Karya Ilmiah Final
Karya Ilmiah Final
Disusun Oleh:
Nama : Ravi Hamsyah Hidayat
NIM : 04011381722184
ABSTRAK
Filariasis atau yng biasa dikenal dengan Kaki Gajah adalah penyakit yang disebabkan
oleh cacing Filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, dan Armigeres.
Jenis cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi akut berupa
demam berulang,dan peradangan pada saluran kelenjar getah bening. Program pemberantasan
Filariasis dirasa sangat diperlukan dengan tujuan untuk menghentikan penularan. Program yang
sesuai dan dapat dikerjakan dalam waktu yang lama diperlukan mengingat masa hidup cacing
dewasa yang cukup lama. Dengan demikian perlu ditingkatkan surveilans epidemiologi di
tingkat kesehatan primer atau Puskesmas agar dapat mendeteksi kasus filiarisis sejak dini dan
menghindari penularan dan pengendalian nyamuk. Jika penularan disebabkan oleh gigitan
nyamuk di tempat tinggal dan terjadi pada malam hari, maka pencegahan dapat dilakukan
dengan penyemprotan peptisida, memasang kawat pada ventilasi, tidur dengan kelambu,
memakai obat anti nyamuk, dan membersihkan tempat – tempat yang dicurigai sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk seperti bak terbuka, ban bekas, dll. dengan cara membunuh larva
ABSTRACT
Filariasis or commonly known as Elephant Feet is a disease caused by Filaria worm and
transmitted by mosquito Mansonia, Anopheles, Culex, and Armigeres. This type of worm lives
in the channel and lymph nodes with acute manifestations of recurrent fever, and inflammation
of the lymph nodes. The Filariasis eradication program is deemed necessary for the purpose of
stopping transmission. A suitable and workable program for a long time is needed given the
primary health level or Puskesmas in order to detect cases of filiarisis from an early age and to
provide extension services to communities in endemic areas on how to avoid transmission and
control of mosquitoes. If transmission is caused by mosquito bites in the dwelling and occurs at
night, prevention can be done by spraying pepticides, installing wires in ventilation, sleeping
with mosquito nets, using mosquito repellent, and cleaning up suspected mosquito breeding sites
such as tubs open, used tires, etc. by killing mosquito larvae using larvasida. (Marizal, 2012)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang maha esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “5 TINGKAT
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
mendukung dan memberikan bimbingannya dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini agar dapat
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karna itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan dari para pembaca guna memperbaiki dan meningkatkan pembuatan karya tulis ilmiah
DAFTAR ISI
Abstrak ........................................................................................................... ii
I. Kesimpulan ....................................................................................... 49
BAB I
PENDAHULUAN
Filariasis limfatik atau elephanitis atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
nama penyakit kaki gajah adalah penyakit menular yang efeknya baru terasa dalam
beberapa tahun sejak pertama kali terinfeksi. Penyakit ini disebabkan oleh sejenis cacing
darah dari Genus Filaria, yang penularannya pada manusia melalui gigitan beberapa
spesies nyamuk. Penyakit ini di Indonesia disebabkan oleh beberapa nyamuk, yaitu,
Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, menyerang kelenjar dan pembulu
darah getah bening. Penularan terjadi melalui vector nyamuk Culex spp., Anopheles spp.,
Penyakit ini menjadi masalah kesehatan rakyat yang penting terutama bagi daerah
merupakan daerah dataran rendah yang berawa-rawa disana-sini dikelilingi oleh daerah
yang bersemak belukar dan berhutan walaupun dapat juga ditemukan di daerah perkotaan
dan yang berbukit (yang tidak tinggi) tergantung adanya nyamuk yang menularkannya.
dilakukan akan tetapi prevalensi di daerah endemic masih tetap tinggi. Filariasis tidak
8
1.4 Hipotesis
Penyakit Filariasis dapat dicegah dengan langkah – langkah spesifik yang dimulai dari
1.5 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat membuat langkah pencegahan penyakit filariasis menjadi
lebih efektif.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filariasis
2.1.1 Definisi
Filiarisis (Kaki Gajah) adalah penyakit yang dapat menular yang disebabkan oleh
infeksi cacing Filarial yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk (Muslim, 2009).
Di Indonesia, Filariasis disebabkan oleh tiga species cacing Filaria, yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. hingga sekarang telah teridentifikasi 23 spesies
nyamuk dari 5 genus, yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigres. Filiarisis dapat
Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian pemerintah dan
dunia, karena setiap tahun prevelensi penyakit ini selalu meningkat (Depkes, 2008).
Situasi prevelensi mikrofilaria di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari (SDJ)
berkisar antara 1% hingga 38,57%. Prevelensi mikrofilia di pulau jawa berkisar antara 1%
WHO menyatakan bahwa Filariasis adalah salah satu masalah kesehatan yang serius,
karena itu WHO mluncurkan sartu program eliminasi filarisis yang dinamakan The Global Goal
og Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Healty by the Year 2020. Menteri kesehatan
10
menyebutkan bahwa program ini menjadi salah satu prioritas pemberantasan penyakit menular
(Ilyas, 1990).
Seseorang dapat dikatakan tertular Filariasis apabila orang tersebut terkena gigitan
nyamuk yang mengandung larva cacing yang menyebabkan Filariasis (Depkes, 2008)
Proses ini biasa dikenal dengan rantai infeksi. Salah satu cara yang paling tepat untuk
memutus rantai tersebut adalah dengan melakukan pencegahan yang dapat menghilangkan atau
mengurangi kemungkinan yang dapat memungkinkan seseorang terkena filariasis. (Putri, 2010).
Leavell dan Clark terdapat tiga tingkatan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer
adalah usaha yang dilakukan sebelum menderita sakit melalu kegiatan penyuluhan kesehatan dan
diutamakan karena merupaka sebuah dasar untuk tetap mempertahankan dan memelihara status
kesehatan dengan cara menguatkan garis pertahanan tubuh sehingga bibit penyakit tidak dapat
Menurut (Hasmiwati, 2006) Filariasis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
cacing filaria yang hidup dalam pembuluh dan kelenjer limfa. Penyakit ini ditularkan melalui
gigitan nyamuk. Penyakit filariasis umumnya menyerang masyarakat usia dewasa muda yang
aktif bekerja sehingga menurunkan produktiffas kerja. Lebih dari 22 juta penduduk Indonesia
tinggal didaerah endemis filariasis dan diperkirakan 3 -4juta telaah terinfeksi (Partono, 1988).
Filariasis ditularkan melalui gigitan nyamuk vector seperti nyamuk Culex quinqquefasciatus di
daerah perkotaan dan Anopheles spp, Aedes sp serta nyamuk Mansonia sp di daerah pedesaan.
Didalam tubuh nyamuk vektor mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang menjadi
11
larva infektif. Larva infektif masuk secara aktif kedalam tubuh hospes waktu nyamuk menggigit
hospes dan berkembang menjadi dewasa dan melepaskan mikrofilaria kedalam peredaran darah
Sedangkan menurut (Masrizal, 2013) Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit
raenular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia,
Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening
dengan manifestasi klinik akut berupa deraam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar
getah bening. Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan transmisi
mengingat masa hidup dari cacing dewasa yang cukup lama. Dengan demikian perlu
ditingkatkan surveilans epidemiologi di tingkat Puskesmas untu penemuan dini kasus filariasis
kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor
(nyamuk). Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rurnah
maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan
pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu, memakai obat
gosok anti nyamuk dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka,
ban-ban bekas, batok kelapa dan mernbunuh larva dengan larvasida. Lakukan pengobatan
penduduk dunia atau 1.1 milyar penduduk beresiko terinfeksi, terutama di daerah tropis dan
beberapa daerah subtropis. Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan, stigma sosial, hambatan
psikososisal, dan penurunan produktivitas kerja penderita, keluarga dan masyarakat sehingga
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Dengan demikian penderita menjadi beban keluarga
dan negara.
12
daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu
tinggi. Di Indonesia filariasis tersebar luas, daerah endemis terdapat terdapat di banyak pulau di
seluruh nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT,
Sumatera selatan juga menjadi daerah endemik filariasis, salah satunya adalah kabupaten
Kabupaten Banyuasin sebagai kabupaten yang baru terbentuk pada tahun 2003 dan
merupakan pecahan dari Kabupaten Musi Banyuasin merupakan salah satu daerah endemis
pemberantasan filariasis masih tetap diteruskan terutama di dalam pemantauan timbulnya kasus-
kasus baru, selain tetap memonitor desa-desa yang memiliki kasus lama.
salah satu desa yang menjandi fokus pemantauan (Ambarita, 2006) dalam program
eliminasi filariasis adalah desa Sebubus. Desa yang memiliki jumlah penduduk lebih kurang 680
jiwa ini berada di pinggiran sungai yang merupakan percabangan dari Sungai Musi. Pada tahun
1998 dari hasil pemeriksaan sediaan darah jari di desa ini diperoleh angka Microfilaria rate (Mf
Tentu saja faktor-faktor yang berperan penting dalam penyebaran filariasis (Epidemiologi
filariasis) perlu diamati dalam usaha pemutusan mata antai penularanna. Pemutusan mata rantai
melakukan pengamatan vektor penular filariasis secara terus menerus sebagai dasar dalam
13
2006)
berdasarkan hasil survey prevaiensi filariasis di 6 propinsi dengan tingkat endemisitas sebagai
berikut : propinsi Aceh 6,6% ; Jambi 4,7%; Kalimantan Selatan 0,4%; Nusa Tenggara Timur
0,6%; Sulawesi Tengah 22,5%; Irian Jaya 1 2,6% dan hasil survey tahun 1993/1994 di 5 propinsi
menunjukan tingkat endemisitas filariasis sebagai berikut : Sulawesi Selatan 1,5%; Jawa Barat
1,5%; Riau 1,3%; Bengkulu 1,5%; Kalimantan Barat 1,4% (Hasmiwati, 2006)
14
a.Manusia
1) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat
tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3)
ribuan kali.
2) Jenis Kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. Insiden filariasis pada laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan karena pada umumnya laki-laki lebih sering terpapar dengan vektor
karena pekerjaannya.
3) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak teerbentuk imunitas dalam
tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak
mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak
semua orang terinfeksi filariasis dan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang
yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi
4)Ras
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi
filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke
daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit
mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.
b. Nyamuk
hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ±
100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1 -2 hari menetas jadi jentik, 8-10 hari menjadi
kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jantan akan terbang disekitar
perindukkannya dan makan cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin
sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam keluar dari kepompong.
Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya. Pengetahuan
kepadatan nyamuk dan vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat
2. Lingkungan (Environment)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai
penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia Malayi adalah daerah sungai, hutan, rawa-rawa,
sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. Bancrofti
tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan
banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx. Quinquefasciatus.
Sedangkan daerah endemis W. Bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi
16
lingkungannya sama dengan derah endemis B. Malayi. Lingkungan hidup manusia pada
dasarnya terdiri dari dua bagian, internal dan ekstemal. Lingkungan hidup internal merupakan
suatu keadaan yang dinamis dan seimbang yang seimbang yang disebut homeostatis, sedangkan
lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan di luar tubuh manusia yang terdiri atas tiga
a. Lingkungan Fisik
Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan keadaan musim. Lingkungan
fisik bersifat abiotik. atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas,
sinar, radiasi, dan Iain-lain. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis
dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B.malayi adalah daerah dengan hutan
rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis
Wbancrofti tipe perkotaan adalah daerah kumuh, pada penduduknya dan banyak genangan air
b. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologis adalah semua makhluk hidup yang berada di sekitar manusia yaitu
flora dan fauna, termasuk manusia. Misalnya, wilayah dengan flora yang berbeda akan
mampunyai pola penyakit yang berbeda. Faktor lingkungan biologis ini selain bakteri dan virus
patogen, ulah manusia juga mempunyai peran yang penting dalam terjadinya penyakit, bahkan
dapat dikatakan penyakit timbul karenaulah manusia. Berdasarkan penelitian oleh (Anshari,
2012), terdapat hubungan antara keberadaan tumbuhan air dengan kejadian filariasis. Maka dapat
17
dikatakan bahwa orang tinggal di rumah yang memiliki tumbuhan air mempunyai risiko untuk
Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap,
standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemaysarakatan, organisasi sosial dan politik,
pendidikan, dan status ekonomi. Salah satu faktor lingkungan sosial yang berhubungan dengan
kejadian filariasis adalah status ekonomi. Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang
mengobati penyakit, dan terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku yang dimiliki.
Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat beresiko untuk terkena
filariasis. Menurut (Nasrin, 2008), terdapat hubungan pekerjaan dengan kejadian filariasis.
Orang yang merniliki pekerjaan petani. buruh tani, buruh pabrik, dan nelayan beresiko tertular
penyakit filariasis.
3. Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial, yaitu : W. Bancroft, B.
Malayi. B. Timori. Cacing filaria (Nematode : Filarioidea) baik limfatik maupun non lirnfatik,
rnempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan
telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Sebanyak
32 varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria
frekuensi mendapat gigitan nyamuk yang sering, banyak larva infektif yang masuk ke dalam
Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis disebabkan oleh cacing filaria dewasa yang
tinggal disaluran limfe, sehingga menimbulkan gejala pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan
Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi W. Bracrofti, B.
Malayi, dan B timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak leih jelas dan berat oleh B.
Malayi dan B. Timori. Infeksi W. Bancrofti dapat menyebabkan kelainan saluran pada saluran
kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. Malayi dan B. Timori ridak menimbulkan kelainan
tersapat gejala klinis akut dan klinis kronis maupun mikrofilaremia tanpa gejala pada
penyakit filariasis:
Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam,
Abses dapat pecah dan kemudia sembuh dengan meninggalkan bekas jaringan parut dilipat pada
dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B. Malayi dan B. Timori
19
Gejala kronis terdiri dari limfaedema, lymp scrotum, kiluria, dan hidrokel. Limfaedema
pada infeksi W. Bancrofti terjadi pembengkakan di seluruh kaki, lengan, skrotum, penis, vulva
sedangkan infeksi Brugia terjadi di kaki bawah lutut. Lymph scrotum adalah pelebaran
saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang pada kulit penis, sehingga mudah pecah dan
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah diginjal
(pelvis renalis) sehingga cairan limfe dan dara masuk kedalam saluran kemih. Kiluria adalah
pelebaran kantung buah zakar karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis
20
2.2 Etiologi
Hospes
Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain
yang rentan. Biasanya pendatang baru ke daerah endemis lebih rentan terhadap infeksi filariasis
dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena
infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi {exposure). Juga gejala
penyakit lebih nyata pada laki - laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.
Hospes Reservoar
Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia.
Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis
Vektor
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis
Cx.quinquefasciatur yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah
pedesaan dapat dituiarkan oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian Jaya W.bancrofti dituiarkan
terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat
Cx.annulirostris dan Ae.Kochi, W.bancrofti didaerah lain dapat dituiarkan oleh spesies lain,
seperti An.subpictus di daerah pantai NTT. Selain nyamuk Culex, Aides pernah juga ditemukan
21
sebagai vektor. B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya dituiarkan oleh berbagai
spesies mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain, yang berkembang
biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimantan, Maluku dan lain-lain. B.malayi yang periodik
dituiarkan oleh An.Barbirostris yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di
daerah Sulawesi. B.timori, spesies yang ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang
hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor-Timor, dituiarkan oleh An.barbirostris yang
berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalarnan.
Pada stadium dewasa nyamuk non Anopheles (Culini) betina, palpinya lebih pendek
probosisnya. Sisik sayapnya da yang lebar dan asimetris (Mansonia) dan ada pula
yang sempit dan panjang (Aedes, Culex). Kadang-kadang sisik sayap membentuk
kelompok sisik yang sewarna sehingga tampak sisik sayap membentuk kelompok
sisik yang sewarna sehingga tampak sisik sayap membentuk bercak-bercak pada
sayap bewarna putih dan kuning atau putih dan coklat, juga putih dan hitam
Perilaku menghisap darah pada namuk betina dikarenakan kebutuhan protein untuk
telur menggunakan persediaan nutrisi yang dibawa dari tahap larva, namun setelah itu
mereka membutuhkan darah dari host hewan untuk memproduksi sejumlah telur
22
lainnya. Nyamuk betina dapat bertahan hidup pada tumbuhan bergula, tapi sebagian
besar spesies penting seperti pest atau vector penyakit mencari darah sesaat setelah
kawin atau saat berumur 2 atau 3 hari. Sumber darah yang diminati bervariasi
diantara spesies dan situasi. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor yang
bebeda. Karbon dioksida yang dikeluarkan hewan atau napas manusia digunakan
Berbeda dari nyamuk Anopheleni, nyamuk non Anepheleni (Culini) ada yang
memiliki kebiasaan menghisap darah hospes pada malam saja (Culex), ada yang
penghisapan darahnya dilakukan pada siang dan malam hari (Mansonia) dan ada juga
yang hanya pada siang hari (Aedes). Jarak terbang Culini biasanya pendek, mencapai
Setelah mengonsumsi darah, nyamuk betina mencari tempat untuk beristirahat yang
tidak bisa diganggu, terjadi proses mengubah darah menjadi telur. Nyamuk
hewan dan bebatuan. Biasanya memakan waktu 2 sampai 4 hari agar telur dapat
berkembang secara utuh. Saat telur matang, nyamuk betina terbang dari tempat
peristirahatan dan pada malam hari mencari habitat larva yang sesuai untuk
Siklus hidup nyamuk berawal dari peletakkan telur oleh nyamuk betina. Dari telur
muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva, yang berkembang
23
melalui empat tahap, kemudian bertambah ukuran hingga mencapai tahap akhir yang
tidak membutuhkan asupan makanan yaitu pupa. Didalam kulit pupa nyamuk dewasa
membentuk diri sebagai betina atau jantan, dan tahanp nyamuk dewasa muncul dari
pecahan di bagian belakang kulit pupa. Nyamuk dewada makan, kawin, dan nyamuk
betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru.
Mereka sangat bergantung pada iklim dan kondisi lingkungan local, terutama suhu
Agent
(1) W.bancrofti;
(2) B.malayi;
(3) B.timori',
Yang terpenting ada tiga spesies, yaitu W.bancrofti, B.malayi,dan B timori. Cacing ini
habitatnya dalam sistern peredarah darah, limpha, otot,jaringan ikat atau rongga serosa. Cacing
dewasa mempakan cacing yang langsing seperti benang berwarna putih kekuningan, panjangnya
2 - 70 cm, cacing betma panjangnya lebih kurang dua kali cacing jantan. Biasanya tidak
mempunyai bibir yang jelas, mulutnya sederhana, rongga mulut tidak nyata. Esofagus berbentuk
24
seperti tabung, tanpa bulbus esofagus, biasanya bagian anterior berotot sedangkan bagian
posterior berkelenjar. Filaria membutuhkan insekta sebagai vektor. Nyarnuk culex adalah vektor
dari penyakit filariasis W bancrofti dan B.malayi. Jumlah spesies Anopheles, Aedes, Culex, dan
Mansonia cukup banyak, tetapi kebanyakan dari spesies tersebut tidak penting sebagai vektor
alami.
25
2.3 Diagnosis
1. Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasite yaitu menemukan mikrofilia di dalam darah, cairan hidrokel atau
cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi knott,
membrane filtrasi dan tes provokatif DEC. Pengambilan darah dilakukan pada malam
dan stadium filaria dengan menggunakan pelacak DNA yang spesifik dan antibody
monoclonal untuk mengidentifikasi larva filaria dalam tubuh manusia dan vector.
2. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening
3. Diagnosis Imunologi
Diagnosis ini menggunakan Teknik ELISA dan ICT. Kedua Teknik ini pada dasarnya
Brancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukan adanya infeksi aktif
penyakit. Faktor utama pathogenesis penyakit yaitu host, agen, dan lingkungan. (Timmreck,
2004)
Berikut ini akan dijabarkan determinan (Penyebab) penyakit Filasriasis sesuai dengan konsep
a. Host
1. Umur
Filariasis menyerang semua kelompok umur. Pada dasarmya setiap orang dapat
tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium
3) ribuan kali (Kemenkes RI, 2010). Kelompok umur yang menderita filariasis tertinggi
di Indonesia pada 2007 adalah umur >14 tahhun (Santoso, 2011). Pendapat lain
menyatakan bahwa usia dewasa yaitu 26-55 tahun beresiko 4,6 kali terkena filariasis dari
pada kelompok umur 21-50 tahun. Apabila dilihat dari pekerjaan, sebagian besar
nyamuk lebih besar, yaitu petani kebun. Sesuai dengan Gandahusada (2006)
menyebutkan bahwa kelompok umur dewasa muda merupakan kelompok umur yang
berpenghasilan rendah.
2. Jenis Kelamin
27
Distribusi jenis kelamin penderita filariasis tertinggi di Indonesia pada 2007 yaitu
laki-laki. Hal ini menunjukkan laki-laki lebih berisiko terkena filariasis dibandingkan
perempuan. Aktivitas laki-laki yang lebih banyak diluar rumah meningkatkan risiko
3. Pekerjaan
penderita filariasis tidak bekerja (Santoso, 2011). Responden yang memiliki pekerjaan
berisiko 2,76 kali terkena filariasis daripada yang memiliki pekerjaan tidak berisiko
(Juriastutsi, 2010). Penderita dilariasis terbanyak yaitu yang memiliki pekerjaan sebagai
buruh tani di kabupaten pekalongan (Syuhada, 2012). Selain pada petani, pekerjaan yang
dilakukan pada malam hari seperti begadang, buruh atau tukang seperti buruh batik
berisiko terkena filariasis sebesar 3,51 dari pada yang bekerja pada siang hari (Riftiana,
2010).
Perilaku responden seperti keluar rumah pada malam hari berhubungan dengan
kejadian filariasis (Windiastuti, 2013). Hal tersebut berkaitan dengan puncak kepadatan
nyamuk terjadi pada pukul 20.00 – 21.00 (Depkes RI, 2009). Oleh karena itu, aktivitas
keluar rumah pada malam hari meningkatkan frekuensi kontak dengan nymauk.
gigit serangga. Cara terbaik menghindari gigitan nyamuk pada malam hari adalah tidur
dengan kejadian filariasis. Responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk pada
malam hari berisiko sebesar 1,7 kali daripada yang menggunakan obar nyamuk. (Jontari,
2014)
Responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk memiliki risiko 2,9 kali
terkena filariasis dibandingkan yang menggunakan obat anti nyamuk. (Syuhada, 2012).
Salah satu cara untuk mencegah gigtan nyamuk adalah dengan menggunakan obat
anti nyamuk. Metode perlindungan diri digunakan oleh individu atau kelompok kecil
pada masyarakat untuk melindungi ddiri dari gigitan nyamuk. Macam-macam obat anti
nyamuk yaitu bakar, koil, dan oleh anti nyamuk (Windiastuti, 2013)
Responden yang tidak menggunakan lengan dan celana panjang memiliki risiko 7
kali daripada yang menggunakan lengan dan celana panjang (Paiting, 2012). Penggunaan
baju dan celana yang menutupi lengan dan kaki mengurangi frekuensi gigitan nyamuk
b. Agen
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wucheria
Bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Secara epidemiologi, cacing filaria dibagi menjadi
Culex quinque fasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.
dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui
Mikrofilia ditemukan di daerah tepi pada malam hari. Nyamuk penularan adalah
Mikrofilia ditemukan di daerah tepi pada siang dan malam hari, tetapi leih banyak
ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia sp. Yang
Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi baik malam maupun siang hari Nyamuk
hutan rimba.
c. Lingkungan
lainnya. Faktor lingkunga fisik berkaitan dengan kehidupan vector. Lingkungan yang cocok
untuk kehidupan nyamuk maka akan sangat potensial untuk penularan filariasis. Lingkungan
fisik juga penting artinya untuk tempat perindukan dan peristirahatan vector. Suhu dan
dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya binatang sebagai hospes reservoir (kera, lutung,
dan kucing) dangat mempengaruhi penyebaran filariasis malayi sub oeriodik nokturna dan non
1. Lingkingan Fisik
a. Suhu
Aedes Aegepti merupakan salah satu vector yang dapat menularkan penyakit
berbasis vector dan sensitive terhadap perubahan suhu ketika masih dalam
bentuk jentik dan ketika sudah menjadi nyamuk dewasa. Apabila suhu air
31
meningkat, larva akan menjadi lebih cepat menjadi nyamuk dewasa. Namun
pada iklim hangat, nyamuk betina dewasa mencerna darah lebih cepat dan
(Githeko, 2000).
b. Curah Hujan
vector penyakit. Selain itu, banjir dan kekeringan juga merupakan salah satu
dampak yang disebabkan akibat pola curah hujan yang tidak memntu. Hal itu
mengakibatkan nyamuk lebih cepat berkembang biak dan kondisi rumah tidak
c. Kelembaban
vektorpenyakit. Selain itu, banjit dan kekeringan juga merupakan salah satu
dampak yang disebabkan akibat pola curah hujan yang tidak menentu. Hal itu
32
mengakibatkan nyamuk lebih cepat berkembang biak dan kondisi rumah tidak
Plafon rumah berguna sebagai pemisah antara genting dengan ruangan agar
Kawat kasa yang dipasang pada bagian ventilasi berguna untuk mencegah
kawat kasa memiliki risiko sebesar 3,6 kali terkena filariasis disbanding yang
bergantung di rumahnya memiliki risiko 6,3 kali daripada yang tidak memiliki
konolong tempat tidur, baju digantung, dan tempat gelap dan kotor
kejadian filariasis. Responden yang tidak miliki saluran limbah khusus lebih
got atau sungai). Responden yang memiliki saluran terbuka lebih berisiko
dengan tanah (Kemenkes RI, 2011). Nyamuk dapat terbang sejauh 200 meter
BAB III
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah penelitian potong lintang (cross sectional studies). Lokasi
Bandung, selama 2 bulan yaitu bulan Agustus – September 2013. Kecamatan Majalaya
merupakan kecamatan yang angka cakupan POMP nya paling rendah di Kab. Bandung di
bandingkan dengan kecamatan lainnya. Populasi penelitian adalah semua jumlah penduduk
sasaran pengobatan filariasis, sedangkan besar sampel menggunakan rumus besar sampel
minimal.
N = Jumlah populasi
Dari rumus diatas didapat sampel : Kabupaten Bandung, jumlah penduduk sasaran
pengobatan 2.592.053 jiwa. jadi jumlah sampel 195,98~200 jiwa. Kriteria inklusi sampel
penelitian adalah penduduk sasaran pengobatan filaria dari penduduk yang tinggal di wilayah
terpilih yang telah berumur di atas 15 tahun dan tinggal di wilayah tersebut minimal 5 tahun baik
laki-laki maupun perempuan yang bersedia diwawancarai serta dalam keadaan sehat. Kriteria
eksklusinya adalah penduduk yang bukan sasaran pengobatan POMP (wanita hamil, menyusui)
dan pada saat dilakukan penelitian tidak ada di tempat. Pengumpulan data primer diperoleh
di bacakan terlebih dahulu informed consent yang harus ditanda tangani responden jika
menyetujui untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Etik penelitian ini melewati proses etik
dari Komisi Etik Badan Litbangkes Kemenkes RI. Variabel bebas (independent) penelitian ini
adalah kepatuhan masyarakat untuk minum obat antifilariasis. Tingkat pengetahuan, sikap dan
praktek responden diukur dengan melihat hasil jawaban responden mengenai sumber informasi,
gejala klinis, penyebab, pencegahan dan pengobatan filariasis. Variabel kepatuhan minum
obat dinilai dari jawaban responden mengenai praktek minum obat yang dikategorikan diminum
habis, disisakan dan tidak minum. Pengkategorian variabel pengetahuan, sikap dan praktek
dikatakan baik jika nilainya di atas median, dikatakan kurang jika nilainya di bawah median.
Data yang telah melewati proses entry dan cleaning selanjutnya dianalisa secara deskriptif dan
analisa multivariat menggunakan regresi logistik. (metode I diambil dari jurnal Astuti, 2013)
36
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain studi cross
sectional serta menggunakan pendekatan kualitatif. Penulis menggunakan desain cross sectional
dengan analisis deskriptif untuk mengetahui lebih dalam karakteristik host dan lingkungan
penderita sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. Keterbatasan mendapatkan data
kasus di beberapa wilayah puskesmas menjadi alasan penulis untuk memilih desain cross
sectional dengan analisis deskriptif. Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya penelitian dasar
penyakit filariasis di kabupaten Tangerang, penulis menggunakan desain studi cross sectional
dengan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan karakteristik host dan lingkungan penderita.
variable host dan lingkungan. Variable host yaitu umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan
keluar rumah saat sore malam, kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang. Kemudia untuk
variable lingkungan yaitu kondisi saluran pembuangan air limbah (SPAL), keberadaan sawah,
variable, sehingga diharapkan mendapat informasi yang lebih mendalam tentang alasan penderita
tidak melakukan pencegahan diri dari gigitan nyamuk. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk
variable host (penggunaan kelambu, obat nyamuk, menggunakan baju dan celana panjang saat
sore hingga malam) dan lingkungan (Keberadaan barang bergantung, kondisi SPAL, dan
a. Kuantitatif
sekunder yang digunakan adalah data kasus yang diperoleh dari pencatatan
dan pelaporan data kasus filariasis dinas kesehatan kabupaten Tangerang serta
laporan survei darah jari (SDJ) puskesmas terkait pada periode 2005 sampai
2013. Sedangkan data primer bersumber dari kuesioner dan pengukuran jarak
b. Kualitatif
a. Kuantitatif
Sumber data pada pendekatan kuantitatif adalah data sekunder dan primer.
Data sekunder didapat dari data dinas kesehatan kabupaten Tangerang dan
b. Kualitatif
BAB III
HASIL PENELITIAN
I. Hasil Penelitian I
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan pada tiga kelompok utama yaitu faktor lingkungan,
faktor sosial budaya dan perilaku. Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data masing-masing
variable didapatkan dari analisis bivariat dan multivariat bahwa lingkungan, perilaku dan sosial
budaya mempunyai peranan penting dalam kejadian filariasis. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pencegahan dan penanggulangan filariasis dengan memperhatikan faktor risiko yang dominan
pencegahan dan penanggulangan filariasis adalah pengobatan massal bagi daerah endemis dan
menghindari kontak gigitan nyamuk. Penelitian ini selain menganalisis faktor social budaya,
perilaku dan lingkungan juga menganalisis karakteristik responden menurut kelompok umur,
jenis kelamin, tempat tinggal dan jenis pekerjaan. Hasil karakterisitik responden sebagai berikut.
a.Karakterisitik responden
Pada Tabel 1 umur dibagi menjadi 7 kelompok umur dan menunjukkan distribusi
kelompok umur tertinggi adalah yang berumur 21–30 tahun dan terendah pada kelompok umur
10–14 tahun (2,9%). Kasus terbanyak adalah 17 orang (24,3%) dan yang terendah sebanyak
(2,9%). Pada Tabel 2 distribusi responden menurut jenis kelamin terbanyak pada kelompok jenis
kelamin perempuan yaitu 72 (51,4%) dengan jumlah kasus dengan jenis kelamin perempuan
sebesar 36 (51,4%) dan jenis kelamin laki-laki 34 (48,6%). Dari Tabel 3 terlihat bahwa
responden tersebar pada empat desa dan proporsi distribusi responden terbanyak tersebar di Desa
Mootaya (65,7%) dengan jumlah kasus terbanyak sebesar 46 jiwa (65,7%), sedangkan distribusi
39
responden yang terendah di Desa Bilolantunga (7,1%). Bone Bolango. Hasil penelitian ini
didukung oleh teori yang menyatakan perubahan kemampuan, penampilan, atau perilaku didasari
adalah pemahaman atau persepsi dalam menanggapi fakta, kondisi atau keadaan yang nyata jelas
terlihat secara pasti mempengaruhi mental dan pengertian seseorang. Berdasarkan hasil analisis
faktor pengetahuan, proporsi pengetahuan responden tentang penyebab filariasis baik kasus
maupun kontrol sudah cukup baik. Persentase jawaban responden yang menjawab dengan benar
bahwa penyakit kaki gajah ditularkan melalui nyamuk sebesar 94,3% oleh kelompok kasus dan
Pada uji statistik bivariat pengetahuan p=0.042 dengan OR=2.004 mempunyai hubungan
yang signifikan terhadap kejadian filariasis dan setelah diadakan uji bersama variabel lain
dengan uji regresi multivariat didapatkan p=0.029, dengan Exp.B=2.485. Hal ini menunjukkan
pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan. Pengetahuan rendah akan memberi peluang
dua kali lebih besar terjadi filariasis dibandingkan dengan yang mempunyai pengetahun tinggi.
pengetahuan mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian filariasis p=0, 07 dan OR=0,49.
p<0,001. Kondisi ini mempunyai korelasi dengan hasil uji statistik terhadap perilaku/kebiasaan
filariasis yang menunjukkan hubungan yang signifikan adalah pendapat yang menyatakan bahwa
filariasis disebabkan karena selalu kontak dengan air dan kelebihan bekerja. Pengetahuan
responden yang menimbulkan stigma tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Hal ini
40
mengakibatkan persentase kasus yang menyatakan bahwa filariasis dapat menimbulkan stigma di
masyarakat relatif sedikit. Hal ini karena orang yang terinfeksi filariasis tidak seluruhnya
memperlihatkan gejala dan tidak selamanya menunjukkan gejala seperti pembengkakan. Gejala-
gejala klinis yang muncul sangat bervariasi tergantung respon imun masingmasing penderita.
Berdasarkan manifestasi klinis filariasis dibedakan menjadi empat tingkatan yaitu asymtomatic
eosinophilia (occult filariasis). Orang yang terinfeksi belum memperlihatkan gejala sehingga
masyarakat Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis, Reyke Uloli, dkk. tidak
menjadikan filariasis merupakan suatu masalah atau ancaman. Responden lainnya menyatakan
filariasis tidak dianggap sebagai penyakit yang berbahaya atau penyakit menular dikatakan
bergaul dengan penderita kaki bengkak tidak membahayakan hanya merupakan nasib atau
penyakit kutukan. Penelitian terhadap illnes history variables; penyakit filariasis menjadikan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, p<0.01, terutama responden merasa malu dan tidak merasa
nyaman jika kaki menjadi besar yang ditunjukkan dengan nilai p<0, 05. Pengetahuan responden
baik kasus maupun kontrol mengenai gejala filariasis juga sudah cukup baik. Hal ini ditunjukkan
jawaban yang benar terhadap tanda-tanda filariasis sebesar 92,9% pada kelompok kasus dan
95,7% pada kelompok kontrol. Pemahaman lain yang sudah mengakar di daerah tersebut bahwa
penyebab dari filariasis adalah penyakit keturunan 44,3%, akibat menginjak daerah terlarang
wilayah tersebut masih dipengaruhi hal-hal yang membudaya yaitu yang berkaitan
filariasis menunjukkan tidak bermakna, tetapi nampak jelas bahwa dari pendapat responden
41
menyatakan bahwa pencegahan yang paling tinggi adalah dengan cara penyemprotan. Untuk
menghindari kontak gigitan nyamuk menjadi pilihan kedua. Ini menandakan bahwa peluang
proporsi kasus mempunyai kegiatan di luar rumah antara lain kegiatan ronda keamanan
(47,9%), penjaja keliling / berjualan (8,6%), berada di tempat terbuka 59 (42,1%), buang air
besar di luar rumah (92,9%), berkumpul di luar rumah malam hari (82,9%), memasang obat
nyamuk di luar rumah (5,0%). Kondisi ini menggambarkan peluang kontak dengan nyamuk lebih
besar. Hasil ini didukung oleh teori Green bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
perubahan perilaku yaitu salah satunya adalah faktor-faktor penguat (reinforcing faktors) yaitu
seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Hal yang sama
didapatkan pada penelitian penduduk di wilayah Puskesmas Cempaka Mulia Sampit, Kalimantan
Tengah menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara tingkat Pendidikan dalam hal
penghasilan dan pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan yaitu p <0.05 dan memberi
peluang risiko dua kali lebih besar bila pengetahuan dan penghasilan rendah terhadap kejadian
filariasis di Kabupaten Bone Bolango. Status sosial budaya hasil uji statistik bivariat bahwa
pekerjaan, Pendidikan secara statistik tidak bermakna karena proporsi pekerjaan yang tertinggi
adalah petani (44,3%). Perbandingan antara pekerjaaan dari kasus dan kontrol tidak berbeda jauh
yaitu kasus (45,7%) dan kontrol (42,9%). Tingkat pendidikan dengan kategori rendah pada kasus
(68,6%) sedangkan pada control (55,7%), perbedaan kurang lebih 10% Pendidikan dan
pengetahuan tinggi tidak menjamin perilaku akan sejalan dengan keadaan pendidikan dan
42
kondisi yang sama menyatakan bahwa pekerjaan jtidak berhubungan dengan kejadian filariasis
p= 0,79 dan pendidikan tidak berhubungan dengan kejadian filariasis dengan nilai p= 0,62.
Penghasilan pada uji bivariat menunjukkan hubungan yang tidak signifikan karena proporsi
kasus dengan berpenghasilan rendah (80%) tidak berbeda jauh dengan kontrol (62,8%).
Berdasarkan data hasil penelitian maka sumber informasi mengenai penyakit filariasis
didapatkan dari beberapa sumber diantaranya dari sekolah (43%), tetangga (29,3%),
dan koran/majalah (2,9%). Dari informasi tersebut sumber dari petugas kesehatan cukup tinggi
Pada penelitian ini telah dilakukan uji statistic bivariat pada beberapa variabel seperti
faktor perilaku antara lain kebiasaan menggunakan kelambu menunjukkan hubungan yang
signifikan p=0, 009 dengan OR=11,5, tidak memakai lengan panjang p=0,014 dengan
OR=2,433, pemakaian kasa pada ventilasi p=0,047 dengan OR=2,078. Hasil uji statistik
menggunakan lengan panjang p= 0,014 dengan Exp.B=2,870, pemakaian kasa pada ventilasi
p=0, 151 Exp.B=1,945 sehingga pemakaian kasa tidak lagi berhubungan dengan kejadian
filariasis. Penelitian ini berbeda dengan penelitian filariasis malayi di Kecamatan Cempaka
Mulia yang menunjukkan bahwa pemakaian kelambu tidak mempunyai hubungan dengan
kejadian filariasis dengan p=1,00, sedangkan hubungan kebiasaan penduduk berpakaian lengkap
saat bekerja di hutan mempunyai hubungan yang bermakna p=0,00 dengan nilai OR=0,27.
menunjukkan bahwa pemakaian repellent dan pemakaian obat nyamuk bakar, tidak mempunyai
43
hubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Bone Bolango. Perilaku yang berhubungan
dengan mencari pengobatan didapatkan yang ke Puskesmas 102 (72,9%), praktik dokter 15
(10,7%), obat sendiri 49 (35%), dukun 32 (22,9%). Ini menunjukkan bahwa walaupun akses ke
tempat pelayanan kesehatan sudah cukup tinggi namun usaha dalam mengobati sendiri dan minta
pertolongan dukun masih cukup tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa hal-hal di atas
merupakan yang mendukung perilaku kebiasaan menjadi bermakna. Salah satu variable yang
diamati pula adalah kucing. Didapatkan bahwa kucing berhubungan bermakna dengan kejadian
filariasis secara statistik p=0, 038. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan
Timur bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan betina
yang. Hubungan Perilaku atau Kebiasaan Responden terhadap Kejadian Filariasis di Kecamatan
Boneraya, Kabupaten Bone Bolango Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis, Reyke
Faktor lingkungan dengan uji bivariat menunjukkan hubungan bemakna p=0, 049 dengan
OR=2,433 dan pada uji multivariat p= 0,017 dengan OR=3,563. Peluang terkena risiko 2 sampai
3 kali kali lebih besar pada kondisi lingkungan yang buruk yaitu pada kasus dengan lingkungan
buruk (31, 4%) dan lingkungan buruk pada kontrol (17, 1%). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa lingkungan buruk (rawa sebagai tempat perindukan nyamuk penular) dengan jarak
terbang nyamuk yang kurang dari 200m akan sangat memberikan peluang besar terjadinya
filariasis di daerah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan teori bahwa nyamuk pada umumnya
mempunyai daya terbang sejauh 50-100 meter. Dilaporkan pula beberapa jenis nyamuk antara
lain nyamuk Aedes mampu terbang sampai 320m. Keadaan lingkungan, seperti daerah hutan,
persawahan, rawarawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air dan saluran air limbah dan parit
44
adalah salah satu habitat yang baik untuk pertumbuhan nyamuk spesies tertentu. Hasil penelitian
Saniambara (2005) di Kecamatan Rote Timur dikatakan ada hubungan keadaan lingkungan
sekitar pemukiman terhadap infeksi filariasis (r=-0, 1563, p=0, 0024). Faktor lainnya yang
mendukung terjadinya penularan adalah kondisi rumah yang ditempati dan letak sumber air yang
digunakan.Hasil penelitian didapatkan konstruksi rumah semi permanen 96 (68, 6%), letak
sumber air yang digunakan di luar rumah 133 (95%). Kondisi lingkungan ini mendukung
peluang terjadinya filariasis di Kabupaten Bone Bolango. Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa
lingkungan yang berhubungan dengan kejadian adalah lingkungan rawa yang buruk mempunyai
peluang risiko dua kali lebih besar. Tabel 7 menunjukkan ada empat faktor yang bermakna
secara statistik dengan kejadian filariasis (p<0, 05) yaitu sosial budaya (pengetahuan p=0,029),
perilaku (tidak memakai kelambu p=0, 049, tidak memakai lengan panjang p=0, 014) dan
Komponen host yang diteiti adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, keluar rumah malam hari,
penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, dan pemakaian baju dan celana panjang.
a. Umur
Dari penelitian, umur yang paling banyak menderita filariasis terdapat pada usia 35-45
tahun yaitu sebanyak 13 orang (43,3%). Pekerjaan pada kelompok umur 36-45 adalah
sebagai petani, buruh sawah, dan orang yang bekerja di sawah saat panen padi.
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian di kabupaten Tangerang yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki
dan petempuan. Penderita filariasis paling banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 18
orang (60%)
c. Pekerjaan
Variabel pekerjaan memliki dua kategori, yaitu pekerjaan berisiko dan pekerjaan tidak
berisiko. Seusai dengan penelitian bahwa sebagian besar penderita memeiliki pekerjaan
berisiko yaitu 20 orang (66,7%). Lebih lanjut, pekerjaan yang dimiliki penderita sebelum
didiagnosis menderita filariasis adalah buruh tani, guru mengaji, ibu rumah tangga,
penelitian terlihat bahwa pekerjaan berisiko paling banyak dimiliki oleh laki-laki yaitu 12
orang (60%). Kemudian, untuk jeis pekerjaan yang tidak berisiko paling banyak dimiliki
Kategori kebiasaan tersebut dibedakan menjadi kebiasaan keluar saat malam dan tidak
memiliki kebiasaan keluar rumah saat malam. Berdasarkan penelitian terlihat bahwa
sebagian besar pendeita memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari yaitu
sebanyak 20 orang (66,7%). Apabila dilihat alasan pendertia keluar rumah saat malam
e. Penggunaan Kelambu
Dari penelitian didapatkan bahwa sebagian besar penderita tidak menggunakan kelambu
Variabel penggunaan obat nyamuk memiliki kategori digunakan dan tidak digunakan
obat nyamuk sebelum sakit. Dari hasil penelitian dapat terlihat penderita yang tidak
menggunakan obat nyamuk sebanyak 18 orang (60%0. Jika penggunaan obat nyamuk
dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan maka didapatkan bahwa penderita yang tidak
menggunakan obat anti nyamuk sebagian besar memiliki pekerjaan berisiko yaitu
Kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang saat petang terutama malam hari
meiliki kategori menggunakan dan tidak menggunakan. Dari hasil penelitian didapatkan
sebagian besar penderita tidak menggunakan baju dan celana panjang sebanyak 19 orang
(63,3%). Jika dilihat kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang saat malam
dengan jenis pekerjaan maka didapatkan hasil bahwa penderita yang tidak menggunakan
baju dan celana panjang saat malam hari sebagian besar memiliki pekerjaan berisiko
didiagnosis filariasis memiliki kategori baik dan buruk. Berdasarkan hasil penelitian
terlihat bahwa kondisi SPAL pendertia sebagian besar penderita memiliki kondisi SPAL
yang buruk. Penderita yang memiliki SPAL yang buruk sebanyak 24 orang (80%).
Berdasarkan penggunaan kawat kasa, kategori yang digunakan adalah kasa terpasang dan
hasil penelitian didapatkan sebagian besar penderita belum memasang kawat kasa.
j. Penggunaan plafon
Variabel penggunaan plafon memiliki kategori ada dan tidak ada. Berdasarkan hasil
penilitian didapatkan bahwa sebagian besar penderita tidak memiliki plafon. Penderita
Variabel keberadaan barang bergantung memiliki kategori ada dan tidak. Dari hasil
didalam rumah. Penderita yang memiliki keberadaan barang bergantung didalam rumah
l. Keberadaan sawah
Berdasarkan jarak sawah disekitar rumah penderita, terdapat katgori rumah dekat dan
jauh dengan sawah. Apabila dilihat dari jarak terbang nyamuk dari tempat perindukannya
yaitu 200 meter. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rumah penderita yang berjarak
200 meter memiliki proporsi yang lebih besar daripada rumah penderita yang memiliki
jarak jauh dengan sawah >200 meter. Penderita yang memiliki jarak <20) meter memiliki
BAB V
I. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa penyakit filariasis atau yang biasa dikenal dengan kaki gajah
disebabkan oleh cacing penyebab filariasis yang terbawa oleh nyamuk yang menyerang manusia
sehingga manusia yang terkena gigitan nyamuk yang terinfeksi cacing tersebut mengalami
pembengkakan di beberapa daerah tertentu di tubuh yang dikenal dengan nama filariasis atau
kaki gajah.
II. Saran
Maka dari permasalah yang diteliti diatas kami menyarankan agar layanan kesehatan primer
korban filariasis atau kaki gajah, kami menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh
b. Mengedukasi kepada anak-anak yang berada didaerah endemic filariasis atau kaki gajah
agar lebih berhati-hati lagi dalam melakukan aktifitas baik didalam ataupun diluar rumah
d. Melakukan survey kepada masyarakat didaerah endemic filariasis atau kaki gajah untuk
f. Melakukan rujukan kepada rumah sakit untuk penderita filariasis kronis agar dilakukan
DAFTAR PUSTAKA