Dunia sudah jauh melesat maju. Perkembangan teknologi dan pengetahuan memberi
dampak pada kehidupan manusia. Hal ini setidaknya telah menggeser nilai-nilai luhur dalam
kehidupan manusia. Sifat individualis dalam masyarakat menjadi semakin nampak. Hal ini juga
terjadi pada karakter Pendidikan di Indonesia. Kebanyakan orantua menilai kesuksesan
Pendidikan anak pada angka-angka yang tertera pada laporan hasil belajar. Padahal ada hal lain
yang juga penting. Yaitu kebaikan akhlak dan emosi serta hubungan sosial anak. Ki Hadjar
Dewantara telah menyatakan bahwa hakikat Pendidikan anak adalaah menjadikan anak sebagai
insan yang Bahagia baik secara individual maupun sosial. Pendidikan mengembangkan secara
bersamaan kecerdasan intelektual dengan Emosioanal sosial.
Untuk itu pengembangan emosi pada anak harus menjadi bagian dalam pendidikan.
Maka dari sebagai seorang pendidik khususnya guru penggerak peran ini dapat dilakukan melalui
penciptaan wellbeing pada ekosistem pendidikan di sekolah yang dilakukan secara kolaboratif
antara peserta didik dan guru guna mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap/nilai
peserta didik. Semua hal itu akan menciptakan kondisi nyaman, sehat dan bahagia bagi anak
didiknya.
Sedangkan ruang lingkup pembelajaran sosial emosional yang dapat diterapkan dalam
ekosistem pendidikan di sekolah adalah: 1. Kegiatan Rutin (Diluar waktu belajar akademik,
misalnya: kegiatan ekskul, perayaan hari besar, kegiatan sekolah, apel pagi, kerja bakti, senam
bersama, membaca bersama, pelatihan dsb); 2. Terintegrasi dalam mata pelajaran (Diskusi,
penugasan kerja kelompok); 3. Protokol (Menjadi budaya atau aturan sekolah yang sudah menjadi
kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah
untuk merespon situasi atau kejadian tertentu.
KSE (Kompetensi Sosial Emosional) tidak hanya pada kesuksesan diri seseorang
dalam akademik yang lebih baik namun juga memberikan prinsip yang kuat bagi seseorang untuk
dapat sukses dalam berbagai area kehidupan mereka. Kesimpulannya pembelajaran sosial
emosional dapat dilatih dan ditumbuhkembangkan di luar pembelajaran, terintegrasi dalam
pembelajaran dan menjadi budaya atau aturan sekolah sehingga dapat menciptakan well-being
dalam ekosistem pendidikan yang sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. Melalui latihan
kesadaran penuh secara konsisten dapat menumbuhkan kesadaran diri, penghargaan terhadap
perbedaan dan empati, pemahaman diri dan orang lain, serta kemampuan dalam menghadapi
berbagai tantangan dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Keterkaitan antar materi pembelajaran sosial emosional berkaitan dengan modul 1 dan
2.1. Modul 2.2 pembelajaran sosial emosional berkaitan dengan modul-modul lain yang telah
dipelajari sebelumnya bahwa dalam menjalankan nilai dan perannya sebagai guru penggerak,
maka seorang guru penggerak haruslah memiliki kemandirian, reflektif, kolaboratif, inovatif serta
berpihak pada murid. Guru penggerak juga harus menggunakan segala kekuatan dan potensi yang
ada untuk membangun budaya positif di sekolah. Budaya positif yang dikembangkan hendaknya
dapat mendorong pemenuhan kebutuhan belajar siswa sesuai dengan kodrat yang dimilikinya. Hal
ini senada dengan filosofi KHD yakni pendidikan itu harus berjalan sesuai dengan kodrat alam
dan kodrat zaman).
Pembelajaran berdiferensiasi yag dilakukan oleh seorang guru menjadi jawaban atas
kebutuhan individu murid yang berbeda-beda berdasarkan kodrat alam dan zamannya.
Pembelajaran berdiferensiasi akan memenuhi setiap kebutuhan masing-masing murid dengan
memperhatikan faktor kesiapan murid, minat/bakat, dan gaya belajar murid. Maka dengan
demikian terwujudlah insan-insan yang cerdas dan berkarakter yang pada akhirnya berujung
dengan melahirkan berbagai kebijaksanaan.