Anda di halaman 1dari 106

Digital

Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

PERUBAHAN STRATEGI POLITIK PARTAI ENNAHDA DI TUNISIA


TAHUN 2016

(POLITICAL STRATEGY CHANGES OF ENNAHDA PARTY IN


TUNISIA AT 2016)

SKRIPSI

Oleh:
ALI HASEMI
NIM 120910101085

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2019
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

PERUBAHAN STRATEGI POLITIK PARTAI ENNAHDA DI TUNISIA


TAHUN 2016

(POLITICAL STRATEGY CHANGES OF ENNAHDA PARTY IN


TUNISIA AT 2016)

SKRIPSI
diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Ilmu Hubungan Internasional (S1) dan mencapai
gelar Sarjana Sosial

Oleh:
ALI HASEMI
NIM 120910101085

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

PERSEMBAHAN

Skripsi ini secara khusus saya dedikasikan untuk:

1. Ibunda tercinta Sripa Lubnah, dan Ayahanda tersayang Abdul Mutholib.


Terimakasih atas segala dukungan, doa, usaha, peluh dan pengharapan
yang telah diberikan kepada saya;
2. Guru-guruku sejak taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi;
3. Almamater.

ii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

MOTO

“Aturlah urusanmu dengan pengaturan yang apabila kamu melihat pada


kesudahannya itu terdapat kebaikan maka lanjutkanlah dan apabila kamu melihat
kerusakan maka tahanlah”. (Nabi Muhammad SAW)1.

“We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are
eternal and perpetual, and those interests it is our duty to follow”.
(Kita tidak memiliki sekutu abadi, dan kita tidak memiliki musuh abadi.
Kepentingan kitalah yang abadi dan terus ada, dan semua kepentingan itu adalah
tugas yang wajib kita patuhi). (Henry John Temple Palmerston (1784-1865),
politisi Inggris)2.

1
(HR. Ibnu Adiy dari sahabat Anas)
2
Wikiquote. 2019. Henry Temple, 3rd Viscount Palmerston. Wikiquote:
https://en.wikiquote.org/wiki/Henry_Temple,_3rd_Viscount_Palmerston. [Diakses pada tanggal
Rabu 26 Juni 2019].

iii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ali Hasemi

NIM : 120910101085

menyatakan dengan sesunggunya bahwa karya ilmiah yang berjudul “Perubahan


Strategi Politik Partai Ennahda di Tunisia Tahun 2016” adalah benar-benar hasil
karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum pernah
diajukan pada institusi mana pun, dan bukan karya jiplakan. Saya bertanggung
jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai sikap ilmiah yang harus
dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan
dan paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika
ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 9 Juli 2019

Yang Menyatakan

Ali Hasemi
NIM 120910101085

iv
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

SKRIPSI

PERUBAHAN STRATEGI POLITIK PARTAI ENNAHDA DI TUNISIA


TAHUN 2016

Oleh

ALI HASEMI
NIM 120910101085

Pembimbing

Dosen Pembimbing Utama : Drs. M. Nur Hasan, M.Hum.

Dosen Pembimbing Anggota : Drs. Pra Adi Soelistijono, M.Si.

v
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Perubahan Strategi Politik Partai Ennahda di Tunisia


Tahun 2016” telah diuji dan disahkan pada:
hari : Selasa
tanggal : 9 Juli 2019
waktu : 09.00 WIB
tempat : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Jember

Tim Penguji
Ketua

Fuat Albayumi, S.IP, M.A.


NIP. 197404242005011002

Sekretaris I Sekretaris II

Drs. M. Nur Hasan, M.Hum. Drs. Pra Adi Soelistijono, M.Si.


NIP. 195904231987021001 NIP. 196105151988021001

Anggota I Anggota II

Dr. Muhammad Iqbal, S.Sos., M.Si. Drs. Supriyadi, M.Si.


NIP. 197212041999031004 NIP. 195803171985031003

Mengesahkan,
Penjabat Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
Universitas Jember

Dr. Hadi Prayitno, M.Kes


NIP. 196106081988021001

vi
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

RINGKASAN

Perubahan Strategi Politik Partai Ennahda di Tunisia Tahun 2016; Ali


Hasemi; 120910101085; 2019; 104 halaman; Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.

Ennahda adalah nama dari salah satu partai politik di Tunisia yang awalnya
bergerak dalam haluan ideologi Islamisme. Dalam sejarah sepak terjangnya,
Ennahda menjadi wadah bagi para aktivis politik Islamis untuk melakukan
kegiatan dakwah dan upaya menjadikan syari’ah Islam sebagai pedoman hidup
dalam aspek sosial, budaya serta politik. Tetapi ketika masa terpilihnya Ennahda
menjadi kepala pemerintahan pada tahun 2011, partai tersebut secara perlahan
menunjukkan sikap dan tindakan politik yang terbuka terhadap aspek serta
prinsip-prinsip demokrasi. Namun Ennahda masih berupaya untuk
memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam agenda politiknya, seperti usaha Ennahda
dalam memasukkan gagasan Islam ke dalam konstitusi Tunisia. Sebaliknya pada
pasca kegagalan pemerintahannya di tahun 2013, Ennahda menjadi lebih
kompromi dengan realitas politik yang ada dan mengedepankan pilihan rasional
dalam menentukan sikap maupun pilihan politik. Pada tahun 2015, Ennahda
membentuk pemerintahan koalisi dengan partai pemenang pemilu sekaligus rival
politiknya dari kelompok haluan sekularisme, yaitu partai Nidaa Tounes.
Sebagaian pendukung setia Ennahda, kebijakan partainya dianggap sebagai
bentuk pengkhianatan terhadap nilai ideologinya sendiri karena menerima paham
sekularisme dan langkah tersebut dianggap sebagai penyimpangan dari keyakinan
Islam. Terlebih lagi, pada kongres ke-10 tanggal 20 Mei 2016, Ennahda yang
sebelumnya dipandang sebagai simbol partai Islamisme, mengeluarkan
pernyataan secara resmi bahwa partainya memisahkan diri dari aktivitas
keagamaan dan politik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

vii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

menjelaskan alasan serta faktor-faktor yang menyebabkan perubahan strategi


politik yang terjadi pada partai Ennahda di Tunisia.

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian


tersebut meliputi teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Teknik
pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research) untuk memperoleh
data sekunder. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan serta faktor-faktor yang


menyebabkan perubahan strategi politik partai Ennahda di Tunisia pada tahun
2016 karena adanya: tantangan politik yang baru, yakni kondisi lingkungan politik
yang plural dan tuntutan kompromistik dalam rangka membangun masyarakat
madani (civil society); kemunculan gerakan Islam garis keras serta kelompok
ekstremis di Tunisia; peristiwa kudeta militer atas Ikhwanul Muslimin di Mesir
tahun 2013; dan peningkatan ketidakpuasan publik terhadap koalisi pemerintahan
pimpinan partai tersebut.

viii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan
Strategi Politik Partai Ennahda di Tunisia Tahun 2016”. Skripsi ini disusun guna
memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ardiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Jember;
2. Bapak Drs. Bagus Sigit Sunarko, M.Si, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional;
3. Bapak Drs. Supriyadi, M.Si., selaku dosen wali akademik yang telah
membimbing penulis selama menjadi mahasiswa;
4. Bapak Drs. M. Nur Hasan, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Utama dan
Bapak Drs. Pra Adi Soelistijono, M.Si., selaku dosen pembimbing anggota
yang telah meluangkan waktu, membantu penulis menyusun skripsi selama
ini;
5. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jember, khususnya dalam Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
yang telah memberikan bimbingan dan ilmu yang bermanfaat;
6. Ibunda tercinta Sripa Lubnah dan Ayahanda Abdul Mutholib yang selalu
menjadi sosok inspirasi; Adik-adikku Muhammad Syarif, dan Zainab Aqilah
beserta segenap keluarga yang selalu memberikan dukungan baik doa
maupun nasehat dan juga semangat bagi penulis dalam penyelesaian skripsi
ini;

ix
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

7. Teman-teman jurusan Ilmu Hubungan Internasional 2012. Special regard


kepada Saudara M. Taufik Qurrahman (Taufik), Yulian Adi Kurniawan
(Yulian), Lutfia Khorida (Fia), A’idatulhaqq Adi Nastiti (Aida), Aad Rifqy
(Aad), Tri Indah Oktavianti (Trin), Rifqa Ayudiah Choirun Nisak (Rifqa),
Minanti Asmarani A (Tika), M. Maharani Subroto (Itok), Syah Than Thawi
(Towi), Radita N. Aini (Radita) dan Nyiratih Haruming Ayu Hapsari (Nyi)
yang bersedia menjadi partner diskusi selama perkuliahan dan telah banyak
membantu penulis selama proses penyusunan skripsi;
8. Para Pengurus Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI)
periode 2015-2016 yang sudah menemani berproses dalam menjalankan
organisasi;
9. Keluarga Besar Protokol FISIP (PROFIS) Universitas Jember yang telah
memberikan pengalaman berorganisasi, pengembangan kepribadian dan
pembelajaran kehidupan yang sangat berkesan dan berguna bagi penulis;
10. Segenap pengurus inti komunitas IR-Progress yang menjadi tempat
berdiskusi dan berbagi ilmu bagi penulis;
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan
dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran dari
semua pihka demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.

Jember, 9 Juli 2019


Penulis

x
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................................... ii

HALAMAN MOTO ......................................................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................................... iv

HALAMAN PEMBIMBINGAN ...................................................................................... v

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... vi

RINGKASAN .................................................................................................................. vii

PRAKATA ...................................................................................................................... viii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xv

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................ xvi

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1

1.2 Ruang Lingkup Pembahasan .............................................................................. 8

1.2.1 Batasan Materi ................................................................................................... 9

1.2.2 Batasan Waktu ................................................................................................... 9

1.3 Rumusan Masalah ............................................................................................. 9

1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 9

1.5 Kerangka Konseptual ........................................................................................ 10

1.5.1 Post-Islamism ................................................................................................... 10

xi
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

1.6 Argumen Utama ............................................................................................... 21

1.7 Metode Penelitian............................................................................................. 22

1.7.1. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 22

1.7.2. Teknik Analisis Data....................................................................................... 23

1.8 Sistematika Penelitian ...................................................................................... 23

BAB 2. ENNAHDA DALAM TATANAN POLITIK TUNISIA ................................ 24

2.1 Kondisi Geografis dan Sistem Politik Tunisia .................................................... 28

2.2 Sejarah Gerakan Kelompok Islamis dan Rekam Jejak Partai Ennahda di
Tunisia ................................................................................................................. 29

2.2.1 Embrio Gerakan Kelompok Islamis di Tunisia ................................................ 31

2.2.2 Latar Belakang Kemunculan Ennahda ............................................................. 32

2.2.3 Ennahda dan Rezim Ben Ali ........................................................................... 42

2.2.4 Meningkatnya Minat Publik terhadap Islam ................................................... 44

2.2.5 Pemberontakan Rakyat Tunisia: Tsauratu al Karama (Revolusi Martabat);


Awal dari Arab Spring .................................................................................... 50

2.2.6 Peranan Ennahda dalam Menyusun Konstitusi ................................................ 53

BAB 3. DINAMIKA POLITIK PARTAI ENNAHDA DI TUNISIA ........................ 57

3.1 Kebangkitan Gerakan Salafisme di Tunisia ....................................................... 57

3.1.1 Salafisme .......................................................................................................... 58

3.1.2 Gerakan dan Institusi Salafi di Tunisia ............................................................ 60

3.1.3 Terbunuhnya Dua Politisi dari Oposisi Pemerintahan Troika ......................... 68

3.2 Jatuhnya Ikhwanul Muslimin pada Tahun 2013 ............................................ 70

3.3 Perubahan Strategi Politik Partai Ennahda .................................................... 74

BAB 4. ALASAN PERUBAHAN STRATEGI POLITIK ENNAHDA ...................... 77

4.1 Reformasi Politik Partai Ennahda ................................................................... 78

4.2 Peristiwa Kudeta Militer atas Ikhwanul Muslimin di Mesir Tahun 2013 .... 82

xii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

4.3 Penurunan Daya Tarik Pemerintahan Koalisi Pimpinan Ennahda (Troika)


di Tunisia ............................................................................................................ 90

BAB 5. KESIMPULAN ................................................................................................. 96

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 98

xiii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Hasil pemilihan Majelis Konstituante Nasional (NCA) di Tunisia………….52

xiv
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

DAFTAR GAMBAR

Halaman

4.1 Grafik Pandangan Masyarakat terhadap Pemerintahan Tunisia......................93

xv
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

DAFTAR SINGKATAN

AKP Adalet ve Kalkinma Partisi / Justice and Development Party /


(Partai Keadilan dan Pembangunan)
ASQ Association for the Safeguard of the Qur’an
CIA Central Intellegence America (Pusat Intelejen Amerika)
CPR Congrès pour la République / Congree for the Republic
FDTL Forum démocratique pour le travail et les libertés; at-Takattul ad-
Dīmuqrāṭī min ajl il-‘Amal wal-Ḥurriyyāt / Ettakol
FIS Front Islamique du Salut; al-Jabha al-Islamiyya lil-Inqadh
FJP Freedom and Justice Party (Partai Kebebasan dan Keadilan)
HAM Hak Asasi Manusia
IMF International Monetary Fund
ISIS Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam Irak dan Suriah)
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MTI Mouvement de la Tendence Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami


(Gerakan Tendensi Islam)
NCA National Constituent Assembly (Majelis Konstituante Nasional)
PDB Produk Domestik Bruto
PDP Progressive Democratic Party; al-Hizb al Dimuqrati alTaqaddumi
(Partai Demokrat Progresif)
PSD Parti Socialiste Destourien / the Destourian Socialist Party
RCD Rassemblement Constitutionnel Démocratique
SCAF Supreme Council of Armed Forces (Dewan Tertinggi Angkatan
Bersenjata)
TIF Tunisian Islamic Front (Front Islam Tunisia)
UGET Union Générale des Édudiants de Tunisie (Serikat Umum
Mahasiswa Tunisia)
UGTE Union Générale Tunisienne des Étudiants

xvi
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

UGTT Union Générale Tunisienne du Travail (Serikat Buruh Umum


Tunisia)
UKM Usaha Kecil Menengah

xvii
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

BAB 1.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Awal mula kemunculan Ennahda dapat ditelusuri pada tahun 1967, ketika
Mesir, Jordan dan Suriah mengalami kekalahan dalam perang melawan Israel
yang dikenal dengan peristiwa Six Day War (Wolf, 2017:33). Akibatnya, banyak
pihak mengkritisi pemikiran politik sekularisme dan nasionalisme Arab yang
diterapkan pada masa itu. Hal tersebut kemudian disusul dengan kemunculan
gerakan-gerakan Islam politik di Tunisia dan beberapa negara Timur Tengah1.
Salah satu dari gerakan kelompok Islam tersebut ialah ASQ (Association for the
Safeguard of the Qur’an) yang berada di Tunisia (Internationalrelations.org,
tanpa tahun). ASQ dibentuk pada tahun 1967 oleh rezim Bourguiba untuk
memfasilitasi aspirasi dan kegiatan kelompok Islamis pada masa itu. Tujuan lain
dari dibentuknya ASQ adalah ntuk mengendalikan gerakan kelompok Islamis
(Alexander, 2016:47). Sehingga, kelompok Islamis mengeluhkan pembatasan
ruang gerak yang diberikan oleh pemerintah terhadap mereka.

Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, Rachid Ghannouchi2 beserta aktivis
Islam politik lainnya yaitu Hmida Ennaifer, dan Abdelfattah Mourou mendirikan
organisasi yang baru bernama al-Jama’a al-Islamiyya (kelompok Islam).
Organisasi yang dibentuk oleh para pemikir religius ini memfungsikan dirinya
sebagai kelompok agama yang fokus pada gerakan dakwah agama Islam dan
studi al-Quran. Organisasi inilah yang menjadi bibit awal dari kemunculan entitas

1
Fenomena tersebut sebenarnya dapat ditemukan sejak tahun 1928 di mana muncul gerakan
kelompok islam di Mesir yang bernama “Ikhwanul Muslimin” (Internationalrelations.org, tanpa
tahun).
2
Rachid Ghannouchi, salah satu pemikir paling terkemuka dalam bidang pemikiran Islam
kontemporer. Rachid Ghannouchi merupakan tokoh penting dalam rekam jejak partai Ennahda. Ia
adalah salah seorang yang memprakarsai terbentuknya MTI (Mouvement de la Tendence
Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami) dan Ennahda. Rachid Ghannouchi telah menjadi ideolog
sentral, kekuatan pemersatu, ahli strategi dan pemimpin pengasingan gerakan Islam Tunisia
Ennahda (Tamimi, 2001:vi).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 2

Ennahda di waktu mendatang. Melalui organisasi ini, kelompok Islamis bertujuan


untuk ikut andil memberi kontribusi tidak hanya dalam ruang privat, namun
menghidupkan kembali Islam dalam ruang publik, termasuk masjid-masjid,
asosiasi-asosiasi dan fasilitas pendidikan. Banyak dari anggota ASQ tertarik
untuk bergabung dengan Jama’a al-Islamiyya yang dinilai lebih bersemangat
membela Islam. Salah satu pendiri al-Jama’a al-Islamiyya, yakni Abdelfattah
Mourou, juga merupakan mantan anggota ASQ. Program kegiatan al-Jama’a al-
Islamiyya tidak hanya seputar masalah keaslian budaya dan agama saja, namun
juga melakukan serangkaian kegiatan sosial seperti acara sosial, olahraga, belajar
dan musik. Sehingga al-Jama’a al-Islamiyya mendapatkan berbagai dukungan
dari berbagai lapisan masyarakat (Wolf, 2017:32-38).

Pemerintah Tunisia pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, Habib


Bourguiba, mendukung gerakan kelompok Islam tersebut dan memanfaatkan
keberadaannya untuk membendung pengaruh paham komunisme. Bourguiba
bahkan membiarkan faksi partainya, PSD (Parti Socialiste Destourien / the
Destourian Socialist Party), menyerukan Islamisasi dan Arabisasi masyarakat
Tunisia, membiarkan mereka mendekati para pemimpin aktivis al-Jama’a al-
Islamiyya dalam upaya untuk meyakinkan mereka (al-Jama’a al-Islamiyya)
supaya mempengaruhi garis politik rezim. Namun, tindakan dari anggota partai
tersebut dianggap sebagai perantara untuk mendekatkan diri dengan masyarakat
muslim. Sebab fokus perhatian Bourguiba ditujukan untuk melawan kelompok
gerakan vokal sayap kiri. Bourguiba memerlukan pengaruh kelompok Islamis
untuk melawan kelompok gerakan vokal sayap kiri, sehingga mencoba
mengendalikan kelompok Islamis. Bourguiba memfasilitasi pertumbuhan
kelompok Islamis dan membiarkan kelompok Islamis mengutuk Marxisme yang
salah satu konsepnya dari ajaran komunisme dinilai ‘anti Tuhan atau ateis’ (Wolf,
2017:39). Memang secara umum pemerintah negara-negara Arab pada masa
tersebut, memiliki fokus untuk menghentikan laju perkembangan komunisme
sehingga kelompok gerakan Islamis dianggap dapat mendukung upaya
pemerintah dalam menentang laju pergerakan komunisme di Timur Tengah,
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 3

Afrika Utara dan berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia sesuai
dengan kapasitasnya (Internationalrelations.org, tanpa tahun).

Pada perkembangan selanjutnya, gerakan kelompok Islam di Tunisia


tersebut tidak hanya aktif dalam gerakan keagamaan saja. Namun kelompok
Islamis di Tunisia juga aktif bergerak terkait dengan isu-isu budaya di dalam
negeri dan kawasan Afrika. Kelompok gerakan Islamis tersebut menyikapi
persoalan-persoalan militer Arab dan krisis sosial sebagai akibat negatif yang
timbul dari ideologi dan nilai budaya asing. Oleh sebab itu, mereka bekerja untuk
mendidik warga Tunisia mengenai kesadaran Islam dan nilai-nilai budaya melalui
dakwah dan media cetak untuk berbagi informasi.

Pada awalnya, kelompok Islam masih berada dalam naungan pemerintahan


dan fokus terhadap gerakan edukasi keagamaan sehingga pergerakan itu tidak
banyak memperhatikan urusan politik. Tetapi pola pergerakan kelompok religius
tersebut mulai berubah pada tahun 1970-an, ketika Habib Bourguiba mulai
menerapkan gaya kepemimpinan otoriter dalam pemerintahan. Hal ini juga tidak
lepas dari pengaruh kemerosotan ekonomi di dalam negeri pada tahun 1970-an
yang menjadi pemicu bagi kelompok religius untuk mengubah haluan
pergerakannya. Kelompok gerakan Islamis tersebut mulai memperhatikan urusan
politik di negerinya, lalu berkembang mencari pengaruh ke masyarakat hingga
melakukan upaya-upaya menentang pemerintahan (Internationalrelations.org,
tanpa tahun).

Pada tahun 1979, pergerakan kelompok Islamis tersebut pada akhirnya


berubah dari gerakan sosial menjadi organisasi yang berorientasi politik. Mereka
membentuk dirinya menjadi sebuah partai yang dinamakan MTI (Mouvement de la
Tendence Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami) (Wolf, 2017:8). Sejak awal
pembentukannya, MTI menjadi wadah organisasi kubu konservatif dan Islamis di
Tunisia yang merasa terancam dengan perlakuan Habib Bourguiba. Rezim Habib
Bourguiba dianggap memerintah dengan corak yang sekuler, menjalankan kebijakan
politiknya melalui cara yang represif, dan berusaha memanipulasi interpretasi Islam
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 4

untuk memonopoli kontrol politik sehingga kelompok Islamis tersebut sering


bertentangan langsung dengan pemerintahan pada masa tersebut (Souli, 2016a).
Menyadari akan peningkatan pengaruh organisasi tersebut di kalangan masyarakat
serta kendali masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya, Bourguiba tidak bisa
membiarkan organisasi tersebut berkembang. Bourguiba juga memandang kelompok
Islamis sebagai simbol kemunduran dan hanya beranggotakan orang-orang fanatik
yang nantinya akan menghalangi progresivitas politik pemerintahan Tunisia yang
kala itu pro terhadap Barat. Oleh sebab itu, Bouguiba menolak untuk mengakui
secara legal dan menjatuhkan tindakan keras terhadap gerakan kelompok islamis
tersebut dengan memenjarakan ribuan anggotanya di pertengahan 1980-an
(Internationalrelations.org, tanpa tahun).

Rezim Presiden Habib Bourguiba digulingkan oleh Zine El Abidine Ben


Ali di tahun 1987. Pada tahun-tahun awal Ben Ali berkuasa, MTI kembali
mencoba untuk mendapatkan pengakuan secara legal. Tetapi adanya aturan
hukum2 di Tunisia menyebabkan kelompok Islamis kemudian mengubah nama
dan karakteristiknya yang berkaitan langsung dengan aspek religius dalam rangka
mendapatkan legalitas tersebut karena (Wolf, 2017:69). Kelompok pergerakan
Islamis tersebut untuk ketiga kalinya mengubah namanya menjadi partai
‘Ennahda’ yang berarti ‘kebangkitan kembali’. Meski demikian, Ben Ali tidak
mengabulkan permohonan mereka untuk mengakui pergerakannya sebagai partai
yang legal, namun kelompok islamis tetap diizinkan untuk mengikuti kompetisi
pemilu dengan syarat tidak menggunakan nama resmi partainya (Ennahda).
Langkah itu ditujukan agar tidak menimbulkan kemarahan bagi warga Tunisia
yang memberikan dukungannya kepada Ennahda. Walaupun anggota Ennahda
maju sebagai calon independen, tetapi hasil dari pemilihan parlemen pada tahun
1989 menunjukkan bahwa partai ini mendapatkan dukungan yang kuat dari warga
Tunisia. Hal ini membuat Ben Ali khawatir dan mulai menekan Ennahda secara
politik dengan menuduhnya sebagai dalang peristiwa serangan terhadap sebuah

2
Hukum partai politik yang baru yang disetujui oleh enam partai oposisi, telah melarang
pembentukan partai yang berdasarkan alasan etnis, agama, ras, dan wilayah geografis atau
teritorial (Wolf, 2017:69).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 5

kantor partai yang berkuasa pada tahun 1991. Akibatnya, 265 anggota dari partai
tersebut dihukum oleh pengadilan militer Tunisia atas tuduhan makar kudeta
(Arieff, 2011).

Rezim Zine El Abidine Ben Ali tidak jauh berbeda dari rezim pemerintahan
sebelumnya (Habib Bourguiba) sehingga Ennahda mengalami masa-masa sulit
akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintahan (Souli, 2016a). Rezim Ben Ali
mempersulit gerak-gerik para penentang pemerintahannya, mengendalikan
lembaga peradilan dan kepolisian untuk kepentingannya, bahkan mengecap
kelompok Islamis yang menentang dirinya sebagai kelompok ekstrimis dan
teroris (Louden, 2015). Tetapi akibat dari kebijakan politik represif Ben Ali
terhadap para penentang pemerintahannya, justru membuat Ennahda semakin
banyak mendapat simpati dari warga Tunisia. Pada tanggal 17 Desember 2010 di
daerah Sidi Bouzid, seorang warga Tunisia yang bernama Mohamed Bouazizi
membakar dirinya sendiri sebagai bentuk protes terhadap seorang polisi wanita
yang menyita keranjang sayurnya. Satu hari pasca insiden tersebut, kemarahan
publik muncul dengan cepat hingga memicu pemberontakan warga Tunisia yang
dinamakan Tsaurat al Karama (Revolusi Martabat)3. Peristiwa ini kemudian
memicu kemunculan protes besar-besaran dari warga Tunisia terhadap
pemerintahannya pada tahun 2010 yang menjadi titik awal fenomena “Arab
Spring”. Protes dan pemberontakan warga Tunisia tersebut pada akhirnya
berhasil menjatuhkan rezim Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011
(Ayari, 2015).

Setelah terbebas dari rezim Ben Ali, Ennahda mulai berkampanye dalam
pemilihan parlemen pada tahun 2011. Adanya popularitas Ennahda yang tinggi
serta nilai keislaman (non-sekuler) sebagai identitasnya membuat Ennahda
mampu memenangkan suara dalam pemilihan parlemen untuk majelis
konstituante. Partai Ennahda memperoleh 37 persen dari total suara dengan 89

3
Beberapa artikel menyebutnya dengan Jasmine Revolution. Namun warga Tunisia tidak
menyukai istilah Jasmine Revolution yang berasal dari Prancis. Warga Tunisia lebih memilih nama
Thawrat al-Karama (Revolusi Martabat) atau Thawrat al-Shabab (Revolusi Para Pemuda)
(Jaouad, 2011).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 6

dari 217 kursi parlemen (Ayari, 2015). Suara yang diperoleh Ennahda tersebut
menjadikannya sebagai partai terbesar di dalam parlemen legislatif. Berkat
kemenangannya tersebut, Ennahda akhirnya memiliki kendali dalam
pemerintahan Tunisia.

Sejak Ennahda memegang kendali pemerintahan pada tahun 2011 - 2013,


Ennahda secara perlahan telah menunjukkan perubahan menuju sikap politik
yang lebih moderat. Meskipun menyandang identitas sebagai partai Islamis,
Ennahda masih membuka diri untuk bekerja sama di dalam parlemen dengan
partai haluan sekularisme. Ennahda bersedia untuk berkompromi dan bekerja di
dalam sistem parlemen campuran. Padahal sebelumnya Ennahda pada awalnya
menyerukan sistem parlementer secara eksklusif. Ennahda juga menyetujui untuk
menyusun konstitusi baru Tunisia berdasarkan mekanisme demokrasi, peraturan
hukum, dan berbagai hak-hak agama, sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan
lingkungan (Ghannouchi, 2016). Namun, Ennahda masih berupaya untuk
memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam agenda politiknya, seperti usaha
Ennahda dalam memasukkan gagasan Islam ke dalam konstitusi Tunisia.

Tetapi kemenangan Ennahda tidak berlangsung lama. Ennahda mengalami


kemunduran pada tahun 2013 akibat tekanan politik dari kelompok-kelompok
oposisi. Kebijakan Ennahda dinilai tidak efektif dalam memerangi terorisme di
Tunisia, tidak mampu memperbaiki perekonomian dalam negeri, dan dituduh
sebagai dalang dari peristiwa pembunuhan pemimpin oposisi, Mohamed Brahmi
(Guazzone, 2013). Atas desakan dari kelompok-kelompok oposisi, Ennahda
membuat kesepakatan dengan mereka untuk mengundurkan diri dari kekuasaan
pada bulan Januari 2014 dan menyerahkan pemerintahan sementara kepada
teknokrat atau non-partisan sampai pemilu selanjutnya. Pada tanggal 27 Januari
2014, Ennahda berhasil memasukkan gagasan Islam ke dalam undang-undang di
Pasal 1, yang telah menetapkan bahwa Islam adalah agama resmi Tunisia dan
negara memiliki kewajiban untuk melindungi segala sesuatu yang dinilai sakral
(Ayari, 2015; Wolf, 2017:156).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 7

Ennahda kembali mengikuti pemilu pada tanggal 21 Desember 20144 tetapi


dikalahkan oleh partai Nidaa Tounes pimpinan Beji Caid Essebsi5 yang berpaham
sekularisme. Walaupun kalah dalam pemilu, Ennahda masih memperoleh 69
kursi dari 217 kursi di dalam parlemen. Namun, ada 28 anggota legislatif Nidaa
Tounes telah mengundurkan diri dari partai, mengurangi kursi parlemennya dari
86 menjadi 58 kursi. Dengan demikian, Ennahda yang memiliki 69 kursi sekali
lagi menjadi kekuatan terbesar di parlemen (The Guardian, 2014; Wolf,
2017:160). Pada tahun 2015 kemudian, Ennahda membuat suatu langkah yang
mengejutkan banyak pihak dan belum pernah terdengar sebelumnya yaitu
membentuk pemerintahan koalisi dengan partai pemenang sekaligus rival
politiknya dari kelompok haluan sekularisme, Nidaa Tounes (Bleiweis, 2016).
Peristiwa ini membuat beberapa pendukung dari kedua belah pihak merasa
kecewa. Bagi sebagian pendukung setia Ennahda, kebijakan partainya dianggap
sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai ideologinya sendiri karena
menerima paham sekularisme dan langkah tersebut dianggap sebagai
penyimpangan dari keyakinan Islam. Terlebih lagi, pada kongres ke-10 tanggal
20 Mei 2016, Ennahda yang sebelumnya dipandang menganut ideologi
Islamisme, mengeluarkan pernyataan secara resmi bahwa partainya memisahkan
aktivitas keagamaan dan politik:

“Ennahda has changed from an ideological movement


engaged in the struggle for identity to a protest movement against
the authoritarian regime and now to a national democratic party.
We must keep religion far from political struggles” (Souli, 2016b).
(Ennahda telah berubah dari gerakan ideologis yang mengajak untuk
berjuang meraih identitas ke gerakan protes melawan rezim otoriter

4
Putaran kedua pemilihan presiden di Tunisia diselenggarakan pada hari Minggu 21 Desember
2014. Tidak ada calon yang memenangkan suara mayoritas, jadi pemilu putaran kedua diperlukan.
Hasil pemilu putaran kedua dimenangkan oleh Beji Caid Essebsi dengan 39,46 % suara dan
Mohamed Moncef Marzouki dengan 33,43 %. Putaran pertama diadakan pada hari Minggu 23
November 2014. Ini adalah pemilihan presiden pertama sejak Revolusi Jasmine dan jatuhnya
mantan Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada Januari 2011 (Electionguide, tanpa tahun).

5
Beji Caid Essebsi merupakan ketua partai Nidaa Tounes, seorang mantan menteri di bawah
pemerintahan Habib Bourguiba dan pernah menjadi ketua parlemen di bawah rezim Zein El
Abidine Ben Ali (Ayari, 2015; Al Arabiya English, 2016).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 8

dan sekarang menjadi partai demokratik nasional. Kita harus


menjaga agama agar jauh dari perjuangan politik).
Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Rachid Ghannounchi di hadapan publik
dalam kongres. Rachid Ghannounchi selaku politisi terkemuka dan pendiri partai
Ennahda, menjelaskan kepada wartawan mengenai sikap mereka terhadap
kelompok non-muslim dan kelompok muslim lainnya (Bleiweis, 2016).
Ghannounchi menjelaskan bahwa Ennahda akan memberikan perlindungan
konstitusi bagi kelompok non-muslim maupun yang atheis, serta memberi
sebutan baru bagi partainya dengan nama “Demokrat Muslim” sehingga gerakan
partainya akan bersikap yang lebih moderat terhadap kelompok muslim maupun
kelompok non-muslim (Ibish, 2016).

Keputusan partai Ennahda yang memilih untuk meninggalkan politik


identitas dan menolak politisasi agama Islam membuat penulis tertarik untuk
menelitinya. Pasalnya, dengan keputusan Ennahda memurnikan diri hanya untuk
melakukan aktivitas politik saja tanpa mengkaitkan aktivitas keagamaan
membuat hubungannya dengan organisasi Islamis internasional lainnya seperti
Ikhwanul Muslimin menjadi memburuk (Affan, 2016). Tentu hal ini merupakan
langkah besar bagi Ennahda yang sebelumnya telah menjalin hubungan yang
dekat dengan Ikhwanul Muslimin kemudian mengubah haluan gerakannya
dengan mengambil jalan yang berbeda dengan partai bentukan Hasan al-Banna
ini (Wolf, 2017:6). Evolusi peran politik Ennahda bisa menjadi figur politik Islam
yang berpengaruh luas terhadap kawasan Arab khususnya organisasi Islam
internasional karena menolak taktik atau strategi politisasi agama Islam namun
tetap menjadikan agama sebagai pedoman kehidupan masyarakat sosial. Oleh
karena latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengajukan judul:
“PERUBAHAN STRATEGI POLITIK PARTAI ENNAHDA DI TUNISIA
TAHUN 2016”.

1.2 Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup pembahasan diperlukan dalam suatu karya ilmiah agar apa
yang diteliti dapat fokus kepada pokok permasalahan. Sehingga permasalahan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 9

yang dibahas tidak keluar dari kerangka permasalahan yang ditentukan. Maka
dari itu, penulis membagi dan membatasi ruang lingkup pembahasan ini menjadi
batasan materi dan batasan waktu.

1.2.1 Batasan Materi

Batasan materi diperlukan dalam suatu penelitian akademik untuk


memfokuskan pembahasan mengenai masalah yang akan diteliti. Batasan materi
yang penulis tentukan dalam karya ilmiah ini yaitu alasan partai Ennahda di
Tunisia mengubah strategi politiknya pada tahun 2016.

1.2.2 Batasan Waktu

Rentang waktu yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini mulai dari tahun
2011 hingga tahun 2016. Tahun 2011 dipilih karena pada 1 Maret 2011 Ennahda
baru muncul sebagai partai politik yang sah (Ayari, 2015). Sedangkan pada tahun
2016, Partai Ennahda mengeluarkan pernyataan secara resmi pada Kongres ke-10
tanggal 20 Mei bahwa partainya memisahkan diri dari aktivitas keagamaan dan
politik.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis


merumuskan permasalahan sebagai berikut: “Mengapa Partai Ennahda di
Tunisia mengubah strategi politiknya pada tahun 2016?”

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini berupaya untuk menjawab rumusan masalah dengan


menggabungkan fakta-fakta yang kemudian dianalisis untuk memastikan
kedudukan argumen. Tujuan penelitian ini menjelaskan fenomena, alasan serta
faktor-faktor yang menyebabkan perubahan strategi politik partai Ennahda di
Tunisia pada tahun 2016.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 10

1.5 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep di dalam suatu penulisan karya ilmiah diperlukan untuk


membantu peneliti dalam menganalisis permasalahan. Menurut Mohtar Mas’oed,
konsep adalah abstraksi yang mewakili suatu objek, sifat suatu objek, atau suatu
fenomena tertentu. Misalnya, “kekuasaan”, “demokrasi”, “modernisasi”,
“deterensi (deterrence) nuklir”, “revolusi”, “agresi”, dan “fungsionalisme” adalah
konsep-konsep yang umum ditemui dalam ilmu politik (Mas'oed, 1990:109).
Konsep dalam ilmu sosial menunjuk pada sifat-sifat dari objek yang dipelajarinya
(misalnya individu, kelompok, negara, atau organisasi internasional) yang relevan
bagi studi tertentu.

Konsep dapat digunakan untuk menyederhanakan kenyataan yang


kompleks dengan mengkatagorikan hal-hal yang ditemui berdasarkan ciri-cirinya
yang relevan dengan suatu permasalahan. Seseorang peneliti mengklasifikasikan
negara-negara berdasarkan ideologi, misalnya negara sosialis. Dengan klasifikasi
itu seseorang bisa membuat suatu dugaan tertentu. Misalnya, negara sosialis tidak
akan membebaskan operasi perusahaan multinasional. Upaya pengklasifikasian
atau pemberian nama pada sesuatu memungkinkan seseorang untuk membuat
prediksi tentang suatu permasalahan. Dalam contoh tadi, ‘negara sosialis atau
sosialisme’ adalah lambang bagi sekumpulan sifat-sifat tertentu (Mas'oed,
1990:109-110). Dengan demikian, konsep berfungsi sebagai sarana untuk
mengorganisasikan gagasan, persepsi, dan simbol, yaitu dalam bentuk klasifikasi
dan generalisasi. Dengan menggunakan konsep, peneliti melakukan kategorisasi,
strukturalisasi, penataan (order) dan generalisasi terhadap fenomena yang dialami
dan diamatinya (Mas'oed, 1990:111). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
konsep Post-Islamism untuk menganalisis perubahan strategi politik partai
Ennahda di Tunisia.

1.5.1 Post-Islamism

Konsep Islam dalam konteks realitas sosial maupun politik telah mengalami
beberapa kali transformasi makna. Entitas Islam itu sendiri sebagai sistem
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 11

kepercayaan yang menjadi pedoman hidup di dalam kehidupan sosial. Sedangkan


penambaham "isme" pada setelah kata Islam mencerminkan konversi ide asli
menjadi ideologi (Tibi, 2012:7-8). Oleh karena itu, perlu untuk menjelaskan
perbedaan istilah Islam, Islamisme dan Post-Islamism untuk menghindari
kesalahan dalam memahami ketiga konsep tersebut.

Islam adalah paham agama tauhid yang mengajak kepada keimanan


(Mahmudah, 2018). Seseorang dianggap sebagai seorang Muslim jika ia
menganut lima prinsip Islam atau al-arkan al-khamsah (lima rukun Islam).
Adapun lima prinsip Islam tersebut yaitu mengucapkan dua kalimat Syahadat
(bersaksi bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang patut disembah dan Nabi
Muhammad SAW adalah utusan-Nya); mengerjakan ibadah sholat; berpuasa di
bulan Ramadhan; membayar zakat kepada orang fakir miskin; dan melakukan
perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan kewajiban haji jika mampu. Poin utama
dari Islam adalah mengajak para pemeluknya untuk menjadi pribadi yang shalih
dan beriman, sedangkan Islamisme mengutamakan prinsip din wa dawla
(kesatuan negara dan agama) di bawah sistem hukum syariat yang diamanatkan
secara konstitusional (Tibi, 2012:3). Islam sebagai sistem etika dan iman agama
dapat diselaraskan dengan demokrasi jika dipadukan dengan upaya reformasi
agama (Tibi, 2012:97). Makna dari reformasi agama adalah adanya kajian yang
serius mengenai interpretasi dari ajaran agama terhadap realitas sosial dan politik.
Misalnya, istilah Quran “syura” berarti dalam bahasa Arab “konsultasi,” bukan
demokrasi. Namun, muslim dapat merujuk pada istilah syura sebagai pendekatan
menyelesaikan masalah mengenai adaptasi Islam dengan modernitas budaya dan
memperkenalkan demokrasi ke Islam. Dengan demikian, istilah "syura" dapat
dipandang sebagai interpretasi baru sebagai etika demokrasi (Tibi, 2012:97).

Islamisme atau Islam politik mengacu pada gagasan bahwa Islam tidak
hanya menyediakan pedoman untuk kehidupan sosial dan pribadi, tapi juga untuk
ruang politik. Islamisme berasal dari interpretasi politik Islam sehingga
menghasilkan suatu tatanan kehidupan politik yang sarat akan simbol dan entitas
keagamaan (Tibi, 2012:1). Islamisme dapat diidentifikasi sebagai ideologi yang
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 12

menghubungkan din (agama) dengan dawla (negara) dalam tatanan politik


berbasis syari’ah (Tibi, 2012:2). Singkatnya, istilah Islamisme mengacu ke Islam
yang digunakan untuk tujuan politik (Koch, 2014).

Istilah Islamis adalah sebutan bagi sekelompok orang yang


memperjuangkan nilai-nilai serta syari’ah Islam untuk menjadikannya sebagai
pedoman dalam kehidupan msyarakat. Istilah Islamis juga dipakai untuk
menyebut orang-orang yang “bergerak di sekitar gagasan pendirian negara islam
sebagai sebuah solusi bagi masalah sosial dan politik yang masyarakat hadapi di
dunia saat ini". Oliver Roy mendefinisikan Islamisme sebagai "suatu jenis
fundamentalisme Islam dalam konteks politik modern yang bertujuan untuk
menciptakan kembali suatu tatanan masyarakat Islam sejati”. Dalam upaya
mewujudkan tatanan masyarakat tersebut, Islamisme bukan hanya mengulas
tentang masalah penerapan syari’ah, namun juga hal-hal yang berkaitan dengan
pendirian sebuah negara Islam melalui aksi politik. Lebih lanjut Roy berpendapat
bahwa Islamis menganggap Islam tidak hanya sebagai sebuah agama, namun
memandangnya sebagai sebuah "ideologi poltik yang seharusnya
diimplementasikan dalam rangka membentuk ulang setiap aspek kehidupan
sosial" (Koch, 2014).

Islamisme tidak memberikan ruang kompromi dalam menghadapi isu-isu


globalisasi dan modernitas, karena “gerakan yang sakral” ini tidak boleh dicemari
dengan pemikiran asing. Berdasarkan pertimbangan syari’ah yang mereka
terapkan, gerakan-gerakan Islamis ini menolak pembagian kekuasaan dengan
partai-partai sekuler atau minoritas non-Muslim. Mereka hanya mengakui bahwa
syari’ah harus diterapkan secara menyeluruh atau totaliter (Tibi, 2012:123).
Meskipun pada konteks pemilihan pemmimpin, kelompok Islamis terkadang
memilih pemimpin mereka dengan menggunakan instrumen demokrasi (seperti
melakukan voting atau menggunakan kotak suara). Namun, konsep-konsep
penting dalam demokrasi seperti kebebasan pers tidak diperbolehkan
mendapatkan ruang. Sebab, menurut kelompok Islamis, nilai pluralisme dan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 13

toleransi terhadap keberagaman harus ditolak karena dianggap sumber masalah


perpecahan umat (Tibi, 2012:123).

Dalam konteks pluralisme, Islamisme memiliki aturan yang ketat untuk


menjaga ‘kesucian’ umatnya. Sehingga seringkali Islamis memiliki konflik
dengan kelompok lain yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan pertikaian
terjadi antar kelompok yang mengklaim diri mereka sebagai Islamis itu sendiri
(Tibi, 2012:7). Misalnya, rivalitas Arab Saudi yang dikenal menganut mazhab
Wahabi dan Iran yang dikenal mengikuti mazhab Syiah. Keduanya saling
bermusuhan untuk berebut pengaruh di Timur Tengah dan dunia internasional.
Pengikut agama non-monoteistik (semua sistem kepercayaan selain Yudaisme,
Kristen, dan Islam) oleh kaum Islamis digolongkan ke dalam keadaan kafir dan
wajib diperangi dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh ketentuan Al-Qur’an
(Tibi, 2012:166). Bahkan kaum Islamis juga memusuhi komunitas Yahudi dan
Nasrani. Keduanya digolongkan ke dalam “musuh-musuh Islam” atau “kafir”
(Tibi, 2012:vii). Semua itu disebabkan kaum Islamis hanya mengakui kemurnian
syariat Islam sabagai satu-satunya hukum yang sah dan harus dijadikan dasar
undang-undang di dalam suatu negara (Tibi, 2012:123).

Islamisme memiliki potensi untuk terus berkembang dan menyebarkan


pengaruhnya di aspek sosial dan politik karena dalam sejarah, Islam dinilai telah
banyak memberikan kontribusi pembangunan sosial, budaya dan ekonomi pada
setiap masyarakat muslim. Begitu juga dengan ajaran serta filosofi Islam
mengenai moral, etika, kesetaraan dan keadilan telah melekat dalam setiap warga
muslim. Selain itu, Islam tidak hilang akibat perkembangan zaman meskipun
melewati masa 14 abad di dalam keragaman budaya, sosial, dan geografi pada
masing-masing negara. Fenomena tersebut merupakan potensi Islam untuk
memadukan aspek agama, sosial, budaya dan prinsip kebebasan dengan cara
meningkatkan keseimbangan antara stabilitas sosial dan mobilitas sosial melalui
pencerahan spiritual, menanamkan rasa keadilan dalam ekonomi, sosial dan
politik. Ajaran Islam yang amat memperhatikan kaum miskin dan tertindas
menjadikannya sebagai filsafat agama yang egaliter dan dekat dengan rakyat
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 14

(Hossain, 2016). Oleh karena itu, peradaban Islam dinilai telah mencakup semua
aspek yang ada dan mewakili lebih dari sekumpulan doktrin serta filosofi agama.

Munculnya semangat untuk kembali ke ajaran Islam atau Islamisme di


dunia Arab dipicu oleh peristiwa kekalahan Arab dalam Six Day War pada tahun
1967. Dalam enam hari pasukan Israel tidak hanya mengalahkan Mesir,
Yordania, dan Suriah, tetapi juga menguasai Jalur Gaza, Semenanjung Sinai
Mesir, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan di Suriah (Wolf, 2017:33). Hasil
dari perang tersebut membuat banyak pihak di dunia Arab mendiskreditkan
ideologi nasionalis dan sosialis, khususnya Nasserisme yang dianggap sebagai
sebuah model (pemikiran) untuk persatuan Arab dan perjuangan melawan
Zionisme dan Kolonialisme Barat (Machairas, 2017).

Nasserisme adalah istilah politik yang mengacu pada jenis nasionalisme


Arab atau Pan-Arabism yang dipopulerkan oleh mantan Presiden Mesir, Gamal
Abdel Nasser. Atas dasar ideologi ini terutama dibentuk oleh pemikiran dan
implikasi politik dari Presiden Nasser, maka ideologi tersebut menggunakan
namanya. Ide dari Nasserisme ialah semua negara-negara Arab di Timur Tengah
bersatu di bawah atap satu negara. Meskipun masyarakat Arab dengan ragam
agamanya bersatu, Nasserisme dianggap sebagai 'ideologi sekuler sebagian'
karena fakta bahwa nasionalisme Nasserisme tidak membangun dirinya sendiri
atas dasar agama, tetapi berdasarkan ikatan linguistik dan budaya bangsa Arab
(Bilecen, tanpa tahun:1).

Hasil dari perang pada tahun 1967 memberikan dorongan bagi kemunculan
Islam-fundamental. Menurut John L. Esposito, kemenangan Israel 'berfungsi
sebagai katalis utama untuk kebangkitan Islam' di seluruh dunia Arab (Wolf,
2017:33). Semangat tersebut diikuti oleh penafsiran agama tentang perang, bahwa
menerima ideologi asing dan meninggalkan ajaran agama telah mengakibatkan
kekalahan militer yang luar biasa sebagai bentuk hukuman berat. Islamisme
dipromosikan sebagai satu-satunya sumber kekuatan perlawanan terhadap Israel
yang semakin kuat (Machairas, 2017).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 15

Tujuan utama dari ajaran Islamisme adalah ingin mewujudkan terbentuk


negara Islam yang berlandaskan pada hukum syariat agama Islam dan terutama
menolak ideologi serta pemikiran demokrasi. Meskipun beberapa gerakan
institusi Islam berkomitmen untuk bekerja dengan instrumen demokratis, seperti
menggunakan kotak suara untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi tetap menolak
dengan tegas substansi serta nilai-nilai standar demokrasi seperti nilai kebebasan
(freedom), kesetaraan (equality), dan toleransi (tolerance) (Tibi, 2012:95-98).
Penolakan Islamis terhadap konsep-konsep demokrasi dapat diamati dari
pernyataan tegas dari para tokoh Islamisme seperti Sayid Qutb, Abu al-A'la al-
Mawdudi, dan Yusuf al-Qaradawi.

Sayid Qutb di dalam bukunya yang berpengaruh, Ma'alim fi al-tariq


(penuntun di dalam perjalanan), meneliti mengenai sebab "kegilaan Barat" runtuh
beserta prinsip demokrasinya. Barat harus digantikan oleh kekuatan Islam yang
dibayangkan akan mengambil alih kekuasaan dunia dalam rangka "kembali ke
sejarah" yang mana memiliki arti yang sama dengan kembali ke kejayaan Islam.
Pemikiran semacam ini banyak ditemukan di dalam tulisan-tulisan kelompok
Islamis. Qutb menulis:

"Humanity is at the brink... most clearly in the West itself


... after the Bankruptcy of democracy, which is finished ... the
rule of the Western man is about to breakdown .... It is only Islam
that possesses the needed values and method .... It is now the turn
of Islam and its umma community in the most tense time to take
over" (Tibi, 2012:96). ("Kemanusiaan berada di ambang
kehancuran ... tampak paling jelas di Barat itu sendiri... setelah
kebangkrutan demokrasi, yang telah berakhir... kekuasaan bangsa
Barat akan segera hancur .... hanya Islam yang memiliki nilai-
nilai dan metode yang diperlukan .... kini saatnya giliran Islam
dan umatnya pada masa yang begitu menegangkan untuk
mengambil alih kekuasaan").
Ini lah al-hal al-Islami, (Islam adalah solusinya), yang juga diserukan oleh Yusuf
al-Qaradawi.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 16

Salah satu pendiri Islamisme sekaliber Qutb adalah seorang muslim India
Abu al-A'la al-Mawdudi yang menegaskan penolakannya terhadap demokrasi
dengan bahasa yang keras,

"I tell you Muslim Brothers in all frankness that


democracy ... stands in contrast to what you embrace as religion
and its dogma. The Islam you believe in and according to which
you identify yourself as Muslims differs in its substance from this
hateful system [of democracy] .... Where this system of
democracy prevails Islam is in absence, and where Islam
prevails there is no place [la makan] for this system of
democracy" (Tibi, 2012:96). ("Saya mengatakan kepada kalian
Ikhwanul Muslimin dengan terus terang bahwa demokrasi...
sangat berbeda dengan apa yang kalian anut sebagai agama dan
dogmanya. Islam yang kalian yakini dan berdasarkan pada diri
kalian yang mengaku sebagai muslim berbeda substansinya dari
sistem 'kebencian' [demokrasi] ini.... di mana sistem demokrasi
ini berlaku maka Islam menjadi tiada, dan di mana Islam berlaku
maka tidak ada tempat [la makan] untuk sistem demokrasi ini").
Qutb dieksekusi di depan umum pada tahun 1966, dan Mawdudi meninggal satu
dekade kemudian.

Tokoh Islamis selanjutnya yang memiliki pengaruh dan dampak yang besar
adalah Yusuf al-Qaradawi yang secara luas dianggap sebagai pewaris Qutb.
Televisi al-Jazeera membesarkan namanya sehingga ia dijuluki "Mufti global".
Yusuf al-Qaradawi menjadi salah satu tokoh Islamis terkemuka setelah kekalahan
Arab di Perang Enam Hari atau dikenal dengan istilah Six Day war 1967. Dalam
bukunya al-Hall al-Islami wa al-hulul al-mustawradah (Solusi Islami dan Solusi
Impor), menganjurkan penolakan nilai-nilai yang berasal dari Barat dan harus
diganti dengan nilai-nilai islami. Yusuf al-Qaradawi menyebut semua budaya
‘pinjaman’ termasuk demokrasi sebagai "solusi impor". Dalam salah satu
fatwanya, Yusuf al-Qaradawi menulis bahwa:

“The term liberal democracy reflects its European


origin...Liberal democratic thought entered into the life of
Muslims through colonization....What looms behind this thought
is the wicked colonial notion that religion is to be separated from
politics and from the state. Behind this wickedness are the
familiar villains: “The colonial crusaders and world Jewry are
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 17

the instigators of this fitna within Islam” (Tibi, 2012:96-97).


("Istilah demokrasi liberal mencerminkan sumber Eropa-
nya....Pemikiran demokratis liberal masuk ke dalam kehidupan
umat Islam melalui kolonialisasi....Apa yang ada di balik
pemikiran ini adalah gagasan kolonial jahat bahwa agama harus
dipisahkan dari politik dan negara. Di balik kejahatan ini adalah
penjahat yang tidak asing lagi: Tentara salib kolonial dan Yahudi
dunia adalah penghasut fitnah ini dalam Islam”).
Dalam pandangan Yusuf al-Qaradawi, demokrasi merupakan ‘sistem yang
asing di dalam dunia Islam. “Syari’ah” merupakan solusi alternatif bagi dunia
Islam daripada solusi yang diimpor (demokrasi). Sistem demokrasi liberal dinilai
gagal di dunia Islam sehingga harus diganti dengan sistem syariat Islam (Tibi,
2012:97). Oleh karena itu, Islamisme menghendaki penerapan nilai-nilai dan
syariat Islam di dalam pemerintahan suatu negara.

Kondisi sosial dan budaya kontemporer yang telah dialami oleh masyarakat
di dunia muslim membuat mereka harus mencari formula baru untuk
menyelenggarakan sistem politik dan pemerintahannya. Sebab, sistem Islamisme
dinilai tidak mampu menyesuaikan diri dengan budaya pluralisme dan modernitas
sehingga menjadi hambatan untuk kemajuan negara yang kompetitif. Pada
perkembangan berikutnya, kaum Islamis mencoba untuk menyelaraskan konsep
Islamisme ke dalam segala aspek kehidupan modern, seperti yang dikatakan oleh
Yvonne Haddad, “untuk mengislamisasikan modernitas, daripada
memodernisasikan Islam” (Machairas, 2017). Oleh karena itu, Post-Islamism
muncul sebagai alternatif baru dari dua posisi ideologi ekstrem, yaitu Sekularisme
dan Islamisme (Hossain, 2016).

Post-Islamism mulai menjadi topik pembahasan di kancah internasional


pasca revolusi Iran yang terjadi pada Februari 1979 (Bayat, 1996). Sejak
peristiwa revolusi tersebut, masyarakat dunia mulai memberi perhatian pada
perkembangan gerakan kelompok Islam politik. Mereka terus melakukan
pengkajian dan penyelidikan mengenai apakah gagasan Islamisme mampu
diterapkan ke dalam pemerintahan atau tidak. Pembahasan mengenai
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 18

kompatibilitas Islam dengan politik demokrasi terus berkembang pasca Revolusi


Iran yang dipimpin oleh mullah atau santri Islam.

Haluan Post-Islamism berbeda dengan ideologi politik Islamisme yang


menolak nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan berekspresi, toleransi pluralisme
(Tibi, 2012:116-117), dan kesetaraan gender (Tibi, 2012:6-7). Asef Bayat
mengartikan Post-Islamism sebagai kondisi ide-ide Islamisme, simbol-simbol dan
upaya Islamisasi dalam setiap bidang persoalan politik, ekonomi, sosial dan
budaya telah kehilangan daya tariknya. Sebab, kehadiran Islamisme dinilai tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan proses perubahan sosial, budaya, ekonomi
dan politik dari perkembangan dinamika global. Gagasan Post-Islamism muncul
sebagai jawaban dari ketidakmampuan Islamisme dalam menangani persoalan-
persoalan tersebut. Ide dari Post-Islamism dapat ditandai dengan adanya upaya
membatasi peranan politisasi agama Islam (Bayat, 1996).

Post-Islamism diekspresikan dalam upaya penggabungan gagasan Islam


(sebagai sebuah sistem kepercayaan) dan hak pilih serta kebebasan individual.
Post-Islamism berarti konsep Islam yang dihubungkan dengan setiap nilai
demokrasi dan aspek modernitas. Post-Islamism menyiratkan pemahaman bahwa
Islam tidak hanya kompatibel dengan modernitas, tetapi kelangsungan
eksistensinya sebagai agama bergantung pada pencapaian kompatibilitas ini.
Post-Islamism dapat diringkas dalam kalimat, “Kami tidak keberatan
menghancurkan masjid untuk membangun jalan raya”. Tindakan tersebut
digambarkan oleh Post-Islamism sebagai hasil dari pemikiran dan upaya
rasionalisasi yang kompleks. Penghancuran masjid bukan dimaknai sebagai
peralihan menjadi sekularisme, namun hal tersebut sebagai kebijakan yang
dihasilkan dari perpaduan nilai-nilai Islam dan politik. Jadi keputusan tersebut
telah dibenarkan untuk meraih kepentingan masyarakat yang lebih signifikan
(Bayat, 1996).

Post-Islamism dikonseptualisasikan sebagai upaya sadar untuk menyusun


strategi rasional dengan tujuan melampaui Islamisme di dalam sosial, politik, dan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 19

intelektual. Gerakan Islam politik dalam bingkai Post-Islamism akan berusaha


untuk memadukan nilai-nilai Islam, kebebasan berpendapat, dan hak asasi
sehingga menjadikan agama sebagai realitas plural yang bersifat akomodatif
terhadap aspek-aspek demokratisasi, hak asasi, pluralisme, dan multikulturalisme
(Hasan, 2015). Sehingga Islam tidak lagi bersifat kaku terhadap proses globalisasi
dan dinamika politik.

Dalam menjalankan pemerintahan, negara berhaluan Post-Islamism tidak


lagi memperjuangkan berdirinya negara berlandaskan syari’ah Islam. Namun,
negara akan menampung beberapa aspek sekularisme pasif dan Islamisme pasif
dalam kerangka demokrasi sehingga akan membentuk pola rumusan baru yang
mencakup kepentingan masyarakat plural. Undang-undang akan dibuat tidak
hanya untuk mengkhususkan kepentingan etnis tertentu, namun untuk mewakili
setiap kelompok masyarakat dengan suatu fokus pada pembangunan ekonomi,
keadilan (equity), yang disertai dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
hak-hak perempuan dan keadilan sosial ekonomi yang lebih luas. Contoh
Indonesia, mewakili identitas gabungan di mana tidak ada dominasi sekularisme
maupun Islamisme, tapi beberapa unsur dari keduanya ada di dalam kerangka
pengaturan demokratis. Menurut prinsip demokrasi Hotelling-Downs, jika ada
dua partai politik besar atau kelompok mewakili preferensi para pemilih
berhaluan sekularisme atau Islamisme, maka akan muncul suatu sistem politik
yang stabil (Hossain, 2016).

Dalam sistem demokrasi yang disertai adanya sistem pemilihan, partai-


partai politik ditempatkan di dua posisi: ‘Tengah-Kiri’ dan ‘Tengah-Kanan’
berkenaan dengan ideologi. Misalkan suatu partai sekularis mengambil posisi
‘Tengah-Kiri’ dan menyerukan sebuah pemerintahan sekularisme yang toleran,
kemudian ada partai islamis menyerukan pemerintahan islam yang toleran. Untuk
memperoleh kekuasaan, seiring berjalannya waktu partai-partai bersaing untuk
menempatkan diri mereka sendiri ke dalam persepsi dan preferensi para pemilih
atau masyarakat melalui strategi politik yang mempromosikan sistem
pemerintahan yang bisa menampung semua aspirasi ragam etnis dan berupaya
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 20

untuk mempersatukan prinsip-prinsip sekuler dan Islamis. Argumen Hotelling-


Down mengemukakan bahwa proses persaingan ini mengarah pada sistem politik
yang stabil, toleran, dan moderat yang mencerminkan pandangan dunia dan
aspirasi mayoritas utama. Dalam sistem seperti itu, tidak ada lagi ideologi politik
murni karena prinsip ideologi telah bercampur menyesuaikan diri dengan keadaan
yang ada. Kaum sekuler mencoba menarik pemilih yang berpikiran Islam,
sementara para Islamis mencoba menarik pemilih yang berpikiran sekuler.
Menurut prinsip Hotelling ‒ Downs, kedua pihak tersebut berusaha untuk
menjadikan dirinya sebagai prinsip yang utama dan menempatkan diri di posisi
teratas, mewakili perpaduan dari sekularisme dan Islamisme (Hossain, 2016).
Contoh negara-negara muslim yang menunjukkan indikasi Post-Islamism seperti
Indonesia, Iran, Malaysia, Pakistan, Tunisia, Turki dan Syiria. Negara-negara
tersebut tidak memperjuangkan pendirian negara syariat Islam, namun mereka
memiliki kecenderungan politik demokratis dalam kerangka aturan hukum Islam
yang etis dan moral. Pos-Islamism di negara-negara ini telah beralih dari
interpretasi teokratis Islam menuju penekanan pada kontribusinya terhadap
budaya dan peradaban (Hossain, 2016).

Post-Islamism dapat dilihat pada keputusan partai Ennahda pada kongres


ke-10 tanggal 20 Mei 2016 yang mengeluarkan pernyataan resmi, bahwa
partainya memisahkan diri dari aktivitas keagamaan dan politik. Segala aktivitas
yang berhubungan dengan dakwah diberhentikan (Ibish, 2016), sehingga hal ini
membuat partai Ennahda menjadi murni organisasi politik. Rachid Ghannounchi
selaku pendiri partai Ennahda menjanjikan perlindungan konstitusi bagi
kelompok non-muslim maupun yang atheis, serta memberi sebutan baru bagi
partainya dengan nama “Demokrat Muslim” sehingga gerakan partainya akan
bersikap yang lebih moderat terhadap kelompok muslim maupun kelompok non-
muslim.

Pada era perkembangan selanjutnya, realitas menunjukkan kesadaran


masyarakat negara-negara muslim mengenai pentingnya kehadiran agama dalam
aspek-aspek sosial, politik dan ekonomi mulai meningkat dan optimisme terhadap
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 21

sistem sekularisme menurun. Sistem sekularisme asertif atau ‘tegas’ dinilai gagal
menciptakan masyarakat yang manusiawi dan progresif di negara-negara
mayoritas muslim. Adanya pemaksaan sistem sekularisme dari pemerintah ke
rakyat gagal menciptakan suasana harmonis antara negara dan masyarakat
muslim. Pemerintahan sekuler cenderung mengikuti gaya pemerintahan
komunisme karena banyak kebijakan sekuler melarang aktivitas keagamaan, dan
para pemuka agama dikriminalisasi. Hal ini terjadi di kebijakan pembangunan
sekularis melarang kegiatan-kegiatan berbasis agama, dan banyak pemimpin
agama dikriminalisasi, mengikuti jalur yang telah diambil oleh negara-negara
komunis sebelumnya. Ini terjadi di Aljazair, Mesir, Iran, Tunisia dan Turki. Demi
menjamin kelanggengan kekuasaan otoriter sekuler, negara-negara ini
memberlakukan hukum yang keras untuk mengontrol gerakan-gerakan
keagamaan dan politik yang reaksioner. Praktik kekuasaan otoriter sekuler
seringkali memicu pemberontakan di negara-negara mayoritas muslim, seperti
munculnya fenomena ‘Arab Spring’ pada akhir tahun 2010 di Tunisia yang
berhasil menjatuhkan rezim Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011.

1.6 Argumen Utama

Keputusan Ennahda yang memisahkan aktivitas politik dan agama pada


tahun 2016 terjadi karena gagasan Islamisme telah kehilangan daya tariknya.
Sebab, kehadiran Islamisme dinilai tidak mampu menjawab persoalan-persoalan
proses perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik dari perkembangan
dinamika global. Pelemahan daya tarik simbol gerakan Islamisme tersebut
diindikasikan dengan adanya: tuntutan demokratisasi dari rakyat, kondisi
lingkungan politik yang plural, tuntutan kompromistik dengan aktor-aktor politik
oposisi, kemunculan gerakan Islam garis keras serta kelompok ekstremis di
Tunisia, dan peningkatan ketidakpuasan publik terhadap koalisi pemerintahan
pimpinan partai Ennahda.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 22

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian umumnya digunakan dalam penelitian akademik untuk


menjawab rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Menurut Nicholas
Walliman, metode penelitian merupakan teknik yang digunakan untuk melakukan
penelitian (Bakry, 2016:11). Metode penelitian mewakili sejumlah alat atau
instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data, memilah, memproses dan
menganalisis informasi sehingga diperoleh suatu kesimpulan penelitian (Bakry,
2016:11). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.

Menurut Susan E. Wyse, Penelitian kualitatif adalah penelitian yang lebih


bersifat eksplorasi. Penelitian ini digunakan untuk memperoleh pemahaman
(understanding) tentang alasan, opini, dan motivasi yang mendasari suatu
perilaku. Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh wawasan (insights) dalam
suatu masalah serta membantu untuk mengembangkan ide-ide atau hipotesis
dalam penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif juga digunakan untuk
mengungkap trends di balik sebuah pikiran dan pendapat, dan membuat kita
dapat menyelam lebih dalam ke dalam masalah yang kita teliti. Tujuan penelitian
kualitatif adalah untuk memahami (to understand) dan menafsirkan (to interpret)
sebuah perilaku atau interaksi sosial. Penelitian kualitatif berusaha untuk
menemukan makna (meaning), proses, dan konteks sebuah perilaku atau
peristiwa sosial yang sedang diamati (Bakry, 2016:18). Sehingga analisis data
melalui penelitian kualitatif ditujukan untuk memberikan penjelasan rinci dan
lengkap terhadap topik penelitian. Oleh karena itu, fokus metode penelitian ini
terletak pada interpretasi makna dan pemahaman terhadap suatu objek kajian.

1.7.1. Teknik Pengumpulan Data

Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan


(Library Research) untuk mengumpulkan data dan informasi. Studi kepustakaan
merupakan metode pengumpulan data yang tidak mengharuskan peneliti untuk
melakukan observasi lapangan secara langsung, akan tetapi cukup merujuk pada
informasi yang sudah ada dari hasil penelitian lain yang dianggap paling relevan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 23

terhadap isu atau fenomena yang akan dianalisis. Sedangkan menurut jenis data
yang didapatkan, peneliti menggunakan data sekunder sebagai sumber kajian.
Menurut Kenneth D. Bailey, data sekunder adalah dokumen yang diperoleh
orang-orang yang tidak hadir di tempat kejadian, tetapi mereka menerima
informasi dengan mewawancarai saksi mata atau dengan membaca dokumen
primer (Bakry, 2016:172). Data sekunder tersebut didapatkan melalui buku,
jurnal, artikel, dan ragam informasi faktual lainnya yang terdapat di media
internet. Pengumpulan data tersebut diperoleh melalui:
1. Buku;
2. Jurnal, reportase, dan publikasi ilmiah; serta
3. Media internet
1.7.2. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah suatu usaha dari seorang peneliti untuk meringkas data
yang telah terkumpul melalui teknik pengumpulan data tertentu (Bakry,
2016:214). Analisis dimulai setelah beberapa data terkumpul (tidak harus seluruh
data), yang kemudian berimplikasi pada langkah-langkah selanjutnya dalam
proses pengumpulan data (Bakry, 2016:191). Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif. Data sekunder yang telah didapatkan,
kemudian dianalisis secara deskriptif.

1.8 Sistematika Penelitian

Untuk mempermudah penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis


menyusunnya mejadi beberapa bab, yaitu:
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 24

Bab 1. Pendahuluan

Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang secara umum hal-hal yang
mendasari perubahan strategi politik Ennahda. Pada bab ini juga dijelaskan
metodologi penelitian kualitatif yang menggunakan teknik analisis deskriptif
serta teknik pengumpulan data dengan metode library research. Dalam bab 1 ini
nantinya akan dijelaskan mengenai kerangka konseptual yang memiliki fungsi
untuk mendukung analisis penulis terkait perubahan strategi politik Ennahda,
dengan menggunakan konsep Post-Islamism.

Bab 2. Ennahda Dalam Tatanan Politik Tunisia

Bab ini akan menjelaskan secara umum kiprah partai Ennahda dalam
perpolitikan di Tunisia. Selain itu, bab ini akan menjelaskan rekam jejak partai
Ennahda di Tunisia mulai dari awal kemunculannya pada tahun 2011 hingga
2016 saat kebijakan baru yang menandakan perubahan dalam strategi politik
Ennahda.

Bab 3. Dinamika Politik Partai Ennahda di Tunisia

Bab ini menjelaskan realitas empirik yang menjadi sebab partai Ennahda
mengubah haluan strategi politiknya. Lebih lanjut, penulis akan menjelaskan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi Ennahda untuk mengadakan perubahan
dalam strategi politiknya.

Bab 4. Alasan Perubahan Strategi Politik Pnnahda

Pada bab ini penulis akan memaparkan faktor-faktor yang menjadi


penyebab Ennahda mengubah strategi politiknya di Tunisia. Fenomena politik
domestik dan internasional (peristiwa yang menimpa Ikhwanul Muslimin di
Mesir) memberikan political learning yang menjadi landasan utama bagi
Ennahda untuk melakukan manuver politiknya. Dalam menjelaskan faktor-faktor
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 25

yang melandasi perubahan strategi politik tersebut, penulis menggunakan konsep


Post-Islamism.

Bab 5. Kesimpulan

Dalam bab ini, penulis akan memaparkan kesimpulan dari keseluruhan


pembahasan tiap bab sebelumnya. Bab ini fokus memberikan kesimpulan dan
opini penulis terhadap objek kajian yang dibahas.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

BAB 2.
ENNAHDA DALAM TATANAN POLITIK TUNISIA

Pada bab 2 ini, penulis akan sedikit membahas mengenai kondisi geografis
Negara Tunisia. Dalam tulisan ini akan dipaparkan juga mengenai sistem politik
yang berlaku di Tunisia pada pasca revolusi Tunisia pada tahun 2010. Di samping
itu, penulis akan membahas juga mengenai sejarah Tunisia sebelum revolusi dan
rezim Bourguiba maupun rezim Ben Ali karena berkaitan dengan munculnya
kelompok Islamis dalam panggung politik di Tunisia. Dalam bab ini juga
bertujuan untuk memaparkan profil, dan rekam jejak Ennahda di Tunisia.

Sebelum membahas Ennahda, berarti harus membahas mengenai


kemunculan kelompok Islamis. Kemunculan kelompok Islamis di Tunisia dalam
panggung politik pada awalnya dipicu oleh kebijakan rezim Bourguiba yang
bercorak sekularisme dan berusaha menghapus tradisi-tradisi Islam. Kebijakan
rezim Bourguiba tersebut membuat kelompok Islamis yang awal mulanya hanya
melakukan kegiatan dakwah, kemudian mengubah pola aktivitas mereka menjadi
gerakan politik. Rezim yang merasa terancam dengan aktivitas-aktivitas kelompok
Islamis meluncurkan beberapa kebijakan represif dan otoriter yang memicu
konflik panjang antara masyarakat Tunisia dan pemerintah. Sehingga pada hasil
akhirnya, rezim Bourguiba pun berhasil dijatuhkan oleh kudeta tak berdarah oleh
Zine El Abidine Ben Ali. Pada awal mulanya, Ben Ali tampak harmonis dengan
kelompok Islamis. Namun, pandangan Ben Ali tidak jauh berbeda dengan rezim
pendahulunya bahwa kelompok Islamis hanyalah sebuah simbol kemunduran bagi
kemajuan Negara Tunisia sehingga perlu disingkirkan.

Kelompok Islamis pada masa rezim Ben Ali mendapat izin untuk ikut
berkontestasi dalam acara pemilihan parlemen. Meski kemunculan Ennahda saat
itu terbilang baru, namun gerakan tersebut berhasil meraih suara yang cukup
besar. Rezim kemudian merasa khawatir bahwa posisi kekuasaannya akan
terancam dengan kemunculan kekuatan baru dalam panggung politik. Sehingga
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 25

sekali lagi kelompok Islamis menjadi sasaran dari kebijakan represif, dan otokrasi
pemerintah.

Kelompok Islamis di bawah naungan Ennahda banyak mendapat simpati


dari masyarakat Tunisia. Apalagi rezim Ben Ali gagal dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan kesulitan ekonomi, sehingga masyarakat semakin
membenci rezim Ben Ali. Puncaknya di Sidi Bouzid, salah seorang pedagang
sayur membakar diri sebagai bentuk aksi protes kepada polisi. Esok harinya
meletus revolusi di Tunisia yang pada tahun 2010 menjadi awal mula fenomena
Arab Spring. Setelah revolusi Tsauratul al Karama (Revolusi Martabat), Ennahda
mendapat poling suara yang besar dalam parlemen sehingga mendapat kekuasaan
untuk menjadi pemerintah sementara di dalam parlemen.

Selama sekian tahun, Ennahda menjadi pemerintah bersama. Namun,


Ennahda terpaksa harus mundur dari kekuasaan karena protes dari banyak pihak
karena serangkaian peristiwa politik. Ennahda melakukan evaluasi terhadap
pergerakan partainya. Pada hasil akhir dari Evaluasinya, Ennahda memutuskan
untuk menjalin koalisi dengan kubu partai sekularis yang menjadi pemenang
pemilihan pada tahun 2014. Tidak cukup itu, Ennahda membuat keputusan yang
membuat partainya mendapat kecaman banyak pendukungnya dan mengumumkan
keputusannya itu pada bulan Mei 2016. Keputusan tersebut menyatakan bahwa
Ennahda akan menghapus aktivitas dakwah dan hanya fokus bergerak dalam
bidang politik (Bleiweis, 2016).

Penjelasan secara ringkas mengenai kemunculan dan sepak terjang politik


Ennahda di Tunisia adalah sebagai berikut. Secara struktural organisasi, awal
mula entitas Ennahda di Tunisia ialah gerakan dakwah yang bernama al-Jamaa
al-Islamiyya (Kelompok Islam), yang didirikan pada tahun 1972. Pada tahap
selanjutnya, gerakan tersebut berubah menjadi gerakan politik yang bernama MTI
(Mouvement de la Tendence Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami) pada tahun
1979 (Wolf, 2017:50). Namun karena regulasi pada masa rezim Ben Ali melarang
penggunaan lambang agama sebagai gerakan politik, maka pada tahun 1989
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 26

kelompok tersebut mengubah namanya menjadi Harakat Ennahda atau 'Gerakan


Renaissance' (Gerakan Kebangkitan). Meskipun bentuk organisasi tersebut kerap
mengalami perubahan, misi yang dibawa oleh kelompok tersebut sama, bahwa
agenda utamanya adalah memperjuangkan penerapan nilai-nilai Islam dalam
aspek kehidupan sosial maupun politik. Tetapi ketika masa terpilihnya Ennahda
menjadi kepala pemerintahan pada tahun 2011, partai tersebut secara perlahan
menunjukkan sikap dan tindakan politik yang terbuka terhadap aspek serta
prinsip-prinsip demokrasi. Namun Ennahda masih berupaya untuk
memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam agenda politiknya, seperti usaha Ennahda
dalam memasukkan gagasan Islam ke dalam konstitusi Tunisia. Sebaliknya pada
pasca kegagalan pemerintahannya di tahun 2013, Ennahda menjadi lebih
kompromi dengan realitas politik yang ada dan mengedepankan pilihan rasional
dalam menentukan sikap maupun pilihan politik. Sehingga, pada kongres ke-10
tanggal 20 Mei 2016, Ennahda yang sebelumnya dipandang sebagai partai yang
menganut Islamisme, mengeluarkan pernyataan secara resmi bahwa partainya
memisahkan diri dari aktivitas keagamaan dan politik.

Keputusan Ennahda untuk menghapus aktivitas dakwah dan


mengkhususkan diri bergerak dalam bidang politik perlu ditelaah dengan konteks
historis. Aspek historis tersebut akan membantu dalam memahami evolusi
pergerakan partai Ennahda. Selain itu, bab ini juga akan mendeskripsikan secara
ringkas mengenai kondisi geografis dan sistem politik di Tunisia. Selanjutnya bab
ini menjelaskan mengenai sejarah gerakan kelompok Islamis dan rekam jejak
partai Ennahda di Tunisia. Adanya kultur sosial di tengah masyarakat Tunisia
yang memegang teguh nilai-nilai religius dan tradisi Arab menjadi penyebab
kemunculan ragam gerakan Islamis.

Dalam bab ini nantinya akan dijelaskan tentang meningkatnya minat publik
terhadap nilai budaya Islam pada tahun 2000-an. Meskipun sebelumnya, Tunisia
dipenuhi dengan proyek modernisasi dan westernisasi serta program
pembangunan sosial-ekonomi rezim Bourguiba dan Ben Ali yang berorientasi
sekularisme. Penulis mendeskripsikan beberapa faktor yang menyebabkan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 27

bangkitnya minat warga Tunisia terhadap nilai dan aspek religius. Secara faktor
domestik, popularitas Ben Ali menurun karena kecenderungan kebijakannya yang
represif dan meningkatnya kesulitan ekonomi yang dialami warga Tunisia.
Berikutnya, adanya peningkatan pengguna internet di tengah masyarakat Tunisia
mulai sejak tahun 2007. Masyarakat Tunisia memanfaatkan internet sebagai
sumber informasi untuk mempelajari tentang Islam dan budaya Arab meskipun
seringkali ditafsir dan diterima secara konservatif. Hal ini membuat publik
semakin mengkaitkan diri mereka dengan isu-isu politik internasional yang
berkaitan dengan isu Islam dan Arab. Misalnya, warga Tunisia mengutuk
kebijakan Amerika Serikat yang dinilai merugikan masyarakat muslim di dunia
internasional dan khususnya terhadap masyarakat muslim Arab di Irak. Sehingga
pada tahun 2007 peningkatan minat muslim Tunisia terhadap identitas pan-Arab
dan Islam semakin jelas. Bahkan ada banyak masyarakat muslim Tunisia yang
merasa ‘terpanggil’ untuk melakukan aksi jihad dan melibatkan diri ke dalam
peperangan asing. Rezim pada akhirnya tidak mampu mengendalikan
pemerintahannya akibat dari kegagalan dalam pengelolaan perekonomian negeri
serta adanya fenomena peningkatan minat publik terhadap Islamisme. Hal-hal
tersebut kemudian mengakibatkan rezim Ben Ali jatuh dalam peristiwa
pemberontakan rakyat Tunisia Tsauratu al Karama (revolusi Martabat) pada
tahun 2010, yang menjadi titik awal Arab Spring.

Pada akhirnya, bab ini mendeskripsikan tentang keberhasilan partai


Ennahda dalam memperoleh suara mayoritas ketika pemilihan Majelis
Konstituante pada tanggal 23 Oktober 2011. Sekertaris jenderal partai Ennahda,
Hamadi Jebali, berhasil memperoleh posisi dalam pemerintahan sebagai perdana
menteri. Dua partai lain yang memiliki suara terbanyak setelah Ennahda yaitu
Congrès pour la République (CPR) dan at-Takattul ad-Dīmuqrāṭī min ajl il-‘Amal
wal-Ḥurriyyāt (Ettakol; Forum démocratique pour le travail et les libertés /
FDTL), sepakat untuk membentuk pemerintahan koalisi dengan Ennahda yang
dikenal dengan nama pemerintahan Troika. Pemerintah diberi mandat satu tahun
untuk membuat konstitusi dasar Tunisia dan undang-undang pemilihan yang baru.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 28

2.1 Kondisi Geografis dan Sistem Politik Tunisia

Tunisia adalah sebuah negara yang terletak di bagian Utara benua Afrika.
Luas wilayah Tunisia 162.155 km². Tunisia merupakan salah satu negara
berpenduduk mayoritas Muslim di belahan bumi bagian Afrika Utara. Tunisia
terletak dipersimpangan antara Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Pada bagian
Barat dan Selatan berbatasan dengan Aljazair (965 km), bagian Utara dan Timur
berbatasan dengan Laut Mediterania, dan bagian Selatan dan Tenggara dengan
Libya (459 km). Wilayah di sebelah Utara berbatasan dengan benua Eropa
(wilayah Selatan Italia) yang dipisahkan dengan laut Mediterania (Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia, tanpa tahun).

Nama resmi negara Tunisia adalah Republic of Tunisia atau al-Jumhuriyah


at-Tunisiyah. Sistem hukum di Tunisia mengikuti hukum sipil yang berasal dari
Prancis dan beberapa aspek hukum syariat Islam. Sistem kepartaian di Tunisia
memiliki pola sistem multipartai. Tunisia merupakan negara republik demokrasi
representatif dengan sistem pemerintahan unitary semi-presidensial (Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia, tanpa tahun). Lembaga eksekutif berada di
bawah kendali Presiden, sedangkan kabinet pelaksana pemerintahan dipimpin
oleh seorang perdana menteri. Lembaga legislatif terdiri dari 217 kursi unikameral
Dewan Perwakilan Rakyat atau Assemblee des Representants du Peuple (Majlis
Nuwwab ash-Sha'b).

Dalam aspek pemilihan politik, secara umum Tunisia mengakui prinsip-


prinsip sistem pemilihan umum pada tataran universal (dunia). Dalam artikulasi
yang lebih ideal, Prinsip utama dalam sebuah praktik pemilihan umum yakni
bertujuan untuk menerjemahkan kehendak masyarakat melalui sebuah
representasi kenegaraan secara adil (The Carter Center, 2014). Akan tetapi,
prinsip standard dunia intenasional tersebut faktanya tidak memberikan tatacara
yang spesifik untuk mencapai tujuan tersebut (The Carter Center, 2014). Sehingga
dalam implementasinya pada beberapa negara, masih seringkali menuai kontra
versi atau bahkan reduksi terhadap prinsip-prinsip tersebut, salah satunya yang
terjadi di Tunisia.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 29

Sistem pemilihan di Tunisia secara literal memang mengakui prinsip-prinsip


kebebasan, adil dan praktik pemilihan umum secara berkala serta menjamin hak
pilih dan kerahasiaan surat suara. Sebagaimana pemilihan pada umumya, Presiden
serta anggota dewan Tunisia dipilih melalui proses pemilu untuk lima tahun
jabatan kerja. Kriteria peserta yang diperbolehkan dalam pemilihan umum di
Tunisia pun juga telah diatur, yakni adalah warga negara yang berusia 18 tahun
keatas. Kesemua prinsip tersebut tertulis dalam konstitusi Tunisia serta dianggap
telah memenuhi standar dan komitmen pemilihan umum secara universal.

Secara nilai, mungkin Tunisia beranggapan telah memenuhi standard


universal. Namun dalam praktiknya, Tunisia masih seringkali melakukan
pelanggaran hak pilih yang tidak sesuai dengan nilai dasar sistem pemilihan
universal. Pelanggaran tersebut salah satunya ditunjukkan dengan gagalnya
institusi pemilihan umum di Tunisia untuk menjamin secara penuh hak pilih
secara adil, khususnya berkaitan dengan suara representasi di parlemen negara ini
(The Carter Center, 2014). Adapun pemilihan presiden diadakan setiap lima tahun
sekali, begitu juga dengan pemilihan parlemen (The Carter Center, 2014). Sejak
kurun waktu beberapa tahun ke belakang, pemilihan legislatif pertama di Tunisia
diadakan pada tanggal 26 Oktober 2014 dan berikutnya akan diadakan pada tahun
2019 (CIA, 2019).

2.2 Sejarah Gerakan Kelompok Islamis dan Rekam Jejak Partai Ennahda
di Tunisia

Dinamika politik di Tunisia berkaitan erat dengan keragaman kultur


komunitas sosial dalam negeri tersebut. Sejak mendapatkan kemerdekaan dari
Perancis pada tahun 1956, suara politik yang saling bersaing untuk mendapatkan
kekuasaan di Tunisia berada di antara kelompok Islamis dan Sekularis. Budaya
Islamis mulai muncul di komunitas masyarakat Tunisia sejak tahun 670 M.
Sedangkan budaya sekularisme telah ada sejak Tunisia menyandang status sebagai
negara protektorat Prancis pada tahun 1881 dan terus berada dalam pengaruh
kekuasaan Perancis hingga memperoleh kemerdekaannya pada bulan Maret 1956
(International IDEA, tanpa tahun). Budaya sekularisme dari Perancis terus
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 30

berlanjut disebabkan oleh gerakan reformasi pada abad ke-19 di bawah rezim
Habib Bourguiba dan Zine El Abidine Ben Ali. Meskipun tidak lagi menyandang
status protektorat Perancis, namun rezim Bourguiba dan Ben Ali menilai bahwa
corak pemerintahan sekularisme merupakan solusi untuk Tunisia dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan status Tunisia di kancah Internasional.

Sejak tahun 1967 hingga 1987 gerakan kelompok Islamis beberapa kali
telah mengalami transformasi. Ragam transformasi tersebut mulai dari gerakan al-
Jama’a al-Islamiyya yang fokus pada aktivitas dakwah; lalu ASQ (Association for
the Safeguard of the Qur’an) yang dibentuk oleh rezim Bourguiba untuk
memfasilitasi aspirasi dan kegiatan kelompok Islamis pada masa itu; MTI
(Mouvement de la Tendence Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami); hingga
Ennahda (Renaissance). Tren kehidupan religius yang kuat di tengah masyarakat
Tunisia menjadi penyebab kemunculan ragam transformasi gerakan kelompok
Islamis tersebut. Secara historis, munculnya gerakan Ennahda terpaut erat dengan
kultur sosial masyarakat serta dinamika politik yang terjadi di Tunisia.

Awal rekam jejak Ennahda muncul ke permukaan konstelasi politik Timur


Tengah dapat ditelusuri sejak terbentuknya undang-undang yang melarang
penggunaan atribut keagamaan dalam pergerakan politik pada tahun 1987. Nama
Ennahda merupakan hasil dari perubahan akibat dari undang-undang tersebut di
mana sebelumnya partai tersebut memiliki nama MTI (Mouvement de la Tendence
Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami). Ennahda pernah memegang kendali
pemerintahan Tunisia setelah berhasil memenangkan suara terbanyak di dalam
parlemen pada pemilihan Majelis Konstituante tanggal 23 Oktober 2011.
Sekertaris jenderal partai Ennahda, Hamadi Jebali, berhasil memperoleh posisi
dalam pemerintahan sebagai perdana menteri. Namun, adanya insiden
pembunuhan dua politisi oposisi dari kelompok sekularis, Chokri Belaid dan
Mohammed Brahmi, kemudian merusak citra pemerintahan partai Ennahda
beserta koalisinya (yakni pemerintahan Troika). Insiden tersebut memicu aksi
protes besar-besaran dan akhirnya memaksa pemerintahan Troika untuk
mengundurkan diri.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 31

Dalam merespon perkembangan konstelasi politik dan budaya masyarakat


internasional yang semakin modern, kelompok Islamis mencoba berbenah diri
untuk menemukan formula yang tepat agar mampu beradaptasi dengan realitas
yang ada. Beberapa cendikiawan Islam yang terkenal di Tunisia, seperti Syaikh
Mohammed al-Tahir ibnu Ashur dari Zaytouna, menyerukan untuk melakukan
“Ijtihad”, yaitu upaya interpretasi hukum dalam Islam serta penggunaan penalaran
independen yang merujuk kaidah khusus (Wolf, 2017:11). Ennahda ketika
mundur dari kursi kekuasaan pada bulan Januari 2014, partai tersebut mencoba
untuk mengevaluasi pergerakan politiknya. Ennahda menyimpulkan bahwa
perjuangan partai untuk politik identitas (keagamaan) serta upaya pelestarian
‘warisan muslim Arab Tunisia’ harus diakhiri.

Ennahda kemudian lebih memilih untuk fokus menangani isu keamanan dan
ekonomi negara yang sedang memburuk dan untuk mengatasi problematika yang
ada. Ennahda menekankan perlunya membuka diri dengan melakukan berbagai
konsesi serta ‘konsensus nasional’ dengan para lawan politiknya. Perubahan sikap
partai Ennahda mendapat kecaman yang keras dari pendukung-pendukungnya
khususnya dari sayap dogmatis partai tersebut. Namun, keputusan partai tersebut
bisa muncul disebabkan dari sejarah panjang sepak terjang politik Ennahda di
Tunisia serta beberapa peristiwa yang memicu manuver politik yang demikian.

2.2.1 Embrio Gerakan Kelompok Islamis di Tunisia

Tunisia menjadi negara yang merdeka sepenuhnya pada tahun 1956. Tunisia
dideklarasikan sebagai republik pada bulan Juli 1957, hari yang sama ketika
Habib Bourguiba dilantik menjadi presiden pertama di Tunisia (Nassar, 2016:51).
Setelah resmi dilantik menjadi presiden, Bourguiba membuat pernyataan bahwa
negara baru tersebut dalam konteks kebijakan dan gaya pemerintahannya akan
menjadi seperti Barat (Wolf, 2017:25). Pernyataan Bourguiba tersebut
menyiratkan penolakan suara kubu nasionalis Arab dalam membentuk masa depan
negara. Padahal pada masa itu, banyak warga Tunisia yang tertarik pada janji
Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang memiliki visi untuk menyatukan
seluruh dunia Arab di bawah kepemimpinannya sebagai bentuk kebencian mereka
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 32

terhadap kolonial Barat. Hanya saja, rakyat Tunisia ingin menggabungkan


nasionalis Arab dengan nilai-nilai Islam tradisional, berbeda dengan Mesir yang
condong dengan sekularisme (Wolf, 2017:22).

Secara prinsip pendirian, Habib Bourguiba memang tertarik untuk


mempromosikan pembangunan sosial ala Barat. Orientasi dan ketertarikan
Bourguiba terhadap pemikiran pembangunangaya Barat timbul setelah
memandang kegagalan corak pemikiran Islamisme gagal diterapkan di dunia
Arab. Oleh karena itu, ketika Bourguiba terpilih menjadi presiden pertama di
Tunisia, yang menjadi perhatian pertamanya adalah menyingkirkan pengaruh
religius dari negara dan menyingkirkan lawan politiknya yang pro terhadap pan-
Arab. Pada tahun 1959, lebih dari seratus aktivis dinyatakan bersalah atas tuduhan
makar untuk membunuh Bourguiba. Langkah Bourguiba berikutnya ialah
memerintahkan pembunuhan terhadap mantan sekertaris jenderal partainya6
sendiri yang pro terhadap kelompok Islamis, Salah Ben Youssef, pada bulan
Agustus 1961 di Jerman (Edusfax, tanpa tahun). Pada kurun waktu yang sama,
Bourguiba juga memerintahkan pembubaran lembaga-lembaga keagamaan.
Serangkaian kebijakan Bourguiba tersebut, yang condong mengadopsi gaya
pembangunan Barat dan mengucilkan kubu Islamis, kemudian memicu kelompok
Islamis untuk melakukan aktivitas politik demi menjaga eksistensinya.

2.2.2 Latar Belakang Kemunculan Ennahda

Ada beberapa peristiwa yang mendasari munculnya Ennahda di Tunisia.


Rangkaian peristiwa yang menjadi penyebab kemunculan Ennahda sudah ada
sejak masa pemerintahan Habib Bourguiba hingga rezim Zine El Abidine Ben Ali.
Kelompok Islamis di Tunisia pada awalnya berupaya untuk mempertahankan
eksistensinya melalui pembentukan wadah organisasi keagamaan dan sosial
dengan mempertahankan tradisi dakwah dan edukasi Islam terhadap masyarakat.

6
Bourguiba dan sekelompok nasionalis Tunisia membentuk partai The New Constitutional Liberal
Party / al-Ḥizb al-Ḥurr ad-Dustūrī al-Jadīd atau dikenal dengan sebutan Neo-Destour. Partai ini
dibentuk pada tahun 1934 di masa protektorat Perancis (Canada IRBC, 2004; Howling Pixel, tanpa
tahun).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 33

Namun, adanya program rezim pemerintah yang ingin menghapuskan tradisi


konservatif dan religius dalam negeri dan menggantinya dengan budaya barat
kemudian memicu masyarakat Tunisia untuk mengubah pola dakwah mereka
menjadi aktivitas politik. Entitas gerakan dakwah dan edukasi keagamaan secara
perlahan berubah menjadi partai politik kemudian aktif berupaya untuk
menggulingkan rezim penguasa.

Pada masa pemerintahan Bourguiba, proyek modernisasi menjadi fokus


awal dari program pemerintahan. Pada bulan Agustus 1956, lembaga pengadilan
syariat Maliki dan Hanafi dibubarkan, dan undang-undang gender tradisional
digantikan oleh Personal Status Code (Hukum Status Pribadi), seperangkat
undang-undang yang mendukung hak-hak perempuan. Dalam pidatonya,
Bourguiba menegaskan bahwa Personal Status Code adalah kelanjutan dari
gerakan hak-hak perempuan yang diperjuangkan oleh Tahar Haddad, yang
sebelumnya pada masa pra kemerdekaan ditentang oleh Bourguiba itu sendiri7.
Bahkan Bourguiba sering terlihat di tv melepas kerudung pengamat wanita (Wolf,
2017:29).

Program rezim Bourguiba berikutnya yang memicu kelompok Islamis


Tunisia untuk melakukan aktivitas politik pada masa itu ialah upaya pemerintah
untuk mempersempit ruang gerak kelompok Sufi yang dekat dengan kelompok
pendukung Pan-Arabisme atau Arab-Nasionalisme dari kalangan Universitas
Zaytouna dengan menuduh mereka bersekutu dengan Perancis dan Salah Ben
Youssef8. Rezim secara perlahan mulai mengubah tradisi keagamaan Tunisia
dengan program reformasi pendidikan melalui upaya westernisasi sistem
pendidikan. Target utamanya adalah pembubaran lembaga yang berdiri atas tradisi

7
Pada masa pra kemerdekaan Tunisia, Bourguiba memerlukan kekuatan persatuan dari kelompok
Islamis Tunisia untuk melawan Perancis. Sehingga Bourguiba mengecam proyek asimilasi budaya
Perancis dengan Tunisia, lalu membela jilbab dan kerudung tradisional Tunisia yaitu sefsari.
Bourguiba secara terbuka mengecam Tahar Haddad yang bersuara tentang hak-hak perempuan,
dengan alasan bahwa usulan reformasinya akan menguntungkan para pejabat Protektorat dan tidak
memiliki efek positif pada masyarakat Tunisia (Wolf, 2017:23).
8
Sebelumnya para aktivis pendukung Salah Ben Yousef dituduh berbuat makar untuk membunuh
Bourguiba pada masa awal kemerdekaan tahun 1959 (Wolf, 2017:25).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 34

keagamaan yakni Universitas Zaytouna. Pada bulan Juni 1958, Presiden


mengkritik pedas kurikulum tradisional Zaytouna dan berupaya untuk
menerapkan sistem pendidikan modern. Presiden mengubah Universitas Zaytouna
menjadi Fakultas Syariah dan Teologi, di mana merupakan bagian dari
Universitas Tunis (Wolf, 2017:29).

Tidak hanya itu, banyak dosen direkrut dari Perancis untuk memajukan
program pendidikan Bourguiba dan membuka sistem bilingual (Daoud, 1991).
Dengan demikian, mahasiswa yang terbiasa menggunakan bahasa Arab dalam
proses belajarnya semakin sulit untuk mendapatkan kesempatan lulus di
Universias Zaytouna dan secara tidak langsung budaya Barat secara perlahan
menurunkan tradisi keagamaan yang ada. Selanjutnya, Bourguiba berupaya
membersihkan praktik-praktik keagamaan yang mengakar di dalam masyarakat.
Ini termasuk rukun-rukun Islam seperti menunaikan ibadah haji ke Mekah dan
berpuasa di bulan Ramadhan. Namun, Presiden tetap menjaga dirinya dengan
membingkai program reformasinya itu menggunakan bahasa Islam yang seakan
merupakan kewajiban agama. Dengan demikian, kebijakannya mengenai tidak
berpuasa dikemas sebagai bentuk “jihad melawan keterbelakangan” untuk
mengatasi peningkatan ketidakberdayaan ekonomi. Presiden Bourguiba membuat
alasan, pada masa awal Islam, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk
berhenti berpuasa ketika peristiwa penaklukkan kota Mekah (fathu Makkah) dan
Islam merupakan agama yang mengutamakan aksi dan perbuatan baik (Wolf,
2017:30).

Ketidakpuasan terhadap rezim Bourguiba terus meningkat dan diperkuat


oleh krisis ekonomi yang semakin mendalam. Pada awal tahun 1960-an, Presiden
menerapkan sistem pembangunan ekonomi sosialis dengan tujuan untuk
memulihkan ekonomi. Demi memperjelas pergeseran menuju sosialisme tersebut,
pada tahun 1964 Neo-Destour mengubah namanya menjadi the Destourian
Socialist Party (Parti Socialiste Destourien, PSD). Mantan pejabat Serikat Buruh
Umum Tunisia (Union Générale Tunisienne du Travail, UGTT), Ahmed bin
Salah, ditugaskan untuk menjalankan pembangunan berbasis negara yang fokus
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 35

pada koperasi pertanian dan industrialisasi sektor publik. Namun, pembangunan


ekonomi sosialisme yang diterapkan Bourguiba gagal (Encyclopaedia Britannica,
tanpa tahun). Rezim memilih untuk mengendalikan perpolitikan melalui
kepemimpinan otoriter.

Kekecewaan terhadap rezim membuat masyarakat Tunisia khususnya


kelompok Islamis ingin melakukan aksi nyata untuk melakukan perubahan dalam
negerinya namun mereka belum memiliki kemampuan untuk mewujudkannya.
Bourguiba dengan cepat melakukan langkah preventif untuk mencegah terjadinya
kekacauan dalam negeri yang lebih luas lagi. Untuk mengendalikan gerakan
kelompok Islamis, maka pada tahun 1967 Bourguiba membentuk Asosiasi
Penjaga Al-Quran, (Association for the Safeguard of the Qur’an, ASQ). ASQ
difungsikan untuk sebagai pengganti dari Universitas Zaytouna dan sebagai
saluran untuk mengekspresikan kegiatan keagamaan mereka. Bagi kelompok
muslim, tidak ada pilihan alternatif selain bergabung dengan ASQ sehingga pada
saat itu banyak aktivis muslim bergabung juga dengan ASQ (Alexander,
2016:47). Tetapi, kelompok Islamis mengeluhkan pembatasan ruang gerak yang
diberikan oleh pemerintah terhadap mereka.

Pada tahun 1964, Rachid Ghannouchi9 beserta sekelompok aktivis kecil


mencari suaka di Mesir karena tertarik dengan ideologi pan-Arab Gamal Abdel
Nasser, dan juga mendaftarkan diri di Universitas Kairo. Sebab, Universitas
Zaytouna saat itu telah menjadi kebarat-baratan dan nilai-nilai tradisionalnya
semakin hilang. Namun hanya beberapa bulan kemudian, otoritas Mesir
mengeluarkan Rachid dan rekan-rekannya karena hubungan Bourguiba dan
Nasser meningkat dan kedutaan Tunisia di Kairo meminta otoritas Mesir untuk
mengusir mereka karena dianggap sebagai penentang rezim. Selanjutnya,

9
Rachid Ghannouchi, salah satu pemikir paling terkemuka dalam bidang pemikiran Islam
kontemporer. Rachid Ghannouchi merupakan tokoh penting dalam rekam jejak partai Ennahda. Ia
adalah salah seorang yang memprakarsai terbentuknya MTI (Mouvement de la Tendence
Islamique; Harakat al-Ittijah al-Islami) dan Ennahda. Rachid Ghannouchi telah menjadi ideolog
sentral, kekuatan pemersatu, ahli strategi dan pemimpin pengasingan gerakan Islam Tunisia
Ennahda (Tamimi, 2001:vi).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 36

Ghannouchi dikejutkan dengan kebijakan Nasser yang menindak keras terhadap


Ihwanul Muslimin dan peningkatan hubungannya dengan Bourguiba. Hal tersebut
membuat Ghannouchi kecewa dengan Nasser dan menjauhkan diri dari pan-
Arabisme. Sehingga Ghannouchi memutuskan untuk pindah ke Suriah di mana ia
dipengaruhi oleh Islam Politik. Ketika melanjutkan studinya di Suriah,
Ghannouchi menjadi semakin yakin bahwa nasionalisme Nasser telah menjadi
sesat karena dinilai menentang Islamisme. Ghannouchi menyatakan dirinya
pindah haluan menjadi Islamisme pada tanggal 15 Juni 1966 (Tamimi, 2001:22).

Pada tahun 1967, Arab kalah melawan Israel dalam peristiwa Perang Enam
Hari (Six Day War). Dalam Enam Hari, pasukan Israel tidak hanya mengalahkan
Mesir, Yordania, dan Suriah, tetapi telah mengambil kendali atas jalur Gaza,
Semenanjung Sinai Mesir, West Bank, dan Dataran Tinggi Golan Suriah. Lebih
parah lagi, Bourguiba satu-satunya pemimpin di dunia Arab yang tidak
menganjurkan konfrontasi langsung dengan Israel. Hal tersebut mengundang
kekecewaan banyak pihak terhadap pemikiran sekularisme dan nasionalisme Arab
pada masa itu. Kemenangan Israel pada peristiwa Perang Enam Hari menjadi
pemicu bangkitnya gerakan Islamisme di seluruh dunia Arab.

Rachid Ghannouchi, yang awalnya studi di Suriah kemudian melanjutkan


studinya ke Paris untuk meraih gelar pasca sarjana. Di Paris juga, Rachid bertemu
dengan cabang Jama’at al-Tabligh dari Pakistan yang merupakan gerakan Islamis
yang sangat berpengaruh pada masa itu. Gerakan tersebut fokus dalam bidang
dakwah dan edukasi Islam. Gerakan tersebut mempercayai bahwa umat Islam
telah tersesat akibat jauh dari ajaran agama. Bagi gerakan tersebut, reformasi
Islam bisa diraih melalui perbaikan kualitas kepribadian manusia karena individu
adalah landasan masyarakat. Dengan demikian, reformasi Islam dapat terjadi
melalui proses kebangkitan Islam secara bottom-up. Para anggota gerakan tersebut
berupaya untuk menciptakan individu-individu yang ‘shaleh’ dengan mengajarkan
mereka sunnah (segala ucapan dan perbuatan yang diyakini telah dilakukan oleh
Nabi) dengan tujuan besar untuk menciptakan masyarakat Islami yang
sesungguhnya. Di Paris, Ghannouchi menjadi sosok terkemuka serta dipercaya
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 37

untuk menjadi imam jamaah shalat, dan ia pun menjadi terinspirasi oleh kelompok
itu (Tamimi, 2001:24-25).

Antusias yang begitu tinggi untuk menjadi aktivis Islam semakin muncul.
Hal itu makin dipicu dengan adanya perselisihan yang terus menerus terjadi di
antara kelompok kiri dan rezim penguasa. Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an,
Rachid Ghannouchi beserta aktivis Islam politik lainnya yaitu Hmida Ennaifer,
dan Abdelfattah Mourou mendirikan organisasi yang baru bernama al-Jama’a al-
Islamiyya (kelompok Islam). Melalui organisasi ini, kelompok Islamis bertujuan
untuk ikut andil memberi kontribusi tidak hanya dalam ruang privat, namun
menghidupkan kembali Islam dalam ruang publik, termasuk masjid-masjid,
asosiasi-asosiasi dan fasilitas pendidikan. Banyak dari anggota ASQ tertarik untuk
bergabung dengan Jama’a al-Islamiyya yang dinilai lebih bersemangat membela
Islam. Salah satu pendiri al-Jama’a al-Islamiyya juga yakni Abdelfattah Mourou,
merupakan mantan anggota ASQ. Program kegiatan al-Jama’a al-Islamiyya tidak
hanya seputar masalah keaslian budaya dan agama saja, namun juga melakukan
serangkaian kegiatan sosial seperti acara sosial, olahraga, belajar dan musik.
Sehingga al-Jama’a al-Islamiyya mendapatkan berbagai dukungan dari berbagai
lapisan masyarakat (Wolf, 2017:32-38).

Pada awalnya, Bourguiba tidak menganggap keberadaan al-Jama’a al-


Islamiyya sebagai kelompok yang berbahaya. Sebab beberapa anggota partai
Bourguiba, PSD, menjalin hubungan yang dekat dengan aktivis al-Jama’a al-
Islamiyya. Bourguiba bahkan membiarkan faksi partainya menyerukan Islamisasi
dan Arabisasi masyarakat, membiarkan mereka mendekati para pemimpin aktivis
al-Jama’a al-Islamiyya dalam upaya untuk meyakinkan mereka (al-Jama’a al-
Islamiyya) supaya mempengaruhi garis politik rezim. Namun, tindakan dari
anggota partai tersebut dianggap sebagai perantara untuk mendekatkan diri
dengan masyarakat muslim. Sebab Bourguiba pada akhir tahun 1960-an dan 1970-
an, perhatiannya fokus untuk melawan kelompok gerakan vokal sayap kiri.
Bourguiba memerlukan pengaruh kelompok Islamis untuk melawan kelompok
gerakan vokal sayap kiri, sehingga mencoba mengendalikan kelompok Islamis.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 38

Bourguiba memfasilitasi pertumbuhan kelompok Islamis dan membiarkan


kelompok Islamis mengutuk ‘Marxisme yang tak bertuhan’, salah satu konsep
dari ajaran komunisme (Wolf, 2017:39).

Pada tahun 1970 Anwar Sadat mengambil alih kekuasaan di Mesir setelah
kematian Nasser (Hasan, 2017). Anwar Sadat menjauhkan diri dari proyek pan-
Arab Nasser dan malah menyebut dirinya 'Presiden yang beriman'. Sadat mulai
membebaskan tahanan Ikhwanul Muslimin dan mengizinkan mereka beroperasi di
tempat terbuka dan menerbitkan majalah bulanan. Sebagai akibatnya, aliran
literatur Ikhwanul Muslimin meningkat di seluruh wilayah.

Ketika Bourguiba menindak keras kelompok kiri, kelompok Islamis


mendapat pengaruh yang lebih luas lagi, khususnya di bidang pendidikan.
Pengaruh perlawanan kelompok Islamis terhadap ajaran komunisme dan
banyaknya literature yang masuk dari Ihwanul Muslimin Mesir ke Tunisia,
membuatnya semakin diminati oleh masyarakat muslim Tunisia. Banyak
masyarakat muslim, bahkan dari kalangan terkemuka di Tunisia tertarik pada al-
Jama’a al-Islamiyya. Misalnya, Nejib Karoui, putra Hamed Karoui, seorang
pejabat senior yang akan menjadi perdana menteri di bawah rezim Ben Ali,
bergabung dengan al-Jamaʿa al-Islamiyya dan kemudian menjadi pemimpin
terkemuka dalam gerakan tersebut (Wolf, 2017:38).

Pada tahun 1970-an, pengaruh al-Jamaʿa al-Islamiyya meluas hingga ke


ranah institusi perguruan tinggi. Kelompok Islamis tersebut aktif melakukan
berbagai kegiatan di wilayah kampus seperti mengaktifkan kegiatan masjid,
melakukan dakwah dan ikut berpartisipasi dalam perkumpulan diskusi yang
diorganisir oleh kelompok kiri. Kelompok al-Jamaʿa al-Islamiyyamenyadari
bahwa ideologi yang mereka miliki belum mampu untuk menghadapi perdebatan
politik yang memanas di wilayah kampus. Sehingga al-Jamaʿa al-Islamiyya
membuka diri untuk mempelajari karya-karya Marxis untuk memahami ideologi
kelompok kiri dan menemukan cara untuk menentang ajarannya secara efektif.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 39

Oleh karena itu secara khusus, kelompok kiri menentang kemunculan aktivis al-
Jamaʿa al-Islamiyya.

Pada tahun 1970-an, kelompok kiri mampu mengalahkan mahasiswa PSD


yang selalu mendominasi dalam pemilihan organisasi kemahasiswaan di
Universitas Manouba, Serikat Umum Mahasiswa Tunisia, UGET (L'Union
Générale des Édudiants de Tunisie). Mahasiswa pendukung PSD tidak menerima
kekalahan dalam pemilihan tersebut. Hal itu menjadi pemicu konflik antara
pendukung PSD, kelompok kiri, dan nantinya pada pertengahan 1970 an aktivis
Islamis. Pada tahun 1977¸ ketegangan antara mahasiswa pendukung al-Jamaʿa al-
Islamiyya, PSD, dan kelompok kiri meningkat menjelang pemilihan mahasiswa
UGET berikutnya. Anggota UGET ingin memenangkan kandidat dari
kelompoknya tanpa ada pesaingnya. Sehingga mahasiswa yang tidak setuju
dengan UGET mengorganisir rapat umum untuk menyuarakan ketidakpuasan
mereka yang kemudian berubah menjadi bentrokan kekerasan. Peristiwa tersebut
menyebabkan mahasiswa al-Jamaʿa al-Islamiyya membuat pernyataan pertama
mereka yang mengutuk penggunaan kekerasan. Pernyataan itu ditandatangani oleh
para Mahasiswa yang menamakan diri mereka “Gerakan Tendensi Islam”
(Mouvement de la Tendence Islamique, MTI; Harakat al-Ittijah al-Islami) (Wolf,
2017:43-44).

Fokus pergerakan MTI berbeda dengan al-Jamaʿa al-Islamiyya. Bila al-


Jamaʿa al-Islamiyya berfokus pada pembinaan ahlak individu, dakwah nilai-nilai
moralitas dan ilmu keislaman, maka MTI berfokus pada kegiatan yang
menyerukan aksi sosial dan politik untuk melawan rezim sekularisme Bourguiba.
MTI memandang bahwa masyarakat muslim harus terjun ke dunia politik untuk
mengatasi problematika dekadensi negara dan masyarakat Islam, untuk mengatasi
nilai-nilai keislaman yang mulai hilang di dalam bidang hukum, politik, sosial,
budaya dan pendidikan. Banyak mahasiswa di Tunisia yang tertarik mengikuti
gerakan Islam politik tersebut untuk memperjuangkan Islam.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 40

Peristiwa revolusi Iran pada 1979 yang mengakibatkan jatuhnya dinasti


Pahlevi, menunjukkan kepada kelompok gerakan Islam politik di Tunisia bahwa
gerakan Islam mampu melangkah lebih jauh daripada bergerak seputar dakwah
teoritis dan akhlak. Revolusi Iran 1979 mengilhami aktivis gerakan Islam Politik
di Tunisia untuk meningkatkan aksi politiknya. Pada bulan Juli 1979, kelompok
Islamis mengadakan kongres di Manouba. Mereka sepakat untuk mengubah nama
organisasinya secara resmi menjadi Gerakan Tendensi Islam (Mouvement de la
Tendence Islamique, Harakat al-Ittijah al-Islami, MTI). Para aktivis Islam politik
menggunakan nama pergerakan yang pernah dipakai di kampus untuk
menekankan relevansinya dengan situasi pada saat itu sekaligus sebagai bentuk
kesediaan mereka untuk bergerak di sosial-ekonomi dan politik (Wolf, 2017:50).

Pada bulan Juli 1981, satu bulan setelah MTI mengajukan permohonan izin,
permintaan untuk melegalkan partai politiknya ditolak. Beberapa bulan
berikutnya, lebih dari ratusan aktivis Islamis dipenjara atas tuduhan penyebaran
informasi palsu, operasi asosiasi yang tidak sah, hasutan untuk melakukan
kekerasan terutama di wilayah kampus. Penindasan tersebut memperkuat citra
publik MTI dan banyak warga Tunisia mengecam tindakan keras rezim.
Kekecewaan rakyat terhadap rezim semakin meningkat setelah pemilu 1981,
presiden memalsukan hasil untuk memberikan PSD 94,6% suara, sehingga tidak
ada partai lain yang mencapai 5% suara yang diperlukan untuk diakui secara
hukum (Wolf, 2017:57-58).

Pada tanggal 7 November 1987, Zainal Abidine Ben Ali melakukan kudeta
tak berdarah terhadap Bourguiba. Ketika awal-awal mengambil alih kekuasaan, ia
mengendalikan keamanan negara dengan cara memenjarakan 157 anggota MTI
karena dianggap berpotensi sebagai ancaman keamanan negara. Namun, Ben Ali
berhati-hati untuk tidak mengulangi kesalahan Bourguiba yang gagal mencegah
perkembangan gerakan Islamisme melalui cara represif. Sehingga beberapa bulan
berikutnya, presiden Ben Ali menghentikan tindakan kerasnya dan antara bulan
November 1988 dan April 1989 ia membebaskan semua tahanan MTI. Ben Ali
mengecam kebijakan-kebijakan Bouguiba dan menjanjikan pemerintahan Tunisia
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 41

yang belandaskan demokrasi yang bertanggung jawab. Ia juga berjanji untuk


mengeluarkan rancangan undang-undang yang memastikan bahwa partai - partai
politik dan media akan memainkan peran yang lebih besar dalam
mengembangkan Tunisia. Hal-hal ini membuat banyak pihak menaruh harapan
bahwa Ben Ali akan mewujudkan pemerintahan baru yang sesuai dengan harapan
masyarakat Tunisia (Wolf, 2018).

Seorang diplomat asing mengamati bahwa pada tanggal 20 Maret 1988


untuk pertama kalinya di dalam sejarah Tunisia, partai-partai oposisi yang sah
diizinkan berpartisipasi di dalam parade. Pada tahun awal kepresidenan Ben Ali
berlalu, tidak ada kebijakan pembatasan media massa atau buku-buku, dan tidak
ada kasus yang berakhir dengan hukuman mati (Wolf, 2018). Ben Ali juga
menghapus aturan undang-undang yang berlaku di masa Bourguiba mengenai
"presiden seumur hidup" dan mengumumkan program privatisasi sementara untuk
meningkatkan perekonomian. Untuk menunjukkan komitmen barunya terhadap
demokrasi serta melepaskan diri dari citra pemerintahan Bourguiba, Ben Ali
menamai ulang Partai Bourguiba Parti Socialiste Destourien (PSD) menjadi
Rassemblement Constitutionnel Démocratique (RCD) (Encyclopaedia Britannica,
tanpa tahun).

Ben Ali ingin membuat dirinya dekat dengan kelompok Islamis dengan
mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap mereka dan berusaha untuk tidak
meniru kebijakan keras Bourguiba terhadap mereka. Ben Ali mengizinkan
anggota MTI untuk menjadi bagian dari komite yang bertugas menegosiasikan
'Pakta Nasional', yang ditandatangani oleh 16 partai dan organisasi pada tahun
1989. Pakta Nasional mengabadikan dukungan para peserta penandatanganan
untuk HAM (Hak Asasi Manusia) dan Personal Status Code, di samping
kebebasan berpendapat dan asosiasi 'dalam konteks hukum' (Wolf, 2018). Ben Ali
juga memilih untuk menyiarkan azan di radio dan televisi. Selain itu, langkah
Ben Ali selanjutnya yakni membuka kembali tiga kajian / mata kuliah kampus
Islam di Universitas Zaytouna dan memulihkan statusnya sebagai universitas pada
tahun 1987.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 42

Tak berselang lama setelah itu, Ben Ali juga mendirikan kementerian
agama, pusat kajian agama Islam di kota suci Kairouan, dan Dewan Tinggi
Agama Islam yang bertugas memastikan undang-undang yang dibuat sesuai
dengan kaidah Islam. Presiden Ben Ali juga menetapkan kebijakan untuk
menentukan bulan Ramadhan dengan metode melihat bulan, yang pada masa
rezim Bourguiba menggunakan kalender Gregorian. Pada tahun 1989, presiden
mengadakan Ramadan Untuk Semua, yang mengklaim memberikan makanan
gratis untuk keluarga atau masyarakat terpinggirkan untuk memperkuat legitimasi
kekuasaan Ben Ali (Wolf, 2017:69).

Upaya-upaya pendekatan rezim Ben Ali terhadap masyarakat Tunisia dapat


dinilai untuk meredakan amarah kelompok Islamis terhadap pemerintah yang
dianggap berupaya menghapus tradisi religius yang ada sejak rezim Bourguiba.
Namun, dalam perihal kekuasaan, Ben Ali tidak memberi kesempatan kepada
kelompok religius untuk menjadi kekuatan politik di Tunisia. Steffen Erdle di
dalam buku Anne Wolf Political Islam in Tunisia The History of Ennahda,
berpendapat bahwa Ben Ali mempertegas bahwa 'Islam memang harus diberi
ruang yang selayaknya di masyarakat, namun itu tidak sepatutnya diberi ruang
kekuasaan untuk mengatur masyarakat'. Pada tahun 1988, Presiden mengeluarkan
undang-undang yang mengkriminalisasi semua kegiatan dan pertemuan di masjid
oleh orang-orang selain yang ditunjuk oleh Departemen Agama. Selain itu,
undang-undang partai politik yang baru, di mana enam partai oposisi yang
terdaftar, melarang pembentukan partai dengan latar belakang keagamaan, ras,
etnis, dan wilayah. Oleh karena itu pada tahun 1988, kelompok Islamis mengubah
nama MTI menjadi Harakat Ennahda atau 'Gerakan Renaissance' (Gerakan
Kebangkitan) (Wolf, 2017:69).

2.2.3 Ennahda dan Rezim Ben Ali

Ben Ali mengadakan pemilihan presiden dan parlemen pada tahun 1989.
Pada bulan Juni 1989, Ennahda berupaya memperoleh lisensi dari pemerintah
untuk menjadi partai politik yang resmi. Namun, permohonan Ennahda untuk
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 43

status partai ditolak. Dalam sebuah pernyataan Juni 1989, Ben Ali menegaskan
sikapnya mengenai Ennahda dengan menyatakan bahwa:

‘We say to those who mix religion with politics that there is
no way of allowing them to form a party’ ('kami katakan kepada
mereka yang mencampurkan agama dengan politik bahwa tidak ada
cara untuk memungkinkan mereka membentuk sebuah partai')
(Wolf, 2018).
Konsesi yang jelas dari rezim Ben Ali adalah mengizinkan Ennahda pada
bulan Januari 1990 untuk tetap memproduksi literatur sendiri, al-Fajr. Namun,
konsesi tersebut adalah jebakan untuk Ennahda. Rezim membiarkan Ennahda
menerbitkan al-Fajr agar mengetahui pemikiran dan program Ennahda. Jadi
beberapa bulan setelah al-Fajr diterbitkan, direkturnya ditangkap dan dituduh
membuat artikel yang berisi fitnah. Publikasi al-Fajr dilarang pada bulan Januari
1991 (Wolf, 2017:72).

Beberapa aktivis sekuler, meskipun dalam minoritas, juga meminta presiden


untuk melegalkan Ennahda. Namun faktor-faktor eksternal, terutama munculnya
al-Jabha al-Islamiyya lil-Inqadh atau Front Islamique du Salut (FIS) di negara
tetangga, Aljazair, memperkuat tekad Ben Ali untuk melawan musuh-musuh dari
kelompok Islamis. Di Aljazair, proses pembukaan politik memuncak dalam
pemilihan lokal bebas pada bulan Juni 1990 di mana FIS muncul sebagai partai
dominan. Ben Ali khawatir hasil pemilihan di Algeria akan meningkatkan
kepercayaan diri Ennahda, Sehingga Ben Ali berusaha sangat keras untuk
merusak penyebaran informasi tentang kemenangan FIS, dan menegakkan kontrol
media yang lebih ketat. Hasil pemilihan di Aljazair membuat Ben Ali mengambil
kesimpulan bahwa metode mengintegrasikan Ennahda ke dalam politik bukanlah
solusi yang tepat untuk ‘mengekang’ kaum Islamis. Oleh karena itu dalam bulan-
bulan berikutnya, Ben Ali memperkuat represi, sementara Rachid Ghannouchi
mendorong rakyat Tunisia untuk meniru 'intifada (perlawanan) Aljazair pada
tahun 1988' (Wolf, 2017:72-73)

Pada tahun 1980-an, konfrontasi antara pendukung Ennahda dan rezim


semakin meningkat. Banyak mahasiswa yang tergolong milisi dari kelompok
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 44

Islamis ditangkap, dipenjara dan disiksa hanya karena berpartisipasi dalam


demonstrasi di kampus. Insiden penembakan seorang siswa pada bulan September
1990 ketika melakukan demonstrasi, memicu aksi protes yang lebih besar. Dalam
menanggapi kebijakan represif rezim, beberapa oposisi membalas tindakan
pemerintah tersebut dengan aksi yang lebih radikal. Para aktivis yang memiliki
hubungan dengan Ennahda melakukan aksi bakar kantor partai RCD di Bab
Souika, daerah Tunis Tengah, pada bulan Februari 1991. Salah satu penjaga RCD
tewas dalam kebakaran. Rezim Ben Ali menangkap mereka, menyajikan bukti
terbatas untuk keterlibatan dua puluh delapan orang yang kemudian ditangkap dan
diadili dalam proses yang dianggap tidak adil oleh asosiasi HAM internasional.
Lima tersangka pelaku utama menerima hukuman mati; para tahanan lainnya
dijatuhi hukuman tiga puluh sembilan tahun penjara. Mantan anggota biro politik
RCD mengakui bahwa insiden Bab Souika dieksploitasi untuk memenjarakan
kaum Islamis dan untuk menerapkan solusi radikal, sehingga tidak ada lagi upaya
dialog namun hanya penggunaan kekerasan (Wolf, 2017:73-74).

Dua bulan setelah insiden Bab Souika, para pejabat pemerintah mengklaim
telah mengungkap makar yang lebih besar yaitu bahwa Ennahda sedang berusaha
untuk menggulingkan pemerintah. Abdallah Kallel, seorang menteri dalam negeri
di bawah rezim Ben Ali pada masa itu, mengumumkan penangkapan terhadap
orang-orang yang dicurigai telah mempersiapkan rencana untuk menjatuhkan
rezim. Ada 300 orang Islam, termasuk 100 orang dari militer, ditangkap di
Barraket Essahel. Insiden penangkapan tersebut kemudian dikenal peristiwa
Barraket Essahel. Bahkan lebih banyak orang yang ditangkap pada bulan-bulan
berikutnya (Wolf, 2017:74-75).

2.2.4 Meningkatnya Minat Publik terhadap Islam

Setelah beberapa kali insiden perselisihan antara kelompok Islamis dan


rezim Ben Ali, pemerintah merasa bahwa Ennahda telah kehabisan kekuatan
untuk menentang rezim. Pemerintah mulai bersikap lunak secara bertahap dan
melonggarkan beberapa kebijakan represif terhadap aktivis kelompok Islamis.
Pada tahun 2000-an, banyak tokoh Ennahda dibebaskan dari tahanan. Para tokoh
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 45

Ennahda kemudian mencoba memulihkan kembali instisusi dan basis keanggotaan


Ennahda. Struktur keorganisasian, misalnya seperti Biro Eksekutif Ennahda,
secara diam-diam dan bertahap mulai dibangun kembali. Untuk memulihkan
citranya, Ennahda membuat dua rumusan strategi. Pertama, meningkatkan
hubungan antara gerakan Ennahda dengan masyarakat dan kedua, restrukturisasi
internal gerakan Ennahda. Selain itu, Ennahda berusaha untuk memperkuat
hubungannya dengan aktor-aktor kunci di kancah internasional serta berupaya
menggambarkan perjuangannya sebagai seruan untuk hak asasi manusia dan
demokratisasi. Dalam batas tertentu upaya tersebut berhasil karena sejak
pertengahan tahun 2000-an, semakin banyak LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) internasional mendokumentasikan penindasan Ben Ali terhadap
pergerakan.

Dalam upaya rekonstruksi internal gerakan Ennahda, para pemimpinnya


memutuskan untuk melakukan penyelidikan internal. Ada 350 orang yang
kemungkinan semua anggota gerakan bawah tanah Ennahda pada waktu itu,
berpartisipasi dalam proyek. Selama diskusi kelompok, muncul dua tren utama.
Di satu sisi, para pemimpin Ennahda ingin menghidupkan kembali kegiatan
politik dan di sisi lain, menginginkan proyek sosial murni yakni memperbaiki
situasi sosial dan ekonomi mereka, memberikan bantuan keuangan, dan
menghidupkan kembali ide-ide Islamis di masyarakat. Namun, para pemimpin itu
dengan keras mempertahankan pendekatan politik. Akar-akar rumput khususnya
prihatin dengan situasi sosial ekonomi mereka, karena banyak keluarga berjuang
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada 2000-an, aktivis Ennahda di Sousse
membentuk dana yang mendistribusikan sekitar 3.000 dinar Tunisia (sekitar $
1.500) per bulan kepada anggota yang membutuhkan. Namun, ini masih jauh dari
cukup untuk mendukung orang miskin di kota (Wolf, 2017:118).

Pada tahun 2000-an, meningkatnya ketertarikan warga Tunisia untuk


menjadi pribadi agamis begitu tampak jelas. Tren pemakaian jilbab di kalangan
para wanita meningkat pesat. Pemakaian hijab tidak hanya di kalangan orang tua
saja namun di kalangan remaja juga dan meluas mulai dari daerah pedesaan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 46

hingga perkotaan. Fenomena yang sebelumnya tidak terduga, toko-toko yang


menjual pakaian-pakaian syar’i semakin meluas dan ramai dibuka. Mohamed
Kerrou dalam buku Anne Wolf Political Islam in Tunisia – The History of
Ennahda, berpendapat bahwa fenomena meningkatnya pengguna hijab atau jilbab
merupakan cara masyarakat mengekspresikan diri untuk melawan rezim (Wolf,
2017:108). Pemakaian hijab juga dinilai bentuk identitas diri sebagai perlawanan
terhadap budaya asing yang sering menampilkan pakaian yang tidak senonoh.
Rezim Ben Ali mengambil tindakan tegas mengenai tren penggunaan jilbab atau
hijab dengan memberlakukan kembali regulasi era Bourguiba pada tahun 1981
yaitu peraturan nomor 108. Peraturan tersebut menjelaskan tentang larangan bagi
pegawai negeri, siswa, dan guru mengenakan ‘pakaian sektarian’ di depan umum
(Wikileaks, 2006).

Selain itu, ada banyak warga Tunisia juga tertarik untuk belajar di
Universitas Zaytouna. Sekitar 1412 mahasiswa baru diterima di universitas
tersebut pada periode 2010-2011 (sebelum adanya peristiwa pemberontakan atau
revolusi martabat). Meskipun jumlah pendaftar di Zaytouna pada tahun 2000-an
masih lebih rendah dibanding sebelum Ben Ali menindak kelompok Islamis,
meningkatnya permintaan akan pendidikan agama jelas merupakan indikasi dari
pencarian jati diri yang baru untuk nilai keagamaan. Banyak pejabat pemerintah
terkejut karena melihat kembalinya identitas agama di Tunisia. Padahal saat itu
orientasi negara sejak lima puluh tahun yang lalu ialah melarang poligami,
memeluk sekularisme, dan mengembangkan industri anggur domestik (Wolf,
2017:108-109).

Ada beberapa faktor domestik dan internasional yang menyebabkan


bangkitnya minat warga Tunisia terhadap nilai dan aspek religius. Secara
domestik, popularitas Ben Ali menurun karena kecenderungan kebijakannya yang
represif dan meningkatnya kesulitan ekonomi yang dialami warga Tunisia.
Meskipun Bank Dunia pada masa rezim Ben Ali memuji pencapaian ekonominya,
namun hal itu dinilai hanya menguntungkan Ben Ali dan para pendukungnya. Di
sisi lain, tradisi lokal yang mulai hilang dan meningkatnya kecenderungan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 47

konsumerisme membuat masyarakat kesal dengan rezim. Hal ini ditunjukkan


secara simbolis pada tahun 2001 ketika supermarket Perancis Carrefour dibuka di
Tunisia dan empat tahun kemudian diikuti oleh Géant. Dekade berikutnya, banyak
didirikan bangunan dan pertokoan baru yang meniru gaya Barat. Perubahan pola
perilaku sosial yang cenderung mengikuti gaya budaya barat mengakibatkan nilai
hangatnya kebersamaan dalam masyarakat dan identitas jati diri masyarakat
menjadi hilang. Selain itu, meskipun pada pemilihan presiden pada tahun 2009
Ben Ali mengklaim telah memperoleh 89,62% suara, banyak warga Tunisia yang
marah dengan Ben Ali setelah adanya tindak kecurangan (Wolf, 2017:109)

Adanya peningkatan pengguna internet juga menjadi faktor penting dalam


kebangiktan minat terhadap Islam. Pada tahun 2007, 17 persen warga Tunisia
menggunakan internet dan pada tahun-tahun berikutnya terus mengalami
peningkatan. Banyak warga Tunisia menggunakan internet sebagai sumber
informasi untuk mempelajari tentang Islam dan budaya Arab meskipun seringkali
ditafsir dan diterima secara konservatif. Ben Ali tidak memiliki pilihan kecuali
menyesuaikan kebijakan politiknya dengan kondisi masyarakat yang semakin
tertarik pada aspek religius namun tetap melarang praktik dan simbol Islam yang
berpotensi mengancam keamanan rezim (Wolf, 2017:110).

Secara internasional, peristiwa perang Irak pada tahun 2003 sangat


berkontribusi pada meningkatnya ketertarikan terhadap ekspresi keagamaan.
Banyak kalangan muslim khususnya dalam hal ini warga Tunisia mengutuk
kebijakan Amerika Serikat yang dinilai merugikan masyarakat muslim di dunia
internasional dan khususnya terhadap masyarakat muslim Arab di Irak. Bahkan
sejak insiden serangan di New York pada tahun 2001 dan invasi Amerika Serikat
ke Irak pada tahun 2003, memberikan pengaruh sangat signifikan yang menjadi
alasan mereka mengenakan jilbab dan mengekspresikan identitas Muslimnya
lebih jelas dan di depan umum (Haugbølle, 2015). Sehingga pada tahun 2006 dan
2007, gerakan Islam fundamentalis di Tunisia menjadi semakin besar dan lebih
berani menunjukkan aksi jihadnya dengan melibatkan diri ke medan peperangan
di luar negeri Tunisia.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 48

Ada banyak masyarakat muslim Tunisia yang merasa ‘terpanggil’ untuk


melakukan aksi jihad dan melibatkan diri ke dalam peperangan asing. Bahkan
sejak tahun 1980-an, beberapa penganut Salafi di Tunisia yang ultra-Konservatif
pergi meninggalkan Tunisia pada 1980-an untuk bergabung dengan Mujahidin di
Afghanistan. Dalam negeri Tunisia pada pertengahan tahun 2000-an, banyak yang
tertarik untuk bergabung dengan al-Qaeda dan perlawanan Irak. Pemuda yang
asalnya dari kelompok kiri, komunis, Ba’ath, bahkan yang dibesarkan dari
keluarga paling sekuler semakin mendukung ideologi ekstremis (Wolf, 2017:124).
Sebuah rekaman dari gerilyawan Irak menginformasikan 24 warga Tunisia di
antara 700 milisi asing telah memasuki negara Irak antara bulan Agustus 2006 dan
Agustus 2007. Hampir setengah dari mereka ditugaskan misi bunuh diri. Ada
sekitar 10 warga Tunisia tertangkap dan dipenjara di Guantanamo. Milisi lain
yang tidak berhasil berangkat ke Irak, mereka memutuskan untuk melakukan jihad
di tanah Tunisia (Wolf, 2017:124-125).

Pada tahun 2006, lima warga Tunisia dan satu orang Mauritania mendirikan
suatu perkumpulan yang bernama Kelompok Soliman (Wolf, 2017:125). Pada
bulan Desember 2006 terjadi sebuah insiden, ketika sekelompok pria bersenjata
ditangkap di kota Soliman, 30 km selatan Tunis. Media Tunisia milik negara pada
awalnya menggambarkan kelompok itu sebagai 'penjahat', tetapi isu yang tersebar
di kalangan wartawan dan warga Tunisia bahwa kelompok itu terdiri dari kaum
Salafi yang tergabung dalam jaringan al-Qaeda. Selama persidangan para anggota
kelompok itu pada tahun 2007 kemudian menjadi jelas, bahwa mereka adalah
pejuang jihad yang pergi ke Irak. Tetapi kelompok tersebut juga bertujuan untuk
memberontak melawan pemerintahan Tunisia (rezim Ben Ali) (Haugbølle, 2015).

Ennahda memanfaatkan peristiwa Soliman tersebut untuk memperkenalkan


eksistensinya sebagai kelompok Islamis yang moderat dan berbeda dari kelompok
ekstremis Salafi. Sebuah penyataan deklarasi telah beredar setelah kongres
kedelapan Ennahda pada bulan Mei 2007 yang menyatakan bahwa, 'para peserta
[Kongres] mengatakan [Ennahda] memiliki peran kunci dalam memperkenalkan
ideologi [dan implementasi] moderat sebagai perlawanan terhadap sikap ekstrem
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 49

dan tindak kekerasan' serta menekankan bahwa ‘sikap politik yang tertutup akan
berdampak negatif terhadap keseluruhan kualitas kehidupan sosial, ekonomi dan
budaya' (Wolf, 2017:126).

Menanggapi fenomena terorisme di Tunisia, rezim Ben Ali menerapkan


strategi ganda. Pertama berusaha untuk memonopoli Islam, sebab semakin
banyaknya rakyat Tunisia yang tertarik terhadap aspek religius. Upaya rezim Ben
Ali misalnya, pembuatan Radio Zaytouna 2007. Radio Zaytouna dimanfaatkan
oleh rezim Ben Ali untuk menjelaskan bahwa ide-ide ekstremis merupakan
ancaman terhadap kehidupan masyarakat dunia dan juga mempropagandakan ide-
ide pasifis serta tradisi keagamaan Tunisia. Pada tahun 2007 juga, pengadilan
administratif membatalkan surat edaran nomor 102 (yang dikeluarkan pada tahun
1986) mengenai regulasi pelarangan pemakaian jilbab di lembaga-lembaga publik,
terutama di sekolah-sekolah dan universitas (Wolf, 2017:126-127).

Strategi Ben Ali yang kedua, mengintensifkan tindakan keras terhadap para
jihadis. Teman atau anggota keluarga dari tersangka secara khusus dianggap
bersalah juga oleh asosiasi. Penindasan ini mencapai puncaknya pada tahun 2008,
antara 1.000 dan 2.000 warga Tunisia telah dipenjara di bawah undang-undang
terorisme tahun 2003. Mayoritas dari mereka tidak bersalah atas kejahatan yang
dituduhkan kepada mereka. Penindasan rezim tersebut terjadi saat ketegangan
sosial dan ekonomi meningkat. Saat masa genting tersebut, terjadi peningkatan
arus informasi dari media luar negeri seperti TV satelit Arab, Al-Jazeera, Al-
Arabiyya, dan TV Abu Dhabi. Informasi dari media luar negeri bertentangan
dengan retorika resmi negara, kemudian ditambah lagi dengan bertambahnya
jumlah masyarakat yang semakin termarjinalkan khususnya di provinsi
pedalaman, memicu protes masyarakat yang mengarahkan ke peristiwa revolusi
Arab Spring (Wolf, 2017:127).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 50

2.2.5 Pemberontakan Rakyat Tunisia: Tsauratu al Karama (Revolusi Martabat);


Awal dari Arab Spring

Kebijakan represif dan prospek ekonomi yang terpuruk membuat rakyat


kecewa terhadap rezim Ben Ali. Puncaknya pada tanggal 17 Desember 2010 di
daerah Sidi Bouzid, seorang pedagang kaki lima yang bernama Tarek al-Tayeb
Mohammed Bouazizi, membakar dirinya setelah seorang polisi wanita menyita
keranjang sayurnya. Peristiwa ini kemudian memicu kemunculan protes besar-
besaran dari warga Tunisia terhadap pemerintahannya pada tahun 2010 yang
menjadi titik awal fenomena “Arab Spring”. Satu hari pasca insiden tersebut,
protes massa dengan cepat menyebar ke seluruh negeri hingga mengakibatkan
pemberontakan rakyat Tunisia yang dinamakan Tsaurat al Karama (Revolusi
Martabat) (Ayari, 2015). Perdana menteri, Mohammed Ghannouchi, membentuk
pemerintahan baru dan mengumumkan pemilihan parlemen awal. Namun,
permintaan yang terus menerus untuk 'revolusi penuh' membuatnya
mengundurkan diri pada 27 Februari. Selanjutnya, Beji Caid Essebsi (seorang
menteri luar negeri di bawah Bourguiba dan juru bicara parlemen di bawah Ben
Ali) ditunjuk sebagai perdana menteri sementara. Beji Caid Essebsi membubarkan
RCD (Rassemblement Constitutionnel Démocratique) dan mengumumkan
pemilihan untuk Majelis Konstituante akhir tahun itu untuk menulis ulang
konstitusi Tunisia. Essebsi juga membebaskan semua tahanan politik dan
mengesahkan sejumlah partai, termasuk Ennahda. Protes dan pemberontakan
warga Tunisia tersebut pada akhirnya berhasil membuat Zine El Abidine Ben Ali
pada 14 Januari 2011 melarikan diri menuju Arab Saudi (Wolf, 2017:129).

Pada tanggal 30 Januari 2011, Rachid Ghannouchi beserta para pemimpin


Ennahda lainnya, kembali ke Tunis dan disambut kerumunan sekitar 10.000
pendukung (BBC, 2011). Para anggota Ennahda kemudian berusaha untuk
membangun kembali struktur organisasi mereka di seluruh negeri sebelum
pemilihan Majelis Konstituante berlangsung. Pada pertengahan bulan Maret, tepat
setelah Ennahda menerima lisensi partai (diterima sebagai partai politik yang sah),
anggota senior Ennahda Abdelhamid Jlassi mengklaim bahwa dalam periode
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 51

kurang dari enam minggu mereka mendirikan 2.064 kantor Ennahda, termasuk
dua puluh empat biro yang mewakili berbagai gubernur. Kantor yang baru
didirikan menjadi titik pertemuan bagi mantan tahanan politik dan keluarga
mereka. Para aktivis mendiskusikan tentang apa yang harus dilakukan Ennahda
untuk Tunisia pasca runtuhnya rezim Ben Ali (Wolf, 2017:132).

Pasca pemberontakan terhadap rezim Ben Ali, Ennahda memilih untuk tidak
menerapkan strategi politik ‘balas dendam’ terhadap para mantan pejabat
pemerintahan Ben Ali dan musuh politiknya dari RCD. Menjelang pemilihan
majelis konstituante pada tanggal 23 Oktober 2011, partai-partai politik di Tunisia
melakukan kampanye termasuk Ennahda. Beberapa partai sekuler misalnya PDP
(Progressive Democratic Party; al-Hizb al Dimuqrati al Taqaddumi), melakukan
kampanye dengan menggunakan retorika anti-Islam yang mengklaim bahwa
Ennahda akan membawa Tunisia kembali ke zaman abad pertengahan. Terlebih
lagi, partai-partai berhaluan sekuler merasa yakin bahwa mereka memiliki cukup
pendukung untuk memenangkannya sehingga mereka tidak membentuk koalisi.
Oleh karena itu, kekuatan partai-partai sekuler menjadi lemah.

Sebaliknya, Ennahda melakukan kampanye yang cerdik dengan beradaptasi


terhadap karakteristik dan demografi lokal tertentu. Misalnya, Ennahda
berkampanye di kota Hammam-Lif dengan menampilkan konser musik serta
pidato dari seorang akademisi perempuan, yang menekankan peran perempuan
dalam pemberontakan. Bahkan Ennahda membujuk seorang aktivis yang tidak
berhijab dan mantan anggota UGTE (Union Générale Tunisienne des
Étudiants)10, Souad Abderrahim, untuk mencalonkan diri dalam 2 daftar pemilih
Tunis agar meyakinkan kembali para pemilih yang kurang religius serta
konservatif, dan mitra Barat atas kesediaan mereka untuk menggabungkan 'Islam
dengan modernitas'. Sebaliknya, dalam lingkungan yang kurang sosial seperti di

10
Persatuan Umum Mahasiswa Tunisia (Union Générale Tunisienne des Étudiants/ UGTE)
merupakan sebuah organisasi yang didirikan oleh sekelompok mahasiswa pada tahun 1985 untuk
membela kepentingan mahasiswa. Organisasi ini memiliki kecenderungan untuk memihak kepada
MTI. Sehingga pada tahun 1991, rezim Ben Ali melarang pergerakan organisasi tersebut karena
hubungannya dengan MTI (Encyclopedia.com, tanpa tahun).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 52

kota selatan Hajeb El Ayoun, Ennahda berkampanye dengan menyoroti masalah


kesehatan setempat. Strategi pemilihan yang rumit seperti itu, dikombinasikan
dengan pengaruh kelembagaan dan organisasional Ennahda, memberi partai
tersebut keuntungan yang sangat besar dibanding kubu sekuler yang strukturnya
terbatas pada wilayah pesisir dan ibukota (Wolf, 2017:133).

Tabel 2.1 Hasil pemilihan Majelis Konstituante Nasional (NCA) di Tunisia.

(Sumber: NDI, 2011).

Tabel di atas menunjukkan hasil pemilihan Majelis Konstituante Nasional


(NCA) pada tanggal 23 Oktober 2011, bahwa Ennahda berhasil memperoleh
37,04% suara (89 kursi dari 217 kursi). Partai lainnya berada di bawah Ennahda
yaitu CPR (Congrès pour la République) memperoleh 8,71% suara (29 kursi dari
217 kursi); Popular Petition (Aridha Chaabia) 6,74% suara (26 dari 217 kursi);
Dan at-Takattul ad-Dīmuqrāṭī min ajl il-‘Amal wal-Ḥurriyyāt (Ettakol; FDTL /
Forum démocratique pour le travail et les libertés) 7,03% suara (20 dari 217
kursi). Namun, Ennahda gagal mencapai suara mayoritas absolut disebabkan oleh
perpecahan di dalam internal partai Islamis sendiri (Wolf, 2017:133-134).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 53

Pecahnya kekuatan-kekuatan partai sekuler membuat Ennahda menjadi


partai yang paling mendominasi di dalam parlemen. Hanya CPR dan Ettakol yang
setuju untuk bergabung dengannya dalam pemerintahan koalisi, yang kemudian
dikenal sebagai Troika (Wolf, 2017:134). Selanjutnya, koalisi pemerintah Troika
setuju untuk bekerja sama dalam parlemen dan berbagi tiga posisi tertinggi dalam
negara. Karenanya, Ennahda mendukung pemilihan sekretaris jenderal Ettakatol,
Mustapha Ben Jaafar sebagai ketua parlemen dan pemimpin CPR, Moncef
Marzouki, sebagai presiden sementara. Sebagai gantinya, Troika langsung
menunjuk sekretaris jenderal partai Ennahda, Hamadi Jebali, sebagai perdana
menteri. Pemerintah diberi mandat satu tahun untuk membuat undang-undang
dasar dan undang-undang pemilihan yang baru (Ayari, 2015).

2.2.6 Peranan Ennahda dalam Menyusun Konstitusi

Pasca pemberontakan, kelompok Islamis menghadapi tantangan untuk


menemukan jati diri dari masyarakat Tunisia. Banyak dari ideologi kelompok
Islamis dibangun atas dasar perjuangan melawan rezim Habib Bourguiba dan Ben
Ali. Namun, para aktivis Ennahda tidak bisa menyepakati isu-isu mendasar seperti
peran hukum Islam dalam masyarakat. Sebelum pemilihan, kepemimpinan
Ennahda telah berjanji untuk tidak memasukkan rujukan syariah dalam konstitusi.
Tetapi sayap dogmatis dari partai Ennahda mengecam sikap tersebut. Selain itu, di
dalam Majelis Konstituante, perwakilan dari Popular Petition (Aridha Chaabia)
secara terbuka meminta rujukan hukum Islam dimasukkan ke dalam konstitusi.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai hukum syariat Islam menjadi salah satu
topik yang paling diperdebatkan di parlemen (Wolf, 2017:138-139).

Banyak dari warga Tunisia mendukung peningkatan peran agama dalam


politik. Sebuah polling yang dilakukan pada akhir 2011 menemukan bahwa 56%
warga Tunisia percaya bahwa syariah harus dijadikan hukum resmi. Namun,
hanya sebagian kecil (42%) berpikir bahwa pengadilan agama harus mengawasi
hukum keluarga dan properti. Di antara warga Tunisia yang meyakini bahwa
syariah harus dijadikan hukum resmi, 44% juga menyukai hukuman seperti
memotong tangan para pencuri. Meskipun ini adalah angka yang tinggi, itu jauh
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 54

lebih sedikit daripada, misalnya, Mesir (81%) atau Yordania (76%). Adanya suara
dukungan terhadap syariat Islam yang begtiu besar mencerminkan kegundahan
mayoritas masyarakat Tunisia terhadap corak pemerintahan sekularisme sejak
pasca kemerdekaan (Wolf, 2017:139).

Tetapi pada tanggal 26 Maret 2012, Ennahda membuat keputusan bahwa


syariah tidak akan dimasukkan ke dalam konstitusi. Sebab, hasil dari negosiasi di
dalam parlemen menetapkan bahwa sistem parlemen yang diterapkan adalah
sistem parlementer campuran11. Sebagai hasil dari kesediaan Ennahda untuk
berkompromi dan bekerja di dalam sistem, konstitusi baru memperjuangkan
mekanisme demokrasi, peraturan hukum, dan berbagai hak-hak agama, sipil,
politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan (Ghannouchi, 2016). Keputusan
tersebut mendapat kecaman keras dari sayap partai yang lebih dogmatis dan
doktrinal. Ribuan orang turun ke jalan untuk menanggapi pengumuman tersebut.
Selain itu, diperkirakan 10 persen dari cabang pemuda Ennahda kemudian
meninggalkan partai, menuduh kepemimpinan mengkhianati prinsip-prinsip
Islam. Beberapa dari aktivis muda ini kemudian bergabung dengan kelompok
Islam fundamentalis, yakni Salafi (Wolf, 2017:139-140).

Keputusan Ennahda tersebut tidak bisa diartikan sebagai menghindari


agenda Islamis secara total. Sebuah konstitusi yang ditetapkan pada bulan Januari
2014, memberikan kemungkinan bagi partai politik untuk mengislamisasi
masyarakat secara diam-diam. Pasal 6 mendefinisikan peran negara dalam agama
dalam istilah yang tidak jelas dan kontradiktif. Di satu sisi, 'Negara ... menjamin
kebebasan hati nurani dan kepercayaan, pelaksanaan ibadah keagamaan yang
bebas dan netralitas masjid dan tempat-tempat ibadah.' Di sisi lain, negara
'berkomitmen untuk ... perlindungan bagi yang sakral dan larangan untuk
pelanggaran apa pun terhadapnya '. Sebagai hasil dari kompromi politik yang luas,
ketentuan yang tidak jelas ini dapat digunakan untuk menumbuhkan ketaatan
hukum Islam yang lebih ketat, misalnya melalui pengadilan penistaan agama dan
pembatasan hak-hak perempuan (Wolf, 2017:140).

11
Ennahda pada awalnya menyerukan sistem parlementer secara eksklusif (Ghannouchi, 2016).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 55

Pembahasan kajian mengenai peran gender menjadi sangat panas ketika


Majelis Konstituante menerbitkan rancangan konstitusi pertama pada musim
panas tahun 2012. Pasal 28 memicu kegemparan di antara banyak wanita sekuler,
yang mengecamnya sebagai merendahkan kaum wanita menjadi 'pelengkap'
(complement) atau 'rekan' pria. Rancangan pasal 28 berbunyi:

‫تضمن الدولة حماية حقوق المرأة و دعم مكاسبها باعتبارها شريكا حقيقيا مع‬
‫ تضمن الدولة تكافؤ الفرص بين‬.‫الرجل في بناء الوطن و يتكامل دورهما داخل األسرة‬
‫ تضمن الدولة القضاء على كل أشكال‬.‫المرأة و الرجل في تحمل مختلف المسؤليات‬
‫العنف ضد المرأة‬.
(Negara harus menjamin perlindungan hak-hak perempuan
dan mendukung prestasinya sebagai mitra sejati bagi laki-laki dalam
pembangunan bangsa dan memiliki peran yang saling melengkapi di
dalam keluarga. Negara harus menjamin tersedianya kesempatan
yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan
berbagai tanggung jawab. Negara harus menjamin penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan) (Zarrugh, 2014).
Kata yatakamalu (‫ )يتكامل‬di sini diterjemahkan sebagai ‘pelengkap,
terpenuhi, atau saling melengkapi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan’.
Penggunaan istilah yatakamalu dinilai sebagai kontradiksi dengan pasal lainnya
dari rancangan konstitusi yang menekankan kesetaraan gender. Istilah 'kesetaraan'
(Perancis: 'égaux' dan 'égalité'; Bahasa Arab: 'al-masawa (‫ )')المساوى‬digunakan
dalam berbagai konteks dalam rancangan konstitusi termasuk dalam preambul
konstitusi. Pasal 1.6 membahas hak yang sama (equal) di antara warga negara;
Pasal 2.21 membahas tentang hak-hak keluarga dan secara eksplisit menyatakan
'kesetaraan (equality) antara pasangan'; Pasal 2.22 menyatakan kesetaraan
(equality) antara warga negara; Dan Pasal 2.30 memastikan 'kesetaraan (equality)
antara orang-orang dengan kebutuhan khusus dan warga negara lain'. Tidak
adanya istilah 'kesetaraan' dari pasal 28 yang secara langsung membahas hak-hak
perempuan menjadi sebuah kritik dari beberapa kelompok perempuan terhadap
pemerintah dan meminta kepada pemerintah untuk merevisi undang-undang
tersebut (Zarrugh, 2014).

Hak-hak perempuan menjadi semakin intens diperdebatkan beberapa bulan


kemudian, ketika diskusi tentang Personal Status Code Tunisia. Meskipun para
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 56

pemimpin Ennahda telah berjanji pada masa sebelum pemilihan, untuk tidak
memasukkan syariah ke dalam konstitusi. Beberapa pengikut Ennahda
mengklaim bahwa beberapa prinsip Personal Status Code bertentangan dengan
syariah. Setelah beberapa kali musyawarah, pimpinan Ennahda meyakinkan para
anggotanya yang lebih dogmatis untuk menerima perundang-undangan pada
prinsipnya. Dalam sebuah wawancara, Rachid Ghannouchi mengatakan:

“Women’s rights ‘are nowadays part of Tunisian identity. So


Tunisia’s Islamists try to adapt Islam to [this] reality” (Hak-hak
perempuan ‘saat ini menjadi bagian dari identitas Tunisia. Jadi para
Islamis Tunisia mencoba menyesuaikan Islam dengan kenyataan
[ini]). (Wolf, 2017:141).
Peranan Ennahda dalam menyusun konstitusi Tunisia terus berlanjut hingga
masa-masa akhir bagi koalisi pemerintahan Troika. Sebelum menyerahkan
kekuasaan pada bulan Januari 2014 akibat tekanan dari berbagai pihak, Ennahda
berhasil memasukkan gagasan Islam ke dalam konstitusi. Pasal 1 dalam undang-
undang, yang pada 27 Januari 2014, telah menetapkan Islam sebagai agama resmi
Tunisia dan negara memiliki kewajiban untuk melindungi segala sesuatu yang
dinilai sakral (Ayari, 2015). Preambul konstitusi tersebut merefleksikan identitas
muslim Arab Tunisia. Selain itu, adanya kalimat ‘negara sebagai pelindung segala
sesuatu yang dianggap sakral’ dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk
mencegah penistaan terhadap agama. Terlepas dari peranan tersebut, Ennahda
hanya menduduki kekuasaan di Tunisia tidak lebih dari tiga tahun. Pada bab
selanjutnya, penulis akan mendeskripsikan insiden pembunuhan dua politisi dari
kelompok oposisi yang pada akhirnya memaksa pemerintahan Troika untuk
menyerahkan kekuasaannya.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

BAB 3.
DINAMIKA POLITIK PARTAI ENNAHDA DI TUNISIA

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai pemberontakan rakyat


Tunisia yang disebut dengan Tsauratu al Karama (Revolusi Martabat). Peristiwa
itu memiliki dampak yang begitu signifikan terhadap perkembangan bagi Ennahda
di mana dengan manuver politiknya mampu mendulang suara terbanyak di dalam
pemilihan Majelis Konstituante pada tanggal 23 Oktober 2011. Ennahda berhasil
menjadi partai yang paling mendominasi di dalam parlemen. Dua partai yang
berhasil mendapat suara terbesar di bawah Ennahda, yaitu CPR dan Ettakol setuju
untuk bergabung dengannya dalam pemerintahan koalisi, yang kemudian dikenal
sebagai Troika.

Koalisi pemerintahan Troika mendapat mandat untuk menyusun konstitusi


Tunisia dan undang-undang pemilihan yang baru. Dalam proses perancangan
undang-undang tersebut, ada banyak kalangan masyarakat maupun perwakilan
dari parlemen yang meminta untuk menjadikan syariah sebagai hukum resmi
negara. Namun, Ennahda menetapkan keputusan pada tanggal 26 Maret 2012
bahwa syariah tidak akan dimasukkan ke dalam konstitusi. Keputusan tersebut
membuat kelompok Islam Fundamentalis, Salafi, mengecam Ennahda beserta
koalisinya sebagai kelompok Islam yang tidak taat pada ajaran agama (Wolf,
2017:139-144).

3.1 Kebangkitan Gerakan Salafisme di Tunisia

Pasca pemberontakan rakyat Tunisia atau ‘Tsaurat al Karama’, perdana


menteri sementara Beji Caid Essebsi membebaskan semua tahanan politik,
termasuk tahanan ultra-konservatif dan beberapa kelompok Soliman. Kebijakan
tersebut dimaksudkan untuk mendukung munculnya banyak aktor politik dan
sosial yang baru. Namun, munculnya aktor salafi menawarkan interpretasi Islam
konservatif yang jauh lebih radikal dalam kehidupan sosial dan politik. Sebelum
menjelaskan lebih lanjut mengenai pembahasan kebangkitan gerakan Salafisme di
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 58

Tunisia, penulis terlebih dahulu menjelaskan beberapa poin penting mengenai


Salafisme di Tunisia. Penjelasan terkait Salafisme ini diperlukan untuk memahami
ragam pola gerakan Salafisme, khususnya dalam konteks di wilayah Tunisia.

3.1.1 Salafisme

Definisi salafisme sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan


cendikiawan. Namun ada sebuah interpretasi klasik mengenai pembahasan
salafisme pada era kemunculan reformisme Islam di abad ke-19. Jika mengacu
kepada istilah asalnya yaitu bahasa Arab, salafisme merupakan turunan kata dari
salaf atau salafiyyun yang memiliki arti leluhur. Dalam konteks Islam, salafiyyun
mengacu pada tiga generasi muslim pertama yang dinilai sebagai para penganut
Islam yang paling taat dan beriman. Istilah Salafiyyah yaitu ajakan untuk kembali
kepada keaslian Islam yang ada saat awal kemunculannya, dengan cara
memurnikan agama dari segala elemen luar yang mencampuri esensinya. Adapun
penggunaan kata salafisme sebenarnya sebuah istilah yang kemunculannya relatif
baru setelah banyaknya fenomena terkait aktivitas kelompok salaf. Namun
penyebutan salafisme dalam kaitannya dengan keorganisasian memiliki makna
yang spesifik (Torelli et.al., 2012).

Menurut Wiktorowicz, ada tiga bentuk salafisme: Puris, politik, dan jihadis.
Salafi puris memiliki fokus utama pada penjagaan kemurnian Islam sesuai dengan
ketentuan al Quran dan as Sunnah serta ketentuan ijma' (konsensus) dari sahabat
rasulullah saw. Untuk aktivisme politik, kaum puritan lebih menyukai aksi
dakwah dan tarbiyyah (edukasi keagamaan). Sebab asumsi kaum puritan ialah
proses Islamisasi seharusnya dari bawah (bottom up) dan tidak mengganggu
proses operasional institusional negara. Aksi politik dinilai kerap mengundang
kekerasan atau kebijakan represif, sehingga cara demikian bisa mengancam
eksistensi negara. Dalam perspektif ini, gerakan politik Salafi jihadis mendapat
kritik karena aksi-aksinya counterproductive dan akan menyebabkan aktivisme
Islam yang represif. Strategi salafisme puris ini merupakan cara isolasionisme
atau mundur dari institusi sosial dan politik. Pendekatan politik ini terinspirasi
dengan khotbah Rasulullah saw pada periode Mekah ketika kondisi lingkungan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 59

yang memusuhi Nabi saw, mendorong beliau untuk melakukan aksi komunikasi
sosial dan politik secara horizontal daripada melakukan aksi politik (Torelli et.al.,
2012).

Sebaliknya, pilihan aktivisme politik hanyalah salah satu opsi yang


dilakukan karena frustasi terhadap kelompok salafisme puritan yang tetap
berpendirian teguh berada di luar arena politik. Oleh karena itu, salafisme politik
bertindak secara langsung memberikan pengaruhnya ke dalam sistem politik.
Strategi ini didorong oleh keperluan penanganan masalah secara cepat, dan
salafisme politik menyangsikan sikap puritan yang cenderung apatis dan
isolasionis terhadap realitas yang ada, serta menilai kelompok puritan menjadikan
Islam tidak relevan lagi bagi umat muslim (Torelli et.al., 2012). Sejak 1980-an,
gerakan Salafi perlahan mulai berkembang di Tunisia. Alison Pargeter
mendeskripsikan salafisme kontemporer ini sebagai 'ultra-konservatif,
introspektif, dan tampaknya merupakan suatu bentuk pelarian yang sebelumnya
menutup dirinya sendiri di masa lalu dalam penekanan pusat perhatian pada
pembahasan apa yang halal dan apa yang haram' (Wolf, 2017:122). Dalam artian,
salafisme kontemporer tidak hanya sekadar pembahasan mengenai dakwah, ahlak
dan syariat Islam. Namun, salafisme kontemporer telah berkembang serta
berupaya untuk menegakkan syariat Islam di ranah sosial, budaya dan bahkan
negara, sebagai hasil interpretasinya dari ajaran agama yang diyakininya.

Berikutnya, salafisme Jihadis adalah suatu bentuk perlawanan keras


terhadap “pemerintahan yang zalim”, dan memiliki agenda untuk mendirikan
negara Islam (Islamic state). Berbeda dengan salafisme politik, yang
pembentukannya berdasarkan teks klasik salafisme di universitas Islam. Jihadis
menerima ajaran politk dan pelatihan mengenai aksi di medan perang. Misalnya,
sekelompok mujahidin bersenjata di Afghanistan melawan invasi Uni Soviet pada
tahun 1980-an (Torelli et.al., 2012).

Kategorisasi di atas sangat membantu dalam kasus Tunisia, sebab ada


perbedaan di antara berbagai kelompok salafi yang aktif di Tunisia. Hal yang
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 60

menarik adalah hubungan kelompok-kelompok tersebut dengan institusi


demokrasi yang baru lahir serta aktor sosial-politik lainnya yang telah
membangun Tunisia secara asas demokrasi, seperti Ennahda. Memahami
hubungan seperti yang telah dijelaskan tadi menjadi penting karena tiga alasan.
Pertama, sektor salafisme secara bertahap masih bisa dimasukkan ke dalam
mekanisme demokrasi dan legitimasi institusional negara melalui proses moderasi
yang serupa dengan Ennahda. Apabila pemerintah Tunisia berhasil merangkul
kelompok salafi yang sebelumnya anti terhadap proses politik, maka hasilnya
akan memperkuat proses demokrasi karena berhasil menciptakan kondisi
‘siapapun bebas menyalurkan ekspresi atau aspirasinya ke dalam proses
pemerintahan’. Kedua, kelompok salafi yang anti pemerintah semakin menjadi
kuat disebabkan oleh kemandekan pertumbuhan ekonomi, penegakan hukum yang
tidak adil, kesenjangan mendalam antara sistem politik yang ada dengan
masyarakat, dan ketidakmampuan negara dalam mengatasi tuntutan sosial-
ekonomi. Masalah-masalah tersebut mengakibatkan ketidakpercayaan yang begitu
kuat terhadap sistem demokrasi. Dengan adanya ketersediaan serta keterbukaan
untuk menyalurkan aspirasi publik, kelompok Islamis dapat memberi suaranya
dan mempertanyakan laju proses reformasi kepada institusi negara yang legal,
yakni Ennahda. Dengan begitu, gerakan-gerakan radikalime dan ekstremisme
dapat dikurangi. Ketiga, strategi inklusif terhadap setiap aktor politik, khususnya
kelompok Salafi, selain mengurangi gerakan radikalisme dan ektremisme juga
penting untuk menurunkan tensi politik dari kubu sekularis yang anti Islam di
Tunisia. Sedangkan strategi eksklusif serta apatis hanya akan menguntungkan
gerakan kelompok Islamis garis keras yang memang memiliki kapabilitas untuk
merekrut anggota baru (Torelli et.al., 2012).

3.1.2 Gerakan dan Institusi Salafi di Tunisia

Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai peningkatan minat


masyarakat Tunisia terhadap Islam dan upaya mereka untuk menerapkan syariat
Islam dalam kehidupan sosialnya. Pria yang memakai janggut panjang dan gamis
putih serta wanita yang memakai niqab atau hijab semakin meningkat. Padahal
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 61

era rezim Bourguiba dan Ben Ali telah menerapkan sistem yang berorientasi
pembangunan ala Barat serta kebijakannya yang konfrontatif terhadap kelompok
Islamis. Khususnya pada era rezim Ben Ali, pemerintah telah menindak keras
gerakan ekstremis yang dilakoni oleh kelompok salafi pada peristiwa Soliman
tahun 2007. Atas kemunculan fenomena baru tersebut, ada banyak pihak yang
menuduh Ennahda telah melakukan proyek Islamisasi dalam negeri Tunisia.

Namun pasca pemberontakan, pemerintah sementara yang dipimpin oleh


Essebsi mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan semua tahanan politik,
termasuk tahanan ultra-konservatif dan beberapa kelompok Soliman. Di antara
para tahanan tersebut, ada jihadis yang nantinya akan menjadi tokoh penting
dalam peristiwa yang membuat koalisi pemerintahan Troika mengalami
kemunduran. Tokoh tersebut bernama Seifallah Ben Hassine alias Abou Iyadh al-
Tunisi. Setelah keluar dari penjara, Abou Iyadh mendirikan Ansar al-Shari’a pada
bulan April 2011. Setahun setelah didirikan, gerakan ini berkembang pesat, seperti
yang ditunjukkan dengan adanya demonstrasi massa di Qayrawan untuk
merayakan ulang tahun pertamanya, yang dihadiri oleh ribuan orang. Organisasi
tersebut dengan cepat berubah menjadi gerakan Salafi terbesar di Tunisia (Wolf,
2017:144).

Abu Ayyad al-Tunisi adalah seorang jihadis yang pernah berjuang di


pertempuran Tora Bora dan pada tahun 2003 dideportasi ke Tunisia atas tuntutan
terorisme internasional (Torelli et.al., 2012). Meskipun profil kepemimpinannya
menunjukkan bahwa Ansar al-Sharia adalah gerakan revolusioner atau jihad,
kekerasan bersenjata pada awal pasca Ben Ali belum terjadi. Gerakan ini lebih
memilih untuk melakukan aksi sosial berupa kegiatan amal dan dakwah. Pilihan
ini pada masa itu merupakan opsi yang pragmatis sekaligus ideologis untuk
membangun basis pendukung gerakan tersebut. Para anggota gerakan tersebut
menyediakan makanan dan pakaian untuk orang miskin dan memberikan layanan
pendidikan dan keamanan di lingkungan yang miskin, seperti di pinggiran
Ettadhamen di Tunis barat. Hasilnya, basis keanggotaan Ansar al-Shari’a meluas
dan struktur keorganisasiannya dengan cepat mencakup ke seluruh penjuru negeri.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 62

Dalam aktivitasnya, anggota Ansar al-Sharia secara perlahan mulai menanamkan


propaganda bahwa agenda gerakan tersebut adalah untuk mensejahterakan
kehidupan masyarakat yang telah gagal diwujudkan oleh koalisi pemerintahan
Troika. Banyak pengikut Ansar al-Sharia mendukung segala aktivitas yang
dilakukan oleh kelompok tersebut, termasuk aktivitas terkait aksi kekerasan.
Agenda akhir dari kelompok ini adalah bergabung dengan aktivis jihad di luar
negeri internasional dan ikut berjuang bersamanya. Abu Ayyad sendiri yang
menyatakan bahwa tujuan akhir dari Ansar al-Sharia adalah berjihad di luar negeri
dan Tunisia hanya menjadi “tanah ibadah”. Ada beberapa kali pemimpin Ansar al-
Sharia memuji dan membenarkan tindakan jihadis global di luar negeri. Melalui
beberapa siaran pers yang dikeluarkan oleh blog Yayasan Media al-Qayrawan,
Abu Ayyad memuji Osama bin Laden pada saat kematiannya, memanggilnya
seorang syahid dan menyebut mantan kepala al-Qaeda sebagai "pemimpin kita”
(Torelli et.al., 2012). Pemerintah Troika merespon aksi Ansar al-Sharia yang
memuji sosok jihadis Osama Bin Laden dalam situs internetnya dengan
memblokir website resmi gerakan tersebut (Wolf, 2017:144).

Memang pada dasarnya, Ansar al-Sharia merupakan salah satu kelompok


Islamis yang secara terbuka menentang prinsip demokrasi di dalam Tunisia. Sebab
secara ideologis, demokrasi dinilai sebagai suatu ‘ajaran’ asing dan jauh dari
kehidupan Islam. Sehingga, Ansar al-Sharia fokus pada upaya dakwah sebagai
sarana kontrol atas kondisi sosial-budaya masyarakat dan menanamkan pemikiran
shirathal mustaqim (jalan yang lurus) dalam penafsiran yang ketat dari sumber
ajaran Islam. Adapun agenda kelompok tersebut: Pertama, kelompok tersebut
berusaha merebut masjid dan mengusir para imam yang dituduh pendukung setia
kepada rezim. Kedua, melakukan upaya advokasi dan lobi kepada pemerintah
untuk mengintervensi atas nama Ansar al-Sharia mengenai permasalahan para
tahanan Tunisia di penjara Irak. Dalam tahap lebih lanjut, kelompok tersebut
mengorganisir aksi-aksi bela simbol agama, dengan tujuan membuat tindakan
penistaan menjadi pelanggaran pidana, memperkenalkan pemisahan gender di
ruang publik dan mendorong kegiatan amal sosial (Torelli et.al., 2012).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 63

Dalam upaya untuk menahan laju penyebaran pengaruh politik aktivisme


Islam garis keras, pemerintahan Troika mencoba merangkul kelompok Salafi yang
masih dinilai mengedepankan toleransi. Para elit Ennahda menyatakan bahwa
partai tersebut tidak ingin mengulang kebijakan represif yang diterapkan pada
masa rezim Ben Ali. Sehingga Ennahda mengedepankan strategi inklusif agar
setiap aktor sosial dan politik bebas menyalurkan aspirasinya melalui prosedur
hukum yang berlaku. Oleh karena itu, Ennahda berusaha membujuk kelompok
Salafi ‘moderat’ untuk mewujudkan agenda mereka melalui prosedur hukum,
seperti membuat partai. Pada tanggal 29 Maret 2012, pemerintahan Troika
memberi lisensi atas Partai Front Reformasi Salafi (Hizbu Jabhat al-Islah) (Wolf,
2017:145). Waktu pengesahan tersebut dekat dengan tanggal keputusan Ennahda
untuk tidak memasukkan syariah ke dalam konstitusi di mana keputusan tersebut
mengasingkan banyak dari kelompok Salafi. Partai Front Reformasi Salafi (Hizbu
Jabhat al-Islah) dipimpin oleh Mohammed Khouja, salah seorang pendiri TIF
(Front Islam Tunisia, Tunisian Islamic Front) pada 1980-an, namun mengklaim
akan meninggalkan semua aktivitas kekerasan dan ingin berpartisipasi dalam
politik demokratis. Meskipun komitmennya untuk meninggalkan segala aktivitas
kekerasan, Khouja sebagai aktor politik, ingin memanfaatkan mekanisme sistem
demokrasi untuk memajukan syariah dalam masyarakat. Khouja menegaskan
bahwa tugas seorang politisi adalah membedakan antara hal-hal yang haram dan
halal (Wolf, 2017:145-146).

Salah satu tujuan utama Khouja adalah merangkul para salafi muda dan
mencegah mereka bergabung dengan kelompok Islam garis keras. Namun,
langkah Khouja mendapat kecaman keras dari kelompok ultra-konservatif atau
dari Salafi garis keras, dengan menyatakan bahwa partai Khouja tidak lain
hanyalah alat Ennahda dan mereka tidak percaya pada politik (Wolf, 2017:146).
Kelompok ultra-konservatif menolak adanya institusionalisme Salafi dan lebih
suka melakukan aktivisme secara bottom-up. Dalam artian, kelompok Salafi garis
keras menentang proses Islamisasi masyarakat secara bertahap melalui proses
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 64

politik dan lebih memilih opsi gerakan sosial melalui akitivitas dakwah serta
amal.

Pada tanggal 12 Juli 2012, pemerintahan Troika mengesahkan Hizbu al-


Tahrir. Bila Partai Front Reformasi Salafi (Hizbu Jabhat al-Islah) menginginkan
menjadi partai massa, maka Hizbu al-Tahrir bertujuan untuk membentuk elit
ultra-konservatif yang sepenuhnya didedikasikan untuk menciptakan
kekhalifahan. Meskipun pada awalnya, Hizbu al-Tahrir menerima sistem
multipartai sebagai cara untuk memajukan agenda Isamisasi masyarakat secara
menyeluruh, namun kelompok ini ingin mendirikan kekhalifahan melalui revolusi
Islam atau kudeta. Berita mengenai disahkannya partai Hizbu al-Tahrir segera
mencapai ke penjuru negeri. Walaupun berita banyak meliput tentang partai
tersebut, basis dukungan Hizbu al-Tahrir tetap terbatas, dengan aksi unjuk rasa
umumnya menarik paling banyak beberapa ratus orang. Sebab, sebagian besar
dari kelompok ultra-konservatif jauh lebih tertarik untuk bergabung dengan
gerakan salafi populer seperti Ansar al-Shariʿa dan mereka menolak ‘elitisme’
Hizb al-Tahrir dan Partai Front Reformasi (Wolf, 2017:146-147).

Strategi Ennahda untuk mengisolasi gerakan ekstremis menjadikan


hubungannya timpang dengan kelompok Salafi garis keras. Apalagi Ennahda pada
tanggal 26 Maret 2012 membuat kepusuan bahwa syariah tidak akan dimasukkan
ke dalam konstitusi, memperjelas posisi jarak ideologis antara patai tersebut
dengan kelompok Salafi jihadis. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan di Le
Monde, seorang elit Ennahda Ali Larayedh, mendeskripsikan Salafi jihadis
sebagai bahaya terbesar bagi Tunisia dan perlu dibasmi (Lusardi, 2017). Abu
Iyadh menanggapi sikap Ennahda dengan pernyataannya bahwa pemerintahan
sedang menjalankan pemerintahan diktator dan oleh karena itu, Ennahda adalah
musuh Islam (Lusardi, 2017).

Tidak hanya mengenai ekstremisme dan terorisme, Ennahda berupaya


menjaga stabilitas negara agar para investor asing tetap memberikan kontribusinya
untuk memulihkan perekonomian Tunisia. Penolakan untuk memasukkan syariah
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 65

ke dalam konstitusi dapat meyakinkan Barat bahwa mereka akan baik-baik saja
apabila melakukan investasi di Tunisia. Memang, tugas pemerintahan Troika tidak
hanya menyusun konstitusi, namun juga berusaha menyelamatkan perekonomian
negara akibat dari kegagalan rezim Ben Ali dan ketidakstabilan yang ada pasca
pemberontakan. Selain itu, ‘kejelasan status’ kerjasama Tunisia dengan Uni Eropa
mengenai pembentukan kawasan free-trade area juga menjadi pertimbangan
pemerintahan Troika. Keputusan untuk melanjutkan pembicaraan tentang status
lanjut dimotivasi oleh komisaris Uni Eropa, sebagai akibat dari reformasi politik
pasca-Ben Ali di Tunisia. Dengan adanya negosiasi tersebut, memasukkan syariah
dalam konstitusi baru akan membahayakan kemajuan. Pertimbangan yang sama
juga berlaku atas masalah dukungan A.S. Hillary Clinton, yang mengumumkan
bahwa Washington akan memberikan $100 juta kepada pemerintah Tunisia untuk
bantuan fiskal jangka pendek. Dana ini akan menjadi sumber tambahan untuk
perjanjian sovereign-loan-guarantee ($ 30 juta) (Lusardi, 2017).

Terlepas dari kebijakan Ennahda terhadap Salafi garis keras, masyarakat


menyesalkan sikap partai tersebut karena tidak menindak tegas mengenai
eksistensi kelompok radikal. Insiden penyerangan jurnalis yang dilakukan oleh
sekelompok Salafi adalah salah satu contoh dari disesalkan oleh publik. Awalnya,
hasil persidangan ketua Nassma Tv, Nabil Karoui, ialah “melanggar nilai-nilai
sakral” karena telah menayangkan film Persepolis. Khususnya di dalam film
tersebut, ada salah satu unsur yang dianggap menista agama Islam karena
animasinya menggambarkan sosok Tuhan sehingga mengundang kritik keras dari
muslim Tunisia. Pada bulan Mei 2012, Nabil Karoui dinyatakan bersalah karena
mengganggu ‘ketertiban umum’ serta ‘mengancam moral publik’ dan dikenakan
denda $1600 (Wolf, 2017:142). Meski pengadilan tingkat pertama di Tunis telah
menyatakan bersalah, sekelompok Salafi tetap menyerang mahasiswa dan jurnalis
yang menunjukkan simpatinya terhadap Nabil Karoui. Peristiwa ini dikecam oleh
Perdana Menteri Hamadi Jebali, tetapi tidak ada tindakan nyata untuk
menghukum aksi radikal tersebut (Lusardi, 2017).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 66

Hubungan Salafi Jihadis dengan pemerintahan Troika semakin tegang


ketika adanya peristiwa penistaan agama yang mirip dengan kasus film
Persepolis. Pada bulan September 2012, jihadis yang terkait dengan kelompok
Anshar al-shari’a, membuat kerusuhan dan menyerang kedutaan Amerika Serikat
di Tunis. Mereka marah karena Youtube menayangkan trailer film produksi
Amerika Serikat, Innocence of Muslim, yang berisi penistaan agama. Presiden
Marzouki harus memerintahkan pengawal presiden untuk mengamankan kedutaan
setelah jelas bahwa pasukan polisi dan militer tidak dapat menangani kerumunan.
Empat warga Tunisia terbunuh dan sekitar tiga puluh orang terluka dalam insiden
kedutaan itu. Aparat pemerintahan menyalahkan Anshar al-shari’a atas insiden
tersebut. Sebuah sekolah Amerika di Tunis juga diserang dan digeledah.
Pengadilan Tunisia menjatuhkan hukuman dua puluh orang ke penjara karena
keterlibatan mereka dalam kerusuhan. Ketua kelompok Salafi Jihadis Anshar al-
shari’a, Seifallah Ben Hassine alias Abu Iyadh, berhasil melarikan diri ke Libya.
Dari Libya, Abu Iyadh terus memberi komando pada Anshar al-shari’a (Wolf,
2017:149).

Simpatisan terhadap kelompok jihadis Salafi terus bertambah disebabkan


oleh kekecewaan mereka terhadap reformasi ekonomi pemerintah yang dinilai
lamban. Banyak simpatisan berasal dari pengangguran dan orang-orang yang
kecewa dengan program ekonomi yang tidak mampu menciptakan lapangan
pekerjaan. Para pemuda mengeluhkan kondisi negara tidak ada perubahan sejak
pemberontakan tahun 2010. Kelompok ultra-konservatif (Jihadi Salafi)
menyalahkan pemerintah (yakni Troika atau koalisi Ennahda dengan kelompok
sekuler) atas kondisi terpuruknya keadaan sosial-ekonomi dan mengecam mereka
sebagai ‘kelompok yang tidak beriman’ (Wolf, 2017:150-151).

Kelompok Salafi garis keras kerap melakukan aksi-aksi ekstremisme di


dalam negeri. Presiden Moncef Marzouki dalam sebuah wawancara bulan
Desember 2012 mengakui bahwa pejabat negara telah meremehkan ancaman
Jihadi Salafi (Wolf, 2017:150). Kurang dari setahun kemudian, ada seseorang
yang meledakkan dirinya dengan bom di sebuah pantai di resor wisata Sousse.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 67

Pada hari yang sama polisi menggagalkan serangan terkoordinasi terhadap makam
mantan presiden Habib Bourguiba di Monastir. Meskipun kedua serangan itu
berhasil digagalkan, namun kedua hal tersebut mencerminkan bahwa kelompok
Salafi Jihadis merupakan ancaman serius bagi Tunisia (Wolf, 2017:150).

Atas posisinya sebagai sebuah kelompok yang melawan pemerintah,


kelompok ultra-konservatif (Salafi Jihadis) begitu mudah merekrut masyarakat
untuk dijadikan anggota baru. Tidak hanya untuk urusan di dalam negeri Tunisia,
bahkan untuk melakukan pertempuran di luar negeri. Sekelompok pakar dari PBB
mengklaim bahwa pada pertengahan 2015 'ada sekitar 4.000 warga Tunisia di
Suriah, 1.000-1.500 di Libya, 200 di Irak, 60 di Mali, dan 50 di Yaman'. Sebagian
besar dari mereka telah bergabung dengan kelompok-kelompok jihad yang terkait
dengan al-Qaeda atau ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Jaringan rekrutmen
dibangun antara Tunisia dan Libya, dengan perekrut diduga menerima antara
$3.000 dan $10.000 per pejuang baru. Namun, informasi angka-angka berasal dari
Kementerian Dalam Negeri Tunisia. Sehingga, ada beberapa pihak yang menduga
bahwa data-data angka tersebut sengaja dilebih-lebihkan untuk menerima lebih
banyak bantuan keamanan dari mitra Barat khususnya Amerika Serikat (Wolf,
2017:151).

Setelah serangkaian insiden yang terjadi seputar masalah kelompok Jihadi


Salafi, Ennahda akhirnya mulai menegaskan hubungannya dengan kubu ultra-
konservatif. Pada awalnya, para pengikut Ennahda berisikeras untuk mengajak
dialog kepada kelompok Salafi Jihadis agar melakukan kegiatannya dalam
kerangka kerja yang sah dan damai. Ennahda berulang kali menegaskan bahwa
mereka tidak ingin mengulangi kesalahan Ben Ali, di mana tindakan tegasnya
terhadap aktivis agama hanya akan mendorong terciptanya ‘gerakan Salafi’.
Ennahda juga menekankan bahwa mereka berasal dari keluarga ideologis yang
sama. Meskipun pengikut Ennahda memilih untuk pendekatan bertahap menuju
Islamisasi masyarakat, sementara Salafi bertujuan untuk segera menerapkan
hukum Islam.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 68

Rachid Ghannouchi bahkan mengklaim dalam sebuah wawancara pada


pertengahan 2012 bahwa gerakan Salafi mengingatkannya pada masa mudanya
sendiri (Ayari, 2015:139). Namun seiring berjalannya waktu, sikap Rachid
Ghannouchi terhadap kubu ultra-konservatif berubah. Ghannouchi segera
berusaha untuk menampilkan perbedaan yang lebih jelas antara Ennahda dan kubu
ultra-konservatif. Dalam sebuah wawancara, Ghannouchi mengklaim bahwa
pengikutnya telah 'berkembang', dan tidak lagi mengejar tujuan 'utopis' namun
'berhadapan dengan realitas'. Ghannouchi juga menekankan bahwa gerakannya
mengecam aktivis agama yang menggunakan kekerasan dengan menyebutnya
sebagai 'teroris' (Wolf, 2017:151).

Aksi kelompok Salafi Jihadis berikutnya membuat pemerintah berada dalam


krisis yang serius. Pada bulan Februari dan Juli 2013 di Tunis, terjadi sebuah
insiden pembunuhan dua politisi oposisi, Chokri Belaid dan Mohammed Brahmi.
Seorang warga negara Tunisia keturunan Perancis yang nantinya bergabung
dengan kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria), Abou Bakr al-Hakim
(alias Abou Mouqatel), pada bulan Desember 2014 mengklaim bahwa dirinya
yang melakukan aksi pembunuhan tersebut. Insiden tersebut memicu aksi protes
besar-besaran dan akhirnya memaksa pemerintah Troika untuk mengundurkan diri
(Wolf, 2017:151-152).

3.1.3 Terbunuhnya Dua Politisi dari Oposisi Pemerintahan Troika

Banyak warga Tunisia sekuler menuduh Ennahda menutup mata terhadap


kebangkitan para jihadi Salafi. Bahkan ada pihak yang menuduh Ennahda terlibat
dalam insiden pembunuhan dua politisi oposisi yakni Chokri Belaid dan
Mohammed Brahmi, dan melakukan kolusi dengan gerakan kelompok terorisme.
Oleh karena itu pada Agustus 2013, keluarga para korban membentuk sebuah
asosiasi yaitu Inisiatif untuk Mengungkap Kebenaran tentang Pembunuhan Chokri
Belaid dan Mohammed Brahmi. Untuk merespons tuduhan tersebut, perdana
menteri Hamadi Jebali (seorang elit Ennahda) meminta pemerintah Tunisia untuk
mengundurkan diri. Jebali mengusulkan aktor politik dari teknokrat independen
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 69

untuk menggantikan dirinya dan bertugas menyelesaikan konstitusi serta


mempersiapkan pemilihan berikutnya. Namun, para elit Ennahda sangat tidak
menyetujui keputusan Jebali dengan alasan bahwa pengunduran diri pemerintah
Tunisia akan melemahkan transisi demokrasi dan memperlambat proses
penyusunan konstitusi. Namun, perdana menteri Hamadi Jebali tetap memutuskan
untuk mengundurkan diri dan akhirnya digantikan oleh Ali Larayedh, seorang
mantan menteri dalam negeri (Wolf, 2017:152).

Perdana menteri yang baru, Ali Larayedh, berjanji untuk mengambil


tindakan lebih keras terhadap kaum ultra-konservatif untuk memulihkan
kepercayaan publik. Upaya pertama untuk membuktikan janjinya tersebut adalah
pelarangan aksi demonstrasi Ansar al-Shariʿa di Kairouan yang telah dijadwalkan
pada bulan Mei 2013. Bahkan setelah insiden pembunuhan Mohammed Brahmi
pada bulan Juli 2013, Ali Larayedh memberi pernyataan resmi bahwa Ansar al-
Shariʿa sebagai organisasi teroris. Namun hal itu dinilai sebagai upaya pemerintah
untuk meredam keributan rakyat atas insiden pembunuhan dua tokoh oposisi
tersebut daripada berusaha mencari bukti yang kuat mengenai keterlibatan Ansar
al-Shari’a terhadap insiden tersebut. Hubungan antara Ansar al-Shariʿa dan Abou
Mouqatel, pejuang ISIS yang mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan itu,
juga tidak terbukti (Wolf, 2017:152-153).

Ketegangan antara Ennahda dan kelompok Salafis memberi keuntungan


bagi kubu sekularis. Kelompok-kelompok sekularis yang awalnya terfragmentasi
di dalam parlemen menjadi bersatu secara bertahap akibat dari insiden
pembunuhan dua oposisi pemerintah. Momen penting bagi kubu sekularis adalah
terbentuknya partai sekularis, Nidaa Tounes, yang disahkan pada tanggal 6 Juli
2012. Partai tersebut didirikan oleh mantan perdana menteri, Beji Caid Essebsi,
untuk menyaingi dominasi Ennahda. Ada ragam aktor politik yang bergabung
dengan partai tersebut, seperti mantan anggota RCD, kubu kiri, tokoh serikat
perdagangan, tokoh independen, aktivis perempuan sekularis, dan anggota veteran
dari gerakan Destour. Nidaa Tounes dan beberapa kelompok aktivis sekularis
mendirikan Jabhat al-Inkadh al-Watani (National Salvation Front) pada tanggal
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 70

26 Juli 2013, satu hari pasca insiden pembunuhan Brahmi. Tujuan utama dari
Jabhat al-Inkadh al-Watani adalah untuk menjatuhkan Ennahda dari kekuasaan
(Wolf, 2017:153-154).

Upaya dari kubu sekularis berhasil menarik perhatian massa serta kelompok
oposisi pemerintah. Protes secara besar-besaran anti-Troika serta kuatnya tekanan
oposisi setelah pembunuhan Brahmi pada bulan Juli 2013, membuat sekitar
seperempat dari wakil-wakil Majelis Konstituante mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri. Bahkan salah satu mitra koalisi Troika, yakni Ettakol,
mendukung seruan Front Keselamatan Nasional untuk membubarkan pemerintah.
Setelah kuatnya desakan terhadap pemerintah, para pejabat Ennahda akhirnya
setuju untuk mengundurkan diri dari kekuasaan dengan syarat setelah
perancangan konstitusi terselesaikan. Sehingga tugas yang diamanatkan pada
pemerintahan koalisi dapat dituntaskan dan hal tersebut bisa dinilai sebagai
penghargaan kepada Troika atas pencapaian penting tersebut. Ennahda
mengundurkan diri dari kekuasaan pada bulan Januari 2014. Konstitusi yang
diadopsi pada tanggal 27 Januari 2014, menetapkan Islam sebagai agama Tunisia
dan negara berperan sebagai pelindung segala sesuatu yang dinilai sakral (Wolf,
2017:156).

3.2 Jatuhnya Ikhwanul Muslimin pada Tahun 2013

Peristiwa kudeta militer atas Ikhwanul Muslimin Morsi di Mesir


dimanfaatkan oleh kelompok oposisi Ennahda di Tunisia pada masa protes anti
pemerintahan Troika menguat. Seorang elit partai Nidaa Tounes dari kelompok
sekuler membuat pernyataan bahwa ‘Kegagalan Ikhwanul Muslimin di Mesir
telah menunjukkan bahwa Islam politik sudah ketinggalan zaman. Semua cabang
regional Ikhwanul Muslimin, termasuk Ennahda, sekarang akan ditutup secara
otomatis’ (Wolf, 2017:154). Memang, elit-elit Ennahda pernah memiliki
hubungan yang dekat dengan Ikhwanul Muslimin pada akhir 1960-an dan awal
1970-an, khususnya pasca peristiwa Perang Enam Hari (Six Day War). Oleh
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 71

karena itu, penulis akan membahas mengenai lengsernya Ikhwanul Muslimin


Mohamed Morsi dari kursi kekuasaan di Mesir pada tahun 2013.

Pasca rezim Husni Mubarak mengundurkan diri yang disebabkan desakan


rakyat pada tanggal 11 Februari 2011, Ikhwanul Muslimin muncul sebagai salah
satu kekuatan politik utama di Mesir. Mohammad Morsi Isa El-Ayyat maju
menduduki posisi presiden di Mesir pada tanggal 30 Juni 2012. Mursi merupakan
presiden pertama Mesir dari kalangan sipil dan terpilih secara demokratis dalam
sebuah pemilihan umum yang jujur dan adil (Tempo.co, 2013a). Partai yang
didirikan oleh Ikhwanul Muslimin pada bulan Juni 2011 dan diketuai oleh Dr.
Mohamed Morsi, FJP (Freedom and Justice Party), juga berhasil memenangkan
pemilihan parlemen pertama setelah pemberontakan terhadap rezim Husni
Mubarak. Namun, hanya dalam kurun waktu sekitar satu tahun, Morsi tidak dapat
menjalankan negara secara efektif dan gagal memenuhi tuntutan pemberontakan
pada bulan Januari (pemberontakan terhadap rezim Husni Mubarak). Aksi protes
massa pada tanggal 30 Juni 2013, mengakibatkan militer untuk mengambil
kendali pemerintahan dalam kudeta pada tanggal 3 Juli 2013 (al-Anani, 2015).

Kudeta Mesir tahun 2013 dapat terjadi disebabkan Morsi gagal memenuhi
tuntutan reformasi dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi pasca penggulingan
rezim Husni Mubarak. Dalam aspek sosial-ekonomi, FJP harus memulihkan
kondisi perekonomian negara yang memburuk sebagai hasil dari era rezim Husni
Mubarak. Era rezim Mubarak mewariskan inflasi perekonomian sekitar 30 persen
dan tingkat pengangguran 30 persen, juga dengan lemahnya pertumbuhan PDB
(Produk Domestik Bruto) sekitar 5 persen. Kondisi ini mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional tidak mampu mengimbangi
peningkatan populasi Mesir yang tumbuh cepat dari sekitar 50 juta pada awal
1980-an menjadi lebih dari 83 juta pada 2010 (Saikal, 2011).

Platform FJP tidak berhasil dalam menangani permasalahan ekonomi di


Mesir. Hal ini dapat ditinjau dari pertumbuhan PDB riil Mesir yang tetap lambat
yaitu 2,1 persen pada tahun fiskal 2012/2013, mengikuti tingkat pertumbuhan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 72

yang sama lemahnya sebesar 2,2 persen pada tahun fiskal 2011/2012. Nilai mata
uang Mesir (Pound Mesir) mengalami penurunan 13,6 persen terhadap dolar
Amerika Serikat pada akhir Juni 2013, walaupun pernah mengalami kenaikan 1,9
persen pada akhir November 2013 (CBE, 2013). Meskipun tingkat kemiskinan
ekstrem telah turun dari 4,8 persen menjadi 4,4 persen, namun jumlah orang yang
hidup di bawah garis kemiskinan di Mesir meningkat menjadi 26,3 persen dari
populasi pada tahun 2012/2013 dibandingkan dengan 25,2 persen pada tahun
2010/2011 (Alsahary, 2014). Untuk mengatasi krisis ekonomi, kabinet Mursi
mencoba bernegosiasi dengan IMF (International Monetary Fund) untuk
memperoleh pinjaman dana sebesar US$4,8 miliar (Tempo.co, 2013a). Tetapi,
FJP terjebak dengan pilihan dilematis bila pinjaman ini terjadi karena alasan janji
partai tersebut mengenai kebijakan populis, sementara di sisi lain pinjaman
internasional tersebut amat dibutuhkan. Untuk melunasi hutang negara tersebut,
maka pemerintah akan terpaksa menerapkan regulasi pemotongan subsidi yang
ketat meskipun dalam situasi krisis sosial ekonomi. Akibatnya, potensi
kemiskinan, ketimpangan ekonomi, pengangguran dan mobilitas massa akan
meningkat.

Bila meninjau program politik Ikhwanul Muslimin pada tahun 2004 tentang
Inisiatif Untuk Reformasi Domestik, maka telah dijelaskan platformnya berkaitan
dengan hak individu atas partisipasi politik, perubahan pada sistem pemilihan dan
dalam pendidikan, pembangunan ekonomi, pemberantasan kemiskinan,
memerangi korupsi, menghilangkan penyiksaan, membatasi kekuasaan presiden,
dan penghapusan aturan darurat. Dalam programnya juga disebutkan bahwa
Ikhwanul Muslimin meyakini sistem ekonomi yang berasal dari Islam sebagai
agama dan memuat pedoman hidup yang lengkap, sebagai sistem komprehensif
yang memuat pentingnya kebebasan aktivitas ekonomi. Namun, hak pemenuhan
kebutuhan hidup, prinsip privatisasi, liberalisasi kebijakan perdagangan, dan
memperketat hukuman terhadap korupsi dinilai sebagai suatu prinsip luar ideologi
Islamisme. Dokumen tersebut menekankan bahwa nilai-nilai moral Islam harus
menembus bidang pendidikan dan penelitian ilmiah, tetapi pada kenyataannya
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 73

sebagian besar berurusan dengan masalah-masalah duniawi seperti 'meningkatkan


misi ilmiah di luar negeri' dan ‘pemberdayaan guru'. Bidang kemiskinan dan
hubungan sosial diperlakukan dengan cara yang sama. Hanya bidang perempuan
dan budaya yang mengandung penekanan lebih besar pada nilai-nilai moral Islam
(Dalacoura, 2018). Adanya platform tersebut menunjukkan bahwa gerakan
Islamis Ikhwanul Muslimin telah menerima beberapa aspek modernitas dan
demokrasi. Program Inisiatif tersebut berfokus pada bidang politik, ekonomi, dan
sosial dengan sedikit mencampurnya dengan agama.

Platform FJP tidak begitu berbeda dengan organisasi induknya, Ikhwanul


Muslimin. Hal ini dapat dilihat dari daftar isi; Pada bagian 2 memuat pembahasan
mengenai reformasi dan politik; Pada bagian 3 memuat mengenai keadilan sosial;
Pada bagian 4 memuat mengenai pembangunan terintegrasi; Dan pada bagian 5
memuat tentang kepemimpinan daerah (Dalacoura, 2018). Namun, dalam konteks
liberalisme ekonomi di Mesir, liberalisasi ekonomi lebih berpihak pada sektor
finansial dan komersial dibandingkan sektor manufaktur. Liberalisasi tesebut lebih
menguntungkan bisnis besar daripada UKM (Usaha Kecil Menengah), dan tidak
mempromosikan integrasi bisnis islami dengan pasar. Kehadiran negara yang
masih terus berlangsung dalam perekonomian Mesir menjadi salah satu alasan
akan ketergantungan para pebisnis besar, sekularis dan ‘muslim kelas menengah
atas’, terhadap negara untuk aliran profit. Hal tersebut mengakibatkan lemahnya
peran ‘muslim kelas menengah atas’ dalam perpolitikan Mesir. Di sisi lain, ‘kelas
menengah yang baru terbentuk’ menjadi tulang punggung ekonomi alternatif bagi
konstituensi Islam. Liberalisasi ekonomi di Mesir membatasi peran kesejahteraan
sosial negara dan privatisasi layanan kesejahteraan (Gumuscu, 2010). Hal ini
menunjukkan bahwa partai tersebut tidak merangkul sistem demokrasi seutuhnya
dan masih menganut prinsip Islamisme dengan ditunjukkan melalui
keengganannya terhadap konsep privatisasi dalam proses reformasi ekonomi.

Dalam aspek politik, Morsi menghadapi persoalan pada proses


pemerintahan disebabkan ketidakpecayaan oleh lembaga-lembaga negara terhadap
Ikhwanul Muslimin. Meskipun Morsi menduduki kekuasaan, namun Ikhwanul
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 74

Muslimin tidak mampu mengendalikan birokrasi, institusi, dan aparatur negara


dengan baik. Memang, ada media yang anti Ikhwanul Muslimin, terus
memberitakan mengenai nepotisme yang dilakukan oleh pemerintahan Morsi.
Klaim mengenai proses “Ikhwanisasi” negara terus dihembuskan oleh kelompok
kontra Morsi. Alasan pendukung kelompok kontra adalah kurangnya keinginan
untuk mereformasi atau merestrukturisasi institusi negara untuk menjadi lebih
transparan dan akuntabel. Pasukan revolusioner menuduh Ikhwanul Muslimin
bersekutu dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga "sisa kekuatan rezim lama"
seperti polisi dan militer untuk merusak revolusi. Sebaliknya, dalam media yang
pro terhadap Ikhwanul Muslimin, informasi yang beredar ialah bahwa Morsi
dalam masa kepresidenannya yang singkat, tidak memiliki kendali atas institusi-
institusi penting seperti kementerian dalam negeri, kehakiman dan utamanya yaitu
militer. Bahkan, Ikhwanul Muslimin nyaris tidak memperoleh kontrol yang baik
atas beberapa lembaga lainnya seperti kementerian investasi, agrikultur,
perencanaan dan kooperasi internasional (al-Anani, 2015). Ini terjadi disebabkan
sisa pengaruh rezim Mubarak yang melarang anggota Ikhwanul Muslimin masuk
ke dalam pemerintahan atau militer. Oleh karena itu, setiap upaya Ikhwanul
Muslimin yang mencoba mereformasi dan restrukturasi institusi negara akan
mendapat stigma negatif dan perlawanan baik dari oposisi maupun lembaga
negara. Terlepas dari pro dan kontra informasi yang ada, hal tersebut
menunjukkan bahwa kader dari Ikhwanul Muslimin kurang memiliki skill dan
taktik tata kelola pemerintahan yang diperlukan untuk menangani problematika
kesejahteraan sosial dan ekonomi di Mesir.

3.3 Perubahan Strategi Politik Partai Ennahda

Pada tanggal 26 Oktober 2014, partai Nida Tounes memenangkan suara


mayoritas dalam pemilihan parlemen Tunisia. Dari jumlah total 217 kursi
legislatif, Nida Tounes berhasil memperoleh 86 kursi legislatif, kemudian diikuti
Ennahda yang berhasil mendapatkan 69 kursi. Berikutnya UPL (Free Patriotic
Union) sebanyak 16 kursi, kemudian kelompok kiri dari Popular Front 15 kursi,
dan kelompok liberal Afek Tounes sebanyak 8 kursi. Dalam pemilihan umum
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 75

presiden yang diadakan pada bulan Desember 2014, strategi politik Ennahda tidak
mengedepankan kandidat presiden mana pun, sehingga tidak memicu
kekhawatiran lawan-lawannya bahwa Ennahda akan kembali mencoba untuk
mendominasi politik. Beji Caid Essebesi dari partai Nida Tounes menjadi
pemenang di pemilihan umum presiden Tunisia dan mengalahkan Moncef
Marzouki yang dinilai dekat dengan haluan Islamis (Wolf, 2017:157-158).

Dalam parlemen yang terdapat 217 kursi, Nidaa Tounes memiliki 86 kursi
dan mendapat dukungan dari kubu liberal, partai sekuler UPL, yang memiliki 16
kursi. Tetapi tanpa dukungan kubu Islamis, Ennahda, partai tersebut kekurangan
109 mayoritas yang mereka butuhkan untuk meratifikasi kabinet (Al Jazeera,
2015). Sehingga Ennahda bergabung ke dalam parlemen meskipun berkoalisi
dengan partai sekuler Nida Tounes demi terbentuknya kabinet pemerintahan yang
stabil. Kabinet pemerintahan dipimpin oleh seorang politisi independen dan dekat
dengan Nida Tounes, Perdana Menteri Habib Essid, yang merupakan mantan
pejabat Ben Ali. Kabinet tersebut terdiri dari 28 menteri dan 14 sekretaris negara.
Ennahda mendapat posisi Kementrian Ketenagakerjaan serta sekertaris negara
untuk keuangan, investasi, dan kesehatan. Pimpinan parlemen adalah Abdelfattah
Mourou menjadi wakil ketua parlemen yang dulunya pernah diduduki oleh
Mohammed Ennaceur. Meskipun pemetaan jabatan dalam pemerintahan tampak
berjalan lancar, partisipasi Ennahda pada awalnya hanya bersifat simbolis. Selain
itu, para pemimpin Ennahda menerima posisi jabatan di mana mereka tidak
mungkin berhasil karena kondisi perekonomian negara yang terus menerus dalm
kondisi stagnan. Hal tersebut menunjukkan bahwa para mitra koalisi tidak percaya
dengan Ennahda dengan membatasi peranan Ennahda di dalam pemerintahan.
Namun Ennahda lebih memilih memperoleh peranan kekuasaan yang terbatas
daripada menjadi pihak oposisi yang secara tradisional memiliki sedikit pengaruh
kekuasaan. Dengan bergabung pada kabinet penguasa, Ennahda juga akan
terhindar dari lawan-lawannya yang berusaha menyalahkannya mengenai kasus-
kasus kekerasan kelompok agama yang menguat di beberapa daerah pasca
terselenggaranya pemilihan (Wolf, 2017:158-159).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 76

Adanya insiden kekerasan atas nama agama di beberapa daerah seperti di


Bardo, Sousse dan Ben Gardane membuat beberapa faksi Nida Tounes berselisih.
Mereka menilai bahwa Perdana Menteri Habib Essid tidak memiliki kapabilitas
yang memadai untuk menjaga keamanan Tunisia. Perselisihan di antara faksi Nida
Tounes mencapai puncaknya pada pertengahan bulan Januari 2016. Ada 28
anggota legislatif Nidaa Tounes telah mengundurkan diri dari partai, mengurangi
kursi parlemennya dari 86 menjadi 58 kursi. Dengan demikian, Ennahda yang
memiliki 69 kursi sekali lagi menjadi kekuatan terbesar di parlemen (Wolf,
2017:160).

Pada perkembangan selanjutnya, Ennahda terus mengembangkan diri


melalui manuver diplomatik dan fleksibilitas politiknya sehingga partai tersebut
banyak memperoleh dukungan dari para konstituen utama. Pada bulan Mei 2016,
Ennahda mengadakan kongres ke-10 di Hammamet. Dari 1200 delegasi Ennahda
yang berkumpul di Hammamet, diperoleh 93,5% suara voting elektronik yang
menyatakan mendukung pemisahan aktivitas keagamaan dan politik (Souli,
2016a). Dalam kongres ke-10 tersebut, Rachid Ghannouchi mengumumkan
bahwa Ennahda telah meninggalkan 'Islam politik' dan akan menjalankan
'demokrat Muslim' (Ibish, 2016).
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

BAB 5.
KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan serta faktor-faktor yang


menyebabkan perubahan strategi politik partai Ennahda di Tunisia pada tahun
2016 karena adanya: tantangan politik yang baru, yakni kondisi lingkungan politik
yang plural dan tuntutan kompromistik dalam rangka membangun masyarakat
madani (civil society); kemunculan gerakan Islam garis keras serta kelompok
ekstremis di Tunisia; peristiwa kudeta militer atas Ikhwanul Muslimin di Mesir
tahun 2013, dan; peningkatan ketidakpuasan publik terhadap koalisi pemerintahan
pimpinan partai tersebut.

Faktor adanya kondisi lingkungan politik yang plural dan tuntutan


kompromistik dengan aktor-aktor politik oposisi dalam rangka membangun
masyarakat madani (civil society), tampak pada keputusan akhir Ennahda yang
bersedia untuk berkompromi dan bekerja di dalam sistem parlemen campuran.
Padahal sebelumnya Ennahda pada awalnya menyerukan sistem parlementer
secara eksklusif. Berikutnya, adanya desakan dari kelompok perempuan sekuler
terhadap pemerintahan koalisi pimpinan Ennahda terkait pasal 28 pada rancangan
konstitusi awal dinilai merendahkan martabat perempuan menjadikan partai
tersebut pada akhirnya juga mendukung gagasan kesetaraan gender perempuan
dan laki-laki. Ennahda juga menyetujui untuk menyusun konstitusi baru Tunisia
berdasarkan mekanisme demokrasi, peraturan hukum, dan berbagai hak-hak
agama, sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan. Pendiri Ennahda,
Rachid Ghannouchi, menjelaskan bahwa tujuan partai tersebut adalah untuk
memberikan perlindungan konstitusi bagi kelompok non-muslim maupun yang
atheis. Perubahan strategi politiknya yang dicirikan dengan identitas baru sebagai
‘demokrat muslim’ dimaksudkan agar partai Ennahda bersikap lebih moderat
terhadap kelompok muslim maupun kelompok non-muslim.

Faktor berikutnya yaitu kemunculan gerakan Islam garis keras serta


kelompok ekstremis di Tunisia. Adanya kelompok Islam garis keras
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 97

mengakibatkan masyarakat Tunisia menyandangkan stigma negatif atas gerakan


Islamisme. Hal ini tampak pada sikap masyarakat yang menuduh Ennahda terlibat
dalam insiden pembunuhan dua politisi oposisi pada bulan Februari dan Juli 2013,
yakni Chokri Belaid dan Mohammed Brahmi; dan partai tersebut dianggap
melakukan kolusi dengan gerakan kelompok terorisme. Oleh sebab itu, Ennahda
mengubah haluan strategi politiknya pada tahun 2016, yang awalnya berorientasi
pada Islamisme, kemudian berubah menjadi Post-Islamism. Ennahda secara tegas
mengubah struktur partainya pada tahun 2016 menjadi entitas murni ‘partai
politik’ yang tidak lagi menyandang simbol atau memperjuangkan agenda-agenda
Islamisme. Tujuan Ennahda adalah untuk membuat perbedaan yang jelas antara
kelompok ekstremisme serta terorisme dengan partainya sebagai gerakan politik
yang moderat. Selain memisahkan diri dari kelompok Islam garis keras serta
terorisme, tujuan Ennahda juga untuk memerangi ekstremisme yang ada di
Tunisia.

Penyebab berikutnya yang menjadi pertimbangan bagi Ennahda untuk


mengubah strategi politiknya pada tahun 2016 adalah adanya peristiwa kudeta
militer atas Ikhwanul Muslimin di Mesir tahun 2013. Peristiwa tersebut
dimanfaatkan oleh oposisi untuk menjatuhkan pemerintahan koalisi pimpinan
Ennahda. Seorang elit partai Nidaa Tounes dari kelompok sekuler mengkaitkan
kegagalan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang notabene pengusung Islam politik
dengan tata kelola pemerintahan Ennahda di Tunisia. Untuk menyelamatkan
Ennahda dari nasib yang sama dengan Ikhwan di Mesir, Rachid Ghannouchi
segera mengeluarkan pernyataan bahwa ‘Mohammed Morsi telah melakukan
kesalahan’ dan menekankan bahwa Ennahda merupakan sebuah partai di Tunisia
yang mendukung gagasan kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Bahkan Rachid
Ghannouchi dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada pembenaran untuk Islam
Politik di Tunisia.

Faktor terakhir dari penyebab terjadinya perubahan strategi politik partai


Ennahda di Tunisia pada tahun 2016 adalah adanya peningkatan ketidakpuasan
publik terhadap koalisi pemerintahan pimpinan Ennahda. Ketidakmampuan
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 98

Ennahda dalam mengatasi permasalahan sosial-ekonomi dalam negeri Tunisia,


mengatasi gerakan kelompok ekstremis dan teroris yang semakin meningkat, dan
konflik kepentingan antar aktor politik mengakibatkan ketidakpuasan publik
terhadap koalisi pemerintahan pimpinan partai Islamis tersebut. Puncaknya,
insiden pembunuhan dua politisi oposisi pada bulan Februari dan Juli 2013, yakni
Chokri Belaid dan Mohammed Brahmi, kian membuat Ennahda kehilangan
kepercayaan masyarakat sehingga memicu aksi protes besar-besaran dan akhirnya
memaksa koalisi pemerintahan pimpinan Ennahda untuk mengundurkan diri pada
bulan Januari 2014. Adanya realitas masyarakat yang menuduh Ennahda terlibat
dalam pembunuhan dua politisi oposisi, menunjukkan bahwa perlunya
pembenahan pergerakan politik dalam aspek ideologis dari partai tersebut.
Sehingga menurut hemat penulis, pelemahan daya tarik simbol gerakan Islamisme
yang ditunjukkan dengan adanya ketidakpuasan publik terhadap koalisi
pemerintahan pimpinan partai Islamis Ennahda; menjadi penyebab yang
mempengaruhi sikap dan perubahan strategi politik partai tersebut di Tunisia pada
tahun 2016.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alexander, C. 2016. Tunisia From Stability To Revolution In The Maghreb. New


York: Routledge.

Bakry, U. S. 2016. Metode Penelitian Hubungan Internasional. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Mas'oed, M. 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi.


Jakarta: LP3ES.

Tamimi, A. S.. 2001. Rachid Ghannouchi: A Democrat within Islamism. New


York: Oxford University Press.

Tibi, B. 2012. Islamism and Islam. New Haven & London: Yale University Press.

Wolf, A. 2017. Political Islam in Tunisia The History of Ennahda. New York:
Oxford University Press.

Jurnal

al-Anani, K. 2015. Upended path: the rise and fall of Egypt's muslim brotherhood.
The Middle East Journal . Vol. 69, No.4, Hal. 527-543.

Ayari, F. 2015. Ennahda movement in power: a long path to democracy.


Contemporary Review of the Middle East. Vol. 2, No.1-2, Hal. 135-142.

Bayat, A. 1996. The coming of a post‐islamist society. Critique: Critical Middle


Eastern Studies. Vol. 5, No. 9, Hal. 43-52.

Charrad, M. M., & Zarrugh, A. 2014. Equal or complementary? Women in the


new tunisian constitution after the arab spring. The Journal of North
African Studies. Vol. 19, No.2, Hal. 230-243.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 99

Dalacoura, K. 2018. Islamism, secularization, secularity: the muslim brotherhood


in Egypt as a phenomenon of a secular age. Economy and Society. Vol. 47,
No. 2, Hal. 313-334.

Daoud, M. 1991. Arabization in Tunisia: The Tug of War. Issues in Applied


Linguistics. Vol. 2, No. 1, Hal. 7-29.

Guazzone, L. 2013. Ennahda islamist and the test of government in Tunisia. The
International Spectator. Vol. 48, No. 4, Hal. 30-50.

Gumuscu, S. 2010. Class, status, and party: the changing face of political islam in
Turkey and Egypt. Comparative Political Studies. Vol. 43, No. 7, Hal.
835-861.

Hasan, N. 2015. New horizon of reading islam and politics: post-islamism in


Indonesia. IN RIGHT: Jurnal Agama dan Hak Azasi Manusia. Vol. 4 No.
2, Hal. 285-316.

Haugbølle, R. H. 2015. New expressions of islam in Tunisia: an ethnographic


approach. The Journal of North African Studies. Vol. 20, No. 3, Hal. 319-
335.

Hossain, A. A. 2016. Islamism, secularism and post-Islamism: the Muslim world


and the case of Bangladesh. Asian Journal of Political Science, Vol. 24,
No. 2, Hal. 214-236.

Louden, S. R. 2015. Political islamism in Tunisia: a history of repression and a


complex forum for potential change. Mathal. Vol. IV, No. 1, Hal. 2.

Machairas, D. 2017. The strategic and political consequences of The June 1967
War. Cogent Social Sciences. Vol. 3, No. 1.

Mahmudah, S. 2018. Islamisme: kemunculan dan perkembangannya di Indonesia.


Aqlam: Journal of Islam and Plurality. Vol. 3, No. 1.

Marks, M. 2015. Tunisia’s Ennahda: Rethinking Islamism in the context of ISIS


and the Egyptian coup. Rethinking Political Islam Series.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 100

Meriboute, Z. 2013. “Arab spring”: the influence of the muslim brotherhood and
their vision of islamic finance and the state. International Development
Policy: Religion and Development. Hal. 128–143.

Mushlih, A., & Hurriyah. 2016. Aktor politik dan gagalnya transisi demokrasi
Mesir tahun 2011-2013. Jurnal Politik. Vol. 2, No. 1, Hal. 41-69.

Saikal, A. 2011. Authoritarianism, revolution and democracy: Egypt and beyond.


Australian Journal Of International Affairs. Vol. 65, No. 5, Hal. 530—
544.

Torelli, S. M., Merone, Fabio., & Cavatorta, Francesco. 2012. Salafism in


Tunisia: Challenges and Opportunities for Democratization. Middle East
Policy. Vol. 19, No. 4, Hal. 140-154.

Wolf, A. 2018. ‘Dégage RCD!’ The rise of internal dissent in Ben Ali’s
Constitutional Democratic Rally and the Tunisian uprisings.
Mediterranean Politics. Vol. 23, No. 2, Hal. 245-264.

Artikel & Reportase

Arieff, A. 2011. Political Transition in Tunisia. Washington, D.C.: Congressional


Research Service.

CBE. 2013. Central Bank of Egypt - Annual Report 2012/2013. Central Bank of
Egypt.

International Republican Institute. 2014. Survey of Tunisian Public Opinion June


22-July 1, 2014. International Republican Institute.

NDI. 2011. Final Report On The Tunisian National Constituent Assembly


Election. National Democratic Institute.

Nassar, A. A. 2016. Events of the Tunisian Revolution The Three First Years.
Department of Peace and Conflict Research. Uppsala:
Universitetstryckeriet.

The Carter Center. 2014. Legislative and Presidential Elections in Tunisia.


Atlanta: The Carter Center.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 101

Situs Internet

Affan, M. 2016. The Ennahda Movement … A Secular Party?. ALSHARQ


FORUM: http://www.sharqforum.org/2016/06/14/the-ennahda-movement-
a-secular-party/. [Diakses pada tanggal 1 Oktober 2018].

Ahramonline. 2012. Egypt President Morsi visits China seeking investment.


Ahramonline: http://english.ahram.org.eg/NewsContent/3/12/51452/Bus
iness/Economy/Egypt-President-Morsi-visits-China-seeking-investm.aspx.
[Diakses pada 4 Juli 2019].

Al Arabiya English. 2016. Al Arabiya profiles: Beji Caid Essebsi, the veteran
Tunisia needed. Al Arabiya: http://english.alarabiya.net/en/media/inside-
the-newsroom/2016/07/04/Al-Arabiya-documentary-Beji-Caid-Essebsi-
the-veteran-Tunisia-needed.html. [Diakses pada 24 Juli 2019].

Al Jazeera. 2015. Tunisia's Ennahda to join coalition goverment. Al Jazeera:


https://www.aljazeera.com/news/2015/02/tunisia-ennahda-join-coalition-
goverment-150201172336735.html. [Diakses pada tanggal 16 Juni 2019]

Alsahary, I. 2014. CAPMAS: Poverty in Egypt increases to 26.3% in 2012/2013.


Egypt Independent: https://www.egyptindependent.com/capmas-poverty-
egypt-increases-263-20122013/. [Diakses pada tanggal 19 Juni 2019].

BBC. 2011. Tunisian Islamist leader Rachid Ghannouchi returns home. BBC:
https://www.bbc.com/news/world-africa-12318824. [Diakses pada tanggal
20 Mei 2019].

Bilecen, C. (t.thn.). NASSERISM AND SIX-DAY WAR: RISE AND FALL OF AN


IDEOLOGY. Academia: https://www.academia.edu/27447656/NASSERIS
M_AND_SIX-DAY_WAR_RISE_AND_FALL_OF_AN_IDEOLOGY.
[Diakses pada tanggal 14 Desember 2018].

Bleiweis, S. 2016. Muslim Democrats? Tunisia’s Delicate Experiment. Foreign


Policy Association: http://foreignpolicyblogs.com/2016/09/30/muslim-de
mocrats-tunisia-experiment/. [Diakses pada tanggal 1 Oktober 2018].

Canada: Immigration and Refugee Board of Canada. 2004. Tunisia: The Destour
Democratic Party; its founding members and founding date; its political
persuasion and ideology; its relationship with other established parties;
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 102

its relationship with the authorities. Canada IRBC:


https://www.refworld.org/docid/41501c650.html. [Diakses pada tanggal
30 April 2019].

CIA. 2019. The World Factbook Africa: Tunisia. Central Intelligence Agency:
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ts.html.
[Diakses pada tanggal 30 Januari 2019].

Constitute. (t.thn.). Egypt's Constitution of 2012. constituteproject.org:


https://www.constituteproject.org/constitution/Egypt_2012.pdf?lang=en.
[Diakses pada tanggal 4 Juli 2019].

Edusfax. (t.thn.). Salah Ben Youssef. Edusfax: http://www.edusfax.com/sfaxreader


/english/1961BenYoussef.pdf. [Diakses pada tanggal 15 Mei 2019].

Electionguide. (t.thn.). Tunisian Republic Election For President. Electionguide:


http://www.electionguide.org/elections/id/2826/. [Diakses pada 1 Maret
2018].

Encyclopaedia Britannica. (t.thn.). Democratic Constitutional Rally.


Encyclopaedia Britannica: https://www.britannica.com/topic/Democratic-
Constitutional-Rally. [Diakses pada tanggal 13 Mei 2019].

Encyclopedia.com. (t.thn.). General Tunisian Union Of Students (UGTE).


Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa:
https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-trans
cripts-and-maps/general-tunisian-union-students-ugte. [Diakses pada
tanggal 20 Mei 2019].

Ghannouchi, R. 2016. From Political Islam to Muslim Democracy The Ennahda


Party and the Future of Tunisia. Foreign Affairs:
https://www.foreignaffairs.com/articles/tunisia/political-islam-muslim-
democracy. [Diakses pada tanggal 15 Januari 2017].

Hasan, A. M. 2017. Membunuh Anwar Sadat. Tirto.id: https://tirto.id/membunuh-


anwar-sadat-cxSV. [Diakses pada tanggal 14 Mei 2019]

Howling P. (t.thn.). Destour. Howling Pixel: https://howlingpixel.com/i-


en/Destour. [Diakses pada 24 Juli 2019].
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 103

Ibish, H. 2016. ‘Islamism Is Dead!’ Long Live Muslim Democrats. The New York
Times: https://www.nytimes.com/2016/06/03/opinion/tunisias-new-revolu
tion.html?_r=1. [Diakses pada tanggal 1 Oktober 2018].

Imonti, F. 2013. Morsi, Egypt Face Economic Meltdown. Al-Monitor:


https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2013/01/economy-egypt-
morsi-revolution.html. [Diakses pada tanggal 3 Juli 2019].

International IDEA. (t.thn.). Constitutional History of Tunisia.


CONSTITUTIONNET: http://constitutionnet.org/country/constitutional-
history-tunisia. [Diakses pada tanggal 17 Januari 2019].

Internationalrelations.Org. (t.thn.). http://internationalrelations.org/ennahda/.


[Diakses pada tanggal 1 Oktober 2018].

Jaouad, H. 2011. From The Streets Of Tunisia To Wall Street. Huffpost:


https://www.huffpost.com/entry/tunisia-elections_b_1025803. [Diakses
pada 7 Maret 2018].

Julio, E. 2017. HISTORIPEDIA: Militer Gulingkan Presiden Mesir Mohamed


Morsi. Okenews: https://news.okezone.com/read/2017/07/02/18/1726772/
historipedia-militer-gulingkan-presiden-mesir-mohamed-morsi?page=1.
[Diakses pada tanggal 3 Juli 2019].

Jusuf, W. 2017. Mengenang 5 Tahun Berkuasanya Mursi. Tirto.id: https://tirto.id


/mengenang-5-tahun-berkuasanya-mursi-crpZ. [Diakses pada tanggal 3
Juli 2019].

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (t.thn.). PROFIL NEGARA


REPUBLIK TUNISIA. KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA,
REPUBLIK TUNISIA: https://www.kemlu.go.id/tunis/id/Pages/Profil-
Negara-Tunisia.aspx. [Diakses pada tanggal 6 Januari 2019].

Koch, R. 2014. Islam and Politics in Tunisia: https://www.sciencespo.fr/kuwait-


program/wp-content/uploads/2018/05/KSP_Paper_Award_Spring_2015_
KOCH_Rebecca.pdf. [Diakses pada tanggal 24 Juni 2019].

Lusardi, R. 2017. Tunisia's Islamists: Ennahda and the Salafis Is a Divorce


Underway?. Middle East Policy Council: http://www.mepc.org/comment
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember 104

ary/tunisias-islamists-ennahda-and-salafis. [Diakses pada tanggal 1 Juni


2019].

Marks, M., & Ounissi, S. 2016. Ennahda from within: Islamists or “Muslim
Democrats”? A conversation. Brookings: https://www.brookings.edu/re
search/ennahda-from-within-islamists-or-muslim-democrats-a-
conversation/. [Diakses pada tanggal 26 Juli 2019].

Souli, S. 2016a. What is left of Tunisia's Ennahda Party?. Al Jazeera: https://


www.aljazeera.com/news/2016/05/left-tunisia-ennahda-party-1605261019
37131.html. [Diakses pada tanggal 14 Desember 2016].

_________. 2016b. Why Tunisia’s Top Islamist Party Rebranded Itself. Al-
Monitor: https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2016/05/tunisia-
ennahda-islamist-party-rebranding-congress.html. [Diakses pada tanggal 1
Oktober 2018].

Tempo.co. 2013a. Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan. Tempo.co:


https://dunia.tempo.co/read/493383/empat-alasan-presiden-mesir-
digulingkan/full&view=ok. [Diakses pada tanggal 8 April 2019].

_________. 2013b. Teks Lengkap Ultimatum Militer Mesir untuk Mursi.


Tempo.co: https://dunia.tempo.co/read/492829/teks-lengkap-ultimatum-
militer-mesir-untuk-mursi. [Diakses pada 4 Juli 2019].

The Guardian. 2014. Tunisia Election Results: Nida Tunis Wins Most Seats,
Sidelining Islamists. The Guardian: https://www.theguardian.com/world
/2014/oct/30/tunisia-election-results-nida-tunis-wins-most-seats-
sidelining-islamists. [Diakses pada tanggal 1 Oktober 2018].

Wikileaks. 2006. Tunisian Government Cracks Down on Hijab. Wikileaks:


https://wikileaks.org/plusd/cables/06TUNIS2565_a.html. [Diakses pada
tanggal 18 Mei 2019].

Anda mungkin juga menyukai