Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keputusan pemerintah Indonesia untuk mengadili pelaku pelanggaran berat HAM


di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 merupakan suatu upaya yang
dimungkinkan dalam hukum internasional. Melalui Undang-undang Nomor 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Keppres Nomor 53 Tahun 2001
dibentuk pengadilan ad hoc terhadap pelang-garan berat HAM yang terjadi di
Tanjung Priok tahun 1984 dan di Timor Timur tahun 1999. Upaya ini dilakukan
oleh Indonesia sebagai wujud tanggung jawab Indonesia dan upaya yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menyelesaikan kasus tersebut
di tingkat nasional.

Penyelesaian melalui mekanisme nasional diharapkan dapat menjadi mekanisme


yang efektif, selain mekanisme internasional dan campuran (hybrid) ini adalah
salah satu mekanisme dalam penyelesaian pelanggaran terhadap hukum
internasional. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa saat ini keinginan
mewujudkan keadilan universal, mekanisme internasional hanyalah sebagai
pelengkap dari sistem penegakan melalui mekanisme nasional. Mekanisme
internasional dilaksanakan ketika mekanisme nasional mengalami kegagalan,
ketidakmampuan ataupun ketidakmauan untuk menegakkan keadilan. Berdasar
pada pemikiran bahwa pengadilan internasional tidak akan pernah mampu
mengadili semua kasus internasional, tanggung jawab utama masih pada negara
untuk menuntut dan menghukum kejahatan paling serius menurut hukum
internasional.1

Penyelesaian melalui mekanisme nasional sudah menjadi pilihan, keputusan


pemerintah dengan membentuk pengadilan di tingkat nasional juga merupakan
pilihan tepat. Namun, Pengadilan ad hoc yang dimulai pada bulan Maret 2002

1
Michael Cottier, “War Crimes in International Law: An Introduction”, Jurnal Hukum Humaniter,
Vol.1, No.1, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAS), Jakarta: FH Universitas Trisakti,
2005, hlm. 37.
1

menunjukkan ketidaksungguhan dari pemerintah Indonesia. Sebanyak 12 sidang


pada peradilan ini, dari 18 terdakwa, hanya 6 (enam) yang dinyatakan bersalah.
Terdapat berbagai faktor, mulai dari kelemahan-kelemahan dalam Undang-
undang nomor 26 tahun 2000, ketidak profesionalan aparat penegak hukumnya,
ringannya hukuman yang sering di bawah minimum hukuman yang diatur dalam
undang-undang dan terdakwa yang divonis tetap bebas di saat belum ada
keputusan banding, dan sebagainya menjadi alasan para pihak untuk mengatakan
pengadilan telah gagal.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Hak Asasi Manusia dalam pandangan Hukum Internasional?


2. Bagaimana mekanisme penegakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Internasional?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui HAM dalam pandangan Hukum Internasional.
2. Untuk mengetahui mekanisme penegakan pelanggaran Hak Asasi Manusia
dalam Hukum Internasional.
2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Hukum Internasional

Hukum internasional mempunyai kualitas ganda sebab menciptakan penghalang


bagi proteksi hak asasi yang efektif dan sekaligus juga menyediakan sarana untuk
mengatasi rintangan-rintangan. Brwonlie menjelaskan “kedaulatan” sebagai
doktrin konstitusional yang pokok dari hukum negara. Pada hakikatnya,
kedaulatan mewakili totalitas hak-hak negara dalam menjalankan hubungan luar
negrinya dan menata urusan-urusan dalam negerinya. Tetapi ini tidak berarti
bahwa semua negara bebas sepenuhnya menjalankan kedaulatan dan
kemerdekaannya ke luar negri maupun di dalam negeri mengingat mereka tunduk
pada berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap kegiatan mereka oleh hukum
internasional.

Semua negara sama-sama berdaulat, masing-masing negara tidak diwajibkan


untuk tunduk pada keputusan Mahkamah Internasional, kecuali negara tersebut
memberitahukan terlebih dahulu persetujuannya untuk mematuhi keputusan itu.
Sehingga begitu hak asasi manusia diangkat menjadi masalah yang menjadi
perhatian hukum internasional danbukan lagi nasional, negara-negara yang
bersangkutan tidak lagi dapat mengatakan bahwa hak asasi manusia pada
hakikatnya merupakan masalah yang berada dalam yurisdiksi domestiknya.

Individu secara pribadi dapat dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan


perang, genosida, penganiayaan dan apartheid. Namun, Prof. Nguyen Quoc Din
menjelaskan bahwa individu hanya sebagai subjek hukum buatan.2 Karena
kehendak negara-negaralah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam
hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional. Hukum internasional masih
tetap mengatur hubungan antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya,
sedangkan individu dalam hal-hal tertentu. Pemajuan dan perlindungan hak-hak
asasi berkembang dengan cepat bersamaan dengan perkembangan yang melaju

2
Universal Declaration Of Human Rights pasal 1 ayat 3
3

hubungan antar bangsa dan proliferasi organisasi-organisasi regional dan


multilateral global. PBB telah membagi kegiatan dalam beberapa periode sebagai
berikut:
a) Periode pembentukan sistem, dari piagam PBB ke deklarasi Universal HAM
(1945-1948).
b) Periode perbaikan sistem, yang menuju kepada pengesahan berbagai konvensi
dan instrument HAM internasional (1949-1966).
c) Periode pelaksanaan sistem, yang dimulai dari pengesahan instrumen hingga
konferensi Wina (1967-1993).
d) Periode perluasan sistem, dari konferensi Wina hingga pelaksanaan tindak
lanjut (1993-1995).
e) Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000).3

Berbagai ketentuan yang terdapat dalam Piagam, berkali-kali diulang penegasan


bahwa PBB akan mendorong, mengembangkan, dan mendukung penghormatan
secara universal dan efektif hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok bagi
semua tanpa membedakan suku, kelamin, bahasa, dan agama. Ketentuan ini
diulang dalam pasal 1 ayat 3 Piagam, Pasal 13 ayat 1b, Pasal 55c, Pasal 62 ayat 2,
Pasal 68, dan Pasal 76c. Semua permasalahan hak-hak asasi dan kebebasan-
kebebasan pokok ini dibahas oleh salah satu Komite Utama Majelis, yaitu Komite
Tiga yang menangani masalah-masalah HAM, kemanusian, social, dan
kebudayaan.

Majelis utama juga dibantu oleh salah satu organ utama PBB yaitu dewan
ekonomi dan social yang dapat membuat rekomendasi agar terlaksananya
penghormatan yang efektif terhadap hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan
pokok. Dewan ekonomi dan social dapat membentuk komisi, salah satunya adalah
Komisi hak-hak asasi manusia (KHAM) dan komisi mengenai Status Wanita.
Kedua komisi ini dibentuk pada tahun 1946. Komisi hak-hak manusia
beranggotakan 53 negara, dan komisi status Wanita beranggotakan wakil-wakil
dari 45 negara. Ada dua badan khusus PBB yang juga menangani HAM yaitu
Organisasi buruh Sedunia (ILO), didirikan tahun 1946. Bertugas untuk
3
Boermauna, Hukum Internasional “ Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global”, Bandung: PT Alumni, 2008.
4

memperbaiki syarat-syarat bekerja dan hidup para buruh melalui penerimaan


konvensi-konvensi internasional mengenai buruh dan membuat rekomendasi
standar minimum di bidang gaji, jam kerja, syarat-syarat pekerjaan dan jaminan
sosial.

Badan khusus kedua adalah UNESCO yang didirikan pada tahun 1945, untuk
mencapi tujuan meningkatkan kerjasama antar bangsa melalui pendidikan , ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan dan untuk meningkatkan secara universal
penghormatan terhadap peraturan hukum, hak-hak asasi dan kebebasan-kebasan
pokok. Menurut sistem PBB, dalam upaya pemajuan dan peningkatan HAM
dikenal tiga bidang utama yakni:
a) Upaya Pembakuan standar internasional
b) Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM
c) Jasa nasehat dan kerja sama teknik. 4

Dalam upaya pemantauan konvensi yang telah diratifikasi oleh negara, maka
terdapat enam Badan Pemantauan Instrumen, yakni:
a) Komite HAM: memantau hak-hak sipil dan politik.
b) Komite Ekonomi dan Sosial Budaya: memantau pelaksanaan hak-hak tersebut.
c) Komite Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi: khusus memantau mengenai
bentuk diskriminasi.
d) Komite Anti penyiksaan: yang memantau pelaksanaan konvensi anti
penyiksaan.
e) Komite penghapusan diskriminasi terhadap wanita: memantau diskriminasi
wanita.
f) Komite hak-hak Anak: khusus memantau pelaksanaan konvensi hak-hak anak.

Majelis umum PBB mencanangkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi


Manusia (universal declaration of human rights) tanggal 10 desember 1948.
Deklarsi ini terdiri dari 30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat
mengalakkan dan menjamin pengakuan yangefektif dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam
4
Davidson, Scott,. Hak Asasi Manusia “Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan
Internasional, Jakarta: PT Temprint, 1993.
5

deklarasi. Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan


martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan
sebagaimana yang ditetapkan oleh deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari
segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain,
asal-usul kebangsaan atau social, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain.
Pasal 3 sampai 21 menempatkan hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak
semua orang. Hak-hak itu antara lain:
a) Hak untuk hidup
b) Kebebasan dan keamanan pribadi
c) Bebas dari perbudakan dan penghambaan
d) Bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berprikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan
e) Hak untuk memperoleh pengakuan hukum diman saja sebagai pribadi
f) Hak untuk pengampunan hukum yang efektif
g) Bebas dari penangkapan, penahan, atau pembuangan yang sewenang-wenang
h) Hak untuk peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh
pengadilan yang independen dan tidak memihak
i) Hak praduga tidak bersalah.
j) Bebas dari campur tangan sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi,
keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat
k) Bebas dari serangan kehormatan dan nama baik
l) Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu
m)Bebas bergerak hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan, hak
untuk menikah dan membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak milik.
n) Bebas berpikir berkesadaran dan beragama dan menyatakaan pendapat
o) Hak untuk menghimpun dan berserikat, hak untuk ambil bagian dalam
pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
6

B. Mekanisme Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Hukum


Internasional

Anggapan bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah (weak law)
karena tidak dapat ditegakkan dan semakin luntur dengan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat internasional. Pelanggaran atas Hukum Internasional
tidak lagi dibebankan hanya kepada negara, melainkan juga kepada individu. Hal
ini sesuai dengan perkembangan yang terjadi setelah Perang Dunia II terkait
dengan pengakuan beberapa entitas selain negara sebagai subjek hukum
internasional.5 Sejalan dengan pengakuan individu sebagai subjek hukum
Internasional, untuk pelanggaran terhadap hukum internasional yang
dikatagorikan sebagai kejahatan internasional, dikenal tanggung jawab pidana
individu.

Pelanggaran berat hak asasi manusia dalam lingkup hukum internasional


merupakan kejahatan internasional, kejahatan yang dianggap sebagai musuh
bersama umat manusia (hostis humanis generis), karena berkaitan dengan
kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan. Oleh karena menjadi
tanggung jawab semua umat manusia (obligatio erga omnes) untuk
menyelesaikannya secara hukum, menghukum pelakunya secara adil.6 Terhadap
pelaku kejahatan internasional akan diminta pertanggungjawaban individu secara
pidana dan yurisdiksi yang berlaku dalam hal ini adalah yurisdiksi universal.
Yurisdiksi universal adalah respon hukum internasional atas fenomena im-
punitas bagi pelaku pelanggaran kejahatan serius menurut hukum internasional,
yang karena mendapatkan impunitas, pelaku dengan bebas melakukan kegiatan di
berbagai belahan dunia, tanpa tuntutan hukum.7

5
Rein A. Mullerson, “Human Rights and the Individual as a Subject of International Law: A
Soviet View”, European Journal of International Law (EJIL), Vol.1 No. 1, Badia Fiesolana:
European University Institut, 1990, hlm.34.
6
Asmara Nababan, “Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat: Belajar dari
Pengalaman”, Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.2 N0.2, Jakarta: Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, 2004, hlm. 94.
7
Ridarson Galingging, “Universal Jurisdiction in Absentia *Congo v. Belgium, ICJ, Feb.14,
2002”, Jurnal Hukum Internasional Vol. 1 No. 2, Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 103.
7

Keinginan masyarakat internasional untuk meminta pertanggungjawaban pidana


individu telah lama ada, namun baru terlembaga setelah Perang Dunia II, yaitu
dengan adanya International Military Tribunal at Nuremberg 1945 dan
International Military Tribunal for Far East 1946. Setelah dua tribunal tersebut,
konsep tanggung jawab pidana individu (individual criminal responsibility)
semakin diakui dalam hukum internasional. Dalam tribunal tersebut, pertama kali
dikenal konsep tanggung jawab individu untuk tiga jenis kejahatan yang
dikatagorikan sebagai kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap
perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).8

Kedua tribunal seringkali dikatakan sebagai pengadilan dari pihak pemenang


perang untuk pihak yang kalah perang (victory justice), namun beberapa hal dapat
dicatat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional. Dalam
tanggung jawab pidana individu, seseorang tidak dapat berlindung di balik negara,
mekipun pada saat itu sedang melaksanakan tugas negara.9 Keberhasilan Tribunal
Nuremberg dan Tokyo menjadi inspirasi pada beberapa waktu kemudian untuk
membentuk pengadilan ad hoc dalam penyelesaian kasus yang terjadi di
Yugoslavia dan Rwanda. Berdasar Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (selanjutnya disingkat DK PBB) 827 tanggal 2 Mei 1993 dibentuk
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dan berdasar
Resolusi DK PBB 955 8 November 1994 dibentuk International Criminal
Tribunal for Rwanda (ICTR).

Perkembangan berikutnya dalam rangka penegakan kejahatan internasional adalah


pengadilan campuran (hybrid tribunal) yang me- madukan atau menggabungkan
antara unsur-unsur lokal/nasional dan internasional. Bentuk pengadilan yang
demikian merupakan jawaban atas pengalaman dari pengadilan-pengadilan
sebelumnya, yaitu ”gap” antara pengadilan nasional dan internasional. Untuk
pengadilan nasional, masalah utama adalah kurangnya kredibilitas dan
inkompeten, sementara pengadi- lan internasional memiliki keterbatasan dalam
8
Edoardo Greppi, “The Evolution of Individual Criminal Responsibility under International
Crime”, International Review of the Red Cross No.835, 1999, hlm. 531-534.
9
Ibid, hlm. 535.
8

hal kewenangan dan mandat. Saat ini telah dibentuk empat pengadilan campuran,
tiga didiri- kan antara tahun 1999 dan 2001 di Timor Timur (the Special Panels
for Serious Crimes of the District Court of Dili), di Kosovo (Regulation 64”
Panels in the Courts of Kosovo), di Sierra Leone (Special Court of Sierra Leone)
dan di Kamboja (the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia).10

Puncak keberhasilan masyarakat internasional dalam upaya penegakan hukum


atas pelanggaran hukum internasional, utamanya kejahatan internasional dengan
tanggung jawab pidana individu, terjadi pada tahun 1998. Saat itu, di Roma 17
Juli 1998, 120 negara sepakat menandatangani Statuta Roma 1998, yang
menandai berdirinya International Criminal Court (ICC) yang menjadi
pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen. 11 Meskipun ICC
merupakan pengadilan yang bersifat permanen, namun sebagaimana tersurat
Mukadimah Statuta Roma 1998, yaitu emphasizing that the international criminal
court established under the Statute shall be complementary to national criminal
jurisdiction. Prinsip komplementaris ini memperkuat dan melengkapi mekanisme
nasional, dengan tetap menghormati kedaulatan setiap negara. Hal ini disebabkan
karena setiap negara tetap mempunyai kesempatan yang sama untuk mengatur
mekanisme nasionalnya atas pelanggaran hukum internasional yang termasuk
kejahatan internasional.

Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur Tindak


kekerasan yang terjadi pasca jajak pendapat dikenal sebagai pelanggaran berat hak
asasi manusia terjadi setelah Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan opsi
pada tanggal 27 Januari 1999. Opsi tersebut menyangkut masa depan Timor
Timur, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus.12 Hasil jajak pendapat
memperlihatkan, 78,5 % pemilih menginginkan merdeka dari Indonesia.13
10
Andrey Sujatmoko, “Pengadilan Campuran (“Hybrid Tribunal”) sebagai Forum Penyelesaian
atas Kejahatan Internasional”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.3, No.5, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Humaniter dan HAM (terAS), FH Universitas Trisakti, 2007, hlm. 977-978.
11
Ariananto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia , Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara-Fakultas Hukum UI, 2005, Cet. Ke-2, hlm. 13.
12
Catriona Drew, “The East Timor Story: International Law on Trial”, European Journal of
International Law (EJIL), Vol. 2 No. 4, Badia Fiesolana: European University Institut, 2001, hlm.
675.
13
Suzannah Linton, “New Approaches to International Justice in Cambodia and East Timor”,
RICR Mars ICRC, Vol. 84 No. 845, 2002, hlm.103.
9

PBB mendirikan International Commission of Inquiry on East Timor (ICIET) atau


Komisi Internasional Pencari Fakta untuk Timor Timur. Di dalam negeri, upaya
yang dilakukan Komnas HAM adalah membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran
HAM di Timor Timur (selanjutnya disebut KPP-HAM) pada tanggal 22
September 1999 dengan Surat Keputusan Nomor 770/TUA/IX/99, kemudian
dengan mengingat UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Perpu No. 1 tahun
1999 tentang Pengadilan HAM, disempurnakan dengan Surat Keputusan Nomor
797/TUA/X/99 tanggal 22 Oktober 1999.

International Commission of Inquiry on East Timor (ICIET) merekomendasikan


agar PBB mendirikan pengadilan hak asasi manusia untuk para pelaku
pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur sejak Januari 1999. Para
hakim akan diusulkan oleh PBB, tetapi lebih diutamakan berasal dari Timor
Timur dan Indonesia, sedang tempat kedudukannya bisa di Indonesia, Timor
Timur ataupun di tempat lain yang relevan. Sementara hal yang sama juga
dilakukan oleh KPP-HAM agar DPR dan Pemerintah segera membentuk
pengadilan untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia dengan mengacu
pada hukum nasional dan hukum internasional, khususnya hukum hak asasi
manusia dan hukum humaniter.

DPR mensahkan berlakunya Undang-undang Nomor 2 pada tanggal 23 November


2000 tentang Pengadilan HAM yang menggantikan Perppu Nomor 1 tahun 1999.
Dalam kasus Timor Timur, Pengadilan HAM ad hoc Jakarta Pusat mempunyai
kompetensi dan kewenangan untuk mengadili perkara tersebut.

BAB III

KESIMPULAN

A. Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Hukum Internasional


10

Keberadaan hukum internasional memang menjadi nyata saat terjadi beberapa


kasus yang menimpa. Maka benar bila ada pakar yang berpendapat bahwa
terkadang sesuatu yang abstrak dapat terlihat bila terjadi di dalamnya. Eksistensi
Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter menjadi harapan bagi mereka yang
teraniaya hak-haknya. Demikian pula dengan keberadaan Hukum Lingkungan
yang secara nyata menjadi isu penting yang disoroti dunia. Terkait kelangsungan
hidup baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam pelaksanaan
hukum apapun bentuknya dan sifatnya diperlukan suatu penegakan yang konkret
yang dalam pengertiannya ditujukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa maka selayaknya dimulai dengan menjunjung tinggi moral.

B. Mekanisme Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Hukum


Internasional

Puncak keberhasilan masyarakat internasional dalam upaya penegakan hukum


atas pelanggaran hukum internasional, utamanya kejahatan internasional dengan
tanggung jawab pidana individu, terjadi pada tahun 1998. Saat itu, di Roma 17
Juli 1998, 120 negara sepakat menandatangani Statuta Roma 1998, yang
menandai berdirinya International Criminal Court (ICC) yang menjadi
pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen. Meskipun ICC
merupakan pengadilan yang bersifat permanen, namun sebagaimana tersurat
Mukadimah Statuta Roma 1998, yaitu emphasizing that the international criminal
court established under the Statute shall be complementary to national criminal
jurisdiction. Prinsip komplementaris ini memperkuat dan melengkapi mekanisme
nasional, dengan tetap menghormati kedaulatan setiap negara. Hal ini disebabkan
karena setiap negara tetap mempunyai kesempatan yang sama untuk mengatur
mekanisme nasionalnya atas pelanggaran hukum internasional yang termasuk
kejahatan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur:
11

Amiruddin dan Asikin, Zainal. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ed. Ke-1.

Arfawie, Nuktoh. 2005. Teori Negara Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Cet.Ke-1.

Ariananto, Satya. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara-Fakultas Hukum UI. Cet. Ke-2.

Aripin, Jaenal dan Lathif, Azharudin. 2006. Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan
Syar’i. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press. Cet.
Ke-1.

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik


dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press. Cet. Ke-2.

_________________ 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:


Konstitusi Press. Cet. Ke- 1.

_________________ 2006. Menjaga Denyut Konstitusi Refleksi Satu Tahun


Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.

_________________ 2005. Sengketa Kewenangan Antarlembaga. Jakarta;


Konstitusi Press. Cet. Ke-1.

Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqasid al-Syari’ah Menurut al-Syathibi.


Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Ed. 1, cet. Ke-1.

Boisard, Marcel A. 1980. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Cet.1.

Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka


Umum

B. Jurnal dan Makalah:

Haq, Hamka. Al-Syathibi, (Jakarta: Erlangga, 2007, 2007), Cet. Ke-1.


12

Hussain, Syaukat. Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996).

Suzannah Linton, “New Approaches to International Justice in Cambodia and


East Timor”, RICR Mars ICRC, Vol. 84 No. 845, 2002

Andrey Sujatmoko, “Pengadilan Campuran (“Hybrid Tribunal”) sebagai Forum


Penyelesaian atas Kejahatan Internasional”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.3,
No.5, Oktober 2007, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM
(terAS), FH Universitas Trisakti, hlm. 977-978.

Anda mungkin juga menyukai

  • Perbankan
    Perbankan
    Dokumen1 halaman
    Perbankan
    Putri Zakia Yurahman
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan
    Pendahuluan
    Dokumen5 halaman
    Pendahuluan
    Putri Zakia Yurahman
    Belum ada peringkat
  • Perundang Undangan
    Perundang Undangan
    Dokumen10 halaman
    Perundang Undangan
    Putri Zakia Yurahman
    Belum ada peringkat
  • Agraria
    Agraria
    Dokumen2 halaman
    Agraria
    Putri Zakia Yurahman
    Belum ada peringkat
  • H. Keluarga
    H. Keluarga
    Dokumen3 halaman
    H. Keluarga
    Putri Zakia Yurahman
    Belum ada peringkat
  • Metopel
    Metopel
    Dokumen29 halaman
    Metopel
    Putri Zakia Yurahman
    Belum ada peringkat
  • Perikatan
    Perikatan
    Dokumen5 halaman
    Perikatan
    Putri Zakia Yurahman
    Belum ada peringkat
  • Perikatan
    Perikatan
    Dokumen5 halaman
    Perikatan
    Putri Zakia Yurahman
    Belum ada peringkat