Anda di halaman 1dari 53

KARYA TULIS ILMIAH

5 TINGKAT PENCEGAHAN FILARIASIS DALAM


TEMPAT PERAWATAN KESEHATAN PRIMER

Disusun Oleh:
Nama : Ravi Hamsyah Hidayat
NIM : 04011381722184

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
2

ABSTRAK

Filariasis atau yng biasa dikenal dengan Kaki Gajah adalah penyakit yang disebabkan

oleh cacing Filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, dan Armigeres.

Jenis cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi akut berupa

demam berulang,dan peradangan pada saluran kelenjar getah bening. Program pemberantasan

Filariasis dirasa sangat diperlukan dengan tujuan untuk menghentikan penularan. Program yang

sesuai dan dapat dikerjakan dalam waktu yang lama diperlukan mengingat masa hidup cacing

dewasa yang cukup lama. Dengan demikian perlu ditingkatkan surveilans epidemiologi di

tingkat kesehatan primer atau Puskesmas agar dapat mendeteksi kasus filiarisis sejak dini dan

diperlukan pemberian penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara

menghindari penularan dan pengendalian nyamuk. Jika penularan disebabkan oleh gigitan

nyamuk di tempat tinggal dan terjadi pada malam hari, maka pencegahan dapat dilakukan

dengan penyemprotan peptisida, memasang kawat pada ventilasi, tidur dengan kelambu,

memakai obat anti nyamuk, dan membersihkan tempat – tempat yang dicurigai sebagai tempat

perkembangbiakan nyamuk seperti bak terbuka, ban bekas, dll. dengan cara membunuh larva

nyamuk menggunakan larvasida. (Masrizal, 2012)

Kata kunci: Filariasis, Kaki Gajah, Nyamuk, Cacing


3

ABSTRACT

Filariasis or commonly known as Elephant Feet is a disease caused by Filaria worm and

transmitted by mosquito Mansonia, Anopheles, Culex, and Armigeres. This type of worm lives

in the channel and lymph nodes with acute manifestations of recurrent fever, and inflammation

of the lymph nodes. The Filariasis eradication program is deemed necessary for the purpose of

stopping transmission. A suitable and workable program for a long time is needed given the

longevity of adult worms. Thus, it is necessary to increase epidemiological surveillance at

primary health level or Puskesmas in order to detect cases of filiarisis from an early age and to

provide extension services to communities in endemic areas on how to avoid transmission and

control of mosquitoes. If transmission is caused by mosquito bites in the dwelling and occurs at

night, prevention can be done by spraying pepticides, installing wires in ventilation, sleeping

with mosquito nets, using mosquito repellent, and cleaning up suspected mosquito breeding sites

such as tubs open, used tires, etc. by killing mosquito larvae using larvasida. (Marizal, 2012)

Keywords: Filariasis, Elephant Feet, Mosquito, Worms


4

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang maha esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “5 TINGKAT

PENCEGAHAN FILARIASIS DALAM TEMPAT PERAWATAN KESEHATAN

PRIMER” dengan baik.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

mendukung dan memberikan bimbingannya dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini agar dapat

selesai dengan sebaik mungkin.

Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karna itu, dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat penulis

harapkan dari para pembaca guna memperbaiki dan meningkatkan pembuatan karya tulis ilmiah

yang lainnya pada waktu mendatang.

Palembang, September 2017

Ravi Hamsyah Hidayat


NIM 04011381722184
5

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. i

Abstrak ........................................................................................................... ii

Abstract ........................................................................................................... iii

Kata Pengantar ................................................................................................. iv

Daftar Isi ............................................................................................................ v

BAB I: Pendahuluan ........................................................................................ 7

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 7

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 8

1.3 Tujuan Umum .............................................................................. 8

1.4 Hipotesis .............................................................................. 8

1.5 Manfaat .............................................................................. 8

BAB II: Tinjauan Pustaka .............................................................................. 9

2.1 Filariasis ........................................................................................ 9

2.1.1 Definisi ........................................................................................ 9

2.1.2 Daerah Endemik ............................................................................. 12

2.1.3 Faktor Penyebaran ............................................................................. 14

2.1.4 Patogenesis dan Gejala Klinis ........................................................ 18

2.2 Etiologi ................................................................................................. 20


6

2.3 Diagnosis ....................................................................................... 25

2.4 Determinan Filariasis ............................................................................. 26

BAB III: Metode Penelitian ............................................................................. 34

I. Kepatuhan Masyarakat Mengonsumsi Obat Filariasis ......................... 34

II. Karakteristik Lingkungan dan Host Filariasis ................................... 37

BAB IV: Hasil Penelitian ...................................................................................... 38

I. Hasil Penelitian I ............................................................................. 38

II. Hasil Penelitian II ............................................................................. 45

BAB V: Kesimpulan dan Saran ............................................................................. 49

I. Kesimpulan ....................................................................................... 49

II. Saran ................................................................................................. 49

Daftar Pustaka ................................................................................................. 51


7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis limfatik atau elephanitis atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan

nama penyakit kaki gajah adalah penyakit menular yang efeknya baru terasa dalam

beberapa tahun sejak pertama kali terinfeksi. Penyakit ini disebabkan oleh sejenis cacing

darah dari Genus Filaria, yang penularannya pada manusia melalui gigitan beberapa

spesies nyamuk. Penyakit ini di Indonesia disebabkan oleh beberapa nyamuk, yaitu,

Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, menyerang kelenjar dan pembulu

darah getah bening. Penularan terjadi melalui vector nyamuk Culex spp., Anopheles spp.,

Aedes spp., Mansonia spp., dan Armigeres spp. (Nurjana)

Penyakit ini menjadi masalah kesehatan rakyat yang penting terutama bagi daerah

pedesaan di luar pulau Jawa – Bai karena mengakibatkan berkurangnya kemampuan

kerja masyarakat dengan cacar yang ditimbulkannya. Daerah endemis biasanya

merupakan daerah dataran rendah yang berawa-rawa disana-sini dikelilingi oleh daerah

yang bersemak belukar dan berhutan walaupun dapat juga ditemukan di daerah perkotaan

dan yang berbukit (yang tidak tinggi) tergantung adanya nyamuk yang menularkannya.

Berbagai cara penanggulangan dan pengobatan terhadap penyakit tersebut telah

dilakukan akan tetapi prevalensi di daerah endemic masih tetap tinggi. Filariasis tidak
8

membunuh penderitanya tetapi dapat menyebabkan penurunan produktivitas secara

individual, keluarga, maupun masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana cara mencegah terjadinya penyakit filariasis?

1.3 Tujuan Umum

Mengetahui langkah – langkah pencegahan penyakit filariasis.

1.4 Hipotesis

Penyakit Filariasis dapat dicegah dengan langkah – langkah spesifik yang dimulai dari

Puskemas atau tempat perawatan kesehatan primer.

1.5 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat membuat langkah pencegahan penyakit filariasis menjadi

lebih efektif.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Filariasis

2.1.1 Definisi

Filiarisis (Kaki Gajah) adalah penyakit yang dapat menular yang disebabkan oleh

infeksi cacing Filarial yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk (Muslim, 2009).

Di Indonesia, Filariasis disebabkan oleh tiga species cacing Filaria, yaitu Wuchereria

bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. hingga sekarang telah teridentifikasi 23 spesies

nyamuk dari 5 genus, yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigres. Filiarisis dapat

mengganggu kesehatan dengan cara dapat menyebabkan kecacaran tetap, penurunan

produktivitas individua dan keluarga (Sudomo, 2008).

Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang menjadi perhatian pemerintah dan

dunia, karena setiap tahun prevelensi penyakit ini selalu meningkat (Depkes, 2008).

Situasi prevelensi mikrofilaria di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari (SDJ)

berkisar antara 1% hingga 38,57%. Prevelensi mikrofilia di pulau jawa berkisar antara 1%

hingga 9,2% (Kemenkes, 2010).

WHO menyatakan bahwa Filariasis adalah salah satu masalah kesehatan yang serius,

karena itu WHO mluncurkan sartu program eliminasi filarisis yang dinamakan The Global Goal

og Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Healty by the Year 2020. Menteri kesehatan
10

menyebutkan bahwa program ini menjadi salah satu prioritas pemberantasan penyakit menular

(Ilyas, 1990).

Seseorang dapat dikatakan tertular Filariasis apabila orang tersebut terkena gigitan

nyamuk yang mengandung larva cacing yang menyebabkan Filariasis (Depkes, 2008)

Proses ini biasa dikenal dengan rantai infeksi. Salah satu cara yang paling tepat untuk

memutus rantai tersebut adalah dengan melakukan pencegahan yang dapat menghilangkan atau

mengurangi kemungkinan yang dapat memungkinkan seseorang terkena filariasis. (Putri, 2010).

Pencegahan berari menghindari suatu kejadia sebelum terjadi. Pencegahan menurut

Leavell dan Clark terdapat tiga tingkatan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer

adalah usaha yang dilakukan sebelum menderita sakit melalu kegiatan penyuluhan kesehatan dan

tindakan perlindungan khusus. Pencegahan primer merupakan pencegahan yang paling

diutamakan karena merupaka sebuah dasar untuk tetap mempertahankan dan memelihara status

kesehatan dengan cara menguatkan garis pertahanan tubuh sehingga bibit penyakit tidak dapat

masuk dan menimbulkan reaksi bagi tubuh (Anderson, 2006)

Menurut (Hasmiwati, 2006) Filariasis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

cacing filaria yang hidup dalam pembuluh dan kelenjer limfa. Penyakit ini ditularkan melalui

gigitan nyamuk. Penyakit filariasis umumnya menyerang masyarakat usia dewasa muda yang

aktif bekerja sehingga menurunkan produktiffas kerja. Lebih dari 22 juta penduduk Indonesia

tinggal didaerah endemis filariasis dan diperkirakan 3 -4juta telaah terinfeksi (Partono, 1988).

Filariasis ditularkan melalui gigitan nyamuk vector seperti nyamuk Culex quinqquefasciatus di

daerah perkotaan dan Anopheles spp, Aedes sp serta nyamuk Mansonia sp di daerah pedesaan.

Didalam tubuh nyamuk vektor mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang menjadi
11

larva infektif. Larva infektif masuk secara aktif kedalam tubuh hospes waktu nyamuk menggigit

hospes dan berkembang menjadi dewasa dan melepaskan mikrofilaria kedalam peredaran darah

Sedangkan menurut (Masrizal, 2013) Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit

raenular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia,

Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening

dengan manifestasi klinik akut berupa deraam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar

getah bening. Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan transmisi

penularan,diperlukan program yang berkesinambungan dan memakan waktu lama karena

mengingat masa hidup dari cacing dewasa yang cukup lama. Dengan demikian perlu

ditingkatkan surveilans epidemiologi di tingkat Puskesmas untu penemuan dini kasus filariasis

dan pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan fiilariasis.Memberikan penyuluhan

kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor

(nyamuk). Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rurnah

maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan

pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu, memakai obat

gosok anti nyamuk dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka,

ban-ban bekas, batok kelapa dan mernbunuh larva dengan larvasida. Lakukan pengobatan

misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine citrate. Penyakit ini diperkirakan seperiima

penduduk dunia atau 1.1 milyar penduduk beresiko terinfeksi, terutama di daerah tropis dan

beberapa daerah subtropis. Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan, stigma sosial, hambatan

psikososisal, dan penurunan produktivitas kerja penderita, keluarga dan masyarakat sehingga

menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Dengan demikian penderita menjadi beban keluarga

dan negara.
12

2.1.2 Daerah Endemik

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di

daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu

tinggi. Di Indonesia filariasis tersebar luas, daerah endemis terdapat terdapat di banyak pulau di

seluruh nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT,

Maluku, dan Irian Jaya. (Masrizal, 2013)

Sumatera selatan juga menjadi daerah endemik filariasis, salah satunya adalah kabupaten

banyuasin seperti penelitian (Ambarita, 2006)

Kabupaten Banyuasin sebagai kabupaten yang baru terbentuk pada tahun 2003 dan

merupakan pecahan dari Kabupaten Musi Banyuasin merupakan salah satu daerah endemis

filariasis di Indonesia. Walaupun merupakan kabupaten yang baru, namun program

pemberantasan filariasis masih tetap diteruskan terutama di dalam pemantauan timbulnya kasus-

kasus baru, selain tetap memonitor desa-desa yang memiliki kasus lama.

salah satu desa yang menjandi fokus pemantauan (Ambarita, 2006) dalam program

eliminasi filariasis adalah desa Sebubus. Desa yang memiliki jumlah penduduk lebih kurang 680

jiwa ini berada di pinggiran sungai yang merupakan percabangan dari Sungai Musi. Pada tahun

1998 dari hasil pemeriksaan sediaan darah jari di desa ini diperoleh angka Microfilaria rate (Mf

rate) masih cukup tinggi yaitu sebesar 4 % (Dinas Kab.Banyuasin, 2004)

Tentu saja faktor-faktor yang berperan penting dalam penyebaran filariasis (Epidemiologi

filariasis) perlu diamati dalam usaha pemutusan mata antai penularanna. Pemutusan mata rantai

penularan terbaik adalah penatalaksanaan kasus (Menyembuhkan penderita filariasis) serta

melakukan pengamatan vektor penular filariasis secara terus menerus sebagai dasar dalam
13

pemberantasan vektor serta menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk. (Ambarita,

2006)

Di Indonesia kasus filariasis keberadaannya masih tinggi. Hingga tahun 1992/1993

berdasarkan hasil survey prevaiensi filariasis di 6 propinsi dengan tingkat endemisitas sebagai

berikut : propinsi Aceh 6,6% ; Jambi 4,7%; Kalimantan Selatan 0,4%; Nusa Tenggara Timur

0,6%; Sulawesi Tengah 22,5%; Irian Jaya 1 2,6% dan hasil survey tahun 1993/1994 di 5 propinsi

menunjukan tingkat endemisitas filariasis sebagai berikut : Sulawesi Selatan 1,5%; Jawa Barat

1,5%; Riau 1,3%; Bengkulu 1,5%; Kalimantan Barat 1,4% (Hasmiwati, 2006)
14

2.1.3 Faktor Penyebaran

1. Faktor Manusia dan Nyamuk (Host)

a.Manusia

1) Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat

tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3)

ribuan kali.

2) Jenis Kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. Insiden filariasis pada laki-laki lebih

tinggi daripada perempuan karena pada umumnya laki-laki lebih sering terpapar dengan vektor

karena pekerjaannya.

3) Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak teerbentuk imunitas dalam

tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak

mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak

semua orang terinfeksi filariasis dan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang

yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi

perubahanpatologis dalam tubuhnya.


15

4)Ras

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi

filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke

daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit

mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.

b. Nyamuk

Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air. Kelangsungan

hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ±

100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1 -2 hari menetas jadi jentik, 8-10 hari menjadi

kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jantan akan terbang disekitar

perindukkannya dan makan cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin

sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam keluar dari kepompong.

Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya. Pengetahuan

kepadatan nyamuk dan vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat

digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor.

2. Lingkungan (Environment)

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai

penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia Malayi adalah daerah sungai, hutan, rawa-rawa,

sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. Bancrofti

tipe perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan

banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx. Quinquefasciatus.

Sedangkan daerah endemis W. Bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi
16

lingkungannya sama dengan derah endemis B. Malayi. Lingkungan hidup manusia pada

dasarnya terdiri dari dua bagian, internal dan ekstemal. Lingkungan hidup internal merupakan

suatu keadaan yang dinamis dan seimbang yang seimbang yang disebut homeostatis, sedangkan

lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan di luar tubuh manusia yang terdiri atas tiga

komponen, antara lain:

a. Lingkungan Fisik

Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan keadaan musim. Lingkungan

fisik bersifat abiotik. atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas,

sinar, radiasi, dan Iain-lain. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis

dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B.malayi adalah daerah dengan hutan

rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis

Wbancrofti tipe perkotaan adalah daerah kumuh, pada penduduknya dan banyak genangan air

kotor sebagai habitat dari vector yaitu nyamuk Cx.quinquefasciatu.

b. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologis adalah semua makhluk hidup yang berada di sekitar manusia yaitu

flora dan fauna, termasuk manusia. Misalnya, wilayah dengan flora yang berbeda akan

mampunyai pola penyakit yang berbeda. Faktor lingkungan biologis ini selain bakteri dan virus

patogen, ulah manusia juga mempunyai peran yang penting dalam terjadinya penyakit, bahkan

dapat dikatakan penyakit timbul karenaulah manusia. Berdasarkan penelitian oleh (Anshari,

2012), terdapat hubungan antara keberadaan tumbuhan air dengan kejadian filariasis. Maka dapat
17

dikatakan bahwa orang tinggal di rumah yang memiliki tumbuhan air mempunyai risiko untuk

terjadinya penularanpenyakit filariasis.

c. Lingkungan Sosial dan Ekonomi

Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap,

standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemaysarakatan, organisasi sosial dan politik,

pendidikan, dan status ekonomi. Salah satu faktor lingkungan sosial yang berhubungan dengan

kejadian filariasis adalah status ekonomi. Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang

berbeda ini, pada umumnya di pengaruhi oleh dua hal yakni;

karena terdapatnya perbedaan kemampuan ekonomis dalam mencegah dan atau

mengobati penyakit, dan terdapatnya perbedaan sikap hidup dan perilaku yang dimiliki.

Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat beresiko untuk terkena

filariasis. Menurut (Nasrin, 2008), terdapat hubungan pekerjaan dengan kejadian filariasis.

Orang yang merniliki pekerjaan petani. buruh tani, buruh pabrik, dan nelayan beresiko tertular

penyakit filariasis.

3. Agent

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial, yaitu : W. Bancroft, B.

Malayi. B. Timori. Cacing filaria (Nematode : Filarioidea) baik limfatik maupun non lirnfatik,

rnempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan

telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Sebanyak

32 varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria

dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filarial.


18

2.1.4 Patogenesis dan Gejala Klinis

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi faktor kerentanan individu terhadap parasit,

frekuensi mendapat gigitan nyamuk yang sering, banyak larva infektif yang masuk ke dalam

tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur.

Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis disebabkan oleh cacing filaria dewasa yang

tinggal disaluran limfe, sehingga menimbulkan gejala pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan

penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi limfatik.

Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi W. Bracrofti, B.

Malayi, dan B timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak leih jelas dan berat oleh B.

Malayi dan B. Timori. Infeksi W. Bancrofti dapat menyebabkan kelainan saluran pada saluran

kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. Malayi dan B. Timori ridak menimbulkan kelainan

pada saluran kemih dan alat kelamin.

tersapat gejala klinis akut dan klinis kronis maupun mikrofilaremia tanpa gejala pada

penyakit filariasis:

1. Mikrofilaremia tanpa gejala

Orang dengan mikrofilaremia yang asimtomatik (Gandahusada, 2006)

2. Gejala klinis akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam,

sakit kepala, rasa lemah, dan timbulnya abses.

Abses dapat pecah dan kemudia sembuh dengan meninggalkan bekas jaringan parut dilipat pada

dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B. Malayi dan B. Timori
19

3. Gejala klinis kronik

Gejala kronis terdiri dari limfaedema, lymp scrotum, kiluria, dan hidrokel. Limfaedema

pada infeksi W. Bancrofti terjadi pembengkakan di seluruh kaki, lengan, skrotum, penis, vulva

vagina, dan payudara,

sedangkan infeksi Brugia terjadi di kaki bawah lutut. Lymph scrotum adalah pelebaran

saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang pada kulit penis, sehingga mudah pecah dan

cairan limfe mengalir keluar membasahi pakaian.

Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah diginjal

(pelvis renalis) sehingga cairan limfe dan dara masuk kedalam saluran kemih. Kiluria adalah

pelebaran kantung buah zakar karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis
20

2.2 Etiologi

Etiologi dibawah ini adalah diambil Menurut (Masrizal, 2013)

Hospes

Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain

yang rentan. Biasanya pendatang baru ke daerah endemis lebih rentan terhadap infeksi filariasis

dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena

infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi {exposure). Juga gejala

penyakit lebih nyata pada laki - laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.

Hospes Reservoar

Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia.

Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis

Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.

Vektor

Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis

cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan di tularkan oleh

Cx.quinquefasciatur yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah

pedesaan dapat dituiarkan oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian Jaya W.bancrofti dituiarkan

terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat

perindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai vektor : An.Koliensis, An.punctulatus,

Cx.annulirostris dan Ae.Kochi, W.bancrofti didaerah lain dapat dituiarkan oleh spesies lain,

seperti An.subpictus di daerah pantai NTT. Selain nyamuk Culex, Aides pernah juga ditemukan
21

sebagai vektor. B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya dituiarkan oleh berbagai

spesies mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain, yang berkembang

biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimantan, Maluku dan lain-lain. B.malayi yang periodik

dituiarkan oleh An.Barbirostris yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di

daerah Sulawesi. B.timori, spesies yang ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang

hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor-Timor, dituiarkan oleh An.barbirostris yang

berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalarnan.

a. Ciri – Ciri Nyamuk Vektor Filariasis

Pada stadium dewasa nyamuk non Anopheles (Culini) betina, palpinya lebih pendek

daripada probosisnya, sedangkan nyamuk culini jantan, palpi melebihi panjang

probosisnya. Sisik sayapnya da yang lebar dan asimetris (Mansonia) dan ada pula

yang sempit dan panjang (Aedes, Culex). Kadang-kadang sisik sayap membentuk

kelompok sisik yang sewarna sehingga tampak sisik sayap membentuk kelompok

sisik yang sewarna sehingga tampak sisik sayap membentuk bercak-bercak pada

sayap bewarna putih dan kuning atau putih dan coklat, juga putih dan hitam

(speckled). Ujung abdomen Aedes lancip, sedangkan ujung abdomen Mansonia

seperti tumpul dan terpancung (Gandahusada, 2006).

b. Perilaku Menghisap Darah

Perilaku menghisap darah pada namuk betina dikarenakan kebutuhan protein untuk

memproduksi telur, khususnya darah. Beberapa spesies dapat menghasilkan sejumlah

telur menggunakan persediaan nutrisi yang dibawa dari tahap larva, namun setelah itu

mereka membutuhkan darah dari host hewan untuk memproduksi sejumlah telur
22

lainnya. Nyamuk betina dapat bertahan hidup pada tumbuhan bergula, tapi sebagian

besar spesies penting seperti pest atau vector penyakit mencari darah sesaat setelah

kawin atau saat berumur 2 atau 3 hari. Sumber darah yang diminati bervariasi

diantara spesies dan situasi. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor yang

bebeda. Karbon dioksida yang dikeluarkan hewan atau napas manusia digunakan

nyamuk untuk meneukan host mereka (Achmadi, 2011)

Berbeda dari nyamuk Anopheleni, nyamuk non Anepheleni (Culini) ada yang

memiliki kebiasaan menghisap darah hospes pada malam saja (Culex), ada yang

penghisapan darahnya dilakukan pada siang dan malam hari (Mansonia) dan ada juga

yang hanya pada siang hari (Aedes). Jarak terbang Culini biasanya pendek, mencapai

jarak terbang rata-rata beberapa puluh meter saja (Gandahusada, 2006)

c. Kebiasaan Beristirahat (Resting Places)

Setelah mengonsumsi darah, nyamuk betina mencari tempat untuk beristirahat yang

tidak bisa diganggu, terjadi proses mengubah darah menjadi telur. Nyamuk

beristirahat di daerah vegetasi yang padat, di lubang-lubang pohon, tempat tinggal

hewan dan bebatuan. Biasanya memakan waktu 2 sampai 4 hari agar telur dapat

berkembang secara utuh. Saat telur matang, nyamuk betina terbang dari tempat

peristirahatan dan pada malam hari mencari habitat larva yang sesuai untuk

meletakkan telur (Achmadi, 2011)

d. Siklus Hidup Nyamuk

Siklus hidup nyamuk berawal dari peletakkan telur oleh nyamuk betina. Dari telur

muncul fase kehidupan air yang masih belum matang disebut larva, yang berkembang
23

melalui empat tahap, kemudian bertambah ukuran hingga mencapai tahap akhir yang

tidak membutuhkan asupan makanan yaitu pupa. Didalam kulit pupa nyamuk dewasa

membentuk diri sebagai betina atau jantan, dan tahanp nyamuk dewasa muncul dari

pecahan di bagian belakang kulit pupa. Nyamuk dewada makan, kawin, dan nyamuk

betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru.

Mereka sangat bergantung pada iklim dan kondisi lingkungan local, terutama suhu

dan curah hujan. (Achmadi, 2011)

Agent

Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu

(1) W.bancrofti;

(2) B.malayi;

(3) B.timori',

(4) Loa loa,

(5) Onchocerca volvulus',

(6) Acanthocheilonema perstants;

(7) Mansonella azzardi.

Yang terpenting ada tiga spesies, yaitu W.bancrofti, B.malayi,dan B timori. Cacing ini

habitatnya dalam sistern peredarah darah, limpha, otot,jaringan ikat atau rongga serosa. Cacing

dewasa mempakan cacing yang langsing seperti benang berwarna putih kekuningan, panjangnya

2 - 70 cm, cacing betma panjangnya lebih kurang dua kali cacing jantan. Biasanya tidak

mempunyai bibir yang jelas, mulutnya sederhana, rongga mulut tidak nyata. Esofagus berbentuk
24

seperti tabung, tanpa bulbus esofagus, biasanya bagian anterior berotot sedangkan bagian

posterior berkelenjar. Filaria membutuhkan insekta sebagai vektor. Nyarnuk culex adalah vektor

dari penyakit filariasis W bancrofti dan B.malayi. Jumlah spesies Anopheles, Aedes, Culex, dan

Mansonia cukup banyak, tetapi kebanyakan dari spesies tersebut tidak penting sebagai vektor

alami.
25

2.3 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dipastikan dengan pemeriksaan

laboratorium (Gandahusada, 2006):

1. Diagnosis Parasitologi

Deteksi parasite yaitu menemukan mikrofilia di dalam darah, cairan hidrokel atau

cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi knott,

membrane filtrasi dan tes provokatif DEC. Pengambilan darah dilakukan pada malam

hari karena periodisitas mikroilaria umumnya noktuna. Seangkan diferensiasi spesies

dan stadium filaria dengan menggunakan pelacak DNA yang spesifik dan antibody

monoclonal untuk mengidentifikasi larva filaria dalam tubuh manusia dan vector.

2. Radiodiagnosis

Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening

inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.

3. Diagnosis Imunologi

Diagnosis ini menggunakan Teknik ELISA dan ICT. Kedua Teknik ini pada dasarnya

menggunakan antibody monokla yang spesifik untuk mendeteksi antigen W.

Brancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukan adanya infeksi aktif

walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah.


26

2.4 Determinan Filariasis

Segitiga epidemiologi digunakan untuk menganalisis keterkaitan setiap faktor dalam

penyakit. Faktor utama pathogenesis penyakit yaitu host, agen, dan lingkungan. (Timmreck,

2004)

Berikut ini akan dijabarkan determinan (Penyebab) penyakit Filasriasis sesuai dengan konsep

segitiga epidemiologi yang dapat menyebabkan kejadian filariasis.

a. Host

1. Umur

Filariasis menyerang semua kelompok umur. Pada dasarmya setiap orang dapat

tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium

3) ribuan kali (Kemenkes RI, 2010). Kelompok umur yang menderita filariasis tertinggi

di Indonesia pada 2007 adalah umur >14 tahhun (Santoso, 2011). Pendapat lain

menyatakan bahwa usia dewasa yaitu 26-55 tahun beresiko 4,6 kali terkena filariasis dari

pada umur tua (>55 tahun).

Penelitian Paiting (2012) menunjukan bahwa kasus filariasis banyak ditemukan

pada kelompok umur 21-50 tahun. Apabila dilihat dari pekerjaan, sebagian besar

penderita memiliki pekerjaan berisiko yang memungkinkan seseorang terpapar gigitan

nyamuk lebih besar, yaitu petani kebun. Sesuai dengan Gandahusada (2006)

menyebutkan bahwa kelompok umur dewasa muda merupakan kelompok umur yang

paling sering menderita filariasis, terutama mereka yang tergolong penduduk

berpenghasilan rendah.

2. Jenis Kelamin
27

Distribusi jenis kelamin penderita filariasis tertinggi di Indonesia pada 2007 yaitu

laki-laki. Hal ini menunjukkan laki-laki lebih berisiko terkena filariasis dibandingkan

perempuan. Aktivitas laki-laki yang lebih banyak diluar rumah meningkatkan risiko

terkena filariasis (Santoso, 2011)

3. Pekerjaan

Berdasarkan analisis data riskesdas 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar

penderita filariasis tidak bekerja (Santoso, 2011). Responden yang memiliki pekerjaan

berisiko 2,76 kali terkena filariasis daripada yang memiliki pekerjaan tidak berisiko

(Juriastutsi, 2010). Penderita dilariasis terbanyak yaitu yang memiliki pekerjaan sebagai

buruh tani di kabupaten pekalongan (Syuhada, 2012). Selain pada petani, pekerjaan yang

dilakukan pada malam hari seperti begadang, buruh atau tukang seperti buruh batik

berisiko terkena filariasis sebesar 3,51 dari pada yang bekerja pada siang hari (Riftiana,

2010).

4. Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari

Perilaku responden seperti keluar rumah pada malam hari berhubungan dengan

kejadian filariasis (Windiastuti, 2013). Hal tersebut berkaitan dengan puncak kepadatan

nyamuk terjadi pada pukul 20.00 – 21.00 (Depkes RI, 2009). Oleh karena itu, aktivitas

keluar rumah pada malam hari meningkatkan frekuensi kontak dengan nymauk.

5. Kebiasaan Menggunakan Kelambu

Kelambu merupakan tirai yang berbentuk jarring-jaring untuk melindungi dari

gigit serangga. Cara terbaik menghindari gigitan nyamuk pada malam hari adalah tidur

menggunakan kelambu. (Garjito, 2013).


28

Responden yang memiliki kebiasaan tidak menggunakan kelambu berhubungan

dengan kejadian filariasis. Responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk pada

malam hari berisiko sebesar 1,7 kali daripada yang menggunakan obar nyamuk. (Jontari,

2014)

6. Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk

Responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk memiliki risiko 2,9 kali

terkena filariasis dibandingkan yang menggunakan obat anti nyamuk. (Syuhada, 2012).

Salah satu cara untuk mencegah gigtan nyamuk adalah dengan menggunakan obat

anti nyamuk. Metode perlindungan diri digunakan oleh individu atau kelompok kecil

pada masyarakat untuk melindungi ddiri dari gigitan nyamuk. Macam-macam obat anti

nyamuk yaitu bakar, koil, dan oleh anti nyamuk (Windiastuti, 2013)

7. Kebiasaan Memakai Baju dan Celana Panjang

Responden yang tidak menggunakan lengan dan celana panjang memiliki risiko 7

kali daripada yang menggunakan lengan dan celana panjang (Paiting, 2012). Penggunaan

baju dan celana yang menutupi lengan dan kaki mengurangi frekuensi gigitan nyamuk

(Kemenkes RI, 2010)

b. Agen

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wucheria

Bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Secara epidemiologi, cacing filaria dibagi menjadi

6 tipe, yaitu (Kemenkes RI, 2005)

1. Wucheria Bancrofti tipe perkotaan (urban)


29

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang,

Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk

Culex quinque fasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.

2. Wucheria Bacrofti tipe pedesaan (rural)

Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua

dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui

berbagai jenis spesies nyamuk Anopheles, Culex, dan Aedes.

3. Brugia Malayi tipe periodic nokturna

Mikrofilia ditemukan di daerah tepi pada malam hari. Nyamuk penularan adalah

Anopheles Barbaritostris yang ditemukan di daerah pesawahan

4. Brugia Malayi tipe subperiodik nokturna

Mikrofilia ditemukan di daerah tepi pada siang dan malam hari, tetapi leih banyak

ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia sp. Yang

ditemukan di daerah rawa.

5. Brugia Malayi tipe non periodic

Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi baik malam maupun siang hari Nyamuk

penularnya dalah Mansonia Nonneae dan Mansonia Uniformis yang ditemuka di

hutan rimba.

6. Brugia Timori tipe periodic nokturna


30

Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya

dalah Anopheles Barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa

Tenggara Timur, Maluku, Tenggara.

c. Lingkungan

Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis,struktur geologi, dan

lainnya. Faktor lingkunga fisik berkaitan dengan kehidupan vector. Lingkungan yang cocok

untuk kehidupan nyamuk maka akan sangat potensial untuk penularan filariasis. Lingkungan

fisik juga penting artinya untuk tempat perindukan dan peristirahatan vector. Suhu dan

kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan umur nyamuk serta keberadaannya. Lingkungan

dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya binatang sebagai hospes reservoir (kera, lutung,

dan kucing) dangat mempengaruhi penyebaran filariasis malayi sub oeriodik nokturna dan non

periodic (Kemeskes RI, 2005)

1. Lingkingan Fisik

a. Suhu

Suhu juga turut memengaruhi kejadian filariasis. Peningkatan temperature

berpengaruh terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan, umur, dan distribusi

vector penyakit seperti vector mlaria, demam berdarah dengue (DBD),

chikungunya dan filariasis (ICCSR, 2010). Jenis-jenis nyamuk seperti

Anopheles Gambiae, A. Funestus, A. Darlingi, Culex Quinquefasciatus dan

Aedes Aegepti merupakan salah satu vector yang dapat menularkan penyakit

berbasis vector dan sensitive terhadap perubahan suhu ketika masih dalam

bentuk jentik dan ketika sudah menjadi nyamuk dewasa. Apabila suhu air
31

meningkat, larva akan menjadi lebih cepat menjadi nyamuk dewasa. Namun

pada iklim hangat, nyamuk betina dewasa mencerna darah lebih cepat dan

menghisap darah lebih sering sehingga meningkatkan intensitas penularan

(Githeko, 2000).

b. Curah Hujan

PErubahan pola curah hujan dapat menyebabkan kenaikan aliran permukaan

dan kelembaban tanah sehingga dapat menyebabkan peningkatan atau

penurunan padatan popolasi vector penyakit serta kontak manusia dengan

vector penyakit. Selain itu, banjir dan kekeringan juga merupakan salah satu

dampak yang disebabkan akibat pola curah hujan yang tidak memntu. Hal itu

mengakibatkan nyamuk lebih cepat berkembang biak dan kondisi rumah tidak

sehat. (ICCSR, 2010)

c. Kelembaban

Kelembaban berhubungan negative dengan mpsquito borne disease. Namun,

pada hasil analisis regresi, menunjukan bahwa kelembaban dapat

menimbulkan efek positif terhadap beberapa spesies Cillicidae, dimana

kelembaban berpengaruh terhadap pola aktifitas nyamuk (Lebl, 2013). Selain

itu, perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan kenaikan aliran

permukaan dan kelembaban tanah sehingga dapat menyebabkan peningkatan

kepadatan populasi vector penyakit serta ontak manusia dengan

vektorpenyakit. Selain itu, banjit dan kekeringan juga merupakan salah satu

dampak yang disebabkan akibat pola curah hujan yang tidak menentu. Hal itu
32

mengakibatkan nyamuk lebih cepat berkembang biak dan kondisi rumah tidak

sehat. (ICCSR, 2010)

d. Fisik Rumah: Konstruksi Plafon

Plafon rumah berguna sebagai pemisah antara genting dengan ruangan agar

tidak berhubungan langsung. Sehingga keberadan plafon penting agar nyamuk

tidak leluasa masuk ke rumah melalui celah-celah (Juriastuti, 2010).

Responden yangmemiliki konstruksi plafon yang buruk memiliki risiko

sebesar 5,29 kali terkena filariasis dibandingkan dengan yang memiliki

konstruksi plafon yang baik.

e. Fisik Rumah: Penggunaan Kawat Kasa

Kawat kasa yang dipasang pada bagian ventilasi berguna untuk mencegah

nyamuk masuk ke dalam rumah (Febrianto, 2008). Penggunaan kawat kasa

berhubungan dengan kejadian filariasis. Responden yang tidak menggunakan

kawat kasa memiliki risiko sebesar 3,6 kali terkena filariasis disbanding yang

memasang kawat kasa (Syuhada, 2012)

f. Fisik Rumah: Keberadaan Barang Bergantung

Keberadaan barang bergantung dapat digunakan nyamuk sebagai tempat

istirahat. Sesuai dengan penelitian responden yang memiliki barang-barang

bergantung di rumahnya memiliki risiko 6,3 kali daripada yang tidak memiliki

barang-barang bergantung di rumahnya (Juriastuti, 2010). Selain itu, pendapat

lain juga menyatakan bahwa keadaan restingplace didalam rumah seperti di


33

konolong tempat tidur, baju digantung, dan tempat gelap dan kotor

mempengaruho jeadian filariasis (Kemenkes RI, 2011)

g. Fisik Rumah: Kondisi Tempat Saluran Pmebuangan Air Limbah (SPAL)

Jenis dan kondisi tempat penampungan limbah memiliki hubungan dengan

kejadian filariasis. Responden yang tidak miliki saluran limbah khusus lebih

berisiko dibandingkan dengan responden yang memiliki penampungan limbah

(tertutup di pekarangan, terbuka dipekarangan, diluar pekarangan, langsung ke

got atau sungai). Responden yang memiliki saluran terbuka lebih berisiko

terkena filariasis daripada yang memiliki saluran tertutup (Santoso, 2011)

h. Lingkungan Fisik: Keberadaan Sawah di Sekitar Rumah

Lingkungan yang tanahnya digarap dan diairi untuk menanam padi

merupakan daerah persawahan (KBBI, 2005). Lingkungan persawahan cocok

sebagai reservoir untuk nyamuk filariasis. Perkembangbiakan nyamuk

filariasis salah satunya air yang menggenang dan berhubungan langsung

dengan tanah (Kemenkes RI, 2011). Nyamuk dapat terbang sejauh 200 meter

dari tempat perkembangbiakannya (Achmadi, 2011)


34

BAB III

METODE PENELITIAN

I. Kepatuhan Masyarakat Mengonsumsi Obat Filariasis

Desain penelitian ini adalah penelitian potong lintang (cross sectional studies). Lokasi

penelitian dilakukan di desa Majakerta, Sukamaju, Padamulya Kecamatan Majalaya Kabupaten

Bandung, selama 2 bulan yaitu bulan Agustus – September 2013. Kecamatan Majalaya

merupakan kecamatan yang angka cakupan POMP nya paling rendah di Kab. Bandung di

bandingkan dengan kecamatan lainnya. Populasi penelitian adalah semua jumlah penduduk

sasaran pengobatan filariasis, sedangkan besar sampel menggunakan rumus besar sampel

minimal.

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan

Z1-a/2 = Standar skor yang dikaitkan dengan

taraf nyata diinginkan (1,96).

P = Proporsi sampel dengan PSP baik

yang diharapkan (0.5)

N = Jumlah populasi

d = Nilai presisi absolut yang dibutuhkan (5%)


35

Dari rumus diatas didapat sampel : Kabupaten Bandung, jumlah penduduk sasaran

pengobatan 2.592.053 jiwa. jadi jumlah sampel 195,98~200 jiwa. Kriteria inklusi sampel

penelitian adalah penduduk sasaran pengobatan filaria dari penduduk yang tinggal di wilayah

terpilih yang telah berumur di atas 15 tahun dan tinggal di wilayah tersebut minimal 5 tahun baik

laki-laki maupun perempuan yang bersedia diwawancarai serta dalam keadaan sehat. Kriteria

eksklusinya adalah penduduk yang bukan sasaran pengobatan POMP (wanita hamil, menyusui)

dan pada saat dilakukan penelitian tidak ada di tempat. Pengumpulan data primer diperoleh

melalui wawancara responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur, sebelum wawancara

di bacakan terlebih dahulu informed consent yang harus ditanda tangani responden jika

menyetujui untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Etik penelitian ini melewati proses etik

dari Komisi Etik Badan Litbangkes Kemenkes RI. Variabel bebas (independent) penelitian ini

adalah pengetahuan, sikap/persepsi dan praktek, sedangkan variabel tergantung (dependent)

adalah kepatuhan masyarakat untuk minum obat antifilariasis. Tingkat pengetahuan, sikap dan

praktek responden diukur dengan melihat hasil jawaban responden mengenai sumber informasi,

gejala klinis, penyebab, pencegahan dan pengobatan filariasis. Variabel kepatuhan minum

obat dinilai dari jawaban responden mengenai praktek minum obat yang dikategorikan diminum

habis, disisakan dan tidak minum. Pengkategorian variabel pengetahuan, sikap dan praktek

dikatakan baik jika nilainya di atas median, dikatakan kurang jika nilainya di bawah median.

Data yang telah melewati proses entry dan cleaning selanjutnya dianalisa secara deskriptif dan

analisa multivariat menggunakan regresi logistik. (metode I diambil dari jurnal Astuti, 2013)
36

II. Karakteristik Lingkungan dan Host Filariasis

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain studi cross

sectional serta menggunakan pendekatan kualitatif. Penulis menggunakan desain cross sectional

dengan analisis deskriptif untuk mengetahui lebih dalam karakteristik host dan lingkungan

penderita sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. Keterbatasan mendapatkan data

kasus di beberapa wilayah puskesmas menjadi alasan penulis untuk memilih desain cross

sectional dengan analisis deskriptif. Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya penelitian dasar

penyakit filariasis di kabupaten Tangerang, penulis menggunakan desain studi cross sectional

dengan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan karakteristik host dan lingkungan penderita.

Pendekatan kuantitatif dimaksutkan untuk menggambarkan distribusi penderita berdasarkan

variable host dan lingkungan. Variable host yaitu umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan

keluar rumah saat sore malam, kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang. Kemudia untuk

variable lingkungan yaitu kondisi saluran pembuangan air limbah (SPAL), keberadaan sawah,

penggunaan kawat kasa, kondisi plafon, dan keberadaan barang bergantung.

Penggunaan metode kualitatif dimaksutkan untuk mendukung pembahasan pada beberapa

variable, sehingga diharapkan mendapat informasi yang lebih mendalam tentang alasan penderita

tidak melakukan pencegahan diri dari gigitan nyamuk. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk

variable host (penggunaan kelambu, obat nyamuk, menggunakan baju dan celana panjang saat

sore hingga malam) dan lingkungan (Keberadaan barang bergantung, kondisi SPAL, dan

keberadaan kawat kasa)


37

Sumber data dibagi menjadi dua:

a. Kuantitatif

Pendekatan kuantitatif menggunakan sumber data sekunder dan primer. Data

sekunder yang digunakan adalah data kasus yang diperoleh dari pencatatan

dan pelaporan data kasus filariasis dinas kesehatan kabupaten Tangerang serta

laporan survei darah jari (SDJ) puskesmas terkait pada periode 2005 sampai

2013. Sedangkan data primer bersumber dari kuesioner dan pengukuran jarak

rumah dan sawah lewat plotting.

b. Kualitatif

Sumber data pendekatan kualitatif adalah wawancara mendalam.

Metode pengumpulan data dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Kuantitatif

Sumber data pada pendekatan kuantitatif adalah data sekunder dan primer.

Data sekunder didapat dari data dinas kesehatan kabupaten Tangerang dan

puskesmas setempat, sedangkan data primer berasal dari wawancara dan

pengukuran dari plotting rumah penderita ke sawah.

b. Kualitatif

Wawancara mendalam dibutuhkan untuk mendukung pembahasan pada

masing-masing variable. Wawancara tersebut berkaitan dengan alasan

penderita tidak melakukan upaya pencegahan gigtan nyamuk.

(Metode II diambil dari skripsi Widiastuti, 2015)


38

BAB III

HASIL PENELITIAN

I. Hasil Penelitian I

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan pada tiga kelompok utama yaitu faktor lingkungan,

faktor sosial budaya dan perilaku. Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data masing-masing

variable didapatkan dari analisis bivariat dan multivariat bahwa lingkungan, perilaku dan sosial

budaya mempunyai peranan penting dalam kejadian filariasis. Oleh karena itu, perlu dilakukan

pencegahan dan penanggulangan filariasis dengan memperhatikan faktor risiko yang dominan

mempengaruhi kejadian filariasis. Walaupun berdasarkan kebijakan departemen kesehatan untuk

pencegahan dan penanggulangan filariasis adalah pengobatan massal bagi daerah endemis dan

menghindari kontak gigitan nyamuk. Penelitian ini selain menganalisis faktor social budaya,

perilaku dan lingkungan juga menganalisis karakteristik responden menurut kelompok umur,

jenis kelamin, tempat tinggal dan jenis pekerjaan. Hasil karakterisitik responden sebagai berikut.

a.Karakterisitik responden

Pada Tabel 1 umur dibagi menjadi 7 kelompok umur dan menunjukkan distribusi

kelompok umur tertinggi adalah yang berumur 21–30 tahun dan terendah pada kelompok umur

10–14 tahun (2,9%). Kasus terbanyak adalah 17 orang (24,3%) dan yang terendah sebanyak

(2,9%). Pada Tabel 2 distribusi responden menurut jenis kelamin terbanyak pada kelompok jenis

kelamin perempuan yaitu 72 (51,4%) dengan jumlah kasus dengan jenis kelamin perempuan

sebesar 36 (51,4%) dan jenis kelamin laki-laki 34 (48,6%). Dari Tabel 3 terlihat bahwa

responden tersebar pada empat desa dan proporsi distribusi responden terbanyak tersebar di Desa

Mootaya (65,7%) dengan jumlah kasus terbanyak sebesar 46 jiwa (65,7%), sedangkan distribusi
39

responden yang terendah di Desa Bilolantunga (7,1%). Bone Bolango. Hasil penelitian ini

didukung oleh teori yang menyatakan perubahan kemampuan, penampilan, atau perilaku didasari

adanya perubahan atau penambahan pengetahuan, sikap atau keterampilannya. Pengetahuan

adalah pemahaman atau persepsi dalam menanggapi fakta, kondisi atau keadaan yang nyata jelas

terlihat secara pasti mempengaruhi mental dan pengertian seseorang. Berdasarkan hasil analisis

faktor pengetahuan, proporsi pengetahuan responden tentang penyebab filariasis baik kasus

maupun kontrol sudah cukup baik. Persentase jawaban responden yang menjawab dengan benar

bahwa penyakit kaki gajah ditularkan melalui nyamuk sebesar 94,3% oleh kelompok kasus dan

97,1% oleh kelompok kontrol.

b.Faktor sosial budaya

Pada uji statistik bivariat pengetahuan p=0.042 dengan OR=2.004 mempunyai hubungan

yang signifikan terhadap kejadian filariasis dan setelah diadakan uji bersama variabel lain

dengan uji regresi multivariat didapatkan p=0.029, dengan Exp.B=2.485. Hal ini menunjukkan

pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan. Pengetahuan rendah akan memberi peluang

dua kali lebih besar terjadi filariasis dibandingkan dengan yang mempunyai pengetahun tinggi.

Penelitian filariasis Kecamatan Cempaka Mulia Kabupaten Kotawaringin mendapatkan;

pengetahuan mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian filariasis p=0, 07 dan OR=0,49.

Penelitian pengetahuan di Haiti tentang penyebab penyakit filariasis berhubungan signifikan

p<0,001. Kondisi ini mempunyai korelasi dengan hasil uji statistik terhadap perilaku/kebiasaan

yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pengetahuan tentang penyebab

filariasis yang menunjukkan hubungan yang signifikan adalah pendapat yang menyatakan bahwa

filariasis disebabkan karena selalu kontak dengan air dan kelebihan bekerja. Pengetahuan

responden yang menimbulkan stigma tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Hal ini
40

mengakibatkan persentase kasus yang menyatakan bahwa filariasis dapat menimbulkan stigma di

masyarakat relatif sedikit. Hal ini karena orang yang terinfeksi filariasis tidak seluruhnya

memperlihatkan gejala dan tidak selamanya menunjukkan gejala seperti pembengkakan. Gejala-

gejala klinis yang muncul sangat bervariasi tergantung respon imun masingmasing penderita.

Berdasarkan manifestasi klinis filariasis dibedakan menjadi empat tingkatan yaitu asymtomatic

microfilaraemia, acute manifestations, chronic manifestations dan tropical pulmonary

eosinophilia (occult filariasis). Orang yang terinfeksi belum memperlihatkan gejala sehingga

masyarakat Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis, Reyke Uloli, dkk. tidak

menjadikan filariasis merupakan suatu masalah atau ancaman. Responden lainnya menyatakan

filariasis tidak dianggap sebagai penyakit yang berbahaya atau penyakit menular dikatakan

bergaul dengan penderita kaki bengkak tidak membahayakan hanya merupakan nasib atau

penyakit kutukan. Penelitian terhadap illnes history variables; penyakit filariasis menjadikan

masalah dalam kehidupan sehari-hari, p<0.01, terutama responden merasa malu dan tidak merasa

nyaman jika kaki menjadi besar yang ditunjukkan dengan nilai p<0, 05. Pengetahuan responden

baik kasus maupun kontrol mengenai gejala filariasis juga sudah cukup baik. Hal ini ditunjukkan

jawaban yang benar terhadap tanda-tanda filariasis sebesar 92,9% pada kelompok kasus dan

95,7% pada kelompok kontrol. Pemahaman lain yang sudah mengakar di daerah tersebut bahwa

penyebab dari filariasis adalah penyakit keturunan 44,3%, akibat menginjak daerah terlarang

25,7%, dan dukun/guna-guna 17,1%. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan masyarakat di

wilayah tersebut masih dipengaruhi hal-hal yang membudaya yaitu yang berkaitan

dengankepercayaan yang sudah turun-temurun, sehingga akan berpengaruh pada perubahan

perilaku/ kebiasaan dalam pencegahan kejadian filariasis. Pengetahuan tentang pencegahan

filariasis menunjukkan tidak bermakna, tetapi nampak jelas bahwa dari pendapat responden
41

menyatakan bahwa pencegahan yang paling tinggi adalah dengan cara penyemprotan. Untuk

menghindari kontak gigitan nyamuk menjadi pilihan kedua. Ini menandakan bahwa peluang

terjadinya penularan filariasis masih cukup tinggi. Beberapa perilaku/kebiasaan, didapatkan

proporsi kasus mempunyai kegiatan di luar rumah antara lain kegiatan ronda keamanan

lingkungan 28(20%), berbincang-bincang di luar rumah 117(83%), nonton di luar rumah 67

(47,9%), penjaja keliling / berjualan (8,6%), berada di tempat terbuka 59 (42,1%), buang air

besar di luar rumah (92,9%), berkumpul di luar rumah malam hari (82,9%), memasang obat

nyamuk di luar rumah (5,0%). Kondisi ini menggambarkan peluang kontak dengan nyamuk lebih

besar. Hasil ini didukung oleh teori Green bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

perubahan perilaku yaitu salah satunya adalah faktor-faktor penguat (reinforcing faktors) yaitu

faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun

seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Hal yang sama

didapatkan pada penelitian penduduk di wilayah Puskesmas Cempaka Mulia Sampit, Kalimantan

Tengah menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara tingkat Pendidikan dalam hal

pengetahuan tentang filariasis (X²=6,72, p >0,05). Dari Tabel 4. menunjukkan bahwa

penghasilan dan pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan yaitu p <0.05 dan memberi

peluang risiko dua kali lebih besar bila pengetahuan dan penghasilan rendah terhadap kejadian

filariasis di Kabupaten Bone Bolango. Status sosial budaya hasil uji statistik bivariat bahwa

pekerjaan, Pendidikan secara statistik tidak bermakna karena proporsi pekerjaan yang tertinggi

adalah petani (44,3%). Perbandingan antara pekerjaaan dari kasus dan kontrol tidak berbeda jauh

yaitu kasus (45,7%) dan kontrol (42,9%). Tingkat pendidikan dengan kategori rendah pada kasus

(68,6%) sedangkan pada control (55,7%), perbedaan kurang lebih 10% Pendidikan dan

pengetahuan tinggi tidak menjamin perilaku akan sejalan dengan keadaan pendidikan dan
42

pengetahuan yang ada. Penelitian Mahdiniansyah di Kalimantan Tengah mendapatkan suatu

kondisi yang sama menyatakan bahwa pekerjaan jtidak berhubungan dengan kejadian filariasis

p= 0,79 dan pendidikan tidak berhubungan dengan kejadian filariasis dengan nilai p= 0,62.

Penghasilan pada uji bivariat menunjukkan hubungan yang tidak signifikan karena proporsi

kasus dengan berpenghasilan rendah (80%) tidak berbeda jauh dengan kontrol (62,8%).

Berdasarkan data hasil penelitian maka sumber informasi mengenai penyakit filariasis

didapatkan dari beberapa sumber diantaranya dari sekolah (43%), tetangga (29,3%),

dokter/petugas, kesehatan (94,3%), kader (35%), kepala desa/kelurahan (37,9%), TV (24,3%),

dan koran/majalah (2,9%). Dari informasi tersebut sumber dari petugas kesehatan cukup tinggi

tingkatannya namun tidak diikuti dengan kesadaran perubahan perilaku.

c.Faktor perilaku atau kebiasaan responden

Pada penelitian ini telah dilakukan uji statistic bivariat pada beberapa variabel seperti

faktor perilaku antara lain kebiasaan menggunakan kelambu menunjukkan hubungan yang

signifikan p=0, 009 dengan OR=11,5, tidak memakai lengan panjang p=0,014 dengan

OR=2,433, pemakaian kasa pada ventilasi p=0,047 dengan OR=2,078. Hasil uji statistik

multivariat kebiasaan menggunakan kelambu p=0, 049 dengan Exp.B=9,568, kebiasaan

menggunakan lengan panjang p= 0,014 dengan Exp.B=2,870, pemakaian kasa pada ventilasi

p=0, 151 Exp.B=1,945 sehingga pemakaian kasa tidak lagi berhubungan dengan kejadian

filariasis. Penelitian ini berbeda dengan penelitian filariasis malayi di Kecamatan Cempaka

Mulia yang menunjukkan bahwa pemakaian kelambu tidak mempunyai hubungan dengan

kejadian filariasis dengan p=1,00, sedangkan hubungan kebiasaan penduduk berpakaian lengkap

saat bekerja di hutan mempunyai hubungan yang bermakna p=0,00 dengan nilai OR=0,27.

menunjukkan bahwa pemakaian repellent dan pemakaian obat nyamuk bakar, tidak mempunyai
43

hubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Bone Bolango. Perilaku yang berhubungan

dengan mencari pengobatan didapatkan yang ke Puskesmas 102 (72,9%), praktik dokter 15

(10,7%), obat sendiri 49 (35%), dukun 32 (22,9%). Ini menunjukkan bahwa walaupun akses ke

tempat pelayanan kesehatan sudah cukup tinggi namun usaha dalam mengobati sendiri dan minta

pertolongan dukun masih cukup tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa hal-hal di atas

merupakan yang mendukung perilaku kebiasaan menjadi bermakna. Salah satu variable yang

diamati pula adalah kucing. Didapatkan bahwa kucing berhubungan bermakna dengan kejadian

filariasis secara statistik p=0, 038. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan

Timur bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan betina

yang. Hubungan Perilaku atau Kebiasaan Responden terhadap Kejadian Filariasis di Kecamatan

Boneraya, Kabupaten Bone Bolango Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Filariasis, Reyke

Uloli, dkk.menunjukkan bahwa kucing merupakan hospesreservoir.

d.Faktor lingkungan (rawa)

Faktor lingkungan dengan uji bivariat menunjukkan hubungan bemakna p=0, 049 dengan

OR=2,433 dan pada uji multivariat p= 0,017 dengan OR=3,563. Peluang terkena risiko 2 sampai

3 kali kali lebih besar pada kondisi lingkungan yang buruk yaitu pada kasus dengan lingkungan

buruk (31, 4%) dan lingkungan buruk pada kontrol (17, 1%). Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa lingkungan buruk (rawa sebagai tempat perindukan nyamuk penular) dengan jarak

terbang nyamuk yang kurang dari 200m akan sangat memberikan peluang besar terjadinya

filariasis di daerah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan teori bahwa nyamuk pada umumnya

mempunyai daya terbang sejauh 50-100 meter. Dilaporkan pula beberapa jenis nyamuk antara

lain nyamuk Aedes mampu terbang sampai 320m. Keadaan lingkungan, seperti daerah hutan,

persawahan, rawarawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air dan saluran air limbah dan parit
44

adalah salah satu habitat yang baik untuk pertumbuhan nyamuk spesies tertentu. Hasil penelitian

Saniambara (2005) di Kecamatan Rote Timur dikatakan ada hubungan keadaan lingkungan

sekitar pemukiman terhadap infeksi filariasis (r=-0, 1563, p=0, 0024). Faktor lainnya yang

mendukung terjadinya penularan adalah kondisi rumah yang ditempati dan letak sumber air yang

digunakan.Hasil penelitian didapatkan konstruksi rumah semi permanen 96 (68, 6%), letak

sumber air yang digunakan di luar rumah 133 (95%). Kondisi lingkungan ini mendukung

peluang terjadinya filariasis di Kabupaten Bone Bolango. Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa

lingkungan yang berhubungan dengan kejadian adalah lingkungan rawa yang buruk mempunyai

peluang risiko dua kali lebih besar. Tabel 7 menunjukkan ada empat faktor yang bermakna

secara statistik dengan kejadian filariasis (p<0, 05) yaitu sosial budaya (pengetahuan p=0,029),

perilaku (tidak memakai kelambu p=0, 049, tidak memakai lengan panjang p=0, 014) dan

lingkungan (lingkungan rawa (p=0, 017).

(Hasil diambil langsung dari Jurnal Astuti, 2013)


45

II. Hasil Penelitian II

Komponen host yang diteiti adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, keluar rumah malam hari,

penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, dan pemakaian baju dan celana panjang.

a. Umur

Dari penelitian, umur yang paling banyak menderita filariasis terdapat pada usia 35-45

tahun yaitu sebanyak 13 orang (43,3%). Pekerjaan pada kelompok umur 36-45 adalah

sebagai petani, buruh sawah, dan orang yang bekerja di sawah saat panen padi.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian di kabupaten Tangerang yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki

dan petempuan. Penderita filariasis paling banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 18

orang (60%)

c. Pekerjaan

Variabel pekerjaan memliki dua kategori, yaitu pekerjaan berisiko dan pekerjaan tidak

berisiko. Seusai dengan penelitian bahwa sebagian besar penderita memeiliki pekerjaan

berisiko yaitu 20 orang (66,7%). Lebih lanjut, pekerjaan yang dimiliki penderita sebelum

didiagnosis menderita filariasis adalah buruh tani, guru mengaji, ibu rumah tangga,

petugas kebersihan, membantu di sawah, pedagang, swasta, dan petani. Berdasarkan

penelitian terlihat bahwa pekerjaan berisiko paling banyak dimiliki oleh laki-laki yaitu 12

orang (60%). Kemudian, untuk jeis pekerjaan yang tidak berisiko paling banyak dimiliki

juga oleh jenis kelamin laki-laki yaitu 6 orang (60%).


46

d. Keluar Rumah pada Malam Hari

Kategori kebiasaan tersebut dibedakan menjadi kebiasaan keluar saat malam dan tidak

memiliki kebiasaan keluar rumah saat malam. Berdasarkan penelitian terlihat bahwa

sebagian besar pendeita memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari yaitu

sebanyak 20 orang (66,7%). Apabila dilihat alasan pendertia keluar rumah saat malam

hari, maka seluruh penderita memiliki alasan pekerjaan yaitu 100%.

e. Penggunaan Kelambu

Variabel penggunaan kelambu memiliki kategori menggunakan dan tidak menggunakan.

Dari penelitian didapatkan bahwa sebagian besar penderita tidak menggunakan kelambu

sebelum didiagnosa menderita filariasis yaitu sebanyak 23 orang (76,7%).

f. Penggunaan Obat Nyamuk

Variabel penggunaan obat nyamuk memiliki kategori digunakan dan tidak digunakan

obat nyamuk sebelum sakit. Dari hasil penelitian dapat terlihat penderita yang tidak

menggunakan obat nyamuk sebanyak 18 orang (60%0. Jika penggunaan obat nyamuk

dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan maka didapatkan bahwa penderita yang tidak

menggunakan obat anti nyamuk sebagian besar memiliki pekerjaan berisiko yaitu

sebanyak 13 orang (72,2%)


47

g. Penggunaan Baju dan Celana Panjang

Kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang saat petang terutama malam hari

meiliki kategori menggunakan dan tidak menggunakan. Dari hasil penelitian didapatkan

sebagian besar penderita tidak menggunakan baju dan celana panjang sebanyak 19 orang

(63,3%). Jika dilihat kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang saat malam

dengan jenis pekerjaan maka didapatkan hasil bahwa penderita yang tidak menggunakan

baju dan celana panjang saat malam hari sebagian besar memiliki pekerjaan berisiko

yaitu sebanyak 12 orang (63,2).

h. Kondisi sarana pembuangan air limbah (SPAL)

Sesuai kepemilikan saluran pembuangan air limbah (SPAL) penderita sebelum

didiagnosis filariasis memiliki kategori baik dan buruk. Berdasarkan hasil penelitian

terlihat bahwa kondisi SPAL pendertia sebagian besar penderita memiliki kondisi SPAL

yang buruk. Penderita yang memiliki SPAL yang buruk sebanyak 24 orang (80%).

i. Penggunaan kawat kasa

Berdasarkan penggunaan kawat kasa, kategori yang digunakan adalah kasa terpasang dan

tidak terpasang didalam rumah penderita sebelum didiagnosis filariasis. Berdasarkan

hasil penelitian didapatkan sebagian besar penderita belum memasang kawat kasa.

Penderita yang tidak mamsang kawat kasa sebanyak 35 orang (86,7%).


48

j. Penggunaan plafon

Variabel penggunaan plafon memiliki kategori ada dan tidak ada. Berdasarkan hasil

penilitian didapatkan bahwa sebagian besar penderita tidak memiliki plafon. Penderita

yang tidak memiliki plafon sebanyak 26 orang (86,7%)

k. Keberadaan barang bergantung

Variabel keberadaan barang bergantung memiliki kategori ada dan tidak. Dari hasil

penelitian didapatkan sebagian besar penderita memiliki barang-barang bergantung

didalam rumah. Penderita yang memiliki keberadaan barang bergantung didalam rumah

sebanyak 27 orang (90%).

l. Keberadaan sawah

Berdasarkan jarak sawah disekitar rumah penderita, terdapat katgori rumah dekat dan

jauh dengan sawah. Apabila dilihat dari jarak terbang nyamuk dari tempat perindukannya

yaitu 200 meter. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rumah penderita yang berjarak

200 meter memiliki proporsi yang lebih besar daripada rumah penderita yang memiliki

jarak jauh dengan sawah >200 meter. Penderita yang memiliki jarak <20) meter memiliki

proporsi 22 orang (73,3%)

(Hasil penelitian diambil langsung dari Skripsi Widiastuti, 2015)


49

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

I. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa penyakit filariasis atau yang biasa dikenal dengan kaki gajah

disebabkan oleh cacing penyebab filariasis yang terbawa oleh nyamuk yang menyerang manusia

sehingga manusia yang terkena gigitan nyamuk yang terinfeksi cacing tersebut mengalami

pembengkakan di beberapa daerah tertentu di tubuh yang dikenal dengan nama filariasis atau

kaki gajah.

II. Saran

Maka dari permasalah yang diteliti diatas kami menyarankan agar layanan kesehatan primer

seperti puskesmas melakukan langkah-langkah strategis untuk mencegah semakin banyaknya

korban filariasis atau kaki gajah, kami menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh

pelayanan kesehatan primer atau dalam hal ini puskesmas yaitu:

a. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat yang tinggal didaerah endemic filariasis

tentang bahaya filariasis atau kaki gajah.

b. Mengedukasi kepada anak-anak yang berada didaerah endemic filariasis atau kaki gajah

agar lebih berhati-hati lagi dalam melakukan aktifitas baik didalam ataupun diluar rumah

agar kedepannya penderita filariasis dapat dicegah

c. Membasmi tempat nyamuk pembawa cacing filariasis untuk mengurangi kemungkinan

nyamuk membawa cacing filariasis yang akan menginfeksi manusia.

d. Melakukan survey kepada masyarakat didaerah endemic filariasis atau kaki gajah untuk

mendiagnosa secara dini kemungkinan adanya penderita filariasis stadium awal.


50

e. Memberikan obat kepada penderita terdiagnosis filariasis atau kaki gajah.

f. Melakukan rujukan kepada rumah sakit untuk penderita filariasis kronis agar dilakukan

pembedahan agar penderita berkurang gejalanya.


51

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar. 2011. DASAR-DASAR PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN. Jakarta


Ambarita, L. P. 2006. STUDI KOMUNITAS NYAMUK DI DAERAH ENDEMIK
FILARIASIS, SUMATERA SELATAN. Jurnal Ekologi Kesehatan, 5.
Anderson, E.T dan Judith, Mc. F. 2006. KEPERAWATAN KOMUNITAS: TEORI DAN
PRAKTEK. Jakarta: EGC
Anshari, Rudi. 2012. ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI DUSUN
TANJUNG BAYUR.
Astuti, E. P. 2013. ANALISIS PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEPATUHAN
MINUM OBAT FILARIASIS DI TIGA DESA KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN
BANDUNG 2013. Media Litbangkes, 24. Pangandaran
Departemen Kesehatan, RI. 2008. PEDOMAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI
INDONESIA. Jakarta
Departemen Kesehatan, RI. 2009. PROFIL KESEHATAN INDONESIA. Jakarta
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuasin. 2004. LAPORAN EVALUASI ELIMINASI
PENYAKIT KAKI GAJAH (ELKAGA). Banyuasin
Febrianto. 2008. FAKTOR RISIKO FILARIASIS DI DESA SAMBOREJO.
Gandahusada, Sri. 2006. PARASITOLOGI KEDOKTERAN. Jakarta; Gaya Baru
Garjito, Triwibowo. 2013. FILARIASIS DAN BEBERAPA FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN PENULARANNYA. Jurnal Vektora, 5.
Githeko, A. 2000. CLIMATE CHANGE AND VECTOR BORNE DISEASE: A REGIONAL
ANALYSIS. WHO
Hasmiwati. 2009. KAJIAN NYAMUK VEKTOR DI DAERAH ENDEMIK FILARIASIS DI
KENACARIAN MUNCO, KABUPATEN LIMA PULUH KOTA. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 3.
Ilyas, I. 1990. KEPERAWATAN KELUARGA: TEORI DAN PRAKTIK. Jakarta: EGC
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, ICCSR. 2010.
Jontari, Hutagalung. 2014. FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN LYMHATIC
FILARIASIS DI KABUPATEN AGAM. OSIR, 7.
Juriastuti, Puji. 2010. FAKTOR RISIKO KEJADIA FILARIASIS DI KELURAHAN JATI
SAMPURNA. Makara Kesehatan, 14.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI. 2005. Jakarta
52

Kementrian Kesehatan, RI. 2010. RENCANA NASIONAL PROGRAM AKSELERASI


ELIMINASI FILARIASIS DI INDONESIA 2010-2014.
Lebl. 2013. PREDICTING CULEX PIPIENS?RESTUANS POPULATION DYNAMICS BY
INTERVAL LAGGED WEATHER DATA.
Masrizal. 2013. PENYAKIT FILARIASIS. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7.
Muslim, H. M. 2009. PARASITOLOGI UNTUK KEPERAWATAN. Jakarta: EGC
Nasrin. 2008. FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERKAITAN DENGAN
KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN BANGKA BARAT. Semarang; Undip
Nurjana, M. A. 2009. ASPEK EDIDEMIOLOGI DALAM PENANGGULANGAN
FILARIASIS DI INDONESIA. Jurnal Vektor Penyakit, 3. Donggala
Paiting, Yulius. 2012. FAKTOR LINGKUNGAN DAN KEBIASAAN PENDUDUK
BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI DISTRIK WINDESI.
Putri, Y. V. 2010. UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER
FILARIASIS. Journal Keperawatan UNPAD.
Riftiana, Nola. 2010. HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI DENGAN KEJADIAN FILARIASIS
DI KABUPATEN PEKALONGAN. KESMAS, 4.
Santoso, S. A. 2011. KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP PENGOBATAN MASSAL
FILARIASIS. Buletin Penelitian Kesehatan, 38.
Sudomo, M. 2008. PENYAKIT PARASITIK YANG KURANG DIPERHATIKAN DI
INDONESIA, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Depkes RI
Syuhada, Yudi. 2012. STUDI KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU
MASYARKAT SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN
BUARAN. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11.
Timmreck, T. C. 2004. EPIDEMIOLOGI SUATU PENGANTAR. Jakarta; EGC
Uloli, Reyke. 2008. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS. Berita
Kedokteran Masyarakat, 24.
Widiastuti, Putri. 2015. SKRIPSI: KARAKTERISTIK HOST DAN LINGKUNGAN
PENDERITA FILARIASIS DI KABUPATEN TANGERANG 2015. Jakarta; UIN
Windiastuti, Ike. 2013. HUBUNGAN KONDISI LINGKUNGAN FISIK, BIOLOGI, DAN
SOSIAL PENYAKIT AKIBAT NYAMUK. Jurnal Litbang Depkes RI.
53

Anda mungkin juga menyukai