Anda di halaman 1dari 5

Cari...

HOME BERITA ANALISA TEORI INTERNASIONAL

Siapa Oligarki di Balik Pelemahan KPK? 

 24 Jun 2021
 Agniasari

Tweet
Share 318

Beberapa waktu yang lalu publik


digemparkan dengan pemberhentian
sejumlah pegawai KPK setelah hasil Tes
Wawasan Kebangsaan (TWK) mereka
dinyatakan tidak lolos. Kontroversi ini
membuat banyak pakar berpendapat
bahwa TWK tidak lain adalah usaha untuk
melemahkan KPK dan oligarki ada di balik
usaha ini. Tetapi, siapa oligarki yang kini
sering disebut-sebut itu, dan kepentingan
sosio-ekonomi apa yang berada di baliknya, ini semua sangat kabur.
Untuk bisa memahami rentetan sandiwara pelemahan KPK, yang telah dimulai sejak
KPK itu lahir, dan dengan itu bagaimana mengenyahkan korupsi dari masyarakat
kita, diperlukan analisa yang mengarah pada basis sosio-ekonomi dari praktik
korupsi. Ini bukan semata masalah kerakusan dan keserakahan sejumlah oknum,
atau kurangnya penegakan hukum. Penjelasan “Oligarki” yang dilemparkan banyak
pakar pun tidak memadai, seperti yang akan kami tunjukkan di bawah.

Permainan oligarki?
Menanggapi kasus ini, sejumlah pengamat dan politikus menduga bahwa
pelemahan KPK ditujukan untuk kepentingan memperkuat oligarki. Namun, tidak
ada kejelasan sama sekali mengenai siapa oligarki ini. Semisal, ekonom Faisal Basri
merujuk pada “perusahaan para oligarki” tertentu, “terutama tambang batu bara.”
Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW) merujuk pada politisi-
politisi tertentu yang sedang berusaha untuk mengumpulkan pendanaan pemilu
2024. Banyak aktivis anti-korupsi merujuk pada 55 persen anggota DPR yang
merupakan pengusaha. Sementara, Fadli Zon dari Gerindra menggunakan oligarki
untuk merujuk pada Jokowi dan pemerintahannya, yang secara implisit mengatakan
bahwa dia dan Partai Gerindra bukanlah bagian dari oligarki. Ungkapan oligarki oleh
karenanya hanya berarti oknum tertentu, entah satu atau dua pejabat yang nakal,
politisi yang nakal, atau pengusaha yang nakal. Dan dalam kasus Fadli Zon, oligarki
adalah lawan politiknya.
Kata oligarki datang dari bahasa Yunani: oliogi yang berarti “segelintir” dan arkhein
yang berarti “berkuasa”; singkatnya “segelintir yang berkuasa”. Ini tidak menjelaskan
datang dari kelompok sosial mana orang segelintir ini, mengapa mereka bisa
berkuasa, bagaimana mereka berkuasa dan melanggengkan kekuasaan mereka, dan
relasi sosial dan ekonomi seperti apa antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
Untuk bisa memahami akar korupsi, kita harus terlebih dahulu memeriksa
masyarakat kita dan kelas-kelas yang ada di dalamnya. Karl Marx menjelaskan
bahwa “Sejarah masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan
kelas,” yakni antara kelas yang menindas dengan kelas yang ditindas; antara kelas-
kelas yang kepentingan ekonominya saling bertentangan dan hanya bisa
diselesaikan dengan menindas salah satu dari keduanya. Tiap-tiap bentuk
masyarakat, dari perbudakan sampai kapitalisme hari ini, memiliki moda produksi
tertentu dengan sistem relasi kelas-kelas tertentu pula yang menyertainya, yang lalu
membagi masyarakat dalam kelas-kelas.
Untuk memfasilitasi penindasan satu kelas oleh kelas lain, inilah fungsi Negara.
Seperti kata Lenin, “Negara adalah suatu alat dari kekuasaan kelas, suatu alat
untuk menindas kelas yang satu oleh kelas lainnya; adalah ciptaan ‘susunan tata-
tertib’ yang mengesahkan dan mengekalkan penindasan ini dengan melunakkan
bentrokan antarkelas.” Jadi, tidak seperti yang banyak dipahami, negara bukanlah
penengah kepentingan antarkelas, tetapi justru alat dari satu kelas, yakni kelas yang
berkuasa, untuk menindas kelas yang di bawahnya. Dalam konteks Indonesia yang
corak produksinya kapitalistik, negara Indonesia adalah alat kekuasaan kelas
borjuasi untuk menindas kelas pekerjanya.
Cara bagaimana negara melayani kepentingan kelas borjuis untuk menindas kelas
pekerja adalah lewat aparatur kekerasan (polisi dan tentara), sistem peradilan,
berbagai perangkat hukum, bahkan sampai institusi pendidikan. Dan, kepentingan
kelas borjuis tidak lain adalah menghisap sebesar mungkin nilai surplus dari kerja
yang dilakukan oleh kelas pekerja, atau menghasilkan profit sebesar mungkin
dengan menekan ongkos produksi sekecil mungkin.
Kelas kapitalis Indonesia tidaklah produktif dan terbelakang dibandingkan saudara-
saudari kelasnya di Barat, sehingga salah satu cara terbaik mereka untuk bisa
meraup profit besar adalah dengan mengangkangi berbagai regulasi yang ada, yang
memungkinkan mereka membayar upah di bawah UMK, menyerobot tanah tani dan
masyarakat adat, merusak lingkungan hidup tanpa konsekuensi, dsb.
Selain itu borjuasi Indonesia bergantung kepada modal asing. Untuk memperlancar
arus investasi ini, pemerintah telah mensahkan Omnibus Law dan merevisi UU
Minerba. Tetapi masalahnya, tidak hanya Indonesia saja yang butuh investasi,
melainkan juga negara-negara dunia ketiga lainnya. Sehingga artinya Indonesia
harus berkompetisi dengan negara-negara tersebut untuk memperebutkan investasi.
Ini menuntut pemerintahan Indonesia untuk memberikan iming-iming yang jauh
lebih menarik daripada negara lain. Dan, pelemahan KPK akan menjadi salah satu
iming-iming tersebut, sehingga modal asing bisa meraup super-profit dengan tidak
mengindahkan berbagai UU. Seperti yang jelas dinyatakan Kepala Staf
Kepresidenan, Moeldoko, bahwa keberadaan KPK bisa mengganggu investasi.
"Lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi. Ini yang tidak dipahami
masyarakat," kata Moeldoko

Dengan pemahaman bahwa negara adalah alat kekuasaan kelas borjuis untuk
memuluskan kepentingannya, dan kepentingan kelas borjuis adalah mendulang
profit, maka kita bisa melihat bahwa pelemahan KPK memiliki fungsi untuk melayani
kepentingan ekonomi kelas borjuis, bukan semata-mata untuk kepentingan sempit
oligarki atau oknum-oknum tertentu saja.
KPK sendiri didirikan bukan atas inisiatif negara, melainkan atas desakan dari rakyat
pasca diturunkannya Suharto oleh rakyat. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, kelas
kapitalis yang diwakili oleh negara memang tidak berkepentingan untuk menindak
praktik korupsi. Sebaliknya, praktik korupsi adalah integral dalam penghisapan yang
mereka lakukan. Ini terbukti dengan APINDO dan KADIN (dua asosiasi pengusaha
terbesar di Indonesia) yang mendukung pelemahan KPK dengan mendukung revisi
undang-undang lembaga anti-rasuah tersebut. Ini semakin menunjukkan bahwa
pelemahan KPK memang dilakukan untuk melayani kepentingan kapitalis.

Apakah korupsi penyakit negara berkembang?


Sejumlah studi menyimpulkan bahwa tingkat korupsi di negara berkembang jauh
lebih besar daripada tingkat korupsi di negara kapitalis maju. Ini seolah-olah
menunjukkan bahwa yang bermasalah bukanlah kapitalismenya melainkan mindset
sejumlah kapitalis dan birokrat tertentu, bahwa kapitalis dan birokrat di negara maju
tidak melakukan korupsi.
Tapi apakah ini benar?
Di negara-negara kapitalis maju, mungkin saja tingkat kolusi terkait izin lingkungan
dan izin-izin lainnya (seperti pengawasan makanan, kosmetik, dan obat-obatan)
relatif rendah, tetapi tingkat korupsi dan kolusi pajaknya tinggi. Menurut laporan
OECD, menarik pajak dari orang-orang kaya sangatlah sulit karena mereka memiliki
1001 macam cara untuk mengakalinya. Mulai dari menyembunyikan kekayaan di
negeri-negeri tax haven, menyuap birokrat perpajakan, menyewa konsultan pajak
untuk membuat pengemplangan pajaknya menjadi legal, dst. Sistem hukum negeri-
negeri kapitalis maju telah dirancang dengan begitu sempurnanya sehingga praktik
korupsi dilakukan dengan begitu halusnya dan terselubungnya sehingga tampak
legal di mata hukum.
Sedangkan rendahnya tingkat kolusi/penyuapan terkait izin lingkungan bukan
karena kapitalis di negeri-negeri maju peduli akan lingkungan. Ini lebih karena
kapitalis di negeri-negeri maju telah mentransfer modalnya ke negara-negara yang
lebih terbelakang. Mereka bisa memperoleh kekayaan bukan hanya dari industri di
dalam negerinya sendiri, melainkan juga di negeri-negeri lain yang diberinya modal.
Dengan cara begini, maka ketika dia tidak bisa berkolusi di negerinya sendiri karena
sengitnya perlawanan kelas pekerja terhadap kerusakan lingkungan, maka dia bisa
berkolusi dengan pemerintah negeri-negeri miskin yang siap merepresi perlawanan
rakyat yang ingin melindungi lingkungan hidup.
Dengan ini, maka kesimpulannya jelas, korupsi adalah inheren dalam kapitalisme. Ini
bukan masalah oligarki – atau oknum-oknum penguasa tertentu. Ketika para pakar
merujuk pada oligarki sebagai biang kerok pelemahan KPK, mereka sebenarnya
mengaburkan akar permasalahan yang ada, bahwa kelas kapitalis serta seluruh
perwakilan politik mereka dalam Negara Borjuasi bertanggung jawab atas seluruh
sistem yang korup ini. Selama ada kelas kapitalis yang memegang kendali atas tuas
ekonomi dan mengeksploitasi rakyat pekerja, selama ada Negara Borjuasi yang
bertugas memfasilitasi eksploitasi ini dan mempertahankan dominasi kelas
kapitalis, maka selama itu pula akan ada korupsi. Usaha KPK untuk memberantas
korupsi oleh karenanya adalah seperti menjaring angin, dan kontroversi TKW ini
adalah salah satu contohnya.

Bergabunglah dengan Perhimpunan Sosialis Revolusioner!

Form Pendaftaran
Nama *

Email *

Telepon / WA *

Domisili *

Ingin bergabung? *
Ya
Tidak

Mengapa kamu ingin bergabung dengan PSR?

Security *
Kirim

Form by ChronoForms - ChronoEngine.com

 Switch to desktop site

Anda mungkin juga menyukai