Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
SKRIPSI
Oleh:
ALI HASEMI
NIM 120910101085
SKRIPSI
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Ilmu Hubungan Internasional (S1) dan mencapai
gelar Sarjana Sosial
Oleh:
ALI HASEMI
NIM 120910101085
i
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
PERSEMBAHAN
ii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
MOTO
“We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are
eternal and perpetual, and those interests it is our duty to follow”.
(Kita tidak memiliki sekutu abadi, dan kita tidak memiliki musuh abadi.
Kepentingan kitalah yang abadi dan terus ada, dan semua kepentingan itu adalah
tugas yang wajib kita patuhi). (Henry John Temple Palmerston (1784-1865),
politisi Inggris)2.
1
(HR. Ibnu Adiy dari sahabat Anas)
2
Wikiquote. 2019. Henry Temple, 3rd Viscount Palmerston. Wikiquote:
https://en.wikiquote.org/wiki/Henry_Temple,_3rd_Viscount_Palmerston. [Diakses pada tanggal
Rabu 26 Juni 2019].
iii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
PERNYATAAN
NIM : 120910101085
Yang Menyatakan
Ali Hasemi
NIM 120910101085
iv
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
SKRIPSI
Oleh
ALI HASEMI
NIM 120910101085
Pembimbing
v
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
PENGESAHAN
Tim Penguji
Ketua
Sekretaris I Sekretaris II
Anggota I Anggota II
Mengesahkan,
Penjabat Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
Universitas Jember
vi
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
RINGKASAN
Ennahda adalah nama dari salah satu partai politik di Tunisia yang awalnya
bergerak dalam haluan ideologi Islamisme. Dalam sejarah sepak terjangnya,
Ennahda menjadi wadah bagi para aktivis politik Islamis untuk melakukan
kegiatan dakwah dan upaya menjadikan syari’ah Islam sebagai pedoman hidup
dalam aspek sosial, budaya serta politik. Tetapi ketika masa terpilihnya Ennahda
menjadi kepala pemerintahan pada tahun 2011, partai tersebut secara perlahan
menunjukkan sikap dan tindakan politik yang terbuka terhadap aspek serta
prinsip-prinsip demokrasi. Namun Ennahda masih berupaya untuk
memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam agenda politiknya, seperti usaha Ennahda
dalam memasukkan gagasan Islam ke dalam konstitusi Tunisia. Sebaliknya pada
pasca kegagalan pemerintahannya di tahun 2013, Ennahda menjadi lebih
kompromi dengan realitas politik yang ada dan mengedepankan pilihan rasional
dalam menentukan sikap maupun pilihan politik. Pada tahun 2015, Ennahda
membentuk pemerintahan koalisi dengan partai pemenang pemilu sekaligus rival
politiknya dari kelompok haluan sekularisme, yaitu partai Nidaa Tounes.
Sebagaian pendukung setia Ennahda, kebijakan partainya dianggap sebagai
bentuk pengkhianatan terhadap nilai ideologinya sendiri karena menerima paham
sekularisme dan langkah tersebut dianggap sebagai penyimpangan dari keyakinan
Islam. Terlebih lagi, pada kongres ke-10 tanggal 20 Mei 2016, Ennahda yang
sebelumnya dipandang sebagai simbol partai Islamisme, mengeluarkan
pernyataan secara resmi bahwa partainya memisahkan diri dari aktivitas
keagamaan dan politik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
vii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
viii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan
Strategi Politik Partai Ennahda di Tunisia Tahun 2016”. Skripsi ini disusun guna
memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ardiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Jember;
2. Bapak Drs. Bagus Sigit Sunarko, M.Si, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional;
3. Bapak Drs. Supriyadi, M.Si., selaku dosen wali akademik yang telah
membimbing penulis selama menjadi mahasiswa;
4. Bapak Drs. M. Nur Hasan, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Utama dan
Bapak Drs. Pra Adi Soelistijono, M.Si., selaku dosen pembimbing anggota
yang telah meluangkan waktu, membantu penulis menyusun skripsi selama
ini;
5. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jember, khususnya dalam Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
yang telah memberikan bimbingan dan ilmu yang bermanfaat;
6. Ibunda tercinta Sripa Lubnah dan Ayahanda Abdul Mutholib yang selalu
menjadi sosok inspirasi; Adik-adikku Muhammad Syarif, dan Zainab Aqilah
beserta segenap keluarga yang selalu memberikan dukungan baik doa
maupun nasehat dan juga semangat bagi penulis dalam penyelesaian skripsi
ini;
ix
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
x
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................................... iv
DAFTAR ISI..................................................................................................................... xi
xi
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
2.2 Sejarah Gerakan Kelompok Islamis dan Rekam Jejak Partai Ennahda di
Tunisia ................................................................................................................. 29
4.2 Peristiwa Kudeta Militer atas Ikhwanul Muslimin di Mesir Tahun 2013 .... 82
xii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
xiii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
DAFTAR TABEL
Halaman
xiv
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xv
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
DAFTAR SINGKATAN
xvi
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
xvii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
BAB 1.
PENDAHULUAN
Awal mula kemunculan Ennahda dapat ditelusuri pada tahun 1967, ketika
Mesir, Jordan dan Suriah mengalami kekalahan dalam perang melawan Israel
yang dikenal dengan peristiwa Six Day War (Wolf, 2017:33). Akibatnya, banyak
pihak mengkritisi pemikiran politik sekularisme dan nasionalisme Arab yang
diterapkan pada masa itu. Hal tersebut kemudian disusul dengan kemunculan
gerakan-gerakan Islam politik di Tunisia dan beberapa negara Timur Tengah1.
Salah satu dari gerakan kelompok Islam tersebut ialah ASQ (Association for the
Safeguard of the Qur’an) yang berada di Tunisia (Internationalrelations.org,
tanpa tahun). ASQ dibentuk pada tahun 1967 oleh rezim Bourguiba untuk
memfasilitasi aspirasi dan kegiatan kelompok Islamis pada masa itu. Tujuan lain
dari dibentuknya ASQ adalah ntuk mengendalikan gerakan kelompok Islamis
(Alexander, 2016:47). Sehingga, kelompok Islamis mengeluhkan pembatasan
ruang gerak yang diberikan oleh pemerintah terhadap mereka.
Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, Rachid Ghannouchi2 beserta aktivis
Islam politik lainnya yaitu Hmida Ennaifer, dan Abdelfattah Mourou mendirikan
organisasi yang baru bernama al-Jama’a al-Islamiyya (kelompok Islam).
Organisasi yang dibentuk oleh para pemikir religius ini memfungsikan dirinya
sebagai kelompok agama yang fokus pada gerakan dakwah agama Islam dan
studi al-Quran. Organisasi inilah yang menjadi bibit awal dari kemunculan entitas
1
Fenomena tersebut sebenarnya dapat ditemukan sejak tahun 1928 di mana muncul gerakan
kelompok islam di Mesir yang bernama “Ikhwanul Muslimin” (Internationalrelations.org, tanpa
tahun).
2
Rachid Ghannouchi, salah satu pemikir paling terkemuka dalam bidang pemikiran Islam
kontemporer. Rachid Ghannouchi merupakan tokoh penting dalam rekam jejak partai Ennahda. Ia
adalah salah seorang yang memprakarsai terbentuknya MTI (Mouvement de la Tendence
Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami) dan Ennahda. Rachid Ghannouchi telah menjadi ideolog
sentral, kekuatan pemersatu, ahli strategi dan pemimpin pengasingan gerakan Islam Tunisia
Ennahda (Tamimi, 2001:vi).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 2
Afrika Utara dan berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia sesuai
dengan kapasitasnya (Internationalrelations.org, tanpa tahun).
2
Hukum partai politik yang baru yang disetujui oleh enam partai oposisi, telah melarang
pembentukan partai yang berdasarkan alasan etnis, agama, ras, dan wilayah geografis atau
teritorial (Wolf, 2017:69).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 5
kantor partai yang berkuasa pada tahun 1991. Akibatnya, 265 anggota dari partai
tersebut dihukum oleh pengadilan militer Tunisia atas tuduhan makar kudeta
(Arieff, 2011).
Rezim Zine El Abidine Ben Ali tidak jauh berbeda dari rezim pemerintahan
sebelumnya (Habib Bourguiba) sehingga Ennahda mengalami masa-masa sulit
akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintahan (Souli, 2016a). Rezim Ben Ali
mempersulit gerak-gerik para penentang pemerintahannya, mengendalikan
lembaga peradilan dan kepolisian untuk kepentingannya, bahkan mengecap
kelompok Islamis yang menentang dirinya sebagai kelompok ekstrimis dan
teroris (Louden, 2015). Tetapi akibat dari kebijakan politik represif Ben Ali
terhadap para penentang pemerintahannya, justru membuat Ennahda semakin
banyak mendapat simpati dari warga Tunisia. Pada tanggal 17 Desember 2010 di
daerah Sidi Bouzid, seorang warga Tunisia yang bernama Mohamed Bouazizi
membakar dirinya sendiri sebagai bentuk protes terhadap seorang polisi wanita
yang menyita keranjang sayurnya. Satu hari pasca insiden tersebut, kemarahan
publik muncul dengan cepat hingga memicu pemberontakan warga Tunisia yang
dinamakan Tsaurat al Karama (Revolusi Martabat)3. Peristiwa ini kemudian
memicu kemunculan protes besar-besaran dari warga Tunisia terhadap
pemerintahannya pada tahun 2010 yang menjadi titik awal fenomena “Arab
Spring”. Protes dan pemberontakan warga Tunisia tersebut pada akhirnya
berhasil menjatuhkan rezim Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011
(Ayari, 2015).
Setelah terbebas dari rezim Ben Ali, Ennahda mulai berkampanye dalam
pemilihan parlemen pada tahun 2011. Adanya popularitas Ennahda yang tinggi
serta nilai keislaman (non-sekuler) sebagai identitasnya membuat Ennahda
mampu memenangkan suara dalam pemilihan parlemen untuk majelis
konstituante. Partai Ennahda memperoleh 37 persen dari total suara dengan 89
3
Beberapa artikel menyebutnya dengan Jasmine Revolution. Namun warga Tunisia tidak
menyukai istilah Jasmine Revolution yang berasal dari Prancis. Warga Tunisia lebih memilih nama
Thawrat al-Karama (Revolusi Martabat) atau Thawrat al-Shabab (Revolusi Para Pemuda)
(Jaouad, 2011).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 6
dari 217 kursi parlemen (Ayari, 2015). Suara yang diperoleh Ennahda tersebut
menjadikannya sebagai partai terbesar di dalam parlemen legislatif. Berkat
kemenangannya tersebut, Ennahda akhirnya memiliki kendali dalam
pemerintahan Tunisia.
4
Putaran kedua pemilihan presiden di Tunisia diselenggarakan pada hari Minggu 21 Desember
2014. Tidak ada calon yang memenangkan suara mayoritas, jadi pemilu putaran kedua diperlukan.
Hasil pemilu putaran kedua dimenangkan oleh Beji Caid Essebsi dengan 39,46 % suara dan
Mohamed Moncef Marzouki dengan 33,43 %. Putaran pertama diadakan pada hari Minggu 23
November 2014. Ini adalah pemilihan presiden pertama sejak Revolusi Jasmine dan jatuhnya
mantan Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada Januari 2011 (Electionguide, tanpa tahun).
5
Beji Caid Essebsi merupakan ketua partai Nidaa Tounes, seorang mantan menteri di bawah
pemerintahan Habib Bourguiba dan pernah menjadi ketua parlemen di bawah rezim Zein El
Abidine Ben Ali (Ayari, 2015; Al Arabiya English, 2016).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 8
Ruang lingkup pembahasan diperlukan dalam suatu karya ilmiah agar apa
yang diteliti dapat fokus kepada pokok permasalahan. Sehingga permasalahan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 9
yang dibahas tidak keluar dari kerangka permasalahan yang ditentukan. Maka
dari itu, penulis membagi dan membatasi ruang lingkup pembahasan ini menjadi
batasan materi dan batasan waktu.
Rentang waktu yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini mulai dari tahun
2011 hingga tahun 2016. Tahun 2011 dipilih karena pada 1 Maret 2011 Ennahda
baru muncul sebagai partai politik yang sah (Ayari, 2015). Sedangkan pada tahun
2016, Partai Ennahda mengeluarkan pernyataan secara resmi pada Kongres ke-10
tanggal 20 Mei bahwa partainya memisahkan diri dari aktivitas keagamaan dan
politik.
1.5.1 Post-Islamism
Konsep Islam dalam konteks realitas sosial maupun politik telah mengalami
beberapa kali transformasi makna. Entitas Islam itu sendiri sebagai sistem
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 11
Islamisme atau Islam politik mengacu pada gagasan bahwa Islam tidak
hanya menyediakan pedoman untuk kehidupan sosial dan pribadi, tapi juga untuk
ruang politik. Islamisme berasal dari interpretasi politik Islam sehingga
menghasilkan suatu tatanan kehidupan politik yang sarat akan simbol dan entitas
keagamaan (Tibi, 2012:1). Islamisme dapat diidentifikasi sebagai ideologi yang
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 12
(Hossain, 2016). Oleh karena itu, peradaban Islam dinilai telah mencakup semua
aspek yang ada dan mewakili lebih dari sekumpulan doktrin serta filosofi agama.
Hasil dari perang pada tahun 1967 memberikan dorongan bagi kemunculan
Islam-fundamental. Menurut John L. Esposito, kemenangan Israel 'berfungsi
sebagai katalis utama untuk kebangkitan Islam' di seluruh dunia Arab (Wolf,
2017:33). Semangat tersebut diikuti oleh penafsiran agama tentang perang, bahwa
menerima ideologi asing dan meninggalkan ajaran agama telah mengakibatkan
kekalahan militer yang luar biasa sebagai bentuk hukuman berat. Islamisme
dipromosikan sebagai satu-satunya sumber kekuatan perlawanan terhadap Israel
yang semakin kuat (Machairas, 2017).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 15
Salah satu pendiri Islamisme sekaliber Qutb adalah seorang muslim India
Abu al-A'la al-Mawdudi yang menegaskan penolakannya terhadap demokrasi
dengan bahasa yang keras,
Tokoh Islamis selanjutnya yang memiliki pengaruh dan dampak yang besar
adalah Yusuf al-Qaradawi yang secara luas dianggap sebagai pewaris Qutb.
Televisi al-Jazeera membesarkan namanya sehingga ia dijuluki "Mufti global".
Yusuf al-Qaradawi menjadi salah satu tokoh Islamis terkemuka setelah kekalahan
Arab di Perang Enam Hari atau dikenal dengan istilah Six Day war 1967. Dalam
bukunya al-Hall al-Islami wa al-hulul al-mustawradah (Solusi Islami dan Solusi
Impor), menganjurkan penolakan nilai-nilai yang berasal dari Barat dan harus
diganti dengan nilai-nilai islami. Yusuf al-Qaradawi menyebut semua budaya
‘pinjaman’ termasuk demokrasi sebagai "solusi impor". Dalam salah satu
fatwanya, Yusuf al-Qaradawi menulis bahwa:
Kondisi sosial dan budaya kontemporer yang telah dialami oleh masyarakat
di dunia muslim membuat mereka harus mencari formula baru untuk
menyelenggarakan sistem politik dan pemerintahannya. Sebab, sistem Islamisme
dinilai tidak mampu menyesuaikan diri dengan budaya pluralisme dan modernitas
sehingga menjadi hambatan untuk kemajuan negara yang kompetitif. Pada
perkembangan berikutnya, kaum Islamis mencoba untuk menyelaraskan konsep
Islamisme ke dalam segala aspek kehidupan modern, seperti yang dikatakan oleh
Yvonne Haddad, “untuk mengislamisasikan modernitas, daripada
memodernisasikan Islam” (Machairas, 2017). Oleh karena itu, Post-Islamism
muncul sebagai alternatif baru dari dua posisi ideologi ekstrem, yaitu Sekularisme
dan Islamisme (Hossain, 2016).
sistem sekularisme menurun. Sistem sekularisme asertif atau ‘tegas’ dinilai gagal
menciptakan masyarakat yang manusiawi dan progresif di negara-negara
mayoritas muslim. Adanya pemaksaan sistem sekularisme dari pemerintah ke
rakyat gagal menciptakan suasana harmonis antara negara dan masyarakat
muslim. Pemerintahan sekuler cenderung mengikuti gaya pemerintahan
komunisme karena banyak kebijakan sekuler melarang aktivitas keagamaan, dan
para pemuka agama dikriminalisasi. Hal ini terjadi di kebijakan pembangunan
sekularis melarang kegiatan-kegiatan berbasis agama, dan banyak pemimpin
agama dikriminalisasi, mengikuti jalur yang telah diambil oleh negara-negara
komunis sebelumnya. Ini terjadi di Aljazair, Mesir, Iran, Tunisia dan Turki. Demi
menjamin kelanggengan kekuasaan otoriter sekuler, negara-negara ini
memberlakukan hukum yang keras untuk mengontrol gerakan-gerakan
keagamaan dan politik yang reaksioner. Praktik kekuasaan otoriter sekuler
seringkali memicu pemberontakan di negara-negara mayoritas muslim, seperti
munculnya fenomena ‘Arab Spring’ pada akhir tahun 2010 di Tunisia yang
berhasil menjatuhkan rezim Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011.
terhadap isu atau fenomena yang akan dianalisis. Sedangkan menurut jenis data
yang didapatkan, peneliti menggunakan data sekunder sebagai sumber kajian.
Menurut Kenneth D. Bailey, data sekunder adalah dokumen yang diperoleh
orang-orang yang tidak hadir di tempat kejadian, tetapi mereka menerima
informasi dengan mewawancarai saksi mata atau dengan membaca dokumen
primer (Bakry, 2016:172). Data sekunder tersebut didapatkan melalui buku,
jurnal, artikel, dan ragam informasi faktual lainnya yang terdapat di media
internet. Pengumpulan data tersebut diperoleh melalui:
1. Buku;
2. Jurnal, reportase, dan publikasi ilmiah; serta
3. Media internet
1.7.2. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah suatu usaha dari seorang peneliti untuk meringkas data
yang telah terkumpul melalui teknik pengumpulan data tertentu (Bakry,
2016:214). Analisis dimulai setelah beberapa data terkumpul (tidak harus seluruh
data), yang kemudian berimplikasi pada langkah-langkah selanjutnya dalam
proses pengumpulan data (Bakry, 2016:191). Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif. Data sekunder yang telah didapatkan,
kemudian dianalisis secara deskriptif.
Bab 1. Pendahuluan
Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang secara umum hal-hal yang
mendasari perubahan strategi politik Ennahda. Pada bab ini juga dijelaskan
metodologi penelitian kualitatif yang menggunakan teknik analisis deskriptif
serta teknik pengumpulan data dengan metode library research. Dalam bab 1 ini
nantinya akan dijelaskan mengenai kerangka konseptual yang memiliki fungsi
untuk mendukung analisis penulis terkait perubahan strategi politik Ennahda,
dengan menggunakan konsep Post-Islamism.
Bab ini akan menjelaskan secara umum kiprah partai Ennahda dalam
perpolitikan di Tunisia. Selain itu, bab ini akan menjelaskan rekam jejak partai
Ennahda di Tunisia mulai dari awal kemunculannya pada tahun 2011 hingga
2016 saat kebijakan baru yang menandakan perubahan dalam strategi politik
Ennahda.
Bab ini menjelaskan realitas empirik yang menjadi sebab partai Ennahda
mengubah haluan strategi politiknya. Lebih lanjut, penulis akan menjelaskan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi Ennahda untuk mengadakan perubahan
dalam strategi politiknya.
Bab 5. Kesimpulan
BAB 2.
ENNAHDA DALAM TATANAN POLITIK TUNISIA
Pada bab 2 ini, penulis akan sedikit membahas mengenai kondisi geografis
Negara Tunisia. Dalam tulisan ini akan dipaparkan juga mengenai sistem politik
yang berlaku di Tunisia pada pasca revolusi Tunisia pada tahun 2010. Di samping
itu, penulis akan membahas juga mengenai sejarah Tunisia sebelum revolusi dan
rezim Bourguiba maupun rezim Ben Ali karena berkaitan dengan munculnya
kelompok Islamis dalam panggung politik di Tunisia. Dalam bab ini juga
bertujuan untuk memaparkan profil, dan rekam jejak Ennahda di Tunisia.
Kelompok Islamis pada masa rezim Ben Ali mendapat izin untuk ikut
berkontestasi dalam acara pemilihan parlemen. Meski kemunculan Ennahda saat
itu terbilang baru, namun gerakan tersebut berhasil meraih suara yang cukup
besar. Rezim kemudian merasa khawatir bahwa posisi kekuasaannya akan
terancam dengan kemunculan kekuatan baru dalam panggung politik. Sehingga
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 25
sekali lagi kelompok Islamis menjadi sasaran dari kebijakan represif, dan otokrasi
pemerintah.
Dalam bab ini nantinya akan dijelaskan tentang meningkatnya minat publik
terhadap nilai budaya Islam pada tahun 2000-an. Meskipun sebelumnya, Tunisia
dipenuhi dengan proyek modernisasi dan westernisasi serta program
pembangunan sosial-ekonomi rezim Bourguiba dan Ben Ali yang berorientasi
sekularisme. Penulis mendeskripsikan beberapa faktor yang menyebabkan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 27
bangkitnya minat warga Tunisia terhadap nilai dan aspek religius. Secara faktor
domestik, popularitas Ben Ali menurun karena kecenderungan kebijakannya yang
represif dan meningkatnya kesulitan ekonomi yang dialami warga Tunisia.
Berikutnya, adanya peningkatan pengguna internet di tengah masyarakat Tunisia
mulai sejak tahun 2007. Masyarakat Tunisia memanfaatkan internet sebagai
sumber informasi untuk mempelajari tentang Islam dan budaya Arab meskipun
seringkali ditafsir dan diterima secara konservatif. Hal ini membuat publik
semakin mengkaitkan diri mereka dengan isu-isu politik internasional yang
berkaitan dengan isu Islam dan Arab. Misalnya, warga Tunisia mengutuk
kebijakan Amerika Serikat yang dinilai merugikan masyarakat muslim di dunia
internasional dan khususnya terhadap masyarakat muslim Arab di Irak. Sehingga
pada tahun 2007 peningkatan minat muslim Tunisia terhadap identitas pan-Arab
dan Islam semakin jelas. Bahkan ada banyak masyarakat muslim Tunisia yang
merasa ‘terpanggil’ untuk melakukan aksi jihad dan melibatkan diri ke dalam
peperangan asing. Rezim pada akhirnya tidak mampu mengendalikan
pemerintahannya akibat dari kegagalan dalam pengelolaan perekonomian negeri
serta adanya fenomena peningkatan minat publik terhadap Islamisme. Hal-hal
tersebut kemudian mengakibatkan rezim Ben Ali jatuh dalam peristiwa
pemberontakan rakyat Tunisia Tsauratu al Karama (revolusi Martabat) pada
tahun 2010, yang menjadi titik awal Arab Spring.
Tunisia adalah sebuah negara yang terletak di bagian Utara benua Afrika.
Luas wilayah Tunisia 162.155 km². Tunisia merupakan salah satu negara
berpenduduk mayoritas Muslim di belahan bumi bagian Afrika Utara. Tunisia
terletak dipersimpangan antara Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Pada bagian
Barat dan Selatan berbatasan dengan Aljazair (965 km), bagian Utara dan Timur
berbatasan dengan Laut Mediterania, dan bagian Selatan dan Tenggara dengan
Libya (459 km). Wilayah di sebelah Utara berbatasan dengan benua Eropa
(wilayah Selatan Italia) yang dipisahkan dengan laut Mediterania (Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia, tanpa tahun).
2.2 Sejarah Gerakan Kelompok Islamis dan Rekam Jejak Partai Ennahda
di Tunisia
berlanjut disebabkan oleh gerakan reformasi pada abad ke-19 di bawah rezim
Habib Bourguiba dan Zine El Abidine Ben Ali. Meskipun tidak lagi menyandang
status protektorat Perancis, namun rezim Bourguiba dan Ben Ali menilai bahwa
corak pemerintahan sekularisme merupakan solusi untuk Tunisia dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan status Tunisia di kancah Internasional.
Sejak tahun 1967 hingga 1987 gerakan kelompok Islamis beberapa kali
telah mengalami transformasi. Ragam transformasi tersebut mulai dari gerakan al-
Jama’a al-Islamiyya yang fokus pada aktivitas dakwah; lalu ASQ (Association for
the Safeguard of the Qur’an) yang dibentuk oleh rezim Bourguiba untuk
memfasilitasi aspirasi dan kegiatan kelompok Islamis pada masa itu; MTI
(Mouvement de la Tendence Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami); hingga
Ennahda (Renaissance). Tren kehidupan religius yang kuat di tengah masyarakat
Tunisia menjadi penyebab kemunculan ragam transformasi gerakan kelompok
Islamis tersebut. Secara historis, munculnya gerakan Ennahda terpaut erat dengan
kultur sosial masyarakat serta dinamika politik yang terjadi di Tunisia.
Ennahda kemudian lebih memilih untuk fokus menangani isu keamanan dan
ekonomi negara yang sedang memburuk dan untuk mengatasi problematika yang
ada. Ennahda menekankan perlunya membuka diri dengan melakukan berbagai
konsesi serta ‘konsensus nasional’ dengan para lawan politiknya. Perubahan sikap
partai Ennahda mendapat kecaman yang keras dari pendukung-pendukungnya
khususnya dari sayap dogmatis partai tersebut. Namun, keputusan partai tersebut
bisa muncul disebabkan dari sejarah panjang sepak terjang politik Ennahda di
Tunisia serta beberapa peristiwa yang memicu manuver politik yang demikian.
Tunisia menjadi negara yang merdeka sepenuhnya pada tahun 1956. Tunisia
dideklarasikan sebagai republik pada bulan Juli 1957, hari yang sama ketika
Habib Bourguiba dilantik menjadi presiden pertama di Tunisia (Nassar, 2016:51).
Setelah resmi dilantik menjadi presiden, Bourguiba membuat pernyataan bahwa
negara baru tersebut dalam konteks kebijakan dan gaya pemerintahannya akan
menjadi seperti Barat (Wolf, 2017:25). Pernyataan Bourguiba tersebut
menyiratkan penolakan suara kubu nasionalis Arab dalam membentuk masa depan
negara. Padahal pada masa itu, banyak warga Tunisia yang tertarik pada janji
Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang memiliki visi untuk menyatukan
seluruh dunia Arab di bawah kepemimpinannya sebagai bentuk kebencian mereka
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 32
6
Bourguiba dan sekelompok nasionalis Tunisia membentuk partai The New Constitutional Liberal
Party / al-Ḥizb al-Ḥurr ad-Dustūrī al-Jadīd atau dikenal dengan sebutan Neo-Destour. Partai ini
dibentuk pada tahun 1934 di masa protektorat Perancis (Canada IRBC, 2004; Howling Pixel, tanpa
tahun).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 33
7
Pada masa pra kemerdekaan Tunisia, Bourguiba memerlukan kekuatan persatuan dari kelompok
Islamis Tunisia untuk melawan Perancis. Sehingga Bourguiba mengecam proyek asimilasi budaya
Perancis dengan Tunisia, lalu membela jilbab dan kerudung tradisional Tunisia yaitu sefsari.
Bourguiba secara terbuka mengecam Tahar Haddad yang bersuara tentang hak-hak perempuan,
dengan alasan bahwa usulan reformasinya akan menguntungkan para pejabat Protektorat dan tidak
memiliki efek positif pada masyarakat Tunisia (Wolf, 2017:23).
8
Sebelumnya para aktivis pendukung Salah Ben Yousef dituduh berbuat makar untuk membunuh
Bourguiba pada masa awal kemerdekaan tahun 1959 (Wolf, 2017:25).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 34
Tidak hanya itu, banyak dosen direkrut dari Perancis untuk memajukan
program pendidikan Bourguiba dan membuka sistem bilingual (Daoud, 1991).
Dengan demikian, mahasiswa yang terbiasa menggunakan bahasa Arab dalam
proses belajarnya semakin sulit untuk mendapatkan kesempatan lulus di
Universias Zaytouna dan secara tidak langsung budaya Barat secara perlahan
menurunkan tradisi keagamaan yang ada. Selanjutnya, Bourguiba berupaya
membersihkan praktik-praktik keagamaan yang mengakar di dalam masyarakat.
Ini termasuk rukun-rukun Islam seperti menunaikan ibadah haji ke Mekah dan
berpuasa di bulan Ramadhan. Namun, Presiden tetap menjaga dirinya dengan
membingkai program reformasinya itu menggunakan bahasa Islam yang seakan
merupakan kewajiban agama. Dengan demikian, kebijakannya mengenai tidak
berpuasa dikemas sebagai bentuk “jihad melawan keterbelakangan” untuk
mengatasi peningkatan ketidakberdayaan ekonomi. Presiden Bourguiba membuat
alasan, pada masa awal Islam, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk
berhenti berpuasa ketika peristiwa penaklukkan kota Mekah (fathu Makkah) dan
Islam merupakan agama yang mengutamakan aksi dan perbuatan baik (Wolf,
2017:30).
9
Rachid Ghannouchi, salah satu pemikir paling terkemuka dalam bidang pemikiran Islam
kontemporer. Rachid Ghannouchi merupakan tokoh penting dalam rekam jejak partai Ennahda. Ia
adalah salah seorang yang memprakarsai terbentuknya MTI (Mouvement de la Tendence
Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami) dan Ennahda. Rachid Ghannouchi telah menjadi ideolog
sentral, kekuatan pemersatu, ahli strategi dan pemimpin pengasingan gerakan Islam Tunisia
Ennahda (Tamimi, 2001:vi).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 36
Pada tahun 1967, Arab kalah melawan Israel dalam peristiwa Perang Enam
Hari (Six Day War). Dalam Enam Hari, pasukan Israel tidak hanya mengalahkan
Mesir, Yordania, dan Suriah, tetapi telah mengambil kendali atas jalur Gaza,
Semenanjung Sinai Mesir, West Bank, dan Dataran Tinggi Golan Suriah. Lebih
parah lagi, Bourguiba satu-satunya pemimpin di dunia Arab yang tidak
menganjurkan konfrontasi langsung dengan Israel. Hal tersebut mengundang
kekecewaan banyak pihak terhadap pemikiran sekularisme dan nasionalisme Arab
pada masa itu. Kemenangan Israel pada peristiwa Perang Enam Hari menjadi
pemicu bangkitnya gerakan Islamisme di seluruh dunia Arab.
untuk menjadi imam jamaah shalat, dan ia pun menjadi terinspirasi oleh kelompok
itu (Tamimi, 2001:24-25).
Antusias yang begitu tinggi untuk menjadi aktivis Islam semakin muncul.
Hal itu makin dipicu dengan adanya perselisihan yang terus menerus terjadi di
antara kelompok kiri dan rezim penguasa. Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an,
Rachid Ghannouchi beserta aktivis Islam politik lainnya yaitu Hmida Ennaifer,
dan Abdelfattah Mourou mendirikan organisasi yang baru bernama al-Jama’a al-
Islamiyya (kelompok Islam). Melalui organisasi ini, kelompok Islamis bertujuan
untuk ikut andil memberi kontribusi tidak hanya dalam ruang privat, namun
menghidupkan kembali Islam dalam ruang publik, termasuk masjid-masjid,
asosiasi-asosiasi dan fasilitas pendidikan. Banyak dari anggota ASQ tertarik untuk
bergabung dengan Jama’a al-Islamiyya yang dinilai lebih bersemangat membela
Islam. Salah satu pendiri al-Jama’a al-Islamiyya juga yakni Abdelfattah Mourou,
merupakan mantan anggota ASQ. Program kegiatan al-Jama’a al-Islamiyya tidak
hanya seputar masalah keaslian budaya dan agama saja, namun juga melakukan
serangkaian kegiatan sosial seperti acara sosial, olahraga, belajar dan musik.
Sehingga al-Jama’a al-Islamiyya mendapatkan berbagai dukungan dari berbagai
lapisan masyarakat (Wolf, 2017:32-38).
Pada tahun 1970 Anwar Sadat mengambil alih kekuasaan di Mesir setelah
kematian Nasser (Hasan, 2017). Anwar Sadat menjauhkan diri dari proyek pan-
Arab Nasser dan malah menyebut dirinya 'Presiden yang beriman'. Sadat mulai
membebaskan tahanan Ikhwanul Muslimin dan mengizinkan mereka beroperasi di
tempat terbuka dan menerbitkan majalah bulanan. Sebagai akibatnya, aliran
literatur Ikhwanul Muslimin meningkat di seluruh wilayah.
Oleh karena itu secara khusus, kelompok kiri menentang kemunculan aktivis al-
Jamaʿa al-Islamiyya.
Pada bulan Juli 1981, satu bulan setelah MTI mengajukan permohonan izin,
permintaan untuk melegalkan partai politiknya ditolak. Beberapa bulan
berikutnya, lebih dari ratusan aktivis Islamis dipenjara atas tuduhan penyebaran
informasi palsu, operasi asosiasi yang tidak sah, hasutan untuk melakukan
kekerasan terutama di wilayah kampus. Penindasan tersebut memperkuat citra
publik MTI dan banyak warga Tunisia mengecam tindakan keras rezim.
Kekecewaan rakyat terhadap rezim semakin meningkat setelah pemilu 1981,
presiden memalsukan hasil untuk memberikan PSD 94,6% suara, sehingga tidak
ada partai lain yang mencapai 5% suara yang diperlukan untuk diakui secara
hukum (Wolf, 2017:57-58).
Pada tanggal 7 November 1987, Zainal Abidine Ben Ali melakukan kudeta
tak berdarah terhadap Bourguiba. Ketika awal-awal mengambil alih kekuasaan, ia
mengendalikan keamanan negara dengan cara memenjarakan 157 anggota MTI
karena dianggap berpotensi sebagai ancaman keamanan negara. Namun, Ben Ali
berhati-hati untuk tidak mengulangi kesalahan Bourguiba yang gagal mencegah
perkembangan gerakan Islamisme melalui cara represif. Sehingga beberapa bulan
berikutnya, presiden Ben Ali menghentikan tindakan kerasnya dan antara bulan
November 1988 dan April 1989 ia membebaskan semua tahanan MTI. Ben Ali
mengecam kebijakan-kebijakan Bouguiba dan menjanjikan pemerintahan Tunisia
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 41
Ben Ali ingin membuat dirinya dekat dengan kelompok Islamis dengan
mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap mereka dan berusaha untuk tidak
meniru kebijakan keras Bourguiba terhadap mereka. Ben Ali mengizinkan
anggota MTI untuk menjadi bagian dari komite yang bertugas menegosiasikan
'Pakta Nasional', yang ditandatangani oleh 16 partai dan organisasi pada tahun
1989. Pakta Nasional mengabadikan dukungan para peserta penandatanganan
untuk HAM (Hak Asasi Manusia) dan Personal Status Code, di samping
kebebasan berpendapat dan asosiasi 'dalam konteks hukum' (Wolf, 2018). Ben Ali
juga memilih untuk menyiarkan azan di radio dan televisi. Selain itu, langkah
Ben Ali selanjutnya yakni membuka kembali tiga kajian / mata kuliah kampus
Islam di Universitas Zaytouna dan memulihkan statusnya sebagai universitas pada
tahun 1987.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 42
Tak berselang lama setelah itu, Ben Ali juga mendirikan kementerian
agama, pusat kajian agama Islam di kota suci Kairouan, dan Dewan Tinggi
Agama Islam yang bertugas memastikan undang-undang yang dibuat sesuai
dengan kaidah Islam. Presiden Ben Ali juga menetapkan kebijakan untuk
menentukan bulan Ramadhan dengan metode melihat bulan, yang pada masa
rezim Bourguiba menggunakan kalender Gregorian. Pada tahun 1989, presiden
mengadakan Ramadan Untuk Semua, yang mengklaim memberikan makanan
gratis untuk keluarga atau masyarakat terpinggirkan untuk memperkuat legitimasi
kekuasaan Ben Ali (Wolf, 2017:69).
Ben Ali mengadakan pemilihan presiden dan parlemen pada tahun 1989.
Pada bulan Juni 1989, Ennahda berupaya memperoleh lisensi dari pemerintah
untuk menjadi partai politik yang resmi. Namun, permohonan Ennahda untuk
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 43
status partai ditolak. Dalam sebuah pernyataan Juni 1989, Ben Ali menegaskan
sikapnya mengenai Ennahda dengan menyatakan bahwa:
‘We say to those who mix religion with politics that there is
no way of allowing them to form a party’ ('kami katakan kepada
mereka yang mencampurkan agama dengan politik bahwa tidak ada
cara untuk memungkinkan mereka membentuk sebuah partai')
(Wolf, 2018).
Konsesi yang jelas dari rezim Ben Ali adalah mengizinkan Ennahda pada
bulan Januari 1990 untuk tetap memproduksi literatur sendiri, al-Fajr. Namun,
konsesi tersebut adalah jebakan untuk Ennahda. Rezim membiarkan Ennahda
menerbitkan al-Fajr agar mengetahui pemikiran dan program Ennahda. Jadi
beberapa bulan setelah al-Fajr diterbitkan, direkturnya ditangkap dan dituduh
membuat artikel yang berisi fitnah. Publikasi al-Fajr dilarang pada bulan Januari
1991 (Wolf, 2017:72).
Dua bulan setelah insiden Bab Souika, para pejabat pemerintah mengklaim
telah mengungkap makar yang lebih besar yaitu bahwa Ennahda sedang berusaha
untuk menggulingkan pemerintah. Abdallah Kallel, seorang menteri dalam negeri
di bawah rezim Ben Ali pada masa itu, mengumumkan penangkapan terhadap
orang-orang yang dicurigai telah mempersiapkan rencana untuk menjatuhkan
rezim. Ada 300 orang Islam, termasuk 100 orang dari militer, ditangkap di
Barraket Essahel. Insiden penangkapan tersebut kemudian dikenal peristiwa
Barraket Essahel. Bahkan lebih banyak orang yang ditangkap pada bulan-bulan
berikutnya (Wolf, 2017:74-75).
Selain itu, ada banyak warga Tunisia juga tertarik untuk belajar di
Universitas Zaytouna. Sekitar 1412 mahasiswa baru diterima di universitas
tersebut pada periode 2010-2011 (sebelum adanya peristiwa pemberontakan atau
revolusi martabat). Meskipun jumlah pendaftar di Zaytouna pada tahun 2000-an
masih lebih rendah dibanding sebelum Ben Ali menindak kelompok Islamis,
meningkatnya permintaan akan pendidikan agama jelas merupakan indikasi dari
pencarian jati diri yang baru untuk nilai keagamaan. Banyak pejabat pemerintah
terkejut karena melihat kembalinya identitas agama di Tunisia. Padahal saat itu
orientasi negara sejak lima puluh tahun yang lalu ialah melarang poligami,
memeluk sekularisme, dan mengembangkan industri anggur domestik (Wolf,
2017:108-109).
Pada tahun 2006, lima warga Tunisia dan satu orang Mauritania mendirikan
suatu perkumpulan yang bernama Kelompok Soliman (Wolf, 2017:125). Pada
bulan Desember 2006 terjadi sebuah insiden, ketika sekelompok pria bersenjata
ditangkap di kota Soliman, 30 km selatan Tunis. Media Tunisia milik negara pada
awalnya menggambarkan kelompok itu sebagai 'penjahat', tetapi isu yang tersebar
di kalangan wartawan dan warga Tunisia bahwa kelompok itu terdiri dari kaum
Salafi yang tergabung dalam jaringan al-Qaeda. Selama persidangan para anggota
kelompok itu pada tahun 2007 kemudian menjadi jelas, bahwa mereka adalah
pejuang jihad yang pergi ke Irak. Tetapi kelompok tersebut juga bertujuan untuk
memberontak melawan pemerintahan Tunisia (rezim Ben Ali) (Haugbølle, 2015).
dan tindak kekerasan' serta menekankan bahwa ‘sikap politik yang tertutup akan
berdampak negatif terhadap keseluruhan kualitas kehidupan sosial, ekonomi dan
budaya' (Wolf, 2017:126).
Strategi Ben Ali yang kedua, mengintensifkan tindakan keras terhadap para
jihadis. Teman atau anggota keluarga dari tersangka secara khusus dianggap
bersalah juga oleh asosiasi. Penindasan ini mencapai puncaknya pada tahun 2008,
antara 1.000 dan 2.000 warga Tunisia telah dipenjara di bawah undang-undang
terorisme tahun 2003. Mayoritas dari mereka tidak bersalah atas kejahatan yang
dituduhkan kepada mereka. Penindasan rezim tersebut terjadi saat ketegangan
sosial dan ekonomi meningkat. Saat masa genting tersebut, terjadi peningkatan
arus informasi dari media luar negeri seperti TV satelit Arab, Al-Jazeera, Al-
Arabiyya, dan TV Abu Dhabi. Informasi dari media luar negeri bertentangan
dengan retorika resmi negara, kemudian ditambah lagi dengan bertambahnya
jumlah masyarakat yang semakin termarjinalkan khususnya di provinsi
pedalaman, memicu protes masyarakat yang mengarahkan ke peristiwa revolusi
Arab Spring (Wolf, 2017:127).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 50
kurang dari enam minggu mereka mendirikan 2.064 kantor Ennahda, termasuk
dua puluh empat biro yang mewakili berbagai gubernur. Kantor yang baru
didirikan menjadi titik pertemuan bagi mantan tahanan politik dan keluarga
mereka. Para aktivis mendiskusikan tentang apa yang harus dilakukan Ennahda
untuk Tunisia pasca runtuhnya rezim Ben Ali (Wolf, 2017:132).
Pasca pemberontakan terhadap rezim Ben Ali, Ennahda memilih untuk tidak
menerapkan strategi politik ‘balas dendam’ terhadap para mantan pejabat
pemerintahan Ben Ali dan musuh politiknya dari RCD. Menjelang pemilihan
majelis konstituante pada tanggal 23 Oktober 2011, partai-partai politik di Tunisia
melakukan kampanye termasuk Ennahda. Beberapa partai sekuler misalnya PDP
(Progressive Democratic Party; al-Hizb al Dimuqrati al Taqaddumi), melakukan
kampanye dengan menggunakan retorika anti-Islam yang mengklaim bahwa
Ennahda akan membawa Tunisia kembali ke zaman abad pertengahan. Terlebih
lagi, partai-partai berhaluan sekuler merasa yakin bahwa mereka memiliki cukup
pendukung untuk memenangkannya sehingga mereka tidak membentuk koalisi.
Oleh karena itu, kekuatan partai-partai sekuler menjadi lemah.
10
Persatuan Umum Mahasiswa Tunisia (Union Générale Tunisienne des Étudiants/ UGTE)
merupakan sebuah organisasi yang didirikan oleh sekelompok mahasiswa pada tahun 1985 untuk
membela kepentingan mahasiswa. Organisasi ini memiliki kecenderungan untuk memihak kepada
MTI. Sehingga pada tahun 1991, rezim Ben Ali melarang pergerakan organisasi tersebut karena
hubungannya dengan MTI (Encyclopedia.com, tanpa tahun).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 52
lebih sedikit daripada, misalnya, Mesir (81%) atau Yordania (76%). Adanya suara
dukungan terhadap syariat Islam yang begtiu besar mencerminkan kegundahan
mayoritas masyarakat Tunisia terhadap corak pemerintahan sekularisme sejak
pasca kemerdekaan (Wolf, 2017:139).
11
Ennahda pada awalnya menyerukan sistem parlementer secara eksklusif (Ghannouchi, 2016).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 55
تضمن الدولة حماية حقوق المرأة و دعم مكاسبها باعتبارها شريكا حقيقيا مع
تضمن الدولة تكافؤ الفرص بين.الرجل في بناء الوطن و يتكامل دورهما داخل األسرة
تضمن الدولة القضاء على كل أشكال.المرأة و الرجل في تحمل مختلف المسؤليات
العنف ضد المرأة.
(Negara harus menjamin perlindungan hak-hak perempuan
dan mendukung prestasinya sebagai mitra sejati bagi laki-laki dalam
pembangunan bangsa dan memiliki peran yang saling melengkapi di
dalam keluarga. Negara harus menjamin tersedianya kesempatan
yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan
berbagai tanggung jawab. Negara harus menjamin penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan) (Zarrugh, 2014).
Kata yatakamalu ( )يتكاملdi sini diterjemahkan sebagai ‘pelengkap,
terpenuhi, atau saling melengkapi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan’.
Penggunaan istilah yatakamalu dinilai sebagai kontradiksi dengan pasal lainnya
dari rancangan konstitusi yang menekankan kesetaraan gender. Istilah 'kesetaraan'
(Perancis: 'égaux' dan 'égalité'; Bahasa Arab: 'al-masawa ( )')المساوىdigunakan
dalam berbagai konteks dalam rancangan konstitusi termasuk dalam preambul
konstitusi. Pasal 1.6 membahas hak yang sama (equal) di antara warga negara;
Pasal 2.21 membahas tentang hak-hak keluarga dan secara eksplisit menyatakan
'kesetaraan (equality) antara pasangan'; Pasal 2.22 menyatakan kesetaraan
(equality) antara warga negara; Dan Pasal 2.30 memastikan 'kesetaraan (equality)
antara orang-orang dengan kebutuhan khusus dan warga negara lain'. Tidak
adanya istilah 'kesetaraan' dari pasal 28 yang secara langsung membahas hak-hak
perempuan menjadi sebuah kritik dari beberapa kelompok perempuan terhadap
pemerintah dan meminta kepada pemerintah untuk merevisi undang-undang
tersebut (Zarrugh, 2014).
pemimpin Ennahda telah berjanji pada masa sebelum pemilihan, untuk tidak
memasukkan syariah ke dalam konstitusi. Beberapa pengikut Ennahda
mengklaim bahwa beberapa prinsip Personal Status Code bertentangan dengan
syariah. Setelah beberapa kali musyawarah, pimpinan Ennahda meyakinkan para
anggotanya yang lebih dogmatis untuk menerima perundang-undangan pada
prinsipnya. Dalam sebuah wawancara, Rachid Ghannouchi mengatakan:
BAB 3.
DINAMIKA POLITIK PARTAI ENNAHDA DI TUNISIA
3.1.1 Salafisme
Menurut Wiktorowicz, ada tiga bentuk salafisme: Puris, politik, dan jihadis.
Salafi puris memiliki fokus utama pada penjagaan kemurnian Islam sesuai dengan
ketentuan al Quran dan as Sunnah serta ketentuan ijma' (konsensus) dari sahabat
rasulullah saw. Untuk aktivisme politik, kaum puritan lebih menyukai aksi
dakwah dan tarbiyyah (edukasi keagamaan). Sebab asumsi kaum puritan ialah
proses Islamisasi seharusnya dari bawah (bottom up) dan tidak mengganggu
proses operasional institusional negara. Aksi politik dinilai kerap mengundang
kekerasan atau kebijakan represif, sehingga cara demikian bisa mengancam
eksistensi negara. Dalam perspektif ini, gerakan politik Salafi jihadis mendapat
kritik karena aksi-aksinya counterproductive dan akan menyebabkan aktivisme
Islam yang represif. Strategi salafisme puris ini merupakan cara isolasionisme
atau mundur dari institusi sosial dan politik. Pendekatan politik ini terinspirasi
dengan khotbah Rasulullah saw pada periode Mekah ketika kondisi lingkungan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 59
yang memusuhi Nabi saw, mendorong beliau untuk melakukan aksi komunikasi
sosial dan politik secara horizontal daripada melakukan aksi politik (Torelli et.al.,
2012).
era rezim Bourguiba dan Ben Ali telah menerapkan sistem yang berorientasi
pembangunan ala Barat serta kebijakannya yang konfrontatif terhadap kelompok
Islamis. Khususnya pada era rezim Ben Ali, pemerintah telah menindak keras
gerakan ekstremis yang dilakoni oleh kelompok salafi pada peristiwa Soliman
tahun 2007. Atas kemunculan fenomena baru tersebut, ada banyak pihak yang
menuduh Ennahda telah melakukan proyek Islamisasi dalam negeri Tunisia.
Salah satu tujuan utama Khouja adalah merangkul para salafi muda dan
mencegah mereka bergabung dengan kelompok Islam garis keras. Namun,
langkah Khouja mendapat kecaman keras dari kelompok ultra-konservatif atau
dari Salafi garis keras, dengan menyatakan bahwa partai Khouja tidak lain
hanyalah alat Ennahda dan mereka tidak percaya pada politik (Wolf, 2017:146).
Kelompok ultra-konservatif menolak adanya institusionalisme Salafi dan lebih
suka melakukan aktivisme secara bottom-up. Dalam artian, kelompok Salafi garis
keras menentang proses Islamisasi masyarakat secara bertahap melalui proses
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 64
politik dan lebih memilih opsi gerakan sosial melalui akitivitas dakwah serta
amal.
ke dalam konstitusi dapat meyakinkan Barat bahwa mereka akan baik-baik saja
apabila melakukan investasi di Tunisia. Memang, tugas pemerintahan Troika tidak
hanya menyusun konstitusi, namun juga berusaha menyelamatkan perekonomian
negara akibat dari kegagalan rezim Ben Ali dan ketidakstabilan yang ada pasca
pemberontakan. Selain itu, ‘kejelasan status’ kerjasama Tunisia dengan Uni Eropa
mengenai pembentukan kawasan free-trade area juga menjadi pertimbangan
pemerintahan Troika. Keputusan untuk melanjutkan pembicaraan tentang status
lanjut dimotivasi oleh komisaris Uni Eropa, sebagai akibat dari reformasi politik
pasca-Ben Ali di Tunisia. Dengan adanya negosiasi tersebut, memasukkan syariah
dalam konstitusi baru akan membahayakan kemajuan. Pertimbangan yang sama
juga berlaku atas masalah dukungan A.S. Hillary Clinton, yang mengumumkan
bahwa Washington akan memberikan $100 juta kepada pemerintah Tunisia untuk
bantuan fiskal jangka pendek. Dana ini akan menjadi sumber tambahan untuk
perjanjian sovereign-loan-guarantee ($ 30 juta) (Lusardi, 2017).
Pada hari yang sama polisi menggagalkan serangan terkoordinasi terhadap makam
mantan presiden Habib Bourguiba di Monastir. Meskipun kedua serangan itu
berhasil digagalkan, namun kedua hal tersebut mencerminkan bahwa kelompok
Salafi Jihadis merupakan ancaman serius bagi Tunisia (Wolf, 2017:150).
26 Juli 2013, satu hari pasca insiden pembunuhan Brahmi. Tujuan utama dari
Jabhat al-Inkadh al-Watani adalah untuk menjatuhkan Ennahda dari kekuasaan
(Wolf, 2017:153-154).
Upaya dari kubu sekularis berhasil menarik perhatian massa serta kelompok
oposisi pemerintah. Protes secara besar-besaran anti-Troika serta kuatnya tekanan
oposisi setelah pembunuhan Brahmi pada bulan Juli 2013, membuat sekitar
seperempat dari wakil-wakil Majelis Konstituante mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri. Bahkan salah satu mitra koalisi Troika, yakni Ettakol,
mendukung seruan Front Keselamatan Nasional untuk membubarkan pemerintah.
Setelah kuatnya desakan terhadap pemerintah, para pejabat Ennahda akhirnya
setuju untuk mengundurkan diri dari kekuasaan dengan syarat setelah
perancangan konstitusi terselesaikan. Sehingga tugas yang diamanatkan pada
pemerintahan koalisi dapat dituntaskan dan hal tersebut bisa dinilai sebagai
penghargaan kepada Troika atas pencapaian penting tersebut. Ennahda
mengundurkan diri dari kekuasaan pada bulan Januari 2014. Konstitusi yang
diadopsi pada tanggal 27 Januari 2014, menetapkan Islam sebagai agama Tunisia
dan negara berperan sebagai pelindung segala sesuatu yang dinilai sakral (Wolf,
2017:156).
Kudeta Mesir tahun 2013 dapat terjadi disebabkan Morsi gagal memenuhi
tuntutan reformasi dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi pasca penggulingan
rezim Husni Mubarak. Dalam aspek sosial-ekonomi, FJP harus memulihkan
kondisi perekonomian negara yang memburuk sebagai hasil dari era rezim Husni
Mubarak. Era rezim Mubarak mewariskan inflasi perekonomian sekitar 30 persen
dan tingkat pengangguran 30 persen, juga dengan lemahnya pertumbuhan PDB
(Produk Domestik Bruto) sekitar 5 persen. Kondisi ini mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional tidak mampu mengimbangi
peningkatan populasi Mesir yang tumbuh cepat dari sekitar 50 juta pada awal
1980-an menjadi lebih dari 83 juta pada 2010 (Saikal, 2011).
yang sama lemahnya sebesar 2,2 persen pada tahun fiskal 2011/2012. Nilai mata
uang Mesir (Pound Mesir) mengalami penurunan 13,6 persen terhadap dolar
Amerika Serikat pada akhir Juni 2013, walaupun pernah mengalami kenaikan 1,9
persen pada akhir November 2013 (CBE, 2013). Meskipun tingkat kemiskinan
ekstrem telah turun dari 4,8 persen menjadi 4,4 persen, namun jumlah orang yang
hidup di bawah garis kemiskinan di Mesir meningkat menjadi 26,3 persen dari
populasi pada tahun 2012/2013 dibandingkan dengan 25,2 persen pada tahun
2010/2011 (Alsahary, 2014). Untuk mengatasi krisis ekonomi, kabinet Mursi
mencoba bernegosiasi dengan IMF (International Monetary Fund) untuk
memperoleh pinjaman dana sebesar US$4,8 miliar (Tempo.co, 2013a). Tetapi,
FJP terjebak dengan pilihan dilematis bila pinjaman ini terjadi karena alasan janji
partai tersebut mengenai kebijakan populis, sementara di sisi lain pinjaman
internasional tersebut amat dibutuhkan. Untuk melunasi hutang negara tersebut,
maka pemerintah akan terpaksa menerapkan regulasi pemotongan subsidi yang
ketat meskipun dalam situasi krisis sosial ekonomi. Akibatnya, potensi
kemiskinan, ketimpangan ekonomi, pengangguran dan mobilitas massa akan
meningkat.
Bila meninjau program politik Ikhwanul Muslimin pada tahun 2004 tentang
Inisiatif Untuk Reformasi Domestik, maka telah dijelaskan platformnya berkaitan
dengan hak individu atas partisipasi politik, perubahan pada sistem pemilihan dan
dalam pendidikan, pembangunan ekonomi, pemberantasan kemiskinan,
memerangi korupsi, menghilangkan penyiksaan, membatasi kekuasaan presiden,
dan penghapusan aturan darurat. Dalam programnya juga disebutkan bahwa
Ikhwanul Muslimin meyakini sistem ekonomi yang berasal dari Islam sebagai
agama dan memuat pedoman hidup yang lengkap, sebagai sistem komprehensif
yang memuat pentingnya kebebasan aktivitas ekonomi. Namun, hak pemenuhan
kebutuhan hidup, prinsip privatisasi, liberalisasi kebijakan perdagangan, dan
memperketat hukuman terhadap korupsi dinilai sebagai suatu prinsip luar ideologi
Islamisme. Dokumen tersebut menekankan bahwa nilai-nilai moral Islam harus
menembus bidang pendidikan dan penelitian ilmiah, tetapi pada kenyataannya
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 73
presiden yang diadakan pada bulan Desember 2014, strategi politik Ennahda tidak
mengedepankan kandidat presiden mana pun, sehingga tidak memicu
kekhawatiran lawan-lawannya bahwa Ennahda akan kembali mencoba untuk
mendominasi politik. Beji Caid Essebesi dari partai Nida Tounes menjadi
pemenang di pemilihan umum presiden Tunisia dan mengalahkan Moncef
Marzouki yang dinilai dekat dengan haluan Islamis (Wolf, 2017:157-158).
Dalam parlemen yang terdapat 217 kursi, Nidaa Tounes memiliki 86 kursi
dan mendapat dukungan dari kubu liberal, partai sekuler UPL, yang memiliki 16
kursi. Tetapi tanpa dukungan kubu Islamis, Ennahda, partai tersebut kekurangan
109 mayoritas yang mereka butuhkan untuk meratifikasi kabinet (Al Jazeera,
2015). Sehingga Ennahda bergabung ke dalam parlemen meskipun berkoalisi
dengan partai sekuler Nida Tounes demi terbentuknya kabinet pemerintahan yang
stabil. Kabinet pemerintahan dipimpin oleh seorang politisi independen dan dekat
dengan Nida Tounes, Perdana Menteri Habib Essid, yang merupakan mantan
pejabat Ben Ali. Kabinet tersebut terdiri dari 28 menteri dan 14 sekretaris negara.
Ennahda mendapat posisi Kementrian Ketenagakerjaan serta sekertaris negara
untuk keuangan, investasi, dan kesehatan. Pimpinan parlemen adalah Abdelfattah
Mourou menjadi wakil ketua parlemen yang dulunya pernah diduduki oleh
Mohammed Ennaceur. Meskipun pemetaan jabatan dalam pemerintahan tampak
berjalan lancar, partisipasi Ennahda pada awalnya hanya bersifat simbolis. Selain
itu, para pemimpin Ennahda menerima posisi jabatan di mana mereka tidak
mungkin berhasil karena kondisi perekonomian negara yang terus menerus dalm
kondisi stagnan. Hal tersebut menunjukkan bahwa para mitra koalisi tidak percaya
dengan Ennahda dengan membatasi peranan Ennahda di dalam pemerintahan.
Namun Ennahda lebih memilih memperoleh peranan kekuasaan yang terbatas
daripada menjadi pihak oposisi yang secara tradisional memiliki sedikit pengaruh
kekuasaan. Dengan bergabung pada kabinet penguasa, Ennahda juga akan
terhindar dari lawan-lawannya yang berusaha menyalahkannya mengenai kasus-
kasus kekerasan kelompok agama yang menguat di beberapa daerah pasca
terselenggaranya pemilihan (Wolf, 2017:158-159).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 76
BAB 5.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Tibi, B. 2012. Islamism and Islam. New Haven & London: Yale University Press.
Wolf, A. 2017. Political Islam in Tunisia The History of Ennahda. New York:
Oxford University Press.
Jurnal
al-Anani, K. 2015. Upended path: the rise and fall of Egypt's muslim brotherhood.
The Middle East Journal . Vol. 69, No.4, Hal. 527-543.
Guazzone, L. 2013. Ennahda islamist and the test of government in Tunisia. The
International Spectator. Vol. 48, No. 4, Hal. 30-50.
Gumuscu, S. 2010. Class, status, and party: the changing face of political islam in
Turkey and Egypt. Comparative Political Studies. Vol. 43, No. 7, Hal.
835-861.
Machairas, D. 2017. The strategic and political consequences of The June 1967
War. Cogent Social Sciences. Vol. 3, No. 1.
Meriboute, Z. 2013. “Arab spring”: the influence of the muslim brotherhood and
their vision of islamic finance and the state. International Development
Policy: Religion and Development. Hal. 128–143.
Mushlih, A., & Hurriyah. 2016. Aktor politik dan gagalnya transisi demokrasi
Mesir tahun 2011-2013. Jurnal Politik. Vol. 2, No. 1, Hal. 41-69.
Wolf, A. 2018. ‘Dégage RCD!’ The rise of internal dissent in Ben Ali’s
Constitutional Democratic Rally and the Tunisian uprisings.
Mediterranean Politics. Vol. 23, No. 2, Hal. 245-264.
CBE. 2013. Central Bank of Egypt - Annual Report 2012/2013. Central Bank of
Egypt.
Nassar, A. A. 2016. Events of the Tunisian Revolution The Three First Years.
Department of Peace and Conflict Research. Uppsala:
Universitetstryckeriet.
Situs Internet
Al Arabiya English. 2016. Al Arabiya profiles: Beji Caid Essebsi, the veteran
Tunisia needed. Al Arabiya: http://english.alarabiya.net/en/media/inside-
the-newsroom/2016/07/04/Al-Arabiya-documentary-Beji-Caid-Essebsi-
the-veteran-Tunisia-needed.html. [Diakses pada 24 Juli 2019].
BBC. 2011. Tunisian Islamist leader Rachid Ghannouchi returns home. BBC:
https://www.bbc.com/news/world-africa-12318824. [Diakses pada tanggal
20 Mei 2019].
Canada: Immigration and Refugee Board of Canada. 2004. Tunisia: The Destour
Democratic Party; its founding members and founding date; its political
persuasion and ideology; its relationship with other established parties;
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 102
CIA. 2019. The World Factbook Africa: Tunisia. Central Intelligence Agency:
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ts.html.
[Diakses pada tanggal 30 Januari 2019].
Ibish, H. 2016. ‘Islamism Is Dead!’ Long Live Muslim Democrats. The New York
Times: https://www.nytimes.com/2016/06/03/opinion/tunisias-new-revolu
tion.html?_r=1. [Diakses pada tanggal 1 Oktober 2018].
Marks, M., & Ounissi, S. 2016. Ennahda from within: Islamists or “Muslim
Democrats”? A conversation. Brookings: https://www.brookings.edu/re
search/ennahda-from-within-islamists-or-muslim-democrats-a-
conversation/. [Diakses pada tanggal 26 Juli 2019].
_________. 2016b. Why Tunisia’s Top Islamist Party Rebranded Itself. Al-
Monitor: https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2016/05/tunisia-
ennahda-islamist-party-rebranding-congress.html. [Diakses pada tanggal 1
Oktober 2018].
The Guardian. 2014. Tunisia Election Results: Nida Tunis Wins Most Seats,
Sidelining Islamists. The Guardian: https://www.theguardian.com/world
/2014/oct/30/tunisia-election-results-nida-tunis-wins-most-seats-
sidelining-islamists. [Diakses pada tanggal 1 Oktober 2018].