Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

Kepada Yth :
08 April 2021
Pukul 10.30 WIB

Korea Rematik

Oleh
dr. Nila Sari Batubara

Pembimbing
dr. Ria Nova, Sp.A (K)
dr. Denny Salverra Yosy, Sp.A (K), M.Kes
dr. Msy Rita Dewi, Sp.A (K), MARS
dr. RM. Indra, Sp.A(K)

Moderator
dr. Silvia Triratna, Sp.A (K)

Penilai
dr. Afifa Ramadanti, Sp.A (K)
dr. RA. Myrna Alia Sp.A (K). M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
PENDAHULUAN

Korea rematik atau korea sydenham (SC) adalah manifestasi neurologis dari
demam rematik (DR). Korea rematik merupakan manifestasi awal DR yang
langka,umumnya disertai dengan karditis rematik.1 Korea rematik adalah gangguan
gerakan yang terlihat pada anak-anak dan remaja dengan riwayat faringitis beta-
hemolitik streptokokus (GAS) grup A yang tidak diobati secara lengkap.2
Korea rematik adalah gangguan neurologis masa kanak-kanak yang dipicu
akibat respons autoimun terhadap infeksi GAS.3 Menurut kriteria WHO 2002-2003
yang direvisi jika ditemukan manifestasi korea rematik maka tidak diperlukan lagi
kriteria mayor lainnya atau bukti infeksi GAS untuk menegakkan diagnosa DR akut. 4
Korea rematik sangat jarang berdiri sendiri, dan juga jarang menjadi gejala
awal dari DR, umumnya terjadi bersamaan dengan karditis rematik. Kejadian korea
rematik di nepal hanya 0.6% dari seluruh kasus DR dan dengan karditis angka
kejadiannya meningkat menjadi 2,3%. Di Pakistan, 16% anak dengan karditis
berkembang menjadi korea rematik pada serangan pertama dan 4% lainnya timbul
pada serangan berulang. Meskipun korea rematik termasuk manifestasi klinis DR akut
yang jarang namun gejala klinis yang ditimbulkan sangat spesifik. 2
Gejala korea rematik ditandai dengan gerakan anggota tubuh yang tiba-tiba,
singkat, tidak berirama, tidak berulang disertai dengan wajah yang meringis. Terdapat
riwayat sakit tenggorokan beberapa minggu sebelum timbulnya gejala. Gerakan korea
sydenham meliputi, gerakan tak terkendali, bicara cadel, hipotonia, dan kesulitan
memegang benda, menulis, makan, dan berpakaian.5
Gejala klinik yang spesifik tersebut harus segera dikenali karena kegagalan
mengenali korea sebagai tanda yang muncul dari DR akut dan penatalaksanaan yang
tidak tepat membuat anak cenderung mengalami serangan DR berulang dan penyakit
jantung rematik.6 Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan
untuk mengurang angka morbiditas dan mortalitas pasien.
Berikut kami akan melaporkan satu kasus korea rematik yang terjadi pada
seorang anak perempuan berusia 11 tahun. Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk
mengingatkan kembali mengenai gejala klinis korea rematik tersebut serta
tatalaksananya.

1
LAPORAN KASUS

I. DATA DASAR
IDENTIFIKASI
Seorang anak perempuan, usia 11 tahun 4 bulan, berat badan 29 kg, tinggi
badan 144 cm bertempat tinggal di Sungai lilin, dan dirujuk oleh SpA ke
RSMH pada 26 Januari 2021

II. ANAMNESIS
(Dilakukan alloanamnesis dengan orang tua pasien pada tanggal 27 Januari
2021)
KELUHAN UTAMA :
Tangan dan kaki bergerak sendiri tanpa bisa dikendalikan

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT :


Dua minggu sebelum dirujuk, pasien mengeluh muncul gerakan pada
tangan dan kaki yang tidak bisa dikendalikan. Gerakan tersebut muncul
secara tiba tiba, cepat, dan tidak terkoordinasi. Gerakan tersebut pertama
kali terjadi pada kedua tangan, menjalar ke badan hingga kedua kaki. Anak
mengeluh mengalami kesulitan menjalani kegiatan sehari hari seperti mandi,
makan, mengambil barang dan makan. Gerakan tersebut tampak seperti
gerakan menari dan menghilang saat tidur. Demam tidak ada, batuk tidak
ada, pilek tidak ada, sesak napas tidak ada, mengi tidak ada. Nyeri sendi
besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan yang
berpindah pindah disangkal. Kelainan kulit berupa bercak merah muda
berbentuk bulat, bagian tengah pucat, tepi berbatas tegas dan tidak gatal di
sekitar punggung dan ekstremitas tidak ada. Benjolon pada bawah kulit
seperti sendi siku, pergelangan kaki dan tangan tidak ada, riwayat kejang
sebelumnya tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat ke
RSUD setempat, pasien kemudian dirujuk ke RSMH. Pasien kontrol ke
poliklinik neuropediatri RSMH, dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
pasien dikonsulkan ke divisi kardiologi.

2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit jantung sebelumnya tidak ada
Riwayat gerakan involunter sebelumnya tidak ada

Riwayat penyakit dalam keluarga:


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga tidak ada

RIWAYAT KEHAMILAN
Penderita adalah anak pertama. Kehamilan penderita merupakan
kehamilan yang diinginkan. Selama hamil, ibu sehat dan tidak menderita
demam. Ibu tidak pernah mengalami keguguran sebelumnya. Ibu kontrol
kehamilan ke SpOG satu kali kunjungan, sisanya kontrol kehamilan ke
bidan. Pasien lahir di bidan, cukup bulan, secara spontan pervaginam, lahir
langsung menangis dengan berat badan lahir 2800 gram, panjang badan 50
cm.
Kesan : riwayat kehamilan dan kelahiran normal

Peedigree Keluarga

RIWAYAT IMUNISASI:
Pasien mendapatkan imunisasi sesuai imunisasi dasar dan booster di
program imunisasi di sekolah.

3
RIWAYAT NUTRISI :
Penderita sejak lahir diberi ASI selama 6 bulan lalu diberikan susu formula.
Saat ini anak makan besar/utama sebanyak tiga kali sehari, makan lauk
rumahan jarang makan sayur, anak sulit makan nasi, lebih sering jajan di
luar rumah. Anak tidak minum susu.
Kesan: kuantitas dan kualitas asupan nutrisi kurang baik

RIWAYAT TUMBUH KEMBANG


Penderita saat ini bersekolah di kelas 6 SD. Penderita dapat menerima
pelajaran dengan baik, tidak pernah tinggal kelas. Pasien memiliki riwayat
tumbuh kembang yang sesuai dengan usianya.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien merupakan anak pertama. Ayah pasien seorang petani dengan
pendidikan terakhir SMP dengan penghasilan sekitar 3 juta rupiah perbulan,
sedangkan ibu adalah seorang ibu rumah tangga. Ayah, ibu dan pasien
tinggal di rumah milik sendiri. Sehari-hari pasien diasuh oleh ibu pasien.
Biaya hidup keluarga ditanggung oleh ayah pasien. Orangtua menggunakan
fasilitas BPJS untuk pengobatan anaknya.
Kesan : sosial ekonomi cukup.

PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan Umum
Sensorium : Compos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu aksila : 36,7 C
SpO2 : 98%

Status Gizi
Berat Badan : 29 kg
Tinggi Badan : 144 cm
Menurut kurva CDC
4
BB / U : 29/38 (p5)
TB / U : 144/146 (p25 - p50)
BB / TB : 29/37 x 100% = 78 %
Kesan : Gizi kurang perawakan normal

Pemeriksaan fisik
Keadaan Spesifik
Kepala
Ukuran : normosefali, ubun-ubun menutup, lingkar kepala = 54
cm
Wajah : tidak dismorfik
Mata : konjungtiva pucat tidak ada, sklera tidak ikterik, pupil
bulat isokor, diameter 3mm/3 mm, refleks cahaya normal, edema palpebra
tidak ada
Hidung : napas cuping hidung tidak ada
Telinga : bentuk normal
Mulut : tidak ada sianosis sirkumoral
Dada
Bentuk normal, gerak dinding dada simetris.
Jantung
I : tidak tampak iktus cordis
P : tidak teraba thrill
P : batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
batas kiri : ICS IV linea midclavicularis sinistra
A : Bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik grade 3/6 di linea
midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade 3/6 di
ICS II linea parasternalis sinistra
Paru
I : retraksi dinding dada tidak ada
P : dinding dada simetris, stem fremitus normal
P : Sonor di seluruh lapangan paru
A : Vesikuler normal, ronkhi dan wheezing tidak ada

5
Abdomen
Datar, lemas, hepar dan lien tak teraba, bising usus normal, ascites tidak ada
Punggung
Deformitas tidak ada, bercak kemerahan pada kulit tidak ada
Ekstremitas
Akral teraba hangat, tidak terdapat akral pucat, nodul/benjolan di bawah
kulit tidak ada
Status Pubertas
M2 P2
Status neurologikus
 Pemeriksaan Umum : orientasi baik, dapat mengikuti instruksi, tidak
ada kelainan perilaku.
 Motorik : dalam batas normal
 Sensorik : tidak ada kelainan
 Keseimbangan : dalam batas normal
 GRM : tidak ada
Pemeriksaan laboratorium di Poliklinik RSMH 26 Januari 2021 :
Hb 13.2 g/dL, leukosit 7.015/mm3, Ht 41%, trombosit 246.000/mm3, MCV 80.0
fL MCH 26 pg MCHC 32 g/dL RDW 14.00% LED 32 mm/jam DC 0/1/54/39/6, Ur
21 mg/dl, Cr 0.63 mg/dl, Na 145 mEq/L, K 4.6 mEq/L, Cl 108 mmol/L, Ca 9.1
mg/dl SGOT 25 U/L, SGPT 12 U/L, CRP < 6 ASTO Reaktif.
Kesan : Peningkatan LED dengan ASTO reaktif

Pemeriksaan Echokardiografi di RSMH 27 Januari 2021

Kesan : Moderate Mitral Regurgitation + Mild Tricuspid Regurgitation +


Moderate Aorta Regurgitation ec Rhematik Heart Disease

6
RINGKASAN DATA DASAR
Seorang anak perempuan berusia 11 tahun 4 bulan, berat badan 29 kg,
panjang badan 144 cm bertempat tinggal di Sungai lilin dirujuk dengan keluhan
utama tangan dan kaki bergerak sendiri tanpa bisa dikendalikan.
Sejak dua minggu sebelum dirujuk, pasien mengeluh muncul gerakan
pada tangan dan kaki yang tidak bisa dikendalikan. Gerakan tersebut muncul
secara tiba tiba, cepat, dan tidak terkoordinasi. Gerakan tersebut pertama kali
terjadi pada kedua tangan, menjalar ke badan hingga kedua kaki. Anak mengeluh
mengalami kesulitan menjalani kegiatan sehari hari seperti mandi, makan,
mengambil barang dan makan. Gerakan tersebut tampak seperti gerakan menari
dan menghilang saat tidur. Demam tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada,
sesak napas tidak ada. Mengi tidak ada, bercak kemerahan pada kulit tidak ada.
sakit kulit tidak ada, riwayat kejang sebelumnya tidak ada. BAB dan BAK tidak
ada keluhan.
Pemeriksaan fisik umum ditemukan anak dengan gizi kurang perawakan
normal. Pada pemeriksaan jantung didapatkan adanya murmur sistolik grade 3/6
di linea midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade 3/6 di
ICS II linea parasternalis sinistra. Tidak ada takipne, ortopne, dan rhonki. Pada
pemeriksaan abdomen tidak ditemukan hepatomegali. Pada ekstremitas tidak
ditemukan adanya edema pretibia ataupun bercak merah pada tangan dan kaki.
Tidak juga ditemukan adanya nodul/benjolan di bawah kulit. Pemeriksaan
neurologis didapatkan adanya gerakan korea yang cepat, tidak terkoordinasi dan
tidak dapat dikendalikan oleh pasien. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
adanya peningkatan LED dengan ASTO reaktif. Pasien dilakukan pemeriksaan
ekokardiografi dan didapatkan regurgitasi mitral moderate, regurgitasi trikuspid
ringan, regurgitasi aorta moderate akibat penyakit jantung rematik. Pasien
dirawat untuk tatalaksana lebih lanjut.

ANALISA AWAL
Berdasarkan data dasar di atas dijumpai anak perempuan usia 11 tahun 4
bulan dengan keluhan gerakan involunter pada tangan dan kaki. Gerakan muncul
secara tiba tiba tanpa dapat dikendalikan oleh pasien. Pemeriksaan fisik umum
ditemukan anak dengan gizi kurang perawakan normal. Pada pemeriksaan
7
jantung didapatkan adanya murmur sistolik grade 3/6 di linea midclavicularis
sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade 3/6 di ICS II linea
parasternalis sinistra. Tidak adanya takipne, ortopne, rhonki, hepatomegali dan
edema menunjukkan tidak ditemukan tanda-tanda dekompensasio kordis pada
pasien. Pemeriksaan neurologis didapatkan adanya gerakan cepat, tidak
terkoordinasi seperti gerakan menari pada tangan dan kaki, muncul secara cepat
tanpa disadari oleh pasien. Gerakan ini menghilang saat pasien tidur.
Berdasarkan kriteria WHO tahun 2003 gejala yang ditemukan pada anak sesuai
dengan korea rematik. Korea rematik merupakan salah satu manifestasi klinis
yang mengenai sekitar 15% pasien dengan demam rematik. Gejala pada
penderita berupa gangguan gerakan involunter seperti inkoordinasi muscular,
gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan adanya peningkatan LED dan ASTO reaktif. Nilai
ASTO yang reaktif menunjukkan adanya infeksi kuman Streptokokus β
hemolitik grup A. Adanya moderate mitral regurgitation, mild tricuspid
regurgitation, moderate aorta regurgitation pada hasil echokardiografi
menunjukkan adanya penyakit jantung rematik. Penyakit Jantung rematik (PJR)
adalah kelainan katup jantung menetap akibat demam rematik yang terjadi
sebelumnya. PJR adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa
(sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya kecacatan katup jantung.

MASALAH AWAL
 Gerakan involunter
 Murmur sistolik grade 3/6 di linea midclavicularis sinistra menjalar ke
aksila, murmur diastolik grade 3/6 di ICS II linea parasternalis sinistra
 Peningkatan LED
 ASTO reaktif
 Mitral regurgitasi moderate
 Tricuspid regurgitasi ringan
 Aorta regurgitasi moderate
 Gizi kurang perawakan normal

8
DIAGNOSIS KERJA
Korea Rematik + Gizi Kurang Perawakan Normal

RENCANA AWAL
Rencana pengobatan atau tindakan :
- Bed rest
- Asam valproat 2x200 mg po
- Benzatin penicillin 1.2 juta iu IM
- Prednison 3x20 mg
- Diet total kalori 1740 kkal. Rute oral
Formula : nasi 3x1 porsi (1500 kkal), snack 2x1 porsi (200 kkal)

Rencana diagnostik :
- Rontgen thorax AP
- Elektrokardiografi

Rencana edukasi :
Menjelaskan kepada orangtua mengenai penyakit pasien, pemeriksaan yang
akan dilakukan dan penatalaksanaannya.

PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : Dubia ad bonam
2. Quo ad functionam : Dubia ad bonam
3. Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

9
PEMANTAUAN PASIEN
Selasa, 28 Januari 2021 (Hari rawat ke 1)
S Gerakan tidak beraturan pada tangan dan kaki ada, frekuensi lebih dari 10 kali.
Gerakan biasanya muncul saat anak bergerak dan hilang saat anak tidur. sesak (-),
demam (-).
O Keadaan umum:
Sens compos mentis, frekuensi nadi 110 x/menit (teratur), laju napas 22 x/menit
(teratur), suhu aksila 36,8°C
Keadaan spesifik:
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor : Bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik grade 3/6 di linea
midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade
3/6 di ICS II linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema pretibia (-),nodul subkutan (-)

Pemeriksaan laboratorium 28 Januari 2021 :


PT+INR kontrol 14.70 detik pasien 14.8 detik INR 1.04 APTT kontrol 32.2 detik
pasien 28.2 detik SGOT 53 U/L SGPT 12 U/L PT 8.6 g/dL Alb 4.6 g/dL Ur 28
mg/dL Cre 0.65 mg/dL
A Korea Rematik + Gizi Kurang Perawakan Normal
P - Asam valproat 2x200 mg po
- Prednison 3x20 mg
- Diet total kalori 1740 kkal. Rute oral
Formula : nasi 3x1 porsi (1500 kkal), snack 2x1 porsi (200 kkal)
- Rawat bersama divisi neuropediatri

10
Selasa, 29 s/d 31 Januari 2021 (Hari rawat ke 2 s/d ke 4)
S Gerakan tidak beraturan pada tangan dan kaki ada, frekuensi masih sering, frekuensi
lebih dari 10 kali. Gerakan involunter hilang saat anak tidur.
sesak (-), demam (-).
O Keadaan umum:
Sens compos mentis, frekuensi nadi 110 x/menit (teratur), laju napas 22 x/menit
(teratur), suhu aksila 36,8°C
Keadaan spesifik:
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor : Bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik grade 3/6 di linea
midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade
3/6 di ICS II linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema pretibia (-),nodul subkutan (-)
A Korea Rematik + Gizi Kurang Perawakan Normal
P - Asam valproat 2x200 mg po
- Captopril 2x12.5 mg
- Diet total kalori 1740 kkal. Rute oral
- Formula : nasi 3x1 porsi (1500 kkal), snack 2x1 porsi (200 kkal)

Senin, 1 s/d 5 Februari 2021 (Hari rawat ke 5 s/d ke 9)


S Gerakan tidak beraturan pada tangan dan kaki masih ada, frekuensi masih sering (5
sampai 10 kali), sesak (-), demam (-).
O Keadaan umum:
Sens compos mentis, frekuensi nadi 100 x/menit (teratur), laju napas 22 x/menit
(teratur), suhu aksila 36,6°C
Keadaan spesifik:
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor : Bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik grade 3/6 di linea

11
midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade
3/6 di ICS II linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema pretibia (-),nodul subkutan (-)
A Korea Rematik + Gizi Kurang Perawakan Normal
P - Asam valproat 2x250 mg po (dosis dinaikkan bertahap sampai tidak muncul
gerakkan lagi)
- Captopril 2x12.5 mg
- Diet total kalori 1740 kkal. Rute oral
- Formula : nasi 3x1 porsi (1500 kkal), snack 2x1 porsi (200 kkal)

Sabtu, 6 s/d 10 Februari 2021 (Hari rawat ke 10 s/d ke 14)


S Gerakan tidak beraturan pada tangan dan kaki masih ada, frekuensi berkurang ( < 5
kali) anak tampak lebih tenang. sesak (-), demam (-).
O Keadaan umum:
Sens compos mentis, frekuensi nadi 96 x/menit (teratur), laju napas 22 x/menit
(teratur), suhu aksila 36,4°C
Keadaan spesifik:
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor : Bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik grade 3/6 di linea
midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade
3/6 di ICS II linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema pretibia (-),nodul subkutan (-)
A Korea Rematik + Gizi Kurang Perawakan Normal
P - Asam valproat 2x250 mg po
- Captopril 2x12.5 mg
- Diet total kalori 1740 kkal. Rute oral
- Formula : nasi 3x1 porsi (1500 kkal), snack 2x1 porsi (200 kkal)

12
Jumat, 11 Februari 2021 (Hari rawat ke 15)
S Gerakan tidak beraturan pada tangan dan kaki masih ada, frekuensi makin jarang,
lama setiap munculnya gerakan makin singkat. anak tampak lebih tenang. sesak (-),
demam (-).
O Keadaan umum:
Sens compos mentis, frekuensi nadi 96 x/menit (teratur), laju napas 22 x/menit
(teratur), suhu aksila 36,4°C
Keadaan spesifik:
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor : Bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik grade 3/6 di linea
midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade
3/6 di ICS II linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema pretibia (-),nodul subkutan (-)

Pemeriksaan laboratorium 11 Januari 2021 :


Hb 12.2 g/dL, leukosit 17.430/mm3, Ht 38%, trombosit 173.000/mm3, MCV 80.3 fL
MCH 26 pg MCHC 32 g/dL RDW 14.50% LED 14 mm/jam DC 0/1/82/10/8
A Korea Rematik + Gizi Kurang Perawakan Normal
P - Asam valproat 2x275 mg po (dosis dinaikkan bertahap sampai tidak muncul
gerakkan lagi)
- Prednison 3x20 mg (tappering off selama 2 minggu)
- Aspilet 4x 500 mg po
- Diet total kalori 1740 kkal. Rute oral
- Formula : nasi 3x1 porsi (1500 kkal), snack 2x1 porsi (200 kkal)

13
Sabtu, 11 s/d 15 Februari 2021 (Hari rawat ke 16 s/d 19)
S Gerakan tidak beraturan pada tangan dan kaki tidak ada. anak tampak lebih tenang.
sesak (-), demam (-).
O Keadaan umum:
Sens compos mentis, frekuensi nadi 94 x/menit (teratur), laju napas 24 x/menit
(teratur), suhu aksila 36,4°C
Keadaan spesifik:
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), nafas cuping hidung (-)
Dada : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Cor : Bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik grade 3/6 di linea
midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade
3/6 di ICS II linea parasternalis sinistra, gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, edema pretibia (-),nodul subkutan (-)
A Korea Rematik + Gizi Kurang Perawakan Normal
P - Asam valproat 2x275 mg po
- Prednison 3x20 mg (tappering off selama 2 minggu)
- Aspilet 4x 500 mg (selama 2 minggu, kemudian tappering off)
- Diet total kalori 1740 kkal. Rute oral
- Formula : nasi 3x1 porsi (1500 kkal), snack 2x1 porsi (200 kkal)
- Inj Benzatin Penicillin 1.2 juta IU IM setiap 1 bulan sekali (rencana selanjutnya
tanggal
- Pasien boleh pulang

14
TINJAUAN PUSTAKA

Korea Rematik
Definisi
Korea rematik adalah manifestasi neurologis dari demam rematik (DR).
Korea rematik merupakan manifestasi awal DR yang langka,umumnya disertai
dengan karditis rematik.1 Korea rematik atau korea sydenham (SC) adalah gangguan
neurologis masa kanak-kanak yang dipicu akibat respons autoimun terhadap infeksi
GAS.3 Korea syndeham adalah gangguan gerakan yang tidak disengaja karena proses
autoimun. Itu mungkin merupakan bagian dari gejala demam rematik. Korea
syndeham pertama kali dijelaskan dalam 1686 oleh Thomas Sydenham. Korea
syndeham adalah kriteria utama untuk diagnosis demam rematik akut dan menurut
kriteria Jones yang dimodifikasi, keberadaannya sendiri cukup untuk membuat
diagnosis ini.3,5 Menurut kriteria WHO 2002-2003 yang direvisi tidak diperlukan
kriteria mayor lainnya atau bukti infeksi GAS untuk menegakkan diagnosa DR akut.4
Epidemiologi
Korea rematik lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki dengan
perbandingan 3:1 dan paling sering terjadi pada usia 5-15 tahun. Sampai saat ini
belum ada data angka kejadian korea rematik di Indonesia, namun diperkirakan angka
kejadian korea rematik meningkat di negara berkembang terkait dengan tingginya
kasus DR akibat sanitasi yang buruk.7 Dalam analisis retrospektif empat tahun di
Nepal, 672 kasus DR akut pada anak diidentifikasi. Ada lebih banyak perempuan
daripada laki-laki (55% vs 45%). Insiden korea rematik adalah 3,8%, jauh lebih
umum pada wanita daripada pria (77% vs 23%) dan 73% berusia antara usia 10 dan
16 tahun. Hanya 0,6% anak memiliki korea, 0,8% memiliki korea dengan artritis, dan
2,3% memiliki korea dengan karditis.3 Dalam sebuah penelitian di Israel dengan 24
pasien korea rematik, ada dua kali lebih banyak anak perempuan daripada laki-laki.
Usia mereka berkisar antara 4 hingga 13 tahun. Korea familial didapatkan 8,3%, 21%
memiliki korea tanpa disertai gejala lain, dan 42% dengan episode korea berulang
pada tahun-tahun berikutnya.8
Demam rematik akut adalah penyakit usia muda, terutama anak anak sebelum
masa pubertas. Usia tersering DR akut adalah 6-15 tahun dimana pada hampir 50 %
kasus ditemukanan anti streptolisin O lebih dari 200 U Todd, yang menunjukkan

15
seringnya infeksi berulang pada rentang umur ini. Insidensi jarang pada anak dibawah
5 tahun ataupun orang dewasa diatas 35 tahun. Sering nya infeksi berulang pada masa
remaja dan dewasa muda serta efek kumulatif dari infeksi berulang ini diperkirakan
menyebabkan penyakit jantung rematik.9,10
Etiologi
Korea rematik adalah manifestasi neurologis dari demam rematik (DR). Telah
lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus β
hemolitik grup A pada saluran nafas atas sedangkan infeksi pada kulit mempunyai
hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptokokus β hemolitik
dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida
yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130
serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A
yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman
Streptokokus β hemolitik grup A sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung,
karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian
klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini
mempunyai hubungan dengan infeksi Streptokokus β hemolitik grup A, terutama
serotipe M1,3,5,6,14,18,19 dan 24.10,11
Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menyangkal adanya riwayat infeksi
saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus
tenggorokan terhadap Streptokokus β hemolitik grup A sering negatif pada saat
serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus
dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat
berhubungan dengan besarnya respons antibodi. Diperkirakan banyak anak yang
mengalami episode faringits setiap tahunnya dan 15-20 persen disebabkan oleh
Streptokokus grup A dan 80 persen lainnya disebabkan infeksi virus.10,11
Insidens infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan bervariasi
diantara berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi
didapati pada anak usia 5-15 tahun. Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan
pada penyakit ini adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah, penduduk yang padat,
golongan etnik tertentu, faktor genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang,
daerah tropis bercuaca lembab dan perubahan suhu yang mendadak.10

16
Patofisiologi
Patogenesis terjadinya korea rematik diawali dengan infeksi GAS, namun tidak
semua galur GAS dapat menyebabkan demam rematik. Pada beberapa studi dikatakan
hanya beberapa galur yang bersifat “rematogenik”, namun yang mendasari sifat
rematogeniknya belum dapat dijelaskan. Protein M merupakan protein permukaan
bakteri yang menentukan reaksi imun pada demam rematik. Streptococcus
βhemolyticus grup A serotipe M 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19, 24, 27, dan 29 diketahui
berkaitan erat dengan terjadinya demam rematik, sedangkan serotipe M 1, 4, 12
pasca-infeksi tenggorokan dan serotipe 49, 55, 57, 60 pasca-infeksi kulit berkaitan
dengan terjadinya glomerulonefritis akut. Data yang ada menyebutkan hanya infeksi
SGA pada saluran napas atas yang menjadi penyebab potensial demam rematik.10,12
Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimun terhadap antigen streptokokus
memegang peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar
0,3-3% individu yang rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut
menjadi DR. Data terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level
respons antigen streptokokkus berhubungan dengan Class II human leukosit antigen,
HLA. Infeksi streptokokkus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan
reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi
dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian
yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal
fibronectin binding proteins.13
Korea rematik adalah gangguan kejiwaan neuro yang dimediasi oleh antibodi
antineuronal. Antibodi yang muncul sebagai respons terhadap Infeksi beta-haemolytic
streptococcus grup A (GAS) bereaksi silang dengan epitop pada neuron di dalam
ganglia basal, korteks frontal dan daerah lainnya. Anak-anak dengan korea syndeham
mengalami peningkatan serum titer antibodi antineuronal. Imunoglobulin G dari
pasien dengan korea syndeham bereaksi silang secara khusus dengan antigen
sitoplasma saraf di inti subthalamic dan kaudatus. Arteritis serebral dengan seluler
degenerasi terjadi. Hiperemia, pembengkakan endotel, infiltrasi sel bulat perivaskular
dan perdarahan petekie ditemukan secara pemeriksaan histologis. Perubahan ini
merupakan hasil dari proses autoimun dan mengakibatkan disfungsi dopaminergik.14
Gejala utama dari korea rematik dianggap karena imbalans antara sistem
dopaminergik, sistem kolinergik intrastriatal, dan sistem GABA penghambat. Bukti
dari imbalans ini di diperkirakan oleh kontrol yang berhasil dari korea oleh
17
dopaminergik bloker dan asam valproik, satu obat yang diketahui meningkatkan
tingkat GABA pada striatum dan substansia nigra. 14
Pergerakan dikendalikan oleh dua sistem utama: (a) melalui korteks motorik dan
serebelum untuk gerakan sederhana dan (b) melalui striatum, substantia nigra, inti
subthalamic dan globus pallidus untuk gerakan kompleks. Sistem kedua (b) relevan
dengan gangguan gerakan dan terdiri dari tiga jalur utama. Jalur ini dikendalikan
terutama oleh dopamin dan ada persilangan yang signifikan di antara mereka. Ganglia
basalis paling baik dianggap sebagai stasiun estafet yang berisi neuron dengan banyak
perbedaan neurotransmitter yang mengatur dan mengintegrasikan pengendalian input
sensorik, emosional dan aktivitas motorik tidak sadar. Selain itu, sistem limbik dan
korteks prefrontal berperan penting dalam kontrol perhatian dan emosi. Singkatnya,
gerakan, perhatian dan emosi semua hasil dari interaksi kompleks neurotransmitter di
ganglia basal, sistem limbik, dan prefrontal cortex. Asam gamma aminobutyric
(GABA) dopamin, noradrenalin dan serotonin semuanya berperan. Tindakan
pengobatan simtomatik melalui neurotransmiter ini.14
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis korea rematik mencakup kelainan saraf dan gangguan kejiwaan.
Yang pertama terdiri dari gerakan koreatik yang tidak disengaja, gerakan inkoordinasi
yang tidak sadar, kelemahan otot dan hipotonia. Gangguan kejiwaan termasuk
emosional labilitas, hiperaktif, distraktibilitas, obsesi dan kompulsi. Konstelasi fitur
ini menghasilkan kesulitan dalam pelaksanaan aktivitas keseharian bersama akibat
kondisi tersebut berdampak negatif terhadap kualitas hidup anak.5,14
Insidensi korea rematik muncul dalam 1-6 bulan setelah infeksi streptokokus,
progresif secara perlahan dan memberat dalam 1-2 bulan. Kelainan neurologis berup a
gerakan involunter yang tidak terkoordinasi (choreiform), pada muka, leher, tangan
dan kaki. Disertai dengan gangguan kontraksi tetanik dimana penderita tidak bisa
menggenggam tangan pemeriksa secara kuat terus menerus (milk sign). 9,11
Gerakan koreatik bersifat tidak disengaja, tidak teratur, tanpa tujuan, tidak
berirama, tiba-tiba, cepat dan tidak berkelanjutan. Gerakan menghilang dengan tidur
dan istirahat. Gerakan sukarela membuat koreografi menjadi lebih buruk dan
membuat kegiatan tidak terkoordinasi membuat kegiatan seperti aktivitas menulis,
berpakaian dan makan menjadi sulit. Hipotonia dan kelemahan memiliki rentang
tingkat keparahan dari ringan hingga berat. Bentuk yang parah disebut chorea mollis
atau chorea paralytica. Anak-anak yang mengalami gangguan tersebut dapat
18
mengalami kebisuan dan kesulitan beraktivitas. Anak-anak dengan chorea yang berat
(gerakan balistik) dan / atau hipotonia dengan sedikit gejala kejiwaan atau chorea
ringan dengan gejala kejiwaan yang diucapkan. Perubahan perilaku dapat mendahului
koreografi. Deskripsi klasik korea syndeham menunjukkan bahwa korea syndeham
bersifat jinak. Kondisi ini paling lama berlangsung selama 6 bulan tetapi biasanya
memiliki kemungkinan kambuh/ relaps hingga 2 tahun. Kondisi yang paling buruk
dapat berkembang menjadi gangguan gerakan kronis. Variasi durasi koreografi dan
kurangnya metode untuk mengukur tingkat keparahan secara bersamaan dengan
kurangnya indeks terapeutik telah membuat evaluasi terapi menjadi sulit.5,14
Kelainan ini tidak permanen dan bisa sembuh spontan setelah 3-6 bulan
walaugejala bisa timbul lagi dalam 1 tahun pertama dan pada 20% penderita bisa
hilang timbulsampai 2-3 tahun.9,10
Diagnosis
Korea syndeham sering muncul setelah gejala dan tanda DR. Diagnosis DR akut
dibuat dengan menggunakan kriteria WHO 2002-2003 yang direvisi. pada kriteria ini
kategori diagnostik dibagi menjadi 5 kategori, yaitu demam rematik serangan
pertama, demam rematik serangan rekuren tanpa PJR, demam rematik serangan
rekuren dengan PJR, korea sydenham, dan PJR (stenosis mitral murni atau kombinasi
dengan insufisiensi mitral dan atau gangguan katup aorta). kriteria untuk masing
masing kategori dapat dilihat di tabel 1.
Tabel 1. Kriteria WHO 2002 – 2003.4,13
Kategori diagnostik Kriteria
Demam rematik serangan pertama Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
ditambah bukti infeksi Streptokokus grup A
sebelumnya

Demam rematik serangan rekuren tanpa Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
PJR ditambah bukti infeksi Streptokokus grup A
sebelumnya

Demam rematik serangan rekuren dengan Dua minor ditambah bukti infeksi
PJR Streptokokus grup A sebelumnya
Khorea rematik Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya
atau bukti infeksi Streptokokus grup A

19
PJR (stenosis mitral murni atau kombinasi Tidak diperlukam kriteria lainnya untuk
dengan insufisiensi mitral dan atau mendiagnosis sebagai PJR
gangguan katup aorta)

Terdapat 5 kriteria mayor yaitu poliartritis migrain, karditis, korea sydenham,


eritema marginatum dan nodulus subkutan. Kriteria minor yaitu demam, artralgia,
peningkatan LED, C-reactive protein dan pemanjangan interval PR.
Manifestasi sendi merupakan manifestasi awal, terlihat pada 40-70% episode
DRA. Deskripsi klasiknya adalah bahwa "migratory polyarthritis" yang melibatkan
sendi besar (lutut, pergelangan kaki, siku, pergelangan tangan). Namun, migratory
polyarthritis seperti itu menjadi jarang, dan monartritis dan artralgia lebih umum
terutama di antara pasien dengan kekambuhan. Rasa sakitnya tidak sesuai dengan
temuan dan merespons secara dramatis terhadap asam asetilsalisilat. Artritis memiliki
spesifisitas paling rendah di antara semua manifestasi.4,15
Karditis merupakan manifestasi awal, dengan 80% pasien dalam 2 minggu
pertama berkembang menjadi DRA. Takikardia adalah tanda awal dari karditis. Katup
mitral biasanya terkena dan regurgitasi mitral (MR) adalah kelainan yang paling
umum. Regurgitasi aorta juga dapat terjadi, tetapi biasanya terjadi terkait dengan MR.
Keparahan karditis dapat bervariasi, mulai dari pasien asimtomatik (MR ringan)
hingga pasien sakit kritis dengan dispnea, palpitasi, gagal jantung hingga MR berat.
Meskipun secara klasik digambarkan sebagai "pankarditis", endokarditis adalah
keterlibatan yang paling dominan. Perikarditis terjadi pada 4% sampai 11% pasien
DRA dan biasanya sembuh tanpa gejala sisa. Karditis klinis didiagnosis pada 50-70%
kasus, sedangkan ekokardiografi dapat mendiagnosis tambahan 12-21% kasus.4,15
Nodul subkutan adalah lesi nodular bulat, tegas dan tidak lunak, terjadi di atas
tonjolan tulang (siku, pergelangan tangan, lutut, pergelangan kaki, prosesus spinosus),
dan kulit kepala. Nodul ini tampak dalam kurang dari 10% episode DRA. Erythema
marginatum diidentifikasi sebagai ruam makulopapular merah muda cerah yang tidak
nyeri, dengan batas berkelok-kelok dan central clearing. Ini adalah lesi yang cepat
berlalu yang terjadi di batang tubuh dan ekstremitas proksimal dan terlihat sangat
jarang. Kedua manifestasi kulit ini biasanya berhubungan dengan karditis.4,15

20
Bagan 1. Strategi diagnosis untuk demam rematik akut.15

Episode pertama korea sydenham terjadi 6 sampai 8 minggu setelah episode


infeksi GAS. Ciri-ciri korea termasuk gerakan tak sadar, tonus otot yang buruk dan
kelemahan otot, dan ciri psikologis. Gerakan tak sadar adalah tanda utama korea
syndeham dan ditandai dengan timbulnya gejala mendadak yang biasanya
memengaruhi keempat tungkai. Gejala motorik lainnya termasuk gangguan gaya
berjalan, kehilangan kendali motorik, kemunduran tulisan tangan, gangguan
perkembangan kognitif atau emosional. Wajah meringis atau chorea lidah dapat
berkembang serta "milkmaid sign" merupakan cengkeraman yang kambuh seperti
yang terjadi pada genggaman tangan saat memerah susu sapi. Tics biasa terjadi pada
korea syndeham. Tics vokal terjadi pada 70% pasien dan diyakini terkait dengan
chorea pada faring dan laring. Disartria sering terjadi serta penurunan kefasihan
verbal karena keterlibatan otot bulbar. Refleks tendon dalam dapat dipertahankan
karena chorea atau pendular sekunder akibat hipotonia.16
Masalah perilaku sering terjadi, dengan obsesi dan kompulsi terjadi pada 70%
pasien dan 16,7% memenuhi kriteria untuk gangguan obsesif-kompulsif. Hiperaktif
dan gangguan defisit perhatian telah ditemukan pada hingga 45% pasien. Psikosis
telah dilaporkan pada fase akut penyakit ini. Carditis terjadi pada hingga 80%
pasien.16

21
Tidak ada tes tambahan khusus untuk memberikan diagnosis penyakit yang pasti.
Semua pasien dengan chorea membutuhkan evaluasi neurologis dan jantung yang
terperinci. Tes darah rutin harus mencakup hitung darah lengkap, tes fungsi hati, B12
(defisiensi pada anak-anak dapat menyebabkan chorea), hormon perangsang tiroid
(TSH), dan skrining obat. Titer anti DNAse-B dapat meningkat hingga satu tahun
setelah faringitis streptokokus grup A. Karena latensi antara infeksi faring awal dan
timbulnya korea, terdapat kegunaan terbatas dari reaktan fase akut seperti C-reaktif
protein, laju sedimentasi eritrosit, faktor rheumatoid, dan titer antistreptolysin-O.
Ekokardiogram diindikasikan untuk mengevaluasi karditis, karena hingga 80% pasien
dengan SD memiliki penyakit jantung bersamaan.16,17
MRI otak dan CT scan biasanya normal, meskipun terkadang ada hiperintensitas
reversibel di ganglia basal. Pada anak-anak, penggunaan MRI dipertanyakan
mengingat persyaratan sedasi, dan pertimbangan yang cermat harus dibuat
berdasarkan kasus per kasus. Pemindaian PET dan pencitraan SPECT telah
menunjukkan hipermetabolisme dan hiperperfusi ganglia basal dalam laporan kasus;
sedangkan, gangguan korea lainnya berhubungan dengan hipometabolisme.16/17
Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap korea rematik ditunjukkan untuk mengilangkan gejala
korea, pencegahan primer pada saat serangan demam rematik, dan pencegahan
sekunder demam rematik.
Pengobatan Simtomatik
Asam valproat telah digunakan dalam dosis yang bertahap, pertama mulai dari
250 mg per hari dan dengan cepat meningkat hingga 1500 mg per hari atau sampai
gejala mereda. Asam valproat memiliki onset kerja yang lambat sehingga setidaknya
2 minggu harus diberikan sebelum ditinggalkan karena tidak efektif. Dua laporan
kasus menemukan bahwa asam valproik (20 mg / kg / hari atau 250 mg dua kali
sehari) efektif pada dua pasien korea rematik yang sebelumnya gagal baik pengobatan
dengan haloperidol atau diazepam. Pengobatan lini kedua jika asam valproat gagal
adalah neuroleptik.26,27 Sepuluh pasien menanggapi asam valproik (20 mg / kg / hari)
sebagai pengobatan sekunder, meskipun agen spesifik yang diujicobakan sebelum
asam valproat tidak ditentukan. Dosis yang lebih tinggi dari 300 mg dua kali sehari
berhasil digunakan dalam kasus chorea paralytica. Respons gejala terjadi antara 12
jam dan 10 hari, dan remisi lengkap gejala terjadi dalam 1-4 minggu, kecuali dalam
kasus chorea paralytica, di mana remisi dilaporkan di dalamnya 14 bulan.20
22
Karbamazepin juga dilaporkan efektif. Dalam satu laporan kasus dua pasien
dengan korea rematik diobati dengan karbamazepin (15-20 mg / kg) telah perbaikan 1
minggu setelah mulai terapi, dan remisi total dalam 1-2 bulan. Korea membaik dalam
2-14 hari dan remisi total terjadi pada 2–12 minggu. Ruam gatal adalah satu-satu efek
samping yang dilaporkan dan tidak membatasi pengobatan. Respon klinis yang baik
tercatat pada enam dari enampasien yang diobati dengan asam valproik (20 mg / kg /
hari); lma dari enam diobati dengan karbamazepin (15-20 mg / kg / hari); dan tiga dari
enam diobati dengan haloperidol (3 mg / kg / hari).20
Beberapa antagonis dopamin telah digunakan dalam penelitian di seluruh
dunia untuk mengobati korea, yang paling umum adalah neuroleptik haloperidol dan
pimozide. Pada tahun 1972 haloperidol (4-5 mg sehari, dibagi dua kali sehari atau tiga
kali sehari) berhasil digunakan pada dua pasien yang sebelumnya gagal fenotiazin,
diazepam, sedasi, dan / atau amantadine. Empat pasien merespon dalam beberapa hari
untuk haloperidol 1-3 mg. Pimozide (2 mg dua kali sehari) dilaporkan berhasil
dengan total lima pasien. Sebuah tinjauan retrospektif pasien di Turki
membandingkan hasil antara haloperidol dan pimozide dan melaporkan bahwa
haloperidol memiliki onset rata-rata perbaikan gejala yang lebih cepat secara
signifikan (haloperidol 14 hari vs pimozide 29 hari); waktu rata-rata untuk menjadi
bebas gejala (haloperidol 42 hari vs. pimozide 109 hari); tingkat kegagalan
pengobatan yang lebih rendah (haloperidol tidak efektif dalam tiga pasien vs.
pimozide dalam lima pasien) tetapi jumlah penarikan obat yang lebih besar karena
efek samping (haloperidol 3 vs. pimozide 1). Efek samping yang menyebabkan
penarikan haloperidol termasuk distonia, parkinsonisme, kantuk, dan masalah kognitif
dan untuk pimozide, kantuk, sakit kepala, mulut kering, dan mati rasa. Tardive
dyskinesia tidak dilaporkan dalam studi yang ditinjau. Haloperidol dan pimozide
digambarkan sebagai agen yang berhasil dalam beberapa seri kasus yang berfokus
pada aspek lain dari korea rematik dan gagal terapi utama dalam laporan yang
diterbitkan yang menggambarkan agen alternatif. 20
Obat antiepilepsi juga dapat digunakan sebagai alternatif lain dalam
pengobatan simptomatik korea rematik. Dua laporan kasus menemukan bahwa asam
valproik (20 mg / kg / hari atau 250 mg dua kali sehari) efektif pada dua pasien korea
rematik yang sebelumnya gagal baik pengobatan dengan haloperidol atau diazepam.
Sepuluh pasien menanggapi asam valproik (20 mg / kg / hari) sebagai pengobatan
sekunder, meskipun agen spesifik yang diujicobakan sebelum asam valproat tidak
23
ditentukan. Dosis yang lebih tinggi dari 300 mg dua kali sehari berhasil digunakan
dalam kasus chorea paralytica. Respons gejala terjadi antara 12 jam dan 10 hari, dan
remisi lengkap gejala terjadi dalam 1-4 minggu, kecuali dalam kasus chorea
paralytica, di mana remisi dilaporkan di dalamnya 14 bulan. Karbamazepin juga
dilaporkan efektif. Dalam satu laporan kasus dua pasien dengan SC diobati dengan
karbamazepin (15-20 mg / kg) telah perbaikan 1 minggu setelah mulai terapi, dan
remisi total dalam 1-2 bulan. Korea membaik dalam 2-14 hari dan remisi total terjadi
pada 2–12 minggu. Ruam gatal adalah satu-satu efek samping yang dilaporkan dan
tidak membatasi pengobatan. Respon klinis yang baik tercatat pada enam dari
enampasien yang diobati dengan asam valproik (20 mg / kg / hari); lma dari enam
diobati dengan karbamazepin (15-20 mg / kg / hari); dan tiga dari enam diobati
dengan haloperidol (3 mg / kg / hari).20
Pencegahan Primer dan Sekunder
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah infeksi SGA menjadi demam
rematik. Pencegahan sekunder bertujuan mencegah demam rematik menjadi PJR,
sedangkan pencegahan tersier bertujuan mencegah komplikasi dan kematian akibat
PJR.11,21

Bagan 2. Strategi pencegahan demam rematik akut dan profilaksis penyakit jantung
rematik.4

24
Tabel 2. Pencegahan Primer dan Sekunder Demam Reumatik.13
Cara Pemberian Jenis Antibiotik Dosis Frekuensi
Pencegahan Primer : Pengobatan terhadap faringitis Streptococcus untuk mencegah
serangan primer demam reumatik
Intramuskular Benzatin 1.2 juta unit Satu kali
Penisilin G (600.000 unit untuk
BB < 27 kg
Oral Penisilin V 250 mg 400.000 4 kali sehari selama 10
unit hari
Eritromisin 40 mg/kgBB/hari 3-4 kali selama 10 hari
(jangan lebih dari 1
gr/hari)
Pencegahan sekunder : Pencegahan berulangnya demam reumatik
Intramuskular Benzatin 1.2 juta unit Setiap 3-4 minggu
penisilin G
Oral Penisilin V 250 mg 2 kali sehari
Sulfadiazine 500 mg 1 kali sehari
Eritromisin 250 mg 2 kali sehari

Eradikasi streptokokus dilakukan dengan pemberian benzatin penisilin G


(BPG) intramuskular dosis tunggal yang juga berfungsi sebagai dosis pertama
profilaksis sekunder diberikan dengan dosis 1.200.000 unit untuk berat badan ≥27 kg
dan 900.000 unit untuk berat badan <27 kg. Benzatin penisilin G intramuskular
merupakan pilihan pertama regimen eradikasi maupun profilaksis menurut American
Heart Association. Bila didapatkan alergi terhadap golongan penisilin maka dapat
diberikan eritromisin dengan dosis 40 mg/kgbb/hari dibagi 2-4 dosis selama 10
hari.10,12
Beberapa antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis pada pencegahan
sekunder PJR adalah benzatin penisilin G (BPG), penisilin V, sulfonamid, dan
eritromisin. Injeksi intramuskular BPG dapat diberikan tiap 3-4 minggu. Pada kasus
dengan risiko tinggi terjadinya rekurensi demam rematik dapat diberikan injeksi
profilaksis 2-3 minggu sekali. Kepatuhan pengobatan harus dipastikan untuk
menjamin kadar antibiotika dalam darah tetap berada dalam konsentrasi inhibisi
minimal terhadap pertumbuhan kuman. Lama pemberian profilaksis sekunder
tergantung pada derajat demam rematik atau PJR.4

25
Tabel 3. Durasi Pencegahan Sekunder Demam Reumatik.4,13
Kategori Durasi
Demam reumatik dengan karditis Sekurang-kurangnya 10 tahun sejak
dan kelainan menetap* episode yang terakhir dan sampai
usia 40 tahun dan kadang-kdang
seumur hidup.
Demam reumatik dengan karditis 10 tahun atau sampai dewasa, bias
tanpa kelainan katup yang menetap* lebih lama
Demam reumatik tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 21 tahun,
bias lebih lama
*klinis atau ekokardiografi

Pada penderita gagal jantung perlu dilakukan pembatasan aktivitas. Pembatasasan


aktivitas ini didasarkan pada berat ringannya manifestasi klinis karditis pada pasien
demam rematik. Berikut adalah tabel panduan aktivitas pada PJR .

Tabel 4. Panduan Aktivitas pada Penderita Penyakit Jantung Rematik13


Aktivita Karditis Karditis
s Artritis Minimal Sedang Karditis Berat
Tirah baring 1-2 minggu 2-4 minggu 4-6 minggu 2-4 bulan/selama
masih terdapat gagal
jantung kongestif

Aktivitas 1-2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan


dalam rumah
Aktivitas di 2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
luar rumah
Aktivitas
penuh Setelah 6- Setelah 6- Setelah 3- bervariasi
10 minggu 10 minggu 6 minggu

Terapi dengan agen anti inflamasi harus dimulai sedini mungkin saat demam
rematik akut sudah didiagnosis. Anti inflamasi diberikan sesuai derajat karditis. Pada
karditis ringan tidak diberikan prednison, hanya diberikan aspirin dengan dosis 100
mg/kgbb dalam 4 s/d 6 dosis selama 3-4 minggu. Pada karditis sedang sampai berat
diberikan prednison 2 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis (maksimal 80 mg/hari) sampai
nilai LED mendekati normal/normal (biasanya dalam waktu 2 minggu), kemudian
dilakukan tappering off selama 2-4 minggu, dan digantikan dengan aspirin 60

26
mg/kgbb/hari selama total 12 minggu. Kortikosteroid berfungsi dalam mengurangi
lamanya serangan serta mengurangi kerusakan pada katup jantung.21,22

Tabel 6. Panduan Antiinflamasi pada Penderita Penyakit Jantung Rematik.13


Karditis Karditis Karditis
Artritis Minimal Sedang Berat
Prednison - - 2-4 minggu 2-6 minggu
Aspirin 1-2 minggu 2-4 minggu 6-8 minggu 2-4 bulan

Prognosis
Penyakit ini biasanya akan sembuh setelah beberapa bulan. Studi yang lebih baru
menemukan bahwa hingga setengah dari pasien mengalami korea yang berlangsung
hingga 2 tahun. Kekambuhan gangguan pergerakan terjadi pada hingga 50% pasien
terlepas dari profilaksis. Banyak dari kekambuhan ini belum dikaitkan dengan infeksi
Streptococcus atau antibodi ganglia anti-basal. Perhatian yang signifikan bagi pasien
dengan penyakit ini adalah perkembangan penyakit katup jantung sebagai komponen
RF. Ada korelasi yang sangat kuat antara korea rematik dan perkembangan penyakit
jantung dan katup jantung.18,19
Kelainan ini tidak permanen dan bisa sembuh spontan setelah 3-6 bulan walau
gejala bisa timbul lagi dalam 1 tahun pertama dan pada 20% penderita bisa hilang
timbul sampai 2-3 tahun.9,10

Komplikasi
Faktanya tidak hanya korea tetapi tics dan distonia dapat terjadi setelah infeksi
streptokokus, dan dapat dikaitkan dengan labilitas emosional dan gangguan perilaku,
seperti gangguan obsesif-kompulsif, kecemasan, gangguan attention deficit
hyperactivity, dan gangguan perilaku dan tidur dan akronim PANDAS telah
digunakan (gangguan neurosikiatri autoimun pediatrik terkait dengan infeksi
Streptokokus). Namun, mungkin penting untuk membedakan antara sindrom chorea
Sydenham dan gangguan kejiwaan terkait dan PANDAS, karena belum ditunjukkan
apakah respon mereka terhadap pengobatan sama. Juga asosiasi seperti itu tidak selalu
ditemukan, dan kejadian sindrom psikiatri ini meningkat di antara anak-anak dengan
demam rematik, bahkan jika mereka tidak memiliki chorea.23

27
Prevalensi gangguan pergerakan dan emosional pada anggota keluarga tingkat
pertama menunjukkan bahwa kecenderungan genetik penting dalam perkembangan
penyakit selain pemicu lingkungan dan kimiawi. Gangguan pasca-streptokokus dari
sistem saraf tentu merupakan model yang berguna untuk penyakit neuropsikiatri
seperti itu, bahkan jika tidak terbukti secara pasti menjadi penyebab yang mungkin
terkait dengan faktor-faktor lain ini.23
Gejala gangguan obsesif-kompulsif yang diamati di antara pasien dengan korea
rematik, demam rematik yang rumit, baik akut atau kronis , mirip dengan yang terlihat
pada anak-anak yang menderita gangguan obsesif-kompulsif primer, yang
menunjukkan bahwa dalam kedua kondisi mereka dihasilkan dari disfungsi sirkuit
orbito-frontal-striato-thalamo-cortical. Namun, mereka berbeda dari yang diamati
pada anak-anak dengan tics, karena mereka yang memiliki koreografi menunjukkan
prevalensi obsesi agresif dan kontaminasi.23

28
ANALISA KASUS

Seorang anak perempuan berusia 11 tahun 4 bulan dengan gizi kurang


perawakan normal bertempat tinggal di luar kota dirujuk ke poliklinik neuropediatri
RSMH pada tanggal 26 Januari 2021 dengan keluhan utama gerakan pada tangan dan
kaki yang tidak terkontrol. Sejak dua minggu sebelum dirujuk, pasien mengeluh
muncul gerakan pada tangan dan kaki yang tidak terkontrol. Gerakan tersebut muncul
secara tiba tiba, cepat, dan tidak terkoordinasi. Gerakan tersebut tampak seperti
gerakan menari, biasanya menghilang dengan pasien tidur. Demam tidak ada, batuk
tidak ada, pilek tidak ada, sesak napas tidak ada. sakit kulit tidak ada, riwayat kejang
sebelumnya tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Gerakan tidak beraturan dan
tidak terkontrol pada pasien ini dapat dipikirkan gerakan korea rematik
Korea rematik adalah gangguan gerakan yang tidak disengaja karena proses
autoimun. Korea rematik merupakan salah satu manifestasi klinis yang mengenai
sekitar 15% pasien dengan demam rematik. Gejala pada penderita berupa gangguan
neuropsikiatri seperti inkoordinasi muscular, gerakan yang tidak disengaja dan tidak
bertujuan, hypotonia, emosi yang labil, hiperaktif, cemas berlebih kehilangan
perhatian dan tidak kooperatif. Gerakan koreatik bersifat tidak disengaja, tidak teratur,
tanpa tujuan, tidak berirama, tiba-tiba, cepat dan tidak berkelanjutan. Gerakan
menghilang dengan tidur dan istirahat. Kondisi ini sama dengan yang dialami oleh
pasien, dimana gerakan korea berkurang dengan pasien tidur atau istirahat.4
Korea rematik lebih umum pada wanita daripada pria dengan perbandingan
sebesar 3 :1. Sebagian besar adalah penyakit anak-anak dengan sebagian besar pasien
yang terkena antara usia 5 dan 15 tahun. Penyakit ini hampir tidak pernah dilaporkan
pada anak-anak yang berusia kurang dari lima tahun, dan usia puncaknya adalah
delapan hingga sembilan tahun.7,8 Pada kasus ini pasien berumur 11 tahun dan
berjenis kelamin perempuan. Insidensin korea sydenham sendiri lebih tinggi di negara
berkembang karena infeksi streptokokus beta-hemolitik dan pengobatan infeksi
streptokokus yang tidak memadai yang diperburuk oleh kepadatan penduduk dan
kondisi higienis yang buruk.7
Pemeriksaan fisik menunjukkan penderita tampak kompos mentis, tidak sesak,
pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 94 x/menit,
laju napas 22 x/menit, suhu tubuh 36,7℃. Penderita memiliki berat badan 29 kg

29
dengan tinggi badan 144 cm, dengan kesan status gizi kurang perawakan normal
menurut kurva CDC. Pemeriksaan kepala termasuk di dalamnya pemeriksaan mata,
telinga, hidung dan tenggorokan semuanya dalam batas normal. Tidak ditemukan
adanya edema palpebra dan peningkatan tekanan vena jugularis. Pemeriksaan dada
didapatkan bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik grade 3/6 di linea
midclavicularis sinistra menjalar ke aksila, murmur diastolik grade 3/6 di ICS II linea
parasternalis sinistra, gallop (-), terdengar suara napas vesikuler, tanpa ronkhi dan
wheezing. Abdomen tampak datar, lemas, dan tidak ditemukan hepatomegali dan
spleenomegali. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah tidak menunjukkan
deformitas, edema, eritema pada kulit dan tidak ditemukan adanya nodul di bawah
kulit.. Refleks fisiologis normal, tidak ditemukan refleks patologis. Kekuatan motorik
dari keempat ekstremitas adalah normal. Pemeriksaan neurologis didapatkan adanya
gerakan korea yang cepat, tidak terkoordinasi dan tidak dapat dikontrol oleh pasien.
Pasien tampak seperti melakukan gerakan menari yang merupakan ciri khas korea
rematik. Berdasarkan WHO 2002-2003 gejala yang ditemukan pada pasien sesuai
dengan diagnosis korea rematik.4,13
Korea rematik sendiri adalah kriteria utama untuk diagnosis demam rematik
akut dan menurut WHO 2002-2003, keberadaannya sendiri cukup untuk membuat
diagnosis ini. 4,13 Korea rematik adalah gangguan kejiwaan neuro yang dimediasi oleh
antibodi antineuronal. Antibodi yang muncul sebagai respons terhadap Infeksi beta-
haemolytic streptococcus grup A bereaksi silang dengan epitop pada neuron di dalam
ganglia basal, korteks frontal dan daerah lainnya. 2 Ganglia basalis dianggap memiliki
peranan yang penting dalam patogenesis korea sydenham. Antibodi terhadap bakteri
streptokokus beta hemolitikus grup A menyebabkan reaksi inflamasi dan disfungsi
ganglia basalis sebagai pusat pengaturan motorik dan perilaku.14 (Level of evidence
1b)
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan LED dan nilai
ASTO yang reaktif. Nilai ASTO yang reaktif menunjukkan adanya infeksi kuman
Streptokokus β hemolitik grup A. Infeksi kuman Streptokokus β hemolitik grup A
pada saluran nafas mempunyai hubungan dengan demam rematik (DR). Demam
rematik merupakan respons autoimun terhadap infeksi Streptokokus β hemolitik grup
A pada tenggorokan. Manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan
oleh kepekaaan genetik host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif.

30
Pada kasus ini pasien dengan status gizi kurang dan kondisi sosial ekonomi keluarga
yang menengah ke bawah.
Kuman Streptokokus β hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya
yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada
infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan
etiopatogenesis DR dan PJR. 8,9 Protein M merupakan protein permukaan bakteri
yang menentukan reaksi imun pada demam rematik. Streptococcus βhemolyticus grup
A serotipe M 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19, 24, 27, dan 29 diketahui berkaitan erat dengan
terjadinya demam rematik. 11,13 Tidak semua individu rentan terhadap infeksi SGA
yang dapat berkembang menjadi demam rematik. Berdasarkan data yang ada hanya
sekitar 3-5% individu pada setiap populasi memiliki kerentanan untuk menderita
demam rematik. Hal tersebut terkait dengan faktor genetik yaitu kelas Human
Leukocyte Antigens (HLA-DR) yang dimiliki masing-masing individu.10,12,13
Pada ekokardiografi terdapat mitral regurgitasi moderate, tricuspid regurgitasi
ringan, aorta regurgitasi moderate akibat penyakit jantung rematik. Penyakit jantung
reumatik merupakan kelainan katup jantung akibat demam reumatik akut sebelumnya.
Diagnosis DR akut dibuat dengan menggunakan WHO 2002-2003 (bedarsarkan
kriteria Jones yang dimodifikasi). Kriteria WHO untuk DR akut ditegakkan
berdasarkan kriteria mayor berupa karditis, poliarthritis migrans, korea sydenham,
eritema marginatum, dan nodul subkutan. Manifestasi minor berupa artralgia, demam,
peningkatan reaktan fase akut (LED dan atau CRP yang memanjang) dan interval PR
yang memanjang. Pada kasus ini manifestasi mayor yang didapat adalah korea
sydenham, sedangkan manisfestasi minor yang ditemukan adalah artralgia,
peningkatan LED dan kenaikan titer antibodi streptokokus (ASTO). Diagnosis demam
rematik ditegakkan bila terdapat 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor
ditambah 2 manifestasi minor dan didukung bukti adanya infeksi streptokokus
sebelumnya yaitu kultur apus tenggorok yang positif atau kenaikan ASTO >200. Jika
terdapat korea sydenham maka tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau bukti
infeksi SGA. 16 Pada kasus ini didapatkan korea sydenham sehingga tidak diperlukan
kriteria lain untuk menegakkan kasus demam rematik. Adanya mitral regurgitasi
moderate, tricuspid regurgitasi ringan, aorta regurgitasi moderate menunjukkan
adanya penyakit jantung rematik, yaitu kelainan jantung yang merupakan gejala sisa
(sekuele) dari demam rematik.
31
Penatalaksanaan pada kasus ini meliputi tirah baring, Benzatin penicillin 1.2
juta iu IM, prednison 3x20 mg (4-4-4 tab), diet via oral dengan total kalori 1740 kkal.
Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan. Antibiotika
yang diberikan pada pasien ini sudah tepat, yaitu benzatin penisilin 1,2 juta
IU.Penisilin Benzatin 600.000 s/d 900.000 IU diberikan untuk anak dengan berat
badan ≤27 kg dan 1,2 juta IU untuk berat badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali,
intramuskular. Mekanisme aksi dari golongan antibiotik β-lactam ini adalah
menghambat pembentukan peptidoglikan di dinding sel. β- lactam akan terikat pada
enzim transpeptidase yang berhubungan dengan molekul peptidoglikan bakteri, dan
hal ini akan melemahkan dinding sel bakteri ketika membelah. Dengan kata lain,
antibiotika ini dapat menyebabkan perpecahan sel (sitolisis) Mekanisme aksi dari
golongan antibiotik β-lactam ini adalah menghambat pembentukan peptidoglikan di
dinding sel ketika bakteri mencoba untuk membelah diri. 24 (Level of evidence 1a)
Terapi anti inflamasi pada pasien ini sudah tepat yaitu dengan pemberian
prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, sehingga diberikan dengan dosis 60 mg
yang dibagi dalam 4 dosis. Dosis prednisone di tapering off pada awal minggu ketiga
dan mulai diberikan aspirin. Aspirin diberikan dengan dosis 100 mg/kgBB/hari,
dibagi 4 dosis. Setelah 2 minggu pengobatan, dosis aspirin diturunkan menjadi 60
mg/kgBB/hari.
Pemberian asam valproat pada kasus ini untuk mengatasi gerakan korea
rematik. pengobatan korea rematik pada anak yang masih sering digunakan adalah
haloperidol, namun obat ini sering dilaporkan memiliki efek samping yang lebih
banyak dibandingkan obat golongan lain seperti dystonia, Parkinson dan mengantuk.
Beberapa obat antiepilepsi yang dapat meningkatkan neurotransmitter GABA dapat
menjadi alternatif pengobatan korea rematik. Asam valproate dan karbamazepin dapat
menjadi pilihan karena memiliki efek samping yang paling sedikit.32 Pada pasien ini
diberikan asam valproat dengan dosis 2x200 mg dan dinaikkan secara bertahap
sampai gejala korea menghilang. Pada saat pasien pulang diberikan asam valproat
dengan dosis 2x275 mg (550 mg/hari) Berdasarkan Systematic review yang dilakukan
oleh Dean dkk, Sepuluh pasien dilaporkan menggunakan asam valproat sebagai terapi
sekunder, terdapat 24 dari 26 pasien yang berhasil diobati dengan menggunakan asam
valproat dengan dosis 20-25 mg/KgBB/hari atau 600-800 mg/hari) sebagai terapi
awal pada Korea rematik.20 (Level of evidence 1b)

32
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam yang berarti bila karditis
sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5 tahun pertama
perjalanan penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik tidak membaik bila
bising organik katup tidak menghilang. Prognosis memburuk bila gejala karditisnya
lebih berat, dan ternyata demam rematik akut dengan payah jantung akan sembuh
30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini
akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik. Pada
pasien ini tidak ditemukan cardiomegali, dan terjadi perbaikan korea pada saat anak
dipulangkan. (Level of evidence 1b)

33
34
Diagram Tumbuh Kembang Anak FA/Pr/11 tahun/ Penyakit Jantung Rematik
dengan manifestasi Korea Sydenham

LINGKUNGAN
Mikro: Mini: Meso:
Makro :
Ibu, 33 thn, SMP , IRT, Ayah, 35 thn, SMP, Petani,
Adik laki-laki usia 3 thn,
Puskesmas ± 1,5 km BPJS
sehat, mengasuh anak
sendiri,pemberian ASI, keluarga harmonis,
lingkungan baik, rumah RSUD ± 20 menit
imunisasi dasar lengkap
dengan sanitasi baik

KEBUTUHAN DASAR

ASAH CUKUP ASIH ASUH CUKUP


CUKUP

CUKUP

TUMBUH KEMBANG
Neonatus sehat

Bayi sehat
Tatalaksana: Pemantauan berkala:
-eradikasi
 Kontrol teratur,
primer ISPA Anak sehat monitor klinis korea
-pemberian anti
 Pencegahan
inflamasi sekunder
-pemberian Anak dengan Korea Rematik +  Pemberian asam
asam valproat Gizi Kurang valproat
 Echocardigrafi
 Intake kalori
adekuat
Tumbuh Kembang Optimal ???  Konsul TKPS
 Konsul Psikiater

GENETIK, HEREDOKONSTITUSIONAL
(tidak ada )

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilgenfritz S, Dowlatshahi C, Salkind A: Acute rheumatic fever: case report and


review foremergency physicians. J Emerg Med. 2013, 45:103-106.
10.1016/j.jemermed.2013.04.0372.
2. Chagani HS, Aziz K: Clinical profile of acute rheumatic fever in Pakistan.
Cardiol Young. 2003,13:28-35.3.
3. Regmi PR, Shrestha A, Khanal HH, Nepal BP, Chapagain P: Prevalence of
Sydenham’s choreain patients with acute rheumatic fever in Nepal. NHJ. 2012,
9:30-32. 10.3126/njh.v9i1.8345
4. Arvind B, Ramakrishnan S. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease in
Children. Indian J Pediatr. 2020 Apr;87(4):305-311. doi: 10.1007/s12098-019-
03128-7. Epub 2020 Jan 11. PMID: 31925717
5. Walker KG, Wilmshurst JM: An update on the treatment of Sydenham's chorea:
the evidencefor established and evolving interventions. Ther Adv Neurol Disord.
2010, 3:301-309.10.1177/1756285610382063
6. Lardhi AA: Sydenham chorea in a 5-year-old Saudi patient. Neurosciences. 2014,
19:236-237.
7. Noubiap JJ, Agbor VN, Bigna JJ, Kaze AD, Nyaga UF, Mayosi BM. Prevalence
and progression of rheumatic heart disease: a global systematic review and meta-
analysis of population-based echocardiographic studies. Sci Rep.
2019;9(1):17022. Published 2019 Nov 19. doi:10.1038/s41598-019-53540-4
8. Korn-Lubetzki I, Brand A, Steiner I: Recurrence of Sydenham chorea:
implications forpathogenesis. Arch Neurol. 2004, 61:1261-1264.
10.1001/archneur.61.8.1261
9. Turi, B.S.R.Z.G., Rheumatic Fever, in Braunwald’s Heart Disease A Textbook of
CardiovascularMedicine, M.P.L. Eugene Braunwald, MD Robert O. Bonow, MD,
Editor. 2007, SaundersElsevier: Philadelphi
10. Mishra TK. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease: current
scenario.JIACM.2007;8(4):324-30.
11. Carapetis J. Treatment of Group A Streptococcal Infections. Pediatrics and Child
Health.2010;20(11):513-20.

36
12. Sika-Paotonu D, Beaton A, Raghu A, et al. Acute Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease. 2017 Mar 10 [Updated 2017 Apr 3]. In: Ferretti JJ,
Stevens DL, Fischetti VA, editors. Streptococcus pyogenes : Basic Biology to
Clinical Manifestations [Internet]. Oklahoma City (OK): University of Oklahoma
Health Sciences Center; 2016-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK425394/
13. Madiyono B, Rahayuningsih S.E, Sukardi R. Penyakit jantung didapat. Demam
rematik akut dan penyakit jantung rematik. Dalam: Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak. UKK Kardiologi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia;2005.h.37-46.
14. Edgar, T.S. (2003) Oral pharmacotherapy of childhood movement disorders. J
Child Neurol 18: 840849.
15. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, et al. Revision of the Jones criteria for the
diagnosis of acute rheumatic fever in the era of doppler echocardiography: a
scientific statement from the American Heart Association. Circulation.
2015;131:1806–18.
16. Feinstein E, Walker R. An Update on the Treatment of Chorea. Curr Treat
Options Neurol. 2018 Sep 25;20(10):44
17. Kurtis MM, Balestrino R, Rodriguez-Blazquez C, Forjaz MJ, Martinez-Martin P.
A Review of Scales to Evaluate Sleep Disturbances in Movement Disorders.
Front Neurol. 2018;9:369.
18. Jack S, Moreland NJ, Meagher J, Fittock M, Galloway Y, Ralph AP.
Streptococcal Serology in Acute Rheumatic Fever Patients: Findings From 2
High-income, High-burden Settings. Pediatr Infect Dis J. 2019 Jan;38(1):e1-e6.
19. Ralph AP, Noonan S, Boardman C, Halkon C, Currie BJ. Prescribing for people
with acute rheumatic fever. Aust Prescr. 2017 Apr;40(2):70-75
20. Dean SL, Singer HS. Treatment of sydenham’s chorea: a review of the current
evidence. Tremor and Other Hyperkinetic Movements. 2017;7:1–13
21. Working Group on Pediatric Acute Rheumatic Fever and Cardiology Chapter of
Indian Academy of Pediatrics, Saxena A, Kumar RK, Gera RP, Radhakrishnan S,
Mishra S, Ahmed Z. Consensus guidelines on pediatric acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease. Indian Pediatr. 2008 Jul;45(7):565-73. PMID: 18695275.

37
22. Sable, Craig (2020). Update on Prevention and Management of Rheumatic Heart
Disease. Pediatric Clinics of North America, 67(5), 843–
853. doi:10.1016/j.pcl.2020.06.003
23. Gordon, N. (2009). Sydenham’s chorea, and its complications affecting the
nervous system. Brain and Development, 31(1), 11–14.
doi:10.1016/j.braindev.2008.05.001
24. Robertson KA, Volmink JA, Mayosi BM. Antibiotics for the primary prevention
of acute rheumatic fever: a meta-analysis. BMC Cardiovasc Disord. 2005; 5:11.

38

Anda mungkin juga menyukai