Anda di halaman 1dari 11

MENUMBUHKAN AKHLAK AMANAH, ADIL, HILM DAN SABAR

Telaah Kitab Akhlâqunâ Karya Dr. Muhammad Rabi‘ Muhammad Jauhari

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pendidikan Karakter

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, M.Sc


Dr. Ulil Amri, Lc., M.A.

Oleh
Muhammad Isa Anshory

FAKULTAS PASCASARJANA

PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

1435 H/2013 M
A. Pendahuluan
Pendidikan akhlak dalam Islam telah dikenal jauh hari sebelum para ilmuwan Barat
mengembangkan konsep pendidikan karakter. Banyak kitab ditulis oleh para ulama Islam,
baik dahulu maupun sekarang, mengenai masalah ini meski tidak selalu memberinya judul
dengan kata pendidikan. Di antara kitab yang cukup bagus dan sistematis adalah kitab
Akhlâqunâ karya Dr. Muhammad Rabi„ Muhammad Jauhari, dosen akidah dan filsafat di
Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Makalah ini berusaha menelaah bagian sepertiga
akhir dari kitab tersebut yang membahas empat akhlak mulia, yaitu amanah, adil, hilm, dan
sabar.

B. Amanah
Dr. Muhammad Rabi„ Jauhari mendefinisikan amanah (‫ )األمانة‬adalah semua hal yang

harus dijaga dan dilaksanakan oleh seorang muslim. Seorang muslim akan merasa
bertanggung jawab terhadap semua hal yang dipercayakan kepadanya. Dia mencurahkan
segala upaya untuk melaksanakannya sesuai dengan yang diridhai Allah Ta„ala.1 Dasar dari
definisi ini adalah sabda Rasulullah shallallâhu „alaihi wa sallam,

ْْ‫ف ْأَىلِِْو ْ َوُى َْو ْ َمسئُولْ ْ َعن‬


ْ ِْ ‫اع‬ َّ ‫ ْ َو‬،‫اع ْ َوَمسئُولْ ْ َعنْ ْ َر ِعْيَّتِ ِو‬
ٍْ ‫الر ُج ُْل ْ َر‬ ُْ ‫ ْا ِإل َم‬،‫ ْ َوُكلُّ ُكمْ ْ َمسئُولْ ْ َعنْ ْ َر ِعيَّتِ ِو‬،‫« ُكلُّ ُكمْ ْ َر ٍاع‬
ٍْ ‫ام ْ َر‬

»‫الْ َسيِّ ِدِْهْ َوَمسئُولْْ َعنْْ َر ِعيَّتِِْو‬


ِْ ‫فْ َم‬ ٍْ ‫ْ َواخلَ ِاد ُْمْ َر‬،‫تْ َزوِج َهاْ َوَمسئُولَةْْ َعنْْ َر ِعيَّتِ َها‬
ْ ِْ‫اع‬ ِْ ‫فْبَي‬ ِ ‫ْوادلرأَْةُْر‬،‫ر ِعيَّتِ ِو‬
ْ ِْْ‫اعيَة‬َ ََ َ
Masing-masing kalian adalah pemimpin. Masing-masing kalian bertanggung jawab terhadap
orang yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap
orang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya. Dia
bertanggung jawab terhadap anggota keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri adalah
pemimpin rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
Seorang pembantu adalah pemimpin harta tuannya dan bertanggung jawab terhadap yang
dipimpinnya.2
Amanah adalah akhlak yang diajarkan dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Dalam Al-
Qur‟an, kata amanah disebutkan di beberapa tempat. Di antaranya dalam Al-Baqarah: 283,
Ali „Imran: 75, An-Nisa‟: 58, Al-Anfal: 27, Al-Ahzab: 72, dan Al-Ma„arij: 8. Orang yang

1
Muhammad Rabi„ Muhammad Jauhari, Akhlâqunâ, (Madinah Al-Munawwarah: Dar Al-Fajr Al-Islamiyyah,
2006), hlm. 195.
2
HR Al-Bukhari dalam Al-„Itq bab All-„Abdu Râ„in fi Mâl Sayyidihi.
menunaikan amanah disebut al-amin. Al-Qur‟an memuji al-amin ini di beberapa tempat. Di
antaranya dalam Asy-Syu„ara‟: 193, At-Tawkir: 21, At-Tin: 3, An-Naml: 39, Yusuf: 54, dan
Al-Qashash: 26. Lawan amanah adalah khianat (‫)اخليانة‬. Akhlak buruk ini dicela Al-Qur‟an di

beberapa tempat. Di antaranya, An-Nisa‟: 107, Al-Anfal: 58, dan Al-Hajj: 38.
Rasulullah Muhammad shallallâhu „alaihi wa sallam adalah figur yang dikenal
amanah; baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi rasul. Ada banyak kisah yang
menunjukkan akhlak amanah ini pada diri Rasul. Di antaranya adalah kisah mengenai
perselisihan orang-orang Quraisy saat merenovasi ka„bah mengenai siapa yang akan
memindahkan Hajar Aswad. Para pembesar Quraisy akhirnya sepakat bahwa yang berhak
memutuskan perkara ini adalah orang yang pertama memasuki pintu masjid pada keesokan
harinya. Ternyata, orang tersebut adalah Muhammad. Mereka pun merasa senang karena
mengenalnya sebagai orang yang amanah. Muhammad memutuskan perselisihan di antara
orang Quraisy itu dengan sangat bijaksana. Beliau meminta perwakilan dari masing-masing
kabilah untuk memegang ujung kain. Hajar Aswad diletakkan di atas kain itu dan diangkat
bersama-sama. Selanjutnya beliau sendiri yang mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya
kembali di tempat semula. Kisah ini ditulis Ibnu Hisyam dalam kitab Sirahnya (1/127).
Akhlak amanah juga menjadi sebab Khadijah menikahi beliau. Saat diberitahu oleh
pembantunya, Maisarah, mengenai besarnya amanah dan mulianya akhlak beliau selama
menjalankan perdagangan ke Syam, Khadijah pun merasa tertarik dengan Muhammad. Dia
lalu menawarkan diri untuk menikah dengannya.3
Rasulullah shallallâhu „alaihi wa sallam juga senantiasa berusaha menunaikan
amanah meski dalam kondisi sulit. Misalnya, saat hendak berhijrah ke Madinah, beliau
berpesan kepada Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya serta menunaikan titipan
dan amanah yang dipercayakan kepada beliau.4 Jadi, beliau tidak pergi begitu saja tanpa mau
bertanggung jawab. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, beliau telah menunaikan amanah
terbesar, yaitu menyampaikan risalah kepada umatnya.
Beliau membenci lawan dari amanah, yaitu khianat, dan mengajari umatnya doa agar
terhindar dari akhlak tercela ini. Doa tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam sebuah
hadits,

ِْ ‫ْفَِإن ََّهاْبِئ َس‬،‫كْ ِم َْنْاخلِيَانَِة‬


َْ ِ‫ْ َوأَعُوْذُْب‬،‫يع‬ ِ ْ ‫ْفَِإن َّْوْبِئ‬،‫وع‬ ِ َْ ِ‫ّنْأَعوْذُْب‬
»ُ‫تْالبِطَانَْة‬ ُ ‫سْالضَّج‬
َ ُ ِ ُ‫كْم َْنْاْل‬ ُ ِّْ ِ‫«اللَّ ُه َّْمْإ‬
3
Al-Kâmil (2/24).
4
Al-Kâmil (2/72) dan Sîrah Ibn Hisyam (1/127).
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan karena ia seburuk-buruk teman tidur.
Aku juga berlindung kepada-Mu dari khianat karena ia seburuk-buruk teman dekat.5
Untuk menumbuhkan akhlak amanah, selain memberi teladan kepada umatnya,
Rasulullah shallallâhu „alaihi wa sallam juga senantiasa memotivasi mereka agar amanah.
Motivasi ini beliau sampaikan dalam banyak hadits. Di antaranya,

ْ‫الص ََلِْةْ ِم َْنْالدِّي ِْن‬


َّ ْ‫ْإََِّّنَاْ َمو ِض ُْع‬,ُْ‫ص ََلَْةْلَْو‬ ِ ْ ‫ْوَْلْ ِد‬,ْ‫ورْلَْو‬ ِ ِ
َ ْ‫ينْل َمنَْْْل‬ َ ْ‫ْ َوَْل‬,ُْ‫«َْلْإِميَا َْنْل َمنَْْْلْأ ََمانََْةْلَْو‬
َ َ ُ َْ ‫ص ََلَْةْل َمنَْْْلْطُ ُه‬
»‫سْ ِم َْنْاْلَ َس ِْد‬ َّ ْ‫َك َمو ِض ِْع‬
ِْ ‫الرأ‬
Tidak beriman orang yang tidak amanah. Tidak sah shalat orang yang tidak suci. Tidak
beragama orang yang tidak mengerjakan shalat. Sesungguhnya posisi shalat terhadap
agama itu ibarat posisi kepala terhadap badan.6
Rasulullah memberitahu umatnya bahwa amanah adalah perkara pertama yang akan
hilang dari agama. Beliau bersabda,

»ُْ‫«أ ََّو ُْلْ َماْتَف ِق ُدو َْنْ ِمنْْ ِدينِ ُك ُْمْاأل ََمانَْة‬
Perkara pertama yang akan hilang dari agama kalian adalah amanah.7
Selain memotivasi agar amanah, Rasulullah juga memperingatkan umatnya agar tidak
terjerumus ke dalam akhlak buruk yang menjadi lawannya, yaitu khianat. Misalnya, beliau
bersabda mengenai risywah (suap menyuap),

»‫الر ِاشيْ َوال ُمرتَ ِشي‬


َّ ْ‫«لَعنَْةُْاللَِّْوْ َعلَى‬
Laknat Allah menimpa orang yang menyuap dan menerima suap.8
Jadi, sebagai figur pendidik, Rasulullah shallallâhu „alaihi wa sallam memberi
teladan kepada umatnya mengenai akhlak amanah, memberikan motivasi agar amanah, dan
memperingatkan dari khianat yang merupakan lawan amanah. Pendidikan dengan teladan
tentu lebih membekas dibanding hanya sekadar menyampaikan ajaran. Sebagai seorang nabi
dan rasul, Muhammad menjadi teladan bagi umatnya dalam segala hal kebaikan, termasuk
dalam pendidikan.

5
HR Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalâh bab Fi Al-Isti„âdzah (2/191).
6
HR Ath-Thabarani dalam Mu„jam Ash-Shaghîr (1/113).
7
HR Abu Dawud dari Syaddad bin Aus bab Kanz Al-„Amal (3/63).
8
HR Ibnu Majah (2/775).
Amanah itu banyak bentuknya. Misalnya, amanah terhadap barang titipan, amanah
dalam menjalankan jabatan, amanah dalam menjaga rahasia, dan amanah dalam
mengemukakan pendapat. Semua ini adalah amanah yang sangat dianjurkan oleh agama
Islam.

C. Adil
Dr. Muhammad Rabi„ Jauhari mendefinisikan adil (‫ )العدل‬adalah memberikan hak

kepada masing-masing pihak yang berhak tanpa berat sebelah, membeda-bedakan orang-
orang yang menerima hak tersebut, atau mencampurinya dengan kecenderungan pribadi.
Lawan dari adil adalah lalim (‫)اْلور‬, sewenang-wenang (‫)احليف‬, dan zalim (‫)الظلم‬. (‫ )اْلور‬adalah

menyimpang dari kebenaran. (‫ )احليف‬adalah berat sebelah dalam menghukumi. (‫ )الظلم‬adalah

melampaui batas, meninggalkan kebenaran, serta meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya;
baik dengan menambahi maupun mengurangi; entah dengan menyimpang dari tempat
maupun waktunya.9
Sebagaimana amanah, adil adalah akhlak yang diajarkan dalam Al-Qur‟an dan As-
Sunnah. Allah menyebutkan di dalam Al-Qur‟an kata adil dengan makna tadi sebanyak 18
kali dan kata al-qisthu dengan makna adil sebanyak 23 kali. Di antaranya, Allah
memerintahkan untuk berbuat adil dalam An-Nahl: 90, Asy-Syura: 15, dan Al-A„raf: 29.
Allah menyatakan bahwa semua hukum-Nya adalah adil dalam Al-An„am: 115 dan Al-
Anbiya‟: 47. Allah menyatakan cinta-Nya kepada orang-orang yang berbuat adil dalam Al-
Maidah: 42, Al-Hujurat: 9, dan Al-Mumtahanah: 8.
Sementara itu, kata zalim sebagai lawan dari adil disebutkan sebanyak 287 dalam Al-
Qur‟an. Allah menjelaskan bahwa Dia tidak menzalimi satu pun hamba-Nya (Al-Kahfi: 49,
Ghafir: 31, dan An-Nisa‟: 40). Allah menyatakan bahwa orang yang melanggar hukum-
hukum Allah pada hakikatnya telah menzalimi diri sendiri (Ath-Thalaq: 1). Allah
memperingatkan kita dari orang-orang zalim (Hud: 113, Al-Kahfi: 59, Al-An„am: 21, dan
An-Naml: 25). Allah juga mengancam orang-orang zalim (Asy-Asyu„ara‟: 227, Az-Zukhruf:
65, Al-Furqan: 11, Ibrahim: 42, dan Al-Kahfi: 29). Kata (‫ )اْلور‬hanya disebutkan sekali, yaitu

dalam An-Nahl: 9, yang berarti melenceng dari kebenaran sehingga tidak menyampaikan

9
Muhammad Rabi„ Muhammad Jauhari, Akhlâqunâ, hlm. 207.
seseorang kepada tujuannya. Demikian juga kata (‫)احليف‬. Ia hanya sekali disebutkan, yaitu

dalam An-Nur: 50.


Adapun dalam As-Sunnah, Rasulullah shallallâhu „alaihi wa sallam sangat
memperhatikan akhlak adil. Hal ini tampak dalam sabda dan perbuatan beliau. Di antaranya,
beliau bersabda,

ْ ِْ ‫ين ْيَع ِدلُو َْن‬


ْ‫ف‬ َْ ‫ ْالَّ ِذ‬،‫ ْ َوكِلتَا ْيَ َدي ِْو َْميِي‬،‫الرْحَ ِْن ْ َعَّْز ْ َو َج َّل‬ ِْ ِ‫ ْ َعنْ َْْمي‬،‫الل ْ َعلَى ْ َمنَابَِْر ْ ِمنْ ْنُوٍر‬
َّ ْ ‫ي‬ ِْ ْ ‫ي ْ ِعن َْد‬
َْ ‫«إِ َّْن ْال ُمق ِس ِط‬

»‫ُحك ِم ِهمْْ َوأَىلِي ِهمْْ َوَماْ َولُوا‬


Orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah (pada hari kiamat nanti) di atas mimbar-
mimbar dari cahaya, yaitu di sebelah kanan Allah Yang Maha Rahman „Azza wa Jalla.
Kedua tangan-Nya berada di kanan. (Orang-orang tersebut adalah) orang-orang yang
berbuat adil dalam menghukumi dan menyikapi keluarga mereka serta tidak melenceng.10
Rasulullah memperingatkan kaumnya dari perbuatan zalim. Beliau bersabda,

ْْ‫ ْ َْحَلَ ُهمْ ْ َعلَى ْأَن‬،‫ك ْ َمنْ ْ َكا َْن ْقَب لَ ُكم‬
َْ َ‫ُّح ْأَىل‬ َّ ‫ ْ َواتَّ ُقوا ْالش‬،‫ ْفَِإ َّْن ْالظُّل َْم ْظُلُ َماتْ ْيَوَْم ْال ِقيَ َام ِة‬،‫«اتَّ ُقوا ْالظُّل َم‬
َّْ ‫ ْفَِإ َّْن ْالش‬،‫ُّح‬

»ْ‫َس َف ُكواْ ِد َماءَ ُىمْْ َواستَ َحلُّواْ ََمَا ِرَم ُهم‬


Takutlah terhadap kezaliman karena kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari
kiamat. Takutlah terhadap kekikiran karena kekikiran itu menghancurkan orang-orang
sebelum kalian. Kekikiran mendorong mereka untuk saling menumpahkan darah dan
menghalalkan kehormatan.11
Banyak teladan mengenai akhlak adil ini dari perbuatan Rasulullah shallallâhu „alaihi
wa sallam. Dalam perang Badar, Rasulullah meluruskan barisan para sahabatnya. Beliau
membawa gelas dan lewat di depan Sawad bin Ghaziyyah yang mendahului barisan. Beliau
memukul perut Sawad dan berkata, “Luruskan barisan, hai Sawad.” Sawad tidak terima
diperlakukan seperti itu dan menuntut qishash kepada Rasulullah. Beliau pun mengabulkan
tuntutan Sawad. Beliau menyingkap perutnya agar bisa balas dipukul oleh Sawad. Bukannya
balas memukul, Sawad malah mendekap Rasulullah dan mencium perutnya. Dia berharap

10
HR Muslim dalam Al-Imârah bab Fadhîlah Al-Imâm Al-„Âdil (3/1458).
11
HR Muslim dalam Al-Birr bab Tahrîm Azh-Zhulm (4/1996).
kulitnya bisa bersentuhan dengan kulit Rasulullah di akhirat kelak. Rasulullah mendoakan
kebaikan untuk Sawad.12
Suatu ketika, Usamah bin Zaid yang sangat disayangi Rasulullah datang untuk
memintakan dispensasi terhadap seorang wanita Bani Makhzum yang mencuri. Rasulullah
sangat murka saat diminta untuk meninggalkan keadilan itu. Dengan tegas, beliau bersabda,
“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena apabila tokoh mereka mencuri,
mereka tidak menghukumnya. Akan tetapi, apabila orang lemah di kalangan mereka
mencuri, mereka menghukumnya. Demi Allah, andai saja Fathimah binti Muhammad
mencuri, pasti aku potong tangannya.”13
Adil itu banyak bentuknya. Ada adil terhadap diri sendiri, yaitu dengan meninggalkan
perbuatan yang bisa mendatangkan adzab Allah. Ada adil terhadap keluarga, adil terhadap
anak-anak yatim, adil terhadap ahli kitab, adil terhadap musuh, adil dalam berkata dan
bersaksi, adil dalam transaksi jual beli dan urusan materi, adil terhadap dua orang yang
bertikai, dan adil dalam memutuskan hukum. Semuanya diajarkan dalam Al-Qur‟an dan As-
Sunnah.

D. Hilm
Hilm (‫ )احللم‬adalah salah satu akhlak Islam yang mulia. Muhammad Rabi„ Muhammad

Jauhari mendefinisikan hilm adalah menguasai diri saat marah dan menahannya dari
membalas keburukan dengan keburukan serta tunduknya seorang muslim terhadap ketentuan
agama dan akalnya saat orang lain mengganggunya padahal dia mampu membalas dengan hal
serupa. Hilm mempunyai kedekatan makna dengan sabar. Oleh karena itu, terkadang kedua
kata ini digunakan dengan maksud yang sama, padahal keduanya berbeda. Hilm adalah
menahan diri dari balas dendam atau menghadapi gangguan dengan hal serupa. Sementara
itu, sabar adalah menahan sesuatu yang tidak disukai, seperti kehilangan sesuatu yang
berharga, menderita sakit yang tidak ada obatnya, atau kehilangan harta. Hilm berkaitan
dengan kemampuan untuk membalas dendam, sedangkan sabar berhubungan dengan keadaan
yang tidak mampu dilakukan oleh seseorang. Hilm adalah lawan dari marah, sedangkan sabar
adalah lawan dari mengeluh.14

12
Sîrah Ibn Hisyam (2/456).
13
HR Muslim dalam Kitâb Al-Hudûd bab Qath„u As-Sâriq Asy-Syarîf wa Ghairihi wa An-Nahy „An Asy-
Syafâ„ah fi Al-Hudûd (3/1315).
14
Muhammad Rabi„ Muhammad Jauhari, Akhlâqunâ, hlm. 219.
Al-Qur‟an dan As-Sunnah mengajarkan akhlak hilm. Al-Qur‟an menyebutkan kata
hilm dengan makna seperti di atas di 15 tempat. Allah menyatakan sifat diri-Nya dengan hilm
dan menggabungkan nama-Nya antara Al-Halim dan Al-Ghafur dalam enam ayat, yaitu Al-
Baqarah: 225 dan 235, Ali „Imran: 155, Al-Maidah: 101, Al-Isra‟: 44, dan Fathir: 41. Allah
menggabungkan nama Al-Halim dan Al-„Alim dalam tiga ayat, yaitu An-Nisa‟: 12, Al-Hajj:
59, dan Al-Ahzab: 51. Allah menggabungkan nama Al-Halim dan Al-Ghaniy dalam satu ayat,
yaitu Al-Baqarah: 263. Allah menyatakan bahwa Dia adalah Asy-Syakur Al-Halim juga dalam
satu ayat, yaitu At-Taghabun: 17.
Al-Qur‟an menyebutkan bahwa hilm adalah salah satu sifat Nabi Ibrahim (At-Taubah:
114 dan Hud: 75) dan Nabi Ismail (Ash-Shaffat: 101). Ungkapan lain yang menunjukkan
makna hilm sebenarnya banyak juga disebutkan dalam Al-Qur‟an, seperti menahan marah
(Ali „Imran: 133 dan 134) dan menahan diri dari orang-orang yang jahil (Al-A„raf: 199).
Rasulullah shallallâhu „alaihi wa sallam mendidik umatnya agar mempunyai akhlak
hilm; baik melalui teladan perbuatan maupun sabda beliau. Dalam hadits disebutkan banyak
contoh perbuatan beliau yang menunjukkan akhlak ini. Suatu ketika, Rasulullah memakai
kain selimut dari Najran yang sangat halus. Di tengah jalan, beliau bertemu orang Arab
Badui. Orang itu menarik kain tersebut dengan kuat hingga bahu beliau kelihatan. Setelah itu,
dia meminta kain tersebut. Rasulullah pun memberikannya.15
Anas bin Malik memberikan kesaksian bahwa dia menjadi pembantu Rasulullah
selama 20 tahun. Selama itu, Rasulullah tidak pernah mengumpatnya dan mengatakan “cih”
kepadanya. Beliau juga tidak pernah berkata, “Kenapa kamu lakukan ini?”16
Rasulullah juga memotivasi umatnya agar berakhlak hilm. Pernah seseorang datang
untuk meminta nasihat kepada beliau. Beliau menasihatinya dengan kalimat yang padat dan
ringkas, “Jangan marah!” Beliau mengulang-ulang kalimat ini.17 Dalam kesempatan lain,
beliau bersabda,

َّْ ‫وسْاخلَََلئِ ِْقْيَوَْمْال ِقْيَ َام ِْةْ َح‬


ْ‫ّتْ ُُيَيِّ َرْهُْاللَّْوُْ ِم َْن‬ ِْ ُ‫ْ َد َع ْاهُْاللَّْوُْ َعَّْزْ َو َج َّْلْ َعلَىْ ُرء‬،ُ‫« َمنْْ َكظَ َْمْ َغيظًاْ َوُى َْوْقَ ِادرْْ َعلَىْأَنْْيُن ِف َذه‬

»َ‫اء‬ ِْ ِ‫احلُوِْرْالع‬
ْ ‫يْ َماْ َش‬

15
HR Al-Bukhari dalam Al-Libâs dan Muslim dalam Az-Zakâh (2/730).
16
HR Muslim dalam Kitâb Al-Fadhâil (4/1804 no 2309).
17
HR Al-Bukhari dalam Al-Adab.
Barang siapa menahan amarahnya padahal mampu untuk melampiaskannya, maka pada
hari kiamat nanti Allah „Azza wa Jalla akan memanggilnya di hadapan para makhluk untuk
memilih bidadari cantik mana pun yang dia kehendaki.18
Marah itu memang tabiat manusia. Semua manusia pasti pernah dan bisa marah.
Rasulullah pun juga pernah marah. Akan tetapi, beliau marah apabila urusan agama dinista.
Beliau tidak marah apabila urusan dunia yang dicela. Marah harus dikendalikan. Menurut
Muhammad Rabi„ Jauhari, apabila marah, seseorang harus mengekang nafsunya dan
menguasai instingnya agar tidak muncul dampaknya yang berbahaya.19
Lebih lanjut, Muhammad Rabi„ Jauhari mengajukan beberapa terapi untuk meredam
marah. Pertama, terapi yang bersifat teoritis. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Di
antaranya: 1) Menghindari hal-hal yang bisa menyebabkan marah, 2) Mengingatkan dirinya
mengenai pujian terhadap akhlak hilm dan pelakunya yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan As-
Sunnah, 3) Mengetahui bahwa kuasa Allah lebih kuat daripada kuasa dirinya terhadap orang
yang dia marahi sehingga dia pun merasa takut terhadap amarah dan hukuman Allah, 4)
Membayangkan tampangnya saat marah agar muncul rasa malu sehingga akhirnya bisa
menahan marah.
Kedua, terapi yang bersifat praktis. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Di
antaranya:
1) Membaca ta„awwudz.
2) Membaca doa berikut,

ْ‫َلتْال ِف َت‬
ِْ ‫ض‬ِ ‫ّنْ ِمنْْم‬ ِ َْ ‫َّبْاأل ُِّم ِّْيْأَذ ِىبْْ َغي‬
ُ ْ ِ‫ْ َوأَجر‬،‫ظْقَلِب‬ ِّْ ِ‫بْ َُمَ َّم ٍْدْالن‬
َّْ ‫اللَّ ُه َّْمْ َر‬
Ya Allah, Tuhannya Muhammad Sang Nabi yang ummi! Lenyapkanlah kemarahan hatiku
dan selamatkanlah aku dari berbagai kesesatan fitnah.
3) Diam tidak berbicara setelah marah.
4) Duduk atau tidur miring.
5) Wudhu atau mandi.

E. Sabar

18
HR Abu Dawud bab Man Kazhima Ghaizhan (4/248).
19
Muhammad Rabi„ Muhammad Jauhari, Akhlâqunâ, hlm. 230.
Definisi sabar yang cukup komprehensif dikemukakan oleh Al-Ghazali. Menurutnya,
sabar adalah ungkapan ketegaran yang termotivasi oleh agama dalam menghadapi hawa
nafsu.20
Sabar merupakan akhlak mulia yang diajarkan dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Kata
sabar disebutkan sebanyak 103 kali dalam Al-Qur‟an dengan berbagai bentuk. Allah
memerintahkan hamba-Nya untuk bersabar (Al-Baqarah: 153 dan An-Nahl: 127) dan
melarang kebalikannya (Al-Ahqaf: 35 dan Al-Anfal: 15). Allah menjelaskan bahwa sabar
termasuk akhlak para rasul (Al-An„am: 34). Allah menerangkan bahwa orang-orang yang
bersabar lah yang mampu mengambil manfaat dan pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan-Nya
(Asy-Syura: 32-33), Ibrahim: 5, dan Saba‟: 19). Allah menyatakan bahwa sabar termasuk
sebab keberhasilan (Ali „Imran: 200). Allah menyatakan bahwa sabar termasuk faktor
terpenting untuk meraih pertolongan-Nya (Ali „Imran: 120 dan 125 serta Al-Anfal: 66). Allah
menjadikan orang-orang yang bersabar sebagai para pemimpin dalam agama (As-Sajdah: 24).
Allah memberitahukan bahwa Dia mencintai orang-orang yang bersabar (Ali „Imran: 146).
Allah menyebutkan bahwa Dia selalu menyertai orang-orang yang bersabar dengan
penjagaan-Nya (Al-Anfal: 46 dan Al-Baqarah: 249). Allah menyampaikan kabar gembira
bahwa orang-orang yang bersabar akan mendapatkan kebaikan yang sempurna (Al-Baqarah:
155-157). Allah juga menjelaskan balasan yang akan diperoleh oleh orang-orang yang
bersabar pada hari kiamat (Al-Qashash: 54, Al-Mu‟minun: 111, Al-Furqan: 75, Fushshilat:
35, Al-Insan: 12, Az-Zumar: 10, dan Ar-Ra„du: 23-24).
Rasulullah banyak memberikan teladan mengenai akhlak sabar ini. Misalnya, beliau
bersabar saat orang-orang Quraisy mengolok-oloknya dan menjulukinya sebagai dukun,
tukang sihir, orang gila, dan sebagainya. Beliau juga bersabar di berbagai medan perang.
Beliau bersabar dalam menghadapi gangguan dari sebagian sahabat. Misalnya saat sebagian
sahabat mempercayai berita bohong yang menuduh Aisyah berzina. Beliau bersabar menahan
pedihnya sakit. Beliau juga bersabar menghadapi kematian orang-orang yang dicintainya.
Semua kesabaran ini harus dijadikan teladan oleh umatnya.
Para ulama membagi sabar ini menjadi beberapa macam dengan berbagai perbedaan
sudut pandang. Ada yang membagi sabar menjadi sabar karena pilihan dan sabar karena
terpaksa. Ada yang membaginya menjadi sabar terhadap perintah dan kewajiban agar mampu
mengerjakannya, sabar terhadap dosa dan larangan agar tidak terjerumus ke dalamnya, serta
sabar terhadap takdir dan ketentuan Allah agar tidak membencinya.

20
Al-Ihyâ‟ (12/2176).
F. Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya, ada beberapa poin yang bisa disimpulkan:
1. Konsep pendidikan akhlak dalam Islam lebih tinggi nilainya daripada konsep pendidikan
karakter dalam Dunia Barat karena dibangun di atas wahyu.
2. Pendidikan akhlak mempunyai hubungan yang kuat dan tidak bisa dipisahkan dengan
pendidikan akidah.
3. Pendidikan akhlak dalam Islam bukan hanya teoritis, namun juga praktis dengan teladan
nyata dari Rasulullah dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik.
4. Konsep akhlak Islam, seperti amanah, adil, hilm, dan sabar, mempunyai makna yang jauh
lebih mendalam daripada konsep-konsep yang dikembangkan dalam pendidikan karakter
menurut Barat.

Anda mungkin juga menyukai