi Masalah


No. Pernyataan Kesesuaian Konsen
1. Tn. AG, usia 35 tahun, datang ke Tidak Sesuai ***
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Harapan
dirujuk dari puskemas dengan keluhan
bercak merah kehitaman di punggung
yang terasa panas, nyeri, dan gatal.
Pada bagian tengah bercak merah,
terdapat beberapa lenting.

2. Bibir terasa agak menebal setelah Tidak Sesuai **


seharian minum obat yang diberikan Harapan
dokter puskesmas untuk keluhan
influenza.
3. Penderita mengatakan sudah ketiga Tidak Sesuai **
kalinya menderita gejala seperti ini Harapan
setelah meminum obat untuk penyakit
yang sama. Gejala yang diderita pada
kekambuhan terakhir lebih parah dan
lebih banyak dibandingkan
sebelumnya.

3
4. Pemeriksaan fisik : Tidak Sesuai **
Keadaan umum : sadar dan Harapan
kooperatif
Vital sign : TD : 120/80mmHg, Nadi :
88x/menit, RR : 20x/menit, suhu
37,5oC
Keadaan spesifik : dalam batas
normal

5. Status dermatologikus : Tidak Sesuai *


Regio labialis, trunkus posterior, Harapan
femoralis dekstra dan abdomen:
Patch eritem dengan tepi
hiperpigmentasi, lentikuler sampai
numuler, tepi lesi eritem dan sedikit
edema, beberapa lesi tedapat vesikel di
bagian tengah.

III. Analisis masalah


1. Tn. AG, usia 35 tahun, datang ke RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang dirujuk
dari puskemas dengan keluhan bercak merah kehitaman di punggung yang
terasa panas, nyeri, dan gatal. Pada bagian tengah bercak merah, terdapat
beberapa lenting. Bibir terasa agak menebal setelah sehari minum obat yang
diberikan dokter puskesmas untuk keluhan influenza.
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?
Jumlah kasus bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut mungkin
disebabkan pajanan obat yang bertambah. Perbandingan jenis kelamin laki-
laki dan perempuan dalam kasus ini adalah 1:1, artinya tidak ada perbedaan
antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

b. Apa saja kemungkinan yang menyebabkan keluhan bercak merah


kehitaman dengan lenting di bagian tengahnya pada punggung yang terasa
panas, nyeri, dan gatal pada kasus ini?
 Panas, Nyeri, Gatal : Erupsi makulopapular
Urtikaria Akut Sindrom Hipersensitifitas
Urtikaria dan angiodema Obat (SHO)
Dermatitis Kontak  Eritema, Vesikel
Fixed Drug Eruption Erythema multiforme
 Eritema dan Edema Fixed Drug Eruption
Erythema Multiforme Dermatitis Kontak
Cellulitis
Fixed Drug Eruption

4
c. Bagaimana mekanisme timbulnya keluhan bercak merah kehitaman
dengan lenting di bagian tengahnya pada punggung yang terasa panas,
nyeri, dan gatal, serta bibir yang menebal?

Obat mengaktifkan sel-sel T sitotoksik dalam epidermispelepasan sitokin-


sitokin (mediator inflamasi) termasuk histamin  mengaktifkan komplemen 
timbul reaksi peradangan sitokin-sitokin dengan sel T helper dan neutrofil
menghancurkan sel-sel kulit lokal (keratinosit dan melanosit) lesi bercak
merah kehitaman, terasa panas, nyeri dan gatal
Reaksi peradangan  edema intraseluler  degenerasi balon (serbukan sel
radang mengisi ruang antarsel)  timbul vesikel.
Reaksi peradangan  angioedema  bibir menebal,

d. Bagaimana histopatologi pada kasus dibandingkan dengan histofisiologi


kulit?

5
e. Apa saja obat-obatan yang mungkin diberikan untuk keluhan influenza?
- Antipiretik. Pada dewasa yaitu parasetamol 3-4 x 500 mg/hari (10-15
mg/kgBB), atau ibuprofen 3-4 x 200-400 mg/hari (5-10 mg/kgBB).
- Dekongestan, seperti pseudoefedrin (60 mg setiap 4-6 jam)
- Antihistamin, seperti klorfeniramin 4-6 mg sebanyak 3-4 kali/hari, atau
difenhidramin, 25-50 mg setiap 4-6 jam, atau loratadin atau cetirizine 10
mg dosis tunggal (pada anak loratadin 0,5 mg/kgBB dan setirizin 0,3
mg/kgBB). Dapat pula diberikan antitusif atau ekspektoran bila disertai
batuk.
- NSAID, contoh : Ibuprofen

f. Apa saja obat influenza yang kemungkinan dapat menyebabkan keluhan


Tn. AG?
- NSAID, contoh : Ibuprofen, Asam mefenamat
- Antipiretik dan analgesik : paracetamol, ibuprofen

2. Penderita mengatakan sudah ketiga kalinya menderita gejala seperti ini setelah
meminum obat untuk penyakit yang sama. Gejala yang diderita pada
kekambuhan terakhir lebih parah dan lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
a. Apa makna klinis dari “pasien sudah tiga kali sudah mengalami gejala
seperti ini setelah meminum obat untuk penyakit yang sama.”?
Pasien ini mengalami erupsi obat alergik tipe fixed drug eruptions.

b. Mengapa gejala yang diderita pada kekambuhan terakhir lebih parah dan
lebih banyak dibandingkan sebelumnya?
Adanya proses inflamasi dan kerusakan jaringan lokal pada FDE
dilatarbelakangi oleh adanya sel T CD8+ yang menetap pada lesi FDE.
Menetapnya sel CD8+ pada lesi dan salah satu fungsinya sebagai sel memori

6
menjelaskan terjadinya rekurensi lesi pada tempat yang sama. Sel ini
menimbulkan kerusakan jaringan karena mencetuskan respon imun.

Kerusakan jaringan terjadi saat sel T CD8+ diaktifkan untuk membunuh secara
langsung keratinosit dsekitarnya dan melepaskan interferon gamma dalam
jumlah besar ke lingkungan lokal. Sitokin tersebut berfungsi sebagai faktor
kemotaktik untuk sel-sel imun lainnya seperti sel T CD4+, sel neutrofil dan sel
T CD8+ lainnya untuk datang ke lokasi lesi dan menibulkan respon imun serta
kerusakan yang jauh lebih berat. Pada lesi FDE biasanya juga ditemukan
adanya peningkatan ekspresi ICAM-1 oleh keratinosit yang menjelaskan
adanya migrasi limfosit ke area lesi epidermis sehingga terjadi kerusakan yang
lebih berat.

Pemberian obat berulang juga akan menyebabkan timbulnya lesi baru dan lesi
lama yang sudah ada dapat bertambah besar.

c. Bagaimana mekanisme terjadinya fixed drug eruption?

7
3. Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : sadar dan kooperatif
Vital sign : TD : 120/80mmHg, Nadi : 88x/menit, RR : 20x/menit, suhu 37,5oC
Keadaan spesifik : dalam batas normal
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik Tn. AG?
Jenis Hasil Nilai
Interpretasi Makna
Pemeriksaan Pemeriksaan Normal
Sadar dan Sadar dan
Keadaan umum Normal
kooperatif kooperatif
Tekanan Darah 120/80 mmHg <120/80 mmHg Normal Tidak ada
Nadi 88x/menit 60 – 80 x/menit Normal gejala
o
Suhu 37,5 C o
36,5 – 37,5 C Normal sistemik
Keadaan Dalam batas Dalam batas
Normal
spesifik normal normal

4. Status dermatologikus :
Regio labialis, trunkus posterior, femoralis dekstra, dan abdomen:
Patch eritem dengan tepi hiperpigmentasi, lentikuler sampai numuler, tepi lesi
eritem dan sedikit edema, beberapa lesi tedapat vesikel di bagian tengah.
a. Bagaimana interpretasi dan gambaran klinis status dermatologikus diatas?
Interpretasi: Abnormal
Gambaran:

8
b. Bagaimana mekanisme abnormalitas pada status dermatologikus diatas?

Konsumsi obat  reaksi alergi (aktivasi sel T CD8 + yang ada di intraepidermal) 
kerusakan jaringan  lesi eritema dan hiperpigmentasi

5. Hipotesis: Tn. AG, usia 35 tahun diduga mengalami fixed drug eruption akibat
konsumsi obat influenza.
a. Apa diagnosis banding kasus?
No Nama Akut/ Efloresensi Lokasi/ Etiologi Gejala lain ya
Penyakit kronik Predileksi menyertai
1. Fixed Drug Akut Lesi target, Bibir, tangan, Obat-obatan, Rasa nyeri, ga

9
Eruption eritema, dan genitalia terutama dan panas.
vesikel tetrasiklin,
naplaxsen, dan
metamizol.
1 Urtikaria Akut Eritema dan Seluruh tubuh Vasodilatasi Gatal, rasa terba
Akut edema disertai dan rasa tertusuk
berbagai permeabilitas
macam ukuran, kapiler yang
bagian tengah meninkgat
lesi tampak akibat pelepasan
lebih pucat histamine dari
sel mast dan
basofil
2 Cellulitis Akut Eritema Tungkai bawah Infeksi Demam, malaise,
berwarna streptococcus
merah cerah
dan berbatas
tegas
3 Erithema Akut Makula Ekstremitas, Idiopatik, Demam, sa
multiform eritematosa genital, dan diduga obat- tenggorokan, sa
atau putputik, daerah obatan, dan kepala, dan diare.
kadang interigious infeksi.
dijumpai lesi
target
4. Dermatitis Akut / Eritema dan Tangan, lengan, Iritan Panas, dan nyeri
Kontak Kronik edema wajah, telinga,
leher, badan,
genitalia,
tungkai atas dan
bawah.
5. Eritroderma Akut / Eritema yang Psoriasis dan Ketidakseimbanga
kronik universal dan obat-obatan elektrolit, ganggu
skuma akan termoregulasi, se
timbul pada kehilangan albumi
stadium

10
penyembuhan

b. Apa diagnosis kerja kasus?


Fixed Drug Eruption tanpa komplikasi

c. Bagaimana alur penegakkan diagnosis pada kasus?


Diagnosis FDE berdasarkan :
1) Anamnesis :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan
diketahui mengenai :

 obat-obatan yang didapat


 kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat.
 Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril.
2) Kelainan Klinis :
Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang
sama akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan
gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat
tersebut.

3) Pemeriksaan Khusus :
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk
mendeteksi obat penyebab FDE.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan


diagnosa FDE dengan pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan
histopatologi didapatkan adanya degenarasi hidrotik pada lapisan sel basal
yang akan menuju pada inkontinens pagmentari, dimana dikarakteristik
dengan adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag yang
terdapat pada lapisan atas kulit (Tarnowsky). Sebagai tambahan terdapat
penyebaran dari diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang eosinifilik
dan inti pignotik sering terlihat pada epidermis (Furuya, dkk). Pada
pemeriksaan dengan mengunakan mikroskop elektron diskeratotik
keratonicytes terisi dengan tonofilamen tipis yang homogen dan menunjukkan
sedikit dari sisa-sisa organel sel dan inti. 8 Pola keseluruhan dapat meniru
yang terlihat pada eritema multiforme. Diskeratosis dan keratinosit nekrotik
individual dalam epidermis mungkin fitur yang menonjol (lihat gambar di
bawah).

11
Gambar. Dermatitis Interface, perubahan vakuolar, keratinosit
nekrotik, dan pigmen inkontinen di dermis

Pada Patch Test, obat yang dicurigai dapat ditempatkan sebagai tes
patch di situs yang terlibat sebelumnya; respon inflamasi terjadi pada hanya
30% kasus.

d. Bagaimana algoritma penegakkan diagnosis pada kasus?

12
e. Apa definisi?
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan
tertentu yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada

13
tempat yang sama dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi
lesi.

f. Bagaimana epidemiologi?
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang pernah
dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999) mendapatkan
FDE (63%), sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58
kasus bayi dan anak, disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria
(12%). Jumlah kasus bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut
mungkin disebabkan pajanan obat yang bertambah.

g. Apa saja faktor risiko?


Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah:
1) Jenis kelamin dan usia.
2) Karakteristik molekular dan sensitisasi.
3) Variasi metabolik individu.
4) Kemampuan imunogenetik.
5) Paparan obat.
6) Pemaparan obat ulangan.

h. Apa etiologi pada kasus?


Daftar obat-obat penyebab FDE
Obat antibakteri Obat anti inflamasi non steroid
• Sulfonamid (co-trimoxazole) • Aspirin
• Tetrasiklin • Oxyphenbutazone
• Penisilin • Phenazone
• Ampisilin • Metimazole
• Amoksisilin • Paracetamol
• Eritomisin • Ibuprofen
• Trimethoprim  Phenolpthalein
• Nistatin  Codein
• Arsen  Hydralazin
• Garam Merkuri  Oleoresin
• P amino salicylic acid  Symphatomimetic
• Thiacetazone  Symaphatolitic
• Quinine  Parasymphatolitic
• Metronidazole

i. Bagaimana pathogenesis pada kasus?


Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coombs
& Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke
empat jalur berikut ini;

14
1) Tipe I Reaksi Anafilaktik

Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah
pemakaian obat. Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria,
spasme bronkus, dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya
syok anafilaktik dengan hipotensi dan kematian. Sel mast dan basofil yang
tersentisisasi akan melepaskan mediator-mediator kimia (histamin) atau
lemak (leukotriens/prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala klinik
yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim
respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut.
Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih
diakibatkan peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika
terjadi konjugasi protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan
behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.

2) Tipe II Reaksi Sitotoksik


Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan
antara IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem
komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis.
3) Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Antibodi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan
tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim
komplemen terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan
berbagai mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan
terjadi kerusakan jaringan.
4) Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan


reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat karena baru
timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen.

j. Bagaimana patofisiologi pada kasus?


Fixed Drug Eruption merupakan bentuk klinik dari hipersensitivitas tipe IV
(Delayed Type Hipersensitivity) subtipe D yang dimediasi oleh sel T CD8+. Obat
yang mengganggu diduga berfungsi sebagai hapten yang secara istimewa
berikatan dengan keratinosit basal, yang menyebabkan respons inflamasi.

Adanya proses inflamasi dan kerusakan jaringan lokal pada FDE


dilatarbelakangi oleh adanya sel T CD8+ yang menetap pada lesi FDE. Selain
itu, sel-sel tersebut juga ditemukan pada lapisan epidermis yang normal namun
dapat bermigrasi ke area lesi jika terjadi pajanan obat kausatif.

15
Populasi sel T CD8+ yang ditemukan pada lesi FDE yang tidak reaktif (berada
dalam refractory period) memiliki peran sebagai sel efektor dan sel memori.
Menetapnya sel CD8+ pada lesi dan salah satu fungsinya sebagai sel memori
menjelaskan terjadinya rekurensi lesi pada tempat yang sama. Sel ini
menimbulkan kerusakan jaringan karena mencetuskan respon imun, walaupun
sebenarnya sel ini pada awalnya memiliki fungsi melindungi epidermis dari
adanya infeksi berulang

Kerusakan jaringan terjadi saat sel T CD8+ diaktifkan untuk membunuh secara
langsung keratinosit dsekitarnya dan melepaskan interferon gamma dalam
jumlah besar ke lingkungan lokal. Sitokin tersebut berfungsi sebagai faktor
kemotaktik untuk sel-sel imun lainnya seperti sel T CD4+, sel neutrofil dan sel T
CD8+ lainnya untuk datang ke lokasi lesi dan menibulkan respon imun serta
kerusakan yang jauh lebih berat. Selain itu sel T CD8+ juga memiliki fungsi
efektor sitolisis langsung dengan mengeluarkan perforin dan fas L sehingga sel
yang terkena mengalami proses lisis. Pada lesi FDE biasanya juga ditemukan
adanya peningkatan ekspresi ICAM-1 oleh keratinosit yang menjelaskan adanya
migrasi limfosit ke area lesi epidermis sehingga terjadi kerusakan yang lebih
berat.

Di akhir respon imun yang terjadi, terdapat adanya keterlibatan sel T regulator
yang direkrut ke area lesi untuk menghambat dan menghentikan respon imun
yang dimediasi sel T CD8+ intraepidermal dan sel T lainnya. Sebagian besar
sel-sel tersebut kemudian mengalami apoptosis. Beberapa sel ada yang menetap
pada lesi dan tidak mengalami apoptosis disebabkan oleh sitokin IL-15 yang
dikeluarkan oleh keratinosit.

k. Apa saja manisfestasi klinis kasus?

FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini


seringkali timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya
luka seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan
tapi hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang
berulang, lesi akan muncul kembali pada tempat yang sama.

16
Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran
eritematous dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi
biasanya berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat,
kadang-kadang lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang
berulang lesi baru dapat muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat
bertambah besar.

Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan. tangan, kaki,
genitalia (glans penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya
lesi. Lesi juga dapat muncul di sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat
terjadi berhubungan dengan lesi pada kulit atau terjadi sendiri. Apabila terjadi
penyembuhan timbul pengelupasan yang diikuti dengan perubahan warna yang
menetap pada daerah lesi dimana warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini
dapat menghilang seiring waktu tapi sering menetap diantara pemaparan obat.
Pigmentasi terjadi lebih lama pada orang dengan kulit coklat. Pigmentasi dari
FDE menghilang apabila penderita tidak diberikan obat penyebab. FDE non
pigmentasi dilaporkan pada pemberian pseudoefedrin dan piroksikan bisa
terdapat gejala-gejala lokal atau umum yang menemani perjalanan penyakit
fixed drug eruption yang berupa gejala ringan atau tidak ada.

l. Apa saja pemeriksaan tambahan yang belum dilakukan tapi perlu?


Dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsikulit (minimal 6 minggu
setelah lesi kulit hilang) danmemenuhi syarat uji kulit, dilakukan di tahap
lanjut:
1. Uji tempel tertutup,
2. Uji tusuk bila uji tempel negatif
3. Uji provokasi peroral bila uji tusuk negatif

m. Bagaimana tatalaksana farmakologi dan non farmakologi sesuai kasus?


Topical
Lesi kering: bedak salisilat dengan zat pendingin (menthol, camphora) untuk
menghilangkan gatal; Hidrokortison krim 2,5% atau Mometason furoat krim
0,1%.

17
Lesi basah: kompres terbuka dengan antiseptik

Systemic
Antihistamin sistemik selama 7 hari
Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari

Kriteria Rujukan
1) Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan
akan berkembang menjadi Sindrom Steven Johnson.
2) Untuk membuktikan jenis obat terduga sebagai penyebab dilakukan uji
tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan uji tusuk, bila negatif
lanjutkan dengan uji provokasi.
3) Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar selama
7 hari dan menghindari obat.

18
n. Bagaimana edukasi dan pencegahan kasus?
Pencegahan
Menghindari penggunaan obat dari golongan yang sama
Berikan kartu alergi, berisi daftar obat yang diduga menyebabkan alergi, kartu
tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas kesehatan setiap kali berobat.

Edukasi
1) Prinsip tatalaksana adalah eliminasi obat terduga. Pasien dan keluarga
diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompet tentang alergi obat
yang diderita.
2) Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan timbul
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Bila alergi berulang terjadi kelainan
sama pada lokasi yang sama.
3) Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau
tidak memenuhi kriteria rujukan.
4) Apabila obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka sebaiknya
penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil memuat jenis obat tersebut
serta golongannya. Kartu tersebut ditunjukkan bila diperlukan (misal saat
penderita berobat) sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan FDE terulang.

o. Apa saja komplikasi pada kasus?


Pada kasus ini belum terjadi komplikasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi : Infeksi sekunder, Eritrodermi, dan Sepsis
p. Bagaimana prognosis kasus?
Bonam (tidak ada komplikasi).

19
q. Apa SKDI kasus?
4A.

20
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan
What I don’t What I have to How will I
No Pokok Bahasan What I Know
know prove learn
Histofisiologi
Histologi
1. Kulit dan Histopatologi
Kulit
Histopatologi
 Etiologi
 Pathogenesis
 Penegakan
 Staging
diagnosis
 Definisi Hipertrofi
 Pemeriksaan Jurnal
 Klasifikasi tonsil
Fixed Drug penunjang
2.  Manifestasi  Edukasidan
Eruption  Diagnosis Textbook
Klinis pencegahan
 Banding
 Komplikasi
 Tatalaksana Internet
 Prognosis

 Bentuk.
Distribusi,
Status
3. pola
dermatologikus
penyebaran
lesi

21
V. Sintesis
A. Histofisiologi kulit normal dan histopatologi pada kasus
1) Histologi Kulit Normal

Kulit beserta turunannya, meliputi rambut, kuku, kelenjar sebasea, kelenjar keringat,
dan kelenjar mamma disebut juga integumen. Fungsi spesifik kulit terutama
tergantung sifat epidermis. Epitel pada epidermis ini merupakan pembungkus utuh
seluruh permukaan tubuh dan ada kekhususan setempat bagi terbentuknya turunan
kulit, yaitu rambut, kuku, dan kelenjar-kelenjar.

KULIT SEBAGAI ORGAN

Kulit merupakan organ yang tersusun dari 4 jaringan dasar:


1. Kulit mempunyai berbagai jenis epitel, terutama epitel berlapis gepeng dengan
lapisan tanduk. Penbuluh darah pada dermisnya dilapisi oleh endotel. Kelenjar-
kelenjar kulit merupakan kelenjar epitelial.
2. Terdapat beberapa jenis jaringan ikat, seperti serat-serat kolagen dan elastin,
dan sel-sel lemak pada dermis.
3. Jaringan otot dapat ditemukan pada dermis. Contoh, jaringan otot polos, yaitu
otot penegak rambut (m. arrector pili) dan pada dinding pembuluh darah,
sedangkan jaringan otot bercorak terdapat pada otot-otot ekspresi wajah.
4. Jaringan saraf sebagai reseptor sensoris yang dapat ditemukan pada kulit berupa
ujung saraf bebas dan berbagai badan akhir saraf. Contoh, badan Meissner dan
badan Pacini.
Struktur kulit
Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupa-kan
jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat
agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan
ikat longgar yaitu hipo-dermis, yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari
jaringan lemak.
Epidermis
Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis gepeng
dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak
mempunyai pembuluh darah maupun limf; oleh karenaitu semua nutrien dan
oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis. Epitel berlapis gepeng pada
epidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini
secara tetap diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara
berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanan-nya, sel-sel ini
berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan filamen keratin dalam
sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap dilepaskan
(terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah 20 sampai
30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari sel-sel
epider-mis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel
memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap

22
permukaan kulit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum
basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum
korneum.

Stratum basal (lapis basal, lapis benih)


Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun
berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Sel-
selnya kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran selnya, dan
sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotik sel,
proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini
bermigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel-sel pada lapisan yang lebih
superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adalah luka, dan regenerasinya dalam
keadaan normal cepat.
Stratum spinosum (lapis taju)
Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk poligonal
dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan dengan
pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan sel di
sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang satu
dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel-sel
satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng.

Stratum granulosum (lapis berbutir)


Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak granula
basofilik yang disebut granula kerato-hialin, yang dengan mikroskop elektron
ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi ribosom.
Mikro-filamen melekat pada permukaan granula.

Stratum lusidum (lapis bening)


Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan agak
eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini. Walaupun ada
sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian

23
seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain di
bawahnya.

Stratum korneum (lapis tanduk)


Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti serta
sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Sel-sel yang paling permukaan merupa-kan
sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas.

Lapisan-lapisan epidermis kulit tebal.


Sel-sel epidermis
Terdapat empat jenis sel epidermis, yaitu: keratinosit, melanosit, sel Langerhans,
dan sel Merkel.

Keratinosit Keratinosit merupakan sel terbanyak (85-95%), berasal dari ektoderm


permukaan. Merupakan sel epitel yang mengalami keratinisasi, menghasilkan
lapisan kedap air dan perisai pelidung tubuh. Proses keratinisasi berlangsung 2-3
minggu mulai dari proliferasi mitosis, diferensiasi, kematian sel, dan pengelupasan
(deskuamasi). Pada tahap akhir diferensiasi terjadi proses penuaan sel diikuti
penebalan membran sel, kehilangan inti organel lainnya. Keratinosit merupakan sel
induk bagi sel epitel di atasnya dan derivat kulit lain.
Melanosit
Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis, merupakan sel kecil dengan cabang
dendritik panjang tipis dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan spinosum.
Terletak di antara sel pada stratum basal, folikel rambut dan sedikit dalam dermis.
Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali. Dengan reagen DOPA (3,4-dihidroksi-
fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi dalam
melanosom, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino tirosin
dan enzim tirosinase. Melalui serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi melanin
yang berfungsi sebagai tirai penahan radiasi ultraviolet yang berbahaya.
Sel Langerhans
Sel Langerhans merupakan sel dendritik yang bentuknya ireguler, ditemukan
terutama di antara keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak berwarna baik dengan

24
HE. Sel ini berperan dalam respon imun kulit, merupakan sel pembawa-antigen
yang merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit.
Sel Merkel
Jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan ditemukan pada
lapisan basal kulit tebal, folikel rambut, dan membran mukosa mulut. Merupakan sel
besar dengan cabang sitoplasma pendek. Serat saraf tak bermielin menembus
membran basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian bawah sel Merkel.
Kemungkinan badan Merkel ini merupakan mekano-reseptor atau reseptor rasa
sentuh.

Dermis
Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua
lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin.

Stratum papilaris

Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis yang
jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam
pada daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar
papila mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di
atasnya. Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan
Meissner. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat.

Stratum retikularis
Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan sejumlah kecil
serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam,
jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar
keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan pada
tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan puting
payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada
dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu
dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang
banyak mengandung sel lemak.

Sel-sel dermis
Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel jaringan
ikat seperti fibroblas, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast.

Hipodermis
Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ia berupa
jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama sejajar
terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan yang dari
dermis. Pada daerah tertentu, seperti punggung tangan, lapis ini meungkinkan
gerakan kulit di atas struktur di bawahnya. Di daerah lain, serat-serat yang masuk ke
dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan. Sel-sel lemak lebih banyak

25
daripada dalam dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan keadaan gizinya.
Lemak subkutan cenderung mengumpul di daerah tertentu. Tidak ada atau sedikit
lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak mata atau penis, namun di
abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan 3 cm atau lebih. Lapisan
lemak ini disebut pannikulus adiposus.

Warna kulit
Warna kulit ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: pigmen melanin berwarna coklat
dalam stratum basal, derajat oksigenasi darah dan keadaan pembuluh darah dalam
dermis yang memberi warna merah serta pigmen empedu dan karoten dalam lemak
subkutan yang memberi warna kekuningan. Perbedaan warna kulit tidak
berhubungan dengan jumlah melanosit tetapi disebabkan oleh jumlah granul-granul
melanin yang ditemukan dalam keratinosit.

2) Histopatologi Kulit

26
3)

3)

3)

3)

3)

3)

3)

27
B. Fixed Drug Eruption (Eksantema Fikstum)
a. Definisi
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu yang
biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama
dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi.

b. Epidemiologi
Sekitar 10% FDE terjadi padaanak dan dewasa, usia paling muda yang pernah
dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999) mendapatkan FDE
(63%), sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi
dan anak, disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%). Jumlah
kasus bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut mungkin disebabkan
pajanan obat yang bertambah.

c. Etiologi
Obat-obat yang menyebabkan terjadinyaeksantema fikstum adalah obat yang
dimakan terus menerus. Banyak obat golongan NSAID, khususnya turunan
pirazolon, paracetamol, naproxen, oxicam, dan asam mefenamat menimbulkan
eksantema fikstum bisasanya pada daerah bibir. Sulfonamid, trimethropin atau
kombinasinya bisa menyebabkan eksantema fikstum pada daerah genitalia.Banyak
obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE.Yang paling sering dilaporkan
adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik pyrazolone
dan obat anti inflamasi non steroid.

Daftar obat-obat penyebab FDE


Obat antibakteri Obat anti inflamasi non steroid
• Sulfonamid (co-trimoxazole) • Aspirin
• Tetrasiklin • Oxyphenbutazone
• Penisilin • Phenazone
• Ampisilin • Metimazole
• Amoksisilin • Paracetamol
• Eritomisin • Ibuprofen

28
• Trimethoprim  Phenolpthalein
• Nistatin  Codein
• Arsen  Hydralazin
• Garam Merkuri  Oleoresin
• P amino salicylic acid  Symphatomimetic
• Thiacetazone  Symaphatolitic
• Quinine  Parasymphatolitic
• Metronidazole

d. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah:
1) Jenis kelamin dan usia.
Anak-anak lebih jarang tersensitisasi akibat obat jika dibandingkan dengan
orang dewasa, akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat alergi memiliki
prognosis buruk. Pada anak – anak, ruam merah yang timbul akibat virus
sering mengaburkan gambaran klinis erupsi alergi obat akibat antimikroba
yang diberikan.
2) Karakteristik molekular dan sensitisasi.
Sebuah molekul yang imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih
dari 1000 dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk
memberikan respon imun harus berikatan dengan makromolekul jaringan
yang berperan sebagai hapten. Bersama-sama dengan antigen
histokompatibiliti ke sebuah limfosit T terjadi aktivasi dan setiap populasi
sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang berbeda pada aktivasi TH1 tipe
sel T menyebabkan produksi dari interferon γ dan interleukin 2 yang akan
diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform pada kontak dermatitis
atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi tipe sel TH2
menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau -13, yang akan
menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan reaksi klinik seperti
urtikaria atau anafilaktik.
3) Variasi metabolik individu.
Variasi metabolik individu merupakan jalur yang dilewati oleh obat dimana
dapat memberi reaksi intermediet atau diekskresi.

29
4) Kemampuan imunogenetik.
Respon imun dari antigen-antigen yang bervariasi biasanya dikontrol secara
genetik dan berbeda-beda pada tiap individu. Dipercaya bahwa reaksi
anafilaktik lebih sering terjadi pada individu atopik dibanding dengan non-
atopik. Wanita memiliki angka kejadian 35% lebih tinggi daripada pria.
5) Paparan obat.
Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit antigen
antibodi dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola
morfologik yang spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada
pemberian obat yang menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai
contoh FDE lebih sering ditemukan pada pemberian barbiturat daripada
penisilin, walaupun penisilin memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi
kulit karena obat yang lebih tinggi.
6) Pemaparan obat ulangan.
Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti apakah obat tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun pemberian yang sering tidak
dimungkinkan karena tidak menjamin keselamatan dari pasien kecuali
terjadi perubahan pola status imunologik pasien.

e. Pathogenesis
Terdapat dua mekanisme yang dikenal yaitu mekanisme imunologis dan
mekanisme non imunologis.Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis.Reaksi ini juga dapat terjadi
melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over
dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.
Terdapat empat mekanisme imunologis.Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I
(reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang paling banyak ditemukan.Pada
tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah imunoglobulin E yang mempunyai
afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.Reaksi dapat terjadi dalam beberapa
menit setelah pemakaian obat.Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi,
tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama,maka obat tersebut akan
dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam
mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang

30
dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria,
pruritus, spasme bronkus, dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya
syok anafilaktik dengan hipotensi dan kematian.Sel mast dan basofil yang
tersentisisasi akan melepaskan mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak
(leukotriens/prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala klinik yang berbeda-
beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim respirasi, GIT atau sistim
kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut. Penelitian terbaru mengatakan
reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran basofil daripada sel
mast.Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein obat polifalen yang
terbentuk secara in vivo dan behubungan dengan molekul IgE yang mensensitisasi
sel-sel.
Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) Reaksi tipe ini
dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan antara IgE dan IgM
dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem komplemen teraktivasi akan
dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana
antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang.Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan.
Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi alergi seluler tipe
lambat).Reaksi ini melibatkan limfosit.Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen.Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-
48 jam setelah pajanan terhadap antigen.FDE diakibatkan oleh sebuah antigen dari
obat yang mengaktifkan sel-sel T sitotoksik dalam epidermis.Hal ini menyebabkan
pelepasan sitokin-sitokin (mediator inflamasi) seperti interferon gamma, granzyme
B, dan perforin.Sitokin-sitokin dengan sel T helper dan neutrofil menghancurkan
sel-sel kulit lokal (keratinosit dan melanosit).Sel-sel T sitotoksik kemudian
menetap di epidermis dan melepaskan lebih banyak sitokin lagi ketika terpapar
obat kausatif tersebut.

31
Dalam keadaan istirahat, sel T CD8+intraepidermal tetap diam tetapi dalam
keadaan prima, sebagaimana dibuktikanoleh adanya ekspresi CD69.Setelah asupan
obat, merekadiaktifkan untuk melepaskan IFNg dan butiran sitotoksik ke
dalamlingkungan mikro lokal. Sel mast yang dilokalkan di sekitar epidermis juga
berkontribusi padaaktivasi sel T CD8+ intraepidermal melaluiinduksi molekul
adhesi sel keratinosit di sekitarnyamelalui aksi TNFa. Pada fase akut, keratinosit
dihancurkan secara langsung oleh aksi sel T CD8+intraepidermal bersamaan
denganSel T CD4+ dari sirkulasi. Diakhir dari respon imun, sel Treg (regulator sel
T)direkrut ke dalam lesi dan berfungsi untuk menghambat respon imun yang parah
dimediasi oleh Sel TCD8+ intraepidermal dan sel T infiltrasi lainnya; mayoritas
daripopulasi yang diperluas atau diaktifkan dihapus olehapoptosis. Proporsi sel-sel
T CD8+intraepidermaldicegah dari menjalani apoptosis oleh IL-15dibantu oleh
keratinosit yang akan mengarah kepada persistensidari populasi sel T memori.
Reaksi Imunologis dan Non Imunologis
Tipe Contoh Kasus
Imunologis
Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam
Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin
Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-thymocyte
globulin
Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat antihistamin
topikal
Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamid

32
Fas/Fas ligand-induced apoptosis Sindroma Stevens-Johnson
Nekrolisis epidermal toksik
Non imunologis
Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin
Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat pemakaian antibiotik
Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat metotreksat
Overdosis obat Kejang akibat kelebihan pemakaian
lidokain
Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin

Lesi FDE terjadi peningkatan kadar histamin dan komplemen yang sangat
bermakna. Keadaan ini diduga sebagai penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh
dan rasa gatal.

f. Patofisiologi
Fixed Drug Eruption merupakan bentuk klinik dari hipersensitivitas tipe IV
(Delayed Type Hipersensitivity) subtipe D yang dimediasi oleh sel T CD8+. Obat
yang mengganggu diduga berfungsi sebagai hapten yang secara istimewa
berikatan dengan keratinosit basal, yang menyebabkan respons inflamasi.

Adanya proses inflamasi dan kerusakan jaringan lokal pada FDE


dilatarbelakangi oleh adanya sel T CD8+ yang menetap pada lesi FDE. Selain itu,
sel-sel tersebut juga ditemukan pada lapisan epidermis yang normal namun dapat
bermigrasi ke area lesi jika terjadi pajanan obat kausatif.

Populasi sel T CD8+ yang ditemukan pada lesi FDE yang tidak reaktif
(berada dalam refractory period) memiliki peran sebagai sel efektor dan sel
memori. Menetapnya sel CD8+ pada lesi dan salah satu fungsinya sebagai sel
memori menjelaskan terjadinya rekurensi lesi pada tempat yang sama. Sel ini
menimbulkan kerusakan jaringan karena mencetuskan respon imun, walaupun
sebenarnya sel ini pada awalnya memiliki fungsi melindungi epidermis dari
adanya infeksi berulang

Kerusakan jaringan terjadi saat sel T CD8+ diaktifkan untuk membunuh


secara langsung keratinosit dsekitarnya dan melepaskan interferon gamma dalam
jumlah besar ke lingkungan lokal. Sitokin tersebut berfungsi sebagai faktor
kemotaktik untuk sel-sel imun lainnya seperti sel T CD4+, sel neutrofil dan sel T
CD8+ lainnya untuk datang ke lokasi lesi dan menibulkan respon imun serta
kerusakan yang jauh lebih berat. Selain itu sel T CD8+ juga memiliki fungsi
efektor sitolisis langsung dengan mengeluarkan perforin dan fas L sehingga sel
yang terkena mengalami proses lisis. Pada lesi FDE biasanya juga ditemukan
adanya peningkatan ekspresi ICAM-1 oleh keratinosit yang menjelaskan adanya

33
migrasi limfosit ke area lesi epidermis sehingga terjadi kerusakan yang lebih
berat.

Di akhir respon imun yang terjadi, terdapat adanya keterlibatan sel T


regulator yang direkrut ke area lesi untuk menghambat dan menghentikan respon
imun yang dimediasi sel T CD8+ intraepidermal dan sel T lainnya. Sebagian
besar sel-sel tersebut kemudian mengalami apoptosis. Beberapa sel ada yang
menetap pada lesi dan tidak mengalami apoptosis disebabkan oleh sitokin IL-15
yang dikeluarkan oleh keratinosit.

g. Manisfestasi
FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat
secara oral. Eksantema fikstum biasanya muncul dengan bentuk eritematous atau
makula hiperpigmentasi yang dapat berkembang menjadi plak edematosa dan bula
yang mengalami deskuamasi dan menjadi krusta.Lesi berupa makula oval atau
bulat, berwarna merah atau keunguan, berbatas tegas.Ukuran lesi bervariasi mulai
dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya soliter, tapi jika penderita
meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul kembali disertai
dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya kembali
lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed” pada nama penyakit
tersebut.Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan,
tungkai, tangan dan genital.Tempat paling sering adalah bibir dan genital.Lesi FDE
pada penis sering disangka sebagai penyakit kelamin. Gejala lokal meliputi gatal
dan rasa terbakar , jarang dijumpai gejala sistemik.. Tidak dijumpai pembesaran
kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika menyembuh akan
meninggalkan bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang menetap dalam jangka
waktu lama.
Lesi lebih sering muncul pada anggota gerak daripada badan.tangan, kaki,
genitalia (glans penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi.
Lesi juga dapat muncul di sekeliling mulut dan mata.Daerah genital dapat terjadi
berhubungan dengan lesi pada kulit atau terjadi sendiri.Apabila terjadi
penyembuhan timbul pengelupasan yang diikuti dengan perubahan warna yang
menetap pada daerah lesi dimana warna berubah menjadi kecoklatan.Hal ini dapat
menghilang seiring waktu tapi sering menetap diantara pemaparan obat.Pigmentasi
terjadi lebih lama pada orang dengan kulit coklat.Pigmentasi dari FDE menghilang
apabila penderita tidak diberikan obat penyebab. FDE non pigmentasi dilaporkan

34
pada pemberian pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat gejala-gejala lokal atau
umum yang menemani perjalanan penyakit fixed drug eruption yang berupa gejala
ringan atau tidak ada.
Lesi yang erosi umumnya terjadi di pada genital atau mukosa oral dan sangat
nyeri. Jika sembuh lesinya dapat menjadi coklat gelap dengan hiperpigmentasi
posinflamasi yang keunguan.
Beberapa obat memiliki tempat predileksi masing-masing seperti NSAID,
turunan pirazolon, parasetamol, naproxen, oksikam, asam mefenamat
menimbulkan lesi FDE pada bibir.Sedangkan trimetophrim dan sulfonamid
kebanyakan menimbulkan lesi pada daerah genital.

h. Klasifikasi
Sesuai tipe lesi, FDE terbagi atas :
1) Pigmenting FDE
FDE biasanya menggambarkan tipe pigmentasi, karena tempat timbul lesi
meninggalkan sisa berupa hiperpigmentasi.Bagian tengah lesi berwarna
keunguan karena sisa hiperpigmentasi dan dikelilingi lingkaran konsentrik
eritem.Lesi berbentuk bulat atau oval dan berjumlah beberapa buah dan
terlokalisasi.Jumlah atau ukuran lesi dapat bertambah dan semakin
hiperpigmentasi dengan serangan berulang.Patch eritem atau plak terkadang
dikelilingi oleh bula.

35
Gambar 1.Pigmenting FDE
2) FDE multipel atau generalisata
Lesi multipel dan tersebar luas.Obat penyebabnya lebih dari satu dan tidak
ada korelasi dengan reaksi kimia antar obat.

Gambar 2.FDE Generalisata.

3) Eritema multiforme-like FDE


Manifestasi klinis mirip eritema multiforme dan sulit ditegakkan diagnosis
sebagai FDE.Lesi terletak di atas bula.
4) TEN-like FDE
Merupakan bentuk paling parah dari FDE. Lesi tersebar luas dan merupakan
bentuk bula dari FDE dengan pigmentasi. Namun, prognosis lebih baik dari
nekrolisis epidermal toksik.
5) Linear FDE
Lesi multipel dan terdistribusi linear.Gambaran lesi berupa eritem, patch
hiperpigmentasi atau terkadang dengan bula flaksid.Distribusi secara linear
berhubungan dengan struktur anatomi (pembuluh darah, limfe atau nervus),
fenomena Koebner atau garis embrionik (Blaschko’s line).

36
6) Wandering FDE
Tipe ini menjelaskan erupsi obat tidak harus timbul di satu tempat yang
sama. Tipe ini berbeda dengan tipe FDE polisensitif yang dapat dipengaruhi
oleh lebih dari satu obat.
7) FDE non pigmentasi
FDE dapat dibagi menjadi FDE pigmentasi dan non-pigmentasi. Perbedaan
dengan tipe pigmentasi adalah tidak meninggalkan bercak hiperpigmentasi dan
warna lesinya sama, yaitu merah. Ukuran dan bentuk menyerupai tipe FDE
pigmentasi. Lesi multipel dan bulosa. Letak lesi juga sama dengan timbulnya
lesi sebelum. Tipe ini jarang ditemukan, namun ada laporan kasus yang
menyatakan tipe ini dapat disebabkan oleh etodolac dan pseudoephedrine.

Gambar 3. FDE non-pigmentasi.


8) Bullous FDE
Bula terbentuk pada lapisan subepidermis dan jumlah lesi dapat banyak. Tipe
ini sembuh dengan atau tanpa hiperpigmentasi residu.

i. Alur Penegakkan Diagnosis dan Algoritma Penegakkan Diagnosis


Diagnosis FDE berdasarkan :
1) Anamnesis :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan
diketahui mengenai :

 obat-obatan yang didapat


 kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat.
 Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril.

37
2) Kelainan Klinis :
Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada tempat yang sama
akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis
merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.

3) Pemeriksaan Khusus :
Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk
mendeteksi obat penyebab FDE.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan


diagnosa FDE dengan pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan
histopatologi didapatkan adanya degenarasi hidrotik pada lapisan sel basal
yang akan menuju pada inkontinens pagmentari, dimana dikarakteristik
dengan adanya melanin dalam jumlah yang banyak diantara makrofag yang
terdapat pada lapisan atas kulit (Tarnowsky). Sebagai tambahan terdapat
penyebaran dari diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang eosinifilik
dan inti pignotik sering terlihat pada epidermis (Furuya, dkk). Pada
pemeriksaan dengan mengunakan mikroskop elektron diskeratotik
keratonicytes terisi dengan tonofilamen tipis yang homogen dan menunjukkan
sedikit dari sisa-sisa organel sel dan inti. 8 Pola keseluruhan dapat meniru yang
terlihat pada eritema multiforme. Diskeratosis dan keratinosit nekrotik
individual dalam epidermis mungkin fitur yang menonjol (lihat gambar di
bawah).

Gambar. Dermatitis Interface, perubahan vakuolar, keratinosit


nekrotik, dan pigmen inkontinen di dermis

Pada Patch Test, obat yang dicurigai dapat ditempatkan sebagai tes
patch di situs yang terlibat sebelumnya; respon inflamasi terjadi pada hanya
30% kasus.

j. Diagnosis Banding
No Nama Akut/ Efloresensi Lokasi/ Etiologi Gejala lain ya
Penyakit kronik Predileksi menyertai

38
1. Fixed Drug Akut Lesi target, Bibir, tangan, Obat-obatan, Rasa nyeri, ga
Eruption eritema, dan genitalia terutama dan panas.
vesikel tetrasiklin,
naplaxsen, dan
metamizol.
1 Urtikaria Akut Eritema dan Seluruh tubuh Vasodilatasi Gatal, rasa terba
Akut edema disertai dan rasa tertusuk
berbagai permeabilitas
macam ukuran, kapiler yang
bagian tengah meninkgat
lesi tampak akibat pelepasan
lebih pucat histamine dari
sel mast dan
basofil
2 Cellulitis Akut Eritema Tungkai bawah Infeksi Demam, malaise,
berwarna streptococcus
merah cerah
dan berbatas
tegas
3 Erithema Akut Makula Ekstremitas, Idiopatik, Demam, sa
multiform eritematosa genital, dan diduga obat- tenggorokan, sa
atau putputik, daerah obatan, dan kepala, dan diare.
kadang interigious infeksi.
dijumpai lesi
target
4. Dermatitis Akut / Eritema dan Tangan, lengan, Iritan Panas, dan nyeri
Kontak Kronik edema wajah, telinga,
leher, badan,
genitalia,
tungkai atas dan
bawah.
5. Eritroderma Akut / Eritema yang Psoriasis dan Ketidakseimbanga
kronik universal dan obat-obatan elektrolit, ganggu
skuma akan termoregulasi, se
timbul pada kehilangan albumi

39
stadium
penyembuhan

k. Pemeriksaan Penunjang
1) Uji tempel obat
Uji tempel obat merupakan prosedur tidak berbahaya. Reaksi
anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasi dianjurkan
mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan.
Secara teoritis, dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam
praktiknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama
erupsi masih aktif maupun segera sesudah. Berdasarkan pengalaman para
peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu
setelah erupsi mereda.
Khusus untuk FDE, cara uji tempel agak berbeda. Obat konsentrasi
10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan secara terbuka pada
bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam
pertama, dan dianggap positif bila terdapat eritema jelas yang bertahan
selama minimal 6 jam. Jika tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, maka
dianjurkan uji tempel tertutup dengan pembacaan pertama setelah 24 jam.

Gambar. Patch Test


2) Uji provokasi oral
Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk
memastikan penyebab. Uji ini aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak.
Uji ini bertujuan mencetuskan tanda dan gejala klinis lebih ringan dengan
pemberian obat dosis kecil, yaitu dosis 1/10 dari obat penyebab, untuk
memprovokasi reaksi dan provokasi biasa muncul dalam beberapa jam.
3) Pemeriksaan histopatologi
Lesi hiperpigmentasi menunjukkan inkontinensia pigmen dan
melanofag dermal dengan infiltrasi sel inflamasi. Ketika lesi berkembang,
pada epidermis terdapat sel diskeratotik dengan eksositosis sel
mononuklear. Edema intraseluler juga dapat terlihat. Sel diskeratotik
meningkat dan simpang antara dermoepiderman semakin kabur seiring
dengan progresi dari lesi. Edema dermis dan bahkan bula subepidermis

40
mungkin telah terbentuk. Sel limfosit sering ditemukan berdekatan sel
diskeratotik. Sel Langerhans sering ditemukan berdekatan sel diskeratotik
dan sel limfosit. Ketiga sel ini kemungkinan berperan dalam patogenesis
FDE. Makrofag banyak terlihat di epidermis dan memfagosit sel diskeratoti
dengan meningkatnya progresivitas lesi.
Pemeriksaan histopatologidapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis FDE dan menyingkirkan diagnosis banding Sindroma Steven
Johnson–Nekrolisis Epidermal Toksik (SSJ-NET). Pemeriksaan
histopatologi pada SSJ-NET ditemukan apoptosis keratinosit diikuti
nekrosis. Hal ini mendasari pelepasan lapisan epidermal.

Gambar. Histopatologi FDE.

l. Tatalaksana Farmokologi dan Non Farmakologi


1) Nonfarmakologi
a. Penjelasan kondisi pasien, diminta menghentikan obat tersangka
penyebab. Erupsi obat akan menyembuh bila obat penyebab dapat
diketahui dan segera disingkirkan.
b. Bila pasien sembuh: Berikan kartu alergi, berisi daftar obat yang diduga
menyebabkan alergi, kartu tersebut selalu diperlihatkan kepada
petugaskesehatan setiap kali berobat.
c. Pasien diberi daftar jenis obat yang harus dihindarinya (obat dengan
rumus kimia yang sama).

2) Farmakologi
Prinsipnya adalah hentikan obat, atasi keadaan umum terutama pada yang
berat untuk life-saving, berikan obat antialergi yang paling aman dansesuai.

41
a. Topikal
- Sesuai dengan kelainan kulit yang terjadi (ikutiprinsip dermatoterapi)
Lesi kering diberi bedak asam salisilat 1% ditambah menthol dan
camphora untuk mengurangi rasa gatal.
Lesi madidans dapat dilakukan kompres terbuka NaCl 0,9% atau
larutan Permanganas Kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kassa selama
10-15 menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering.
- Terapi dilanjutkan dengan pemakaian kortikosteroid topikal potensi
ringan-sedang, misalnya Hidrokortison krim 2,5% atau Mometason
furoat krim 0,1%.
Kegunaan terapi kortikosteroid topikal adalah mengatasi lesi akibat
inflamasi pada daerah dermis. Kortikosteroid topikal bekerja
mensupresi respon reaksi limfosit sehingga terjadi penurunan sekresi
sitokin dan protein inflamasi yang berguna untuk inisiasi inflamasi
seperti IFN-.
b. Sistemik
- Atasi keadaan umum terutama kondisi vital.
- Kortikosteroid sistemik: prednison 30 mg/ hari di bagi dalam 3 dosis.
(kontroversi)
- Anthistamin sistemik (antialergi, mengurangi rasa gatal) sedatif
maupunnonsedatif.
- Hidroksisin tablet10 mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari
- Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari

Kriteria Rujukan
1. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan
akan berkembang menjadi Sindrom Steven Johnson.
2. Untuk membuktikan jenis obat terduga sebagai penyebab dilakukan uji
tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan uji tusuk, bila negatif
lanjutkan dengan uji provokasi.
3. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar selama 7
hari dan menghindari obat.

m. Edukasi dan Pencegahan


Pencegahan
Menghindari penggunaan obat dari golongan yang sama
Berikan kartu alergi, berisi daftar obat yang diduga menyebabkan alergi, kartu
tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas kesehatan setiap kali berobat.

Edukasi
1) Prinsip tatalaksana adalah eliminasi obat terduga. Pasien dan keluarga
diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompet tentang alergi obat yang
diderita.
2) Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan timbul

42
hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Bila alergi berulang terjadi kelainan sama
pada lokasi yang sama.
3) Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau
tidak memenuhi kriteria rujukan.
4) Apabila obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka sebaiknya
penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil memuat jenis obat tersebut
serta golongannya. Kartu tersebut ditunjukkan bila diperlukan (misal saat
penderita berobat) sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan FDE terulang.

n. Komplikasi
Jumlah maksimum komplikasi yang diamati adalah hematologi dan disregulasi
suhu, diikuti oleh hati, hipoalbuminemia dan komplikasi ginjal. Kematian terjadi
pada satu pasien karena septikemia.
Efek residual
Setelah perkembangan penyakit dikendalikan lesi biasanya sembuh tanpa
jaringan parut, kecuali ada infeksi sekunder. Keterlibatan membran mukosa yang
parah dapat menyebabkan fibrosis dan striktur esofagus, uretra, vagina dan anus.
35% kasus memiliki masalah mata yang kronis. Mata kering, fotofobia,
synechiae dan jaringan parut adalah gejala sisa kronis yang umum. Lainnya
termasuk trichiasis, distichiasis, symblepharon, entropion, ankyloblepharon,
lagophthalmos, ulserasi kornea yang mengarah ke perforasi dan kebutaan. Pasien
juga dapat memiliki xerostomia residual atau keratokonjungtivitis meniru
sindrom Sjögren.

o. Prognosis
Prognosis FDE yang termasuk allergic drug eruption baik apabila obat penyebab
dapat diidentifikasi dan segera dihentikan sebelum muncul komplikasi.

p. SKDI
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

43
C. Status Dermatologikus

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

ANAMNESIS RUANG: 001 No. Rek. Med: 22102018


Nama: Tn. AG Umur L/P: 35 Tahun
Tanggal : 22 Oktober 2018
Dari : pasien sendiri/ayah/ibu/istri/suami/…………………………………..

1. KELUHAN UTAMA:
Bercak merah kehitaman di punggung yang terasa panas, nyeri, dan gatal.
Pada bagian tengah bercak terdapat lenting.

2. KELUHAN TAMBAHAN:
Bibir terasa agak menebal setelah sehari minum obat yang diberikan dokter
puskesmas untuk keluhan influenza.

3. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT:


Sebelumya menderita influenza.
Minum obat yang diberikan dokter puskesmas  bibir terasa agak menebal dan
kemudian muncul bercak merah kehitaman di punggung.
Sudah tiga kali menderita gejala yang sama setelah meminum obat untuk penyakit
yang sama.
Gejala yang sekarang lebih parah dan lebih banyak dibandingkan sebelumnya.

44
DEPATERMEN KESEHATAN ILMU KULIT DAN KELAMIN

PEMERIKSAAN FISIK Ruang: 001 No. Med. Rec: 22102018


Nama: Tn. AG Umur L/P: 35 tahun

STATU GENERALIKUS:

KEADAAN UMUM : Sadar dan kooperatif TINGGI BADAN : dbn cm

KESADARAN : Compos mentis BERAT BADAN : dbn Kg

TEKANAN DARAH : 120/80 mmHg STATUS GIZI : dbn

NADI : 88x/menit

PERNAPASAN : 20x/menit

SUHU : 37,5oC

KEPALA : dbn

LEHER : dbn

DADA : dbn

- PARU : dbn
- JANTUNG : dbn
PERUT : dbn

EKSTREMITAS : dbn

KELENJAR GETAH BENING : dbn


DEPATERMEN KESEHATAN ILMU KULIT DAN KELAMIN

PEMERIKSAAN FISIK Ruang: 001 No. Med. Rec: 22102018


Nama: Tn. AG Umur L/P: 35 tahun

STATUS DERMATOLOGIKUS/VENEROLOGIKUS

Regio labialis, trunkus posterior,


femoralis dekstra dan abdomen:

Patch eritem dengan tepi hiperpigmentasi,


lentikuler sampai numuler, tepi lesi eritem
dan sedikit edema, beberapa lesi terdapat
45
DEPATERMEN KESEHATAN ILMU KULIT DAN KELAMIN

PEMERIKSAAN FISIK Ruang: 001 No. Med. Rec: 22102018


Nama: Tn. AG Umur L/P: 35 tahun

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG DERMATOLOGI:


Diaskopi (+) : Eritema
Dermografisme (-)

B. PEMERIKSAAN SYARAF TEPI: -

C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM: -

DEPATERMEN KESEHATAN ILMU KULIT DAN KELAMIN

PEMERIKSAAN FISIK Ruang: 001 No. Med. Rec: 22102018


Nama: Tn. AG Umur L/P: 35 tahun

RINGKASAN DATA

Pada regio labialis, trunkus posterior, femoralis dekstra dan abdomen terdapat lesi Patch
eritem dengan tepi hiperpigmentasi, lentikuler sampai numuler, tepi lesi eritem dan
sedikit edema, beberapa lesi terdapat vesikel di bagian tengah. Lesi muncul setelah
meminum obat untuk influenza yang diberikan dokter puskesmas. Sudah ketiga kalinya
menderita gejala sepeti ini setelah meminum obat untuk penyakit yang sama. Gejala saat
ini lebih parah dan lebih banyak dibanding sebelumnya.

DIAGNOSIS BANDING : Eksantema fikstum, dermatitis kontak alergi

DIAGNOSIS KERJA : Eksantema fikstum

PEMERIKSAAN ANJURAN: Uji kulit untuk menentukan obat penyebab. Provokasi oral
dengan dosis dinaikkan perlahan.

PENATALAKSANAAN : Kortikosteroid 0,5 mg/kgBB/hari. Hentikan obat yang


dicurigai sebagai penyebab. Konsulkan ke bagian penyakit dalam untuk obat pengganti.

Palembang, 24 Oktober 2018

Dokter yang bertanggung jawab,

dr. Mutiara Tri Florettira, Sp.KK(K)

46
VI. Kerangka Konsep

VII. Kesimpulan
Tn. AG, 35 tahun, mengalami fixed drug eruption (eksantema
fikstum) tanpa komplikasi.

47
DAFTAR PUSTAKA

48

Anda mungkin juga menyukai