PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK
ICD10 : I09.8
1. Pengertian 1. Demam rematik (DR)
(Definisi) adalah sindrom klinik akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A,
dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea
minor, nodul subkutan atau eritema marginatum.
2. Demam Rematik Akut (DRA)
adalah istilah untuk penderita demam rematik yang terbukti dengan tanda radang
akut.
3. Demam Rematik Inaktif
adalah istilah untuk penderita dengan riwayat demam rematik tetapi tanpa terbukti
tanda radang akut.
4. Penyakit Jantung Rematik (PJR)
adalah kelainan jantung yang ditemukan pada DRA atau kelainan jantung yang
merupakan gejala sisa (sekuele) dari DR.
2. Anamnesis
1. Demam, nyeri pada persendian yang berpindah pindah, tanda tanda peradangan
pada sendi (merah, panas, nyeri dan fungsilaesia).
2. Adanya gerakangerakan cepat, bilateral tanpa tujuan dan sukar dikendalikan.
3. Pucat, malaise, cepat lelah, dan gejala lain seperti epistaksis dan nyeri perut.
4. Riwayat sakit tenggorokan 15 minggu (ratarata 3 minggu) sebelum timbul gejala
5. Riwayat demam rematik pada waktu lampau.
6. Riwayat keluarga dengan demam rematik
3. Pemeriksaan 1. Poliartritis migrans
Fisik Biasanya menyerang sendisendi besar seperti sendi lutut, pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan gejala peradangan yang
jelas seperti bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi
sendi. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindahpindah. Kelainan ini
ditemukan pada sekitar 70% pasien DRA.
2. Karditis
Karditis merupakan gejala mayor terpenting, karena hanya karditis yang dapat
meninggalkan gejala sisa, terutama kerusakan katup jantung.
Seorang penderita demam reumatik dikatakan menderita karditis bila ditemukan satu
atau lebih tandatanda berikut:
a. Bunyi jantung melemah
b. Adanya bising sistolik, mid diastolik di apeks atau bising diastolik di basal
jantung
c. Perubahan bising misalnya dari derajat I menjadi derajat II.
d. Takikardia / irama derap
e. Kardiomegali
f. Perikarditis
g. Gagal jantung kongestif tanpa sebab lain.
1
Tabel 2. Pembagian Karditis menurut Decourt
Karditis Ringan Karditis Sedang Karditis Berat
3. Korea Sydenham
Gerakangerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan sukar dikendalikan. Seringkali
disertai dengan kelemahan otot dan gangguan emosional. Semua otot terkena, tetapi
yang mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas.
4. Eritema marginatum
Kelainan kulit berupa bercak merah muda, berbentuk bulat, lesi berdiameter sekitar
2,5 cm, bagian tengahnya pucat, sedang bagian tepinya berbatas tegas, tanpa
indurasi, tidak gatal, paling sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai
proksimal.
5. Nodul subkutan
Terletak di bawah kulit, keras, tidak sakit, mudah digerakkan dan berukuran 310
mm. Lokasinya sekitar ekstensor sendi siku, lutut, pergelangan kaki dan tangan,
daerah oksipital, serta di atas prosesus vertebra torakalis dan lumbalis.
4. Kriteria Diagnosis demam rematik ditegakkan berdasarkan Kriteria WHO tahun 2003
Diagnosis (berdasarkan revisi kriteria Jones)
Tabel 1. Kriteria WHO Tahun 20022003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan
Penyakit Jantung Rematik (berdasarkan Revisi Kriteria Jones)
Kategori Diagnostik Kriteria
⦁ Demam rematik serangan pertama ⦁ Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
ditambah dengan bukti infeksi SGA
sebelumnya
⦁ Demam rematik serangan rekuren tanpa PJR ⦁ Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
ditambah dengan bukti infeksi SGA
sebelumnya
⦁ Demam rematik serangan rekuren dengan PJR ⦁ Dua minor ditambah dengan bukti infeksi SGA
sebelumnya
⦁ Korea Sydenham ⦁ Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
bukti infeksi SGA
⦁ PJR (stenosis mitral murni atau kombinasi ⦁ Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
dengan insufisiensi mitral dan/atau gangguan mendiagnosis sebagai PJR
katup aorta)
Sumber: WHO, 2004
Kriteria Diagnosis
(Lanjutan) Manifestasi Mayor Manifestasi Minor
Karditis ⦁ Klinis:
Poliartritis migrans Artralgia
Korea Demam
Eritema marginatum ⦁ Laboratorium:
Nodulus subkutan Peningkatan reaktan fase akut yaitu:
LED dan atau CRP yang meningkat
Interval PR yang memanjang
Diagnosis demam rematik ditegakkan bila terdapat 2 manifestasi mayor atau 1
manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor dan didukung bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya yaitu kultur apus tenggorok yang positif atau kenaikan titer
antibodi streptokokus (ASTO) >200.
Langkah diagnosis
Tegakkan diagnosis DR berdasarkan kriteria WHO tahun 2003
→ Tetapkan aktif atau inaktif
⦁ Tetapkan ada karditis atau tidak
⦁ Tetapkan ada kelainan pada katup jantung atau tidak
2
→ Jika tidak ada tandatanda DR aktif dan penyebab lain kelainan pada katup jantung
dapat disingkirkan dianggap PJR
Tetapkan status hemodinamik jantung: dekompensasi kordis atau tidak
5. Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (ICD10 : I09.8)
6. Diagnosis 1. Juvenile rheumatoid arthritis
Banding 2. SLE, artritis reaktif, artritis infeksius
3. Artritis akut karena virus (rubella, parvovirus, hepatitis B, herpes, enterovirus)
7. Pemeriksaan 1. Laboratorium: ASTO dan kultur apus tenggorokan
Penunjang 2. EKG
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Antibiotika
a. Untuk Eradikasi:
Benzatin penisilin.G:
BB ≤27 kg = 600.000900.000 unit
BB ≥27 kg = 1,2 juta unit
Bila tidak ada, dapat diberikan Prokain Penisilin 50.000 Iµ/kgBB selama 10 hari.
⦁ Alternatif lain:
Penisilin V (oral) : BB ≤27 kg 23 x 250 mg
BB >27 kg 23 x 500 mg
⦁ Amoksisilin (oral): 50 mg/kgBB/hari, dosis tunggal (maks. 1 g) selama 10 hari
⦁ Bila alergi terhadap penisilin dapat digunakan:
Sefalosporin spektrum sempit: sefaleksin, sefadroksil
Klindamisin: 20 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis (dosis maks. 1,8 g/hari)
selama 10 hari
Azitromisin: 12 mg/kgBB/hari, dosis tunggal (dosis maks. 500 mg) selama 5
hari
Klaritromisin: 15 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis (maks. 250 mg/kali) selama
10 hari
Eritromisin: 40 mg/kgBB/hari dibagi 24 kali sehari (dosis maksimum 1
g/hari) selama 10 hari
b. Untuk profilaksis sekunder:
⦁ Benzatin penisilin G:
BB ≤27 kg = 600.000 unit
setiap 3 atau 4 minggu, i.m
BB >27 kg = 1,2 juta unit
⦁ Alternatif lain:
Penisilin V : 2 x 250 mg, oral
Sulfadiazin : BB ≤27 kg 500 mg sekali sehari
BB >27 kg 1000 mg sekali sehari
Bila alergi terhadap Penisilin dan Sulfadiazin dapat diberikan:
Eritromisin
Klaritromisin
Azitromisin
3
Tabel 2. Lama pemberian antibiotika profilaksis sekunder:
Kategori Lama pemberian setelah serangan terakhir
Demam rematik dengan karditis dan penyakit Selama 10 tahun atau sampai usia 40 tahun,
jantung residual (kelainan katup persisten) pada beberapa kondisi (risiko tinggi terjadi
rekuren) dapat seumur hidup
Demam rematik dengan karditis tetapi tanpa Selama 10 tahun atau sampai usia 21 tahun
penyakit jantung residual (tanpa kelainan
katup)
Demam rematik tanpa karditis Selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun
2. Obat Anti Inflamasi: diberikan untuk DRA atau PJR yang rekuren
Tabel 3. Rekomendasi penggunaan anti inflamasi
Karditis Karditis Karditis
Hanya Artritis
Ringan Sedang Berat
Prednison 24 mgg* 26 mgg*
Aspirin a. 100 mg/kgBB/ hr 34 mgg** 68 mgg 24 bln
dalam 46 dosis
(2 mgg)
b. Kemudian dosis
dikurangi menjadi
60 mg/kg/ hari
(46 mgg)
Dosis : Prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
Aspirin 100 mg/kgBB/hari dibagi 46 dosis
* Dosis Prednison di tappering (dimulai pada minggu ketiga) dan Aspirin dimulai
minggu ketiga kemudian di tappering.
** Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kgBB setelah 2 minggu pengobatan
3. Istirahat (lihat tabel 3)
Tabel 4 Petunjuk tirah baring dan ambulasi
Hanya Karditis Karditis
Karditis Berat
Artritis Ringan Sedang
Tirah baring 12 minggu 34 minggu 46 minggu Selama masih
terdapat gagal
jantung kongestif
9. Edukasi 1. Mengurangi aktivitas fisik dan stress.
2. Menjelaskan tentang lama pemberian antibiotik profilaksis sekunder (Tabel 3) dan
efek samping pengobatan.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan mulut
untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4
4. Menjelaskan prognosis penyakit.
10. Prognosis Tergantung ada tidaknya kerusakan jantung permanen;
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat I / II
evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis Subdivisi Kardiologi Departemen IKA RSMH Palembang
14. Indikator
1. Gagal jantung telah teratasi.
Medis
2. Jadwal tirah baring dan terapi steroid telah selesai.
15. Target 1. Eradikasi streptokokus pada tenggorokan dan profilaksis sekunder dengan
antibiotika.
2. Mengurangi dan mengatasi kecacatan pada katup jantung.
3. Mengurangi dan mencegah komplikasi
16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th edition. Mosby Elsevier,
Texas.
2. World Health Organization 2004, WHO technical report series: rheumatic fever and
rheumatic heart disease, Geneva.
3. Working Group on Pediatric Acute Rheumatic Fever and Cardiology 2008,
Consensus guidelines on pediatric acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease, Indian Pediatrics, vol. 45, pp. 565573.
4. National Heart Foundation of Australia and the Cardiac Society of Australia and
New Zealand 2006, Diagnosis and management of acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease in Australia: an evidencebased review, National Heart
Foundation of Australia.
5. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta.
6. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Kardiologi Anak
dr. Yusmala Helmy, Sp.A (K) dr. Hj. Ria Nova, SpA(K)
NIP 195411281983032002 NIP 19631128 198911 2 001
5
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
DEKOMPENSASI KORDIS
ICD10 : I51.9
1. Pengertian Dekompensasi kordis adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara
(Definisi) adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
2. Anamnesis
1. Sesak napas terutama saat beraktivitas. Sesak napas dapat mengakibatkan kesulitan
makan/minum dan, dalam jangka panjang, gagal tumbuh;
2. Sering berkeringat (peningkatan tonus simpatis);
3. Ortopnea: sesak nafas yang mereda pada posisi tegak;
4. Dapat dijumpai mengi;
5. Edema di perifer atau pada bayi biasanya di kelopak mata.
3. Pemeriksaan 1. Tanda gangguan miokard
Fisik Takikardia: HR >60 kali/menit pada bayi dan 100 kali/menit pada anak (saat
diam). Jika HR >200 kali/menit perlu dicurigai ada takikardia supraventrikular
Kardiomegali pada pemeriksaan fisis dan/atau foto thorak
Peningkatan tonus simpatis: berkeringat, gangguan pertumbuhan
Irama derap (gallop).
2. Tanda kongesti vena paru (gagal jantung kiri)
Takipne
Sesak napas, terutama saat aktivitas
Ortopne
Mengi atau ronki
Batuk
3. Tanda kongesti vena sistemik (gagal jantung kanan)
Hepatomegali: kenyal dan tepi tumpul
Peningkatan tekanan vena jugularis (tidak ditemukan pada bayi)
Edema perifer (tidak dijumpai pada bayi)
Kelopak mata bengkak (pada bayi)
4. Kriteria 1. Berdasarkan cardiac output: high dan low cardiac failure
Diagnosis 2. Berdasarkan onset: akut dan kronik
3. Berdasarkan sisi jantung: kiri, kanan, atau kiri dan kanan
4. Berdasarkan klasifikasi fungsional NYHA (New York Heart Association):
Derajat I : asimptomatik
Derajat II : dispnu bila aktivitas sedang
Derajat III : dispnu bila aktivitas ringan
Derajat IV : dispnu dalam keadaan istirahat.
Tabel 2. Sistem Skoring Gagal Jantung pada Bayi menurut Ross
Dasar diagnosis
Dispnu/ortopnu, pulsus alternans, takikardia/irama gallop, ronki basah tak nyaring di
basal paru (gagal jantung kiri), tekanan vena yugularis meningkat, hepatomegali, edema
(gagal jantung kanan), kardiomegali
Langkah diagnosis
Perhatikan gejala dan tanda:
Kardiovaskuler: takikardi/irama gallop, kardiomegali, nadi: pulsus alternans
Respirasi: dispnu, ortopnu, batuk produktif, ronki basah tak nyaring di basal paru
Tandatanda bendungan sistemik: tekanan vena jugularis, hepatomegali (tumpul,
lunak), edema
5. Diagnosis Dekompensasi Kordis (ICD10 : I51.9)
6. Diagnosis Diagnosis banding etiologi:
Banding 1. Peningkatan beban volume: DSV, DAP, insufisiensi katup jantung, anemia, gagal
ginjal dengan retensi cairan, dsb.
2. Peningkatan beban tekanan: stenosis katup aorta atau pulmonal, hipertensi
sistemik/pulmonal, dsb
3. Gangguan miokard: kardiomiopati, miokarditis
4. Perubahan frekuensi denyut jantung: SVT, atrial flutter, atrial fibrilasi dsb.
7. Pemeriksaan 1. EKG
Penunjang 2. Lab darah: Hb, lekosit, hitung jenis, LED.
3. Foto thorak
4. Analisis gas darah dan elektrolit
5. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Istirahat di tempat tidur, posisi setengah duduk. Bayi ditidurkan dengan posisi 3045
derajat.
2. Berikan oksigen (24 L/menit)
3. Berikan cairan ¾ kebutuhan normal perhari. Bila terdapat anemia berat berikan
tranfusi darah (packed cell) terlebih dahulu, jumlah: 510 cc/kgBB diberikan selama
23 jam.
7
4. Medikamentosa:
a. Diuretika (Furosemid) 12 mg/kgBB/kali iv diberikan 2 kali perhari
b. Digitalisasi
Digitalisasi awal digoksin 3050 μg/kgBB sehari peroral, dengan cara pemberian:
½ dosis diberikan pertama kali
¼ dosis 8 jam kemudian
¼ dosis diberikan 16 jam setelah dosis pertama
Dosis pemeliharaan digoksin (oral) 1020 μg/kgBB/hari diberikan pada hari
kedua dan seterusnya. Indikasi digitalis: takikardia, atrial flutter, kardiomiopati.
Untuk dekompensasi dengan NYHA derajat IIII dapat langsung dengan dosis
pemeliharaan. Hatihati pemberian digitalis pada DR/PJR, bronkopnemonia.
Digitalis tidak boleh diberikan pada stenosis aorta, stenosis pulmonal, koarktasio
aorta, anemia (Hb <6 g%).
c. Vasodilator
Diberikan pada:
Dekompensasi kordis yang disebabkan pirau besar (DSV, DAP, DSAV)
Dekompensasi kordis yang tidak responsif dengan pengobatan di atas.
Dapat diberikan Kaptopril oral, dengan dosis 0,12 mg/kgBB/kali, dengan dosis
maksimum 6 mg/kgBB/hari (dipilih dosis rendah). Diberikan dalam tiga kali
pemberian.
5. Atasi penyakit utama atau penyakit penyerta (RHD), bronkopnemonia, anemia,
CHD, dll.
6. Diet rendah garam
7. Pengawasan yang ketat terhadap gejala klinik untuk menilai:
Frekuensi denyut jantung, frekuensi napas
Berat badan
Tekanan vena jugularis
Pembesaran hati, edema
Produksi urin dalam 24 jam
9. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: memahami penyebab dan gejala yang timbul.
2. Prognosis: memahami faktorfaktor yang mempengaruhi prognosis
3. Pemantauan gejala: mengetahui mengapa dan kapan harus ke dokter/rumah sakit
4. Terapi farmakologi: memahami indikasi, dosis, dan efek obat
5. Diit, latihan
10. Prognosis Tergantung faktor pencetus/penyebab yang mendasari;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat
I / II
evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis Subdivisi Kardiologi Departemen IKA RSMH Palembang
8
2012 of the European Society of Cardiology 2012, ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2012, European Heart Journal, vol.
33, pp. 17871847.
3. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS & Gandaputra, EP 2009, Pedoman
pelayanan medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
4. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta.
5. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Kardiologi Anak
dr. Yusmala Helmy, Sp.A (K) dr. Hj. Ria Nova, SpA(K)
NIP 195411281983032002 NIP 19631128 198911 2 001
9
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
DUKTUS ARTERIOUS PERSISTEN (DAP)
ICD10 : Q25.0
1. Pengertian
(Definisi) Kelainan jantung bawaan yang ditandai dengan tetap terbukanya duktus arteriosus.
2. Anamnesis 1. Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
2. Takipneu.
3. Gangguan kesulitan minum.
4. Gangguan toleransi latihan,
5. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.
5. Pemeriksaan 1. DAP kecil/sedang: BJ I dan BJ II normal, bising kontinu derajat IIIV pada
Fisik ICS II kiri linea sternalis.
2. DAP besar: hiperaktivitas ventrikel kiri dan kanan, murmur kontinu kasar
derajat IIIIV pada ICS II kiri linea sternalis, murmur diastolik di apeks.
3. DAP dengan hipertensi pulmonal: P2 mengeras dan bising sistolik.
6. Kriteria 1. Anamnesis.
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik jantung: tetapkan perkiraan besar DAP. tetapkan apakah terjadi
gagal jantung, tandatanda hipertensi pulmonal serta adanya sindroma
Eisenmenger
3. EKG untuk menentukan adanya beban volume
4. Foto thorak untuk menilai corakan vaskuler paru
5. Ekokardiografi untuk menentukan besarnya DAP
6. Kateterisasi hanya dilakukan bila dicurigai ada hipertensi pulmonal.
7. Diagnosis Duktus Arteriosus Persisten (ICD10 : Q25.0)
8. Diagnosis
Banding
9. Pemeriksaan
1. EKG
Penunjang
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
4. Kateterisasi
10
10. Terapi Tutup DAP
1. Medikamentosa: Ibuprofen
Terapi (Lanjutan) Hanya efektif pada bayi prematur usia <1 minggu
Dosis:
Hari Dosis
I 10 mg/kgBB
II 5 mg/kgBB
III 5 mg/kgBB
Kontraindikasi:
a. Sepsis,
b. Perdarahan aktif saluran pencernaan,
c. Perdarahan periintraventrikular berat (PPIV derajat III dan IV),
d. Trombositopenia (<50.000/mm3),
e. Penurunan fungsi ginjal (diuresis <1 cc/kgBB/jam; serum kreatinin ≥1,3
mg/dL),
f. Penyakit jantung kongenital ductal dependent
g. Enterokolitis nekrotikans.
2. Transkateter dengan menggunakan:
a. Coil: untuk DAP dengan diameter <3 mm (DAP kecil)
b. ADO (Amplatzer Ductal Occluder): untuk DAP sedang
3. Operasi: ligasi atau pemotongan duktus
Indikasi pada:
⦁ DAP besar
⦁ DAP besar dengan gejala dekompensasi kordis yang terjadi pada bayi baru lahir
atau anak dengan BB <6 kg
1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.
11. Edukasi
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan
mulut untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk penutupan DSV
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi prognosis.
12. Prognosis Tergantung ukuran, lokasi, ada tidaknya hipertensi pulmonal, ada tidaknya gagal
jantung;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
13. Tingkat I / II
evidens
14. Tingkat A
Rekomendasi
15. Penelaah Kritis Subdivisi Kardiologi Departemen IKA RSMH Palembang
16. Indikator 1. Perbaikan klinis dan keadaan umum membaik
Medis 2. Gagal jantung teratasi
17. Target 1. DAP menutup
2. Mencegah sindroma Eisenmenger, infective endocarditis, emboli,
dilatasi/aneurisma a. pulmonalis
18. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th edition. Mosby Elsevier,
Texas.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS & Gandaputra, EP 2009,
11
Pedoman pelayanan medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit
jantung pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
Palembang, Juli 2016
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Kardiologi Anak
dr. Yusmala Helmy, Sp.A (K) dr. Hj. Ria Nova, SpA(K)
NIP 195411281983032002 NIP 19631128 198911 2 001
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
12
DEFEK SEPTUM VENTRIKEL (DSV)
ICD10 : Q21.0
1. Pengertian Kelainan jantung bawaan yang ditandai adanya lubang/defek pada septum
(Definisi) interventrikular.
2. Anamnesis 1. Gangguan pertumbuhan.
2. Gangguan kesulitan minum.
3. Gangguan toleransi latihan.
4. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.
3. Pemeriksaan Fisik
1. DSV kecil: BJ I dan BJ II normal, bising pansistolik meniup dengan nada
tinggi derajat IIIV pada linea parasternalis kiri ICS IIIIV.
2. DSV sedang: Pemeriksaan jantung BJ I dan II normal, bising pansistolik
kasar derajat IIIIV linea parasternalis ICS IIIIV.
3. DSV besar: Sering mengalami gagal jantung. Jantung hiperaktivitas
ventrikel kiri dan kanan, murmur sistolik kasar derajat IIIIV pada linea
parasternalis kiri ICS IIIIV, murmur diastolik di apeks.
4. DSV dengan hipertensi pulmonal: P2 mengeras dan bising sistolik.
5. DSV dengan sindrom Eisenmenger: sianosis pada saat latihan, kemudian
pada saat istirahat.
4. Kriteria Diagnosis 1. Berdasarkan besar defek:
⦁ DSV kecil : diameter defek kurang dari 1/3 diameter
aorta
⦁ DSV sedang : diameter defek 1/32/3 diameter aorta
⦁ DSV besar : diameter >2/3 diameter aorta
2. Berdasarkan lokasi defek:
⦁ DSV perimembran/infrakristal
⦁ DSV suprakristal/subarterial doubly committed
⦁ DSV muskuler
⦁ DSV posterior
3. Berdasarkan tekanan pulmonal:
⦁ DSV tanpa hipertensi pulmonal
⦁ DSV dengan hipertensi pulmonal
5. Diagnosis
Defek Septum Ventrikel (ICD10 : Q21.0)
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan 1. EKG untuk menentukan adanya beban volume.
Penunjang 2. Foto thorak untuk menilai corakan vaskuler paru.
3. Ekokardiografi untuk memastikan ukuran dan lokasi defek.
4. Kateterisasi pada DSV sedang dan besar atau secara klinis dicurigai
terdapat hipertensi pulmonal untuk menilai hemodinamik.
8. Terapi 1. Medikamentosa
⦁ Bila ada gagal jantung kongestif tatalaksana sesuai gagal jantung
kongestif.
⦁ Antibiotika profilaksis untuk mencegah Infektif endokarditis, bila akan
dilakukan tindakan seperti cabut gigi atau sirkumsisi (Amoksisillin 50
mg/kgBB/hari selama 5 hari)
2. Operasi
1) Prosedur:
13
PA banding: merupakan prosedur yang bersifat paliatif (untuk
mengurangi aliran darah ke paru dan menurunkan tekanan arteri
pulmonalis). Prosedur ini jarang dilakukan kecuali bila terdapat lesi
tambahan lain sehingga prosedur untuk menutup DSV sulit
dilakukan.
Tutup DSV dengan cara operasi: menggunakan ″patch″ (surgical
closure)
2) Indikasi dan waktu operasi:
Usia 45 tahun dengan signifikan LR shunt dengan Qp/Qs >1,5
Bayi dengan gagal jantung kongestif dan retardasi pertumbuhan
yang tidak respon dengan terapi medikamentosa sebaiknya
dioperasi pada usia yang lebih awal.
9. Edukasi
1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi
dan mulut untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk penutupan DSV
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi prognosis.
10. Prognosis Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi pulmonal;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat evidens
I / II
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis Subdivisi Kardiologi Departemen IKA RSMH Palembang
14. Indikator Medis 1. Perbaikan klinis dan keadaan umum membaik.
2. Gagal jantung teratasi.
15. Target 1. DSV menutup
2. Mencegah dan mengatasu komplikasi
16. Kepustakaan
1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th edition. Mosby
Elsevier, Texas.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS & Gandaputra, EP
2009, Pedoman pelayanan medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan
penyakit jantung pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Kardiologi Anak
dr. Yusmala Helmy, Sp.A (K) dr. Hj. Ria Nova, SpA(K)
NIP 195411281983032002 NIP 19631128 198911 2 001
14
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
DEFEK SEPTUM ATRIUM (DSA)
ICD10 : I51.0
1. Pengertian Terdapatnya defek pada septum atrium.
(Definisi)
2. Anamnesis 1. Gangguan pertumbuhan.
15
2. Gangguan kesulitan minum.
3. Gangguan toleransi latihan.
4. Riwayat infeksi saluran nafas berulang.
3. Pemeriksaan 1. Defek kecil : bunyi jantung II wide fixed split. Bising ejeksi sistolik IIIII/6 di
Fisik tepi kiri sternal atas.
2. Defek besar : bunyi jantung II wide fixed split. Bising ejeksi sistolik IIIII/6 di
tepi kiri sternal atas. Bising mid diastolik murmur di tepi kiri
bawah sternal.
4. Kriteria 1. Anamnesis
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG: RAD, RVH, RBBB.
4. Foto thorak: kardiomegali dan corakan vaskular paru meningkat.
5. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan mengukur besar defek.
a. Berdasarkan lokasi:
⦁ DSA primum
⦁ DSA sekundum
⦁ DSA sinus venosus
b. Berdasarkan besarnya defek:
⦁ DSA kecil
⦁ DSA besar
c. Berdasarkan tekanan pulmonal:
⦁ DSA tanpa hipertensi pulmonal
⦁ DSA dengan hipertensi pulmonal
6. Kateterisasi: hanya dilakukan bila kecurigaan hipertensi pulmonal.
5. Diagnosis Defek Septum Atrium (ICD10 : I51.0)
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan 1. EKG: untuk menentukan adanya beban volume.
Penunjang 2. Foto thorak: untuk menilai corakan vaskuler paru.
3. Ekokardiografi: untuk memastikan defek dan dapat mengukur besarnya defek.
4. Kateterisasi: bila dicurigai ada hipertensi pulmonal.
8. Terapi Tutup ASD:
1. Tanpa operasi/transkateter: menggunakan ASO (Amplatzer Septal Occluder)
Indikasi: DSA sekundum dengan minimal batas rim superior dan inferior 7 mm
2. Operasi: usia 35 tahun
9. Edukasi 1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan
mulut untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4. Menjelaskan kapan dilakukan intervensi untuk penutupan DSA
5. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
6. Prognosis: menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi prognosis
10. Prognosis Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi pulmonal;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat I / II
evidens
12. Tingkat
A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis Divisi Kardiologi Departemen IKA RSMH Palembang
14. Indikator 1. Perbaikan klini dan keadaan umum membaik
16
Medis 2. Gagal jantung teratasi.
15. Target 1. DSA menutup
2. Mencegah/mengatasi komplikasi
1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th edition. Mosby Elsevier,
16. Kepustakaan
Texas.
2. Pudjiadi, AH, Hegar, B, Handryastuti, S, Idris, NS & Gandaputra, EP 2009,
Pedoman pelayanan medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta.
4. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Kardiologi Anak
dr. Yusmala Helmy, Sp.A (K) dr. Hj. Ria Nova, SpA(K)
NIP 195411281983032002 NIP 19631128 198911 2 001
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
TETRALOGI OF FALLOT
ICD10 : Q21.3
1. Pengertian
(Definisi) Merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang terdiri dari DSV, stenosis
pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan, dan overriding aorta
2. Anamnesis 1. Sianosis saat lahir atau segera setelah lahir
2. Sesak napas saat aktivitas
3. Squatting
4. Hipoxic spell
3. Pemeriksaan 1. Aktivasi ventrikel kanan meningkat
17
Fisik 2. Bunyi jantung II tunggal
3. Thrill sistolik di bagian bawah dan tengah tepi kiri sternal
4. Bising ejeksi sistolik yang keras (derajat IIIV/6) di bagian atas dan tengah tepi
kiri sternal.
4. Kriteria 1. Anamnesis.
Diagnosis 2. Pemeriksaan fisik.
3. EKG.
4. Foto thorak.
5. Ekokardiografi.
Langkah diagnosis
Pikirkan kemungkinan TOF jika menemukan PJB sianotik atau pada yang relatif
ringan pada PJB dengan gagal tumbuh + gejala squatting + sianosis/sesak pada
peningkatan aktivitas fisik (pada bayi sianosis ketika menyusu atau menangis).
Perhatikan secara khusus halhal berikut:
1. Pemeriksaan fisik jantung
2. EKG:
Deviasi aksis ke kanan
RVH
3. Foto thorak:
Ukuran jantung normal
“Boot shaped” heart
Corakan vaskuler paru menurun
4. Ekokardiografi:
VSD subaortic besar
Overriding aorta
Stenosis pulmonal/obstruksi RVOT (Right Ventricle Outflow Track)
RVH
5. Diagnosis Tetralogi of Fallot (ICD10 : Q21.3)
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan 1. EKG
Penunjang 2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
8. Terapi 1. Medikamentosa
a. Propranolol 12 mg/kg/hari dibagi dalam 23 dosis untuk mencegah serangan
sianotik (“hypoxic spells”)
b. Deteksi dan terapi anemia defisiensi besi
c. Profilaksis terhadap infective endocarditis untuk setiap tindakan invasif
(Amoksisilin 50 mg/kgBB selama 5 hari)
d. Pada serangan sianotik (hypoxic spells):
Pasien diletakkan dalam posisi “kneechest”: untuk meningkatkan
resistensi sistemik
Oksigen 24 L/menit
Morfin sulfate 0,10,2 mg/kg/subkutan
Atasi asidosis dengan pemberian Sodium bikarbonat 1 mEq/kg IV
Bila dengan terapi di atas belum ada perbaikan dapat diberikan
Propranolol 0,010,25 mg/kg/dosis (ratarata 0,05 mg/kg) IV pelanpelan
Untuk mencegah berulangnya serangan sianotik diberikan Propranolol
oral 12 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
2. Operasi: rujuk ke RSCM/RSJ Harapan Kita
18
a. Paliatif: Blalock Taussig Shunt, dilakukan pada bayi dengan klinis sangat
sianotik.
b. Koreksi total
Prosedur paling baik dilakukan pada usia 15 tahun. Prosedur ini meliputi
menutup VSD, melebarkan RVOT yang sempit dengan cara reseksi jaringan
otot infundibular.
9. Edukasi Higiene mulut perlu diperhatikan untuk meniadakan sumber infeksi terjadinya
infective endocarditis
10. Prognosis Tergantung ukuran defek;
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat evidens I / II
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis Subdivisi Kardiologi Departemen IKA RSMH Palembang.
14. Indikator Medis Hypoxic spell teratasi
15. Target Tindakan operatif koreksi total TOF sudah dilakukan pada usia 15 tahun.
16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th edition. Mosby
Elsevier, Texas.
2. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta.
3. Madiyono, B, Rahayuningsih, SE & Sukardi, R 2005, Penanganan penyakit
jantung pada bayi dan anak, UKK Kardiologi IDAI, Jakarta.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Kardiologi Anak
dr. Yusmala Helmy, Sp.A (K) dr. Hj. Ria Nova, SpA(K) NIP
195411281983032002 NIP 19631128 198911 2 001
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
KAWASAKI DISEASE
ICD10 : M30.3
1. Pengertian Kawasaki disease adalah vaskulitis akut, selflimited, tidak diketahui penyebabnya,
(Definisi) terutama mengenai bayi dan anakanak.
2. Anamnesis Demam terusmenerus selama 5 hari
3. Pemeriksaan Fase akut
Fisik a. Gejala utama:
1. Demam tinggi (lebih dari 39oC)
2. Konjungtivitis
3. Perubahan pada bibir dan mukosa mulut antara lain:
19
Eritema, bibir kering dan perdarahan pada bibir
Strawberry tongue
Eritema yang menyebar pada mukosa orofaringeal
4. Eritema pada telapak tangan dan kaki, edema, dan kadangkadang terdapat
nyeri
5. Pembesaran kelenjar limfe pada regio servikal
b. Gejalagejala kardiovaskuler:
1. Takikardia, irama gallop dan atau gejalagejala gagal jantung
2. Kardiomegali
3. Efusi perikardial
4. Murmur pada regurgitasi katup mitral
5. Perubahan pada EKG meliputi: aritmia,PR interval yang memanjang,
perubahan gelombang segmen STT
6. Kelainan pada arteri koronaria (terlihat pada akhir minggu pertama).
c. Gangguan pada sistem organ yang lain, yaitu:
1. Sistem muskuloskeletal: artritis atau artralgia pada beberapa sendi baik sendi
yang kecil maupun sendi yang besar
2. Sistem genitourinaria: piuria yang steril
3. Sistem gastrointestinal: nyeri perut dengan diare, gangguan fungsi hati,
gangguan pada kandung empedu ditandai dengan ikterik
4. Sistem saraf pusat: iritabilitas, letargi atau semikoma meningitis aseptik, dan
tuli sensoris
Fase Subakut
1. Deskuamasi (pengelupasan) pada ujung jarijari tangan dan kaki merupakan
karakteristik utama
2. Rash, demam dan limfadenopati
Fase Konvalesens
Terdapat garis melintang (Beau’s line) pada jarijari tangan dan kaki.
4. Kriteria
Karakteristik untuk menegakkan diagnosis:
Diagnosis
1. Demam terusmenerus selama 5 hari
2. Terdapat minimal 4 dari 5 karakteristik berikut:
a. Perubahan pada ekstremitas
Akut: eritema dan edema
Subakut: pengelupasan pada jari tangan dan jari kaki pada minggu kedua
dan ketiga
b. Eksantema pilomorpus
c. Infeksi konjungtiva bulbar bilateral tanpa eksudat
d. Perubahan pada bibir dan rongga mulut: eritema, bibir kering, strawberry
tongue, infeksi mukosa mulut dan faringeal yang menyebar
3. Limfadenopati servikal (diameter >1,5 cm) biasanya unilateral.
4. Menyingkirkan penyakit lain yang mempunyai gejala klinis yang sama.
⦁ Diagnosis Kawasaki disease dapat ditegakkan bila terdapat demam >5 hari
dan sedikitnya terdapat 4 dari 5 karakteristik di atas
⦁ Pasien dengan demam >5 hari dan memenuhi kurang dari 4 kriteria di atas
dapat didiagnosis Kawasaki disease bila ditemukan abnormalitas arteri
koronaria melalui ekokardiografi
⦁ Pasien yang memenuhi ≥4 kriteria di atas ditambah dengan demam, dapat
didiagnosis Kawasaki disease pada hari sakit ke4, tanpa menunggu hari
sakit ke5.
20
5. Diagnosis Kawasaki Disease (ICD10 : M30.3)
6. Diagnosis 1. Infeksi virus (misalnya: campak, adenovirus, enterovirus, EpsteinBarr virus)
Banding 2. Scarlet fever
3. Staphylococcal scalded skin syndrome
4. Toxic shock syndrome
5. Bacterial cervical lymphadenitis
6. Drug hypersensitivity reactions
7. StevensJohnson syndrome
8. Juvenile rheumatoid arthritis
9. Rocky Mountain spotted fever
10. Leptospirosis
11. Mercury hypersensitivity reaction (acrodynia)
7. Pemeriksaan 1. Foto thorak.
Penunjang 2. Elektrokardiografi.
3. Laboratorium
Leukositosis "shift to the left" dan anemia
Peningkatan kadar CRP dan ESR
Trombositosis (biasanya >450.000/mm) terjadi pada hari ke 7
Piuria
Pemeriksaan
Penunjang (Lanjutan) Peningkatan enzim hati, hipoalbumin dengan hiperbilirubinemia ringan
(terjadi pada 10% kasus)
Peningkatan enzim jantung troponin1 (menggambarkan adanya kerusakan
miokardia)
Kadar lipid abnormal: penurunan HDL terjadi pada saat sakit, total kolesterol
normal, kadar trigliserid meningkat.
4. Ekokardiografi
Tujuan untuk mendeteksi adanya aneurisma arteri koronaria dan berbagai
disfungsi kardiak lainnya.
a. Aneurisma arteri koronaria terjadi sebelum hari ke 10, selama periode itu
terjadi beberapa peningkatan:
Arteritis koronaria
Penurunan fungsi sistolik LV
Terjadi regurgitasi katup mitral ringan
Efusi perikardial
b. Konfigurasi, ukuran, nomor, ada atau tidaknya intraluminal atau mural
trombus sebaiknya ditelaah lebih lanjut.
8. Terapi 1. IVIG dosis tinggi (2 g/kgBB), dosis tunggal (dalam 1012 jam) dengan aspirin
(80100 mg/kgBB/hari) diberikan dalam 10 hari.
IVIG efektif menurunkan prevalensi terjadinya abnormalitas arteri koronaria,
2. Dosis Aspirin diturunkan menjadi 35 mg/kg/hari dosis tunggal setelah anak
bebas demam 23 hari
9. Edukasi Perlunya pemantauan jangka panjang penderita Kawasaki disease dengan
pemeriksaan ekokardiografi untuk mengevaluasi terjadinya abnormalitas arteri
koronaria.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Tingkat I / II
evidens
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis Subdivisi Kardiologi Departemen IKA RSMH Palembang
14. Indikator Perbaikan klinis dan keadaan umum membaik
21
Medis
15. Target 1. Menurunkan inflamasi antara arteri koronaria dengan miokardium.
2. Mencegah terjadinya trombosis yang disebabkan oleh inhibisi agregitasi platelet.
16. Kepustakaan 1. Park, MK 2008, Pediatric cardiology for practitioners, 5th edition. Mosby
Elsevier, Texas.
2. Newburger, JW, Takahashi, M, Gerber, MA, Gewitz, MH & Tani, LY 2004,
Diagnosis, treatment, and longterm management of kawasaki disease: a
statement for health professionals from the committee on rheumatic fever,
endocarditis, and kawasaki disease, council on cardiovascular disease in the
young, american heart association. Pediatrics, vol 114, pp. 17081733.
3. Sastroasmoro, S & Madiyono, B 1994, Buku ajar kardiologi anak, Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta.
Mengetahui/Menyetujui Palembang, Juli 2016
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Kardiologi Anak
dr. Yusmala Helmy, Sp.A (K) dr. Hj. Ria Nova, SpA(K) NIP
195411281983032002 NIP 19631128 198911 2 001)
22