Anda di halaman 1dari 4

Nama : Arif Akbar Kurnia

Kelas : HTN C
NIM : 20/461520/HK/22538
Dosen : Prof. Dr. Zainal Arifin
Mochtar, S.H., LL.M.
Jenis : Opini Koran

Mengkaji Konstitusi Negara Indonesia

Konstitusi adalah aturan dasar yang menjadi pondasi pokok dalam menjalankan politik
pemerintahan dan kehidupan bangsa (grundnorm). Namun, politik pemerintahan dan kehidupan
bangsa adalah diibaratkan seperti manusia yang hidup, tumbuh, dan berkembang serta terikat
dalam ruang dan waktu yang terus berubah-ubah. Bahkan, sama halnya dengan manusia,
konstitusi (UUD NRI 1945) juga dapat memuat unsur kesalahan, misalnya tidak sesuai dengan
bagaimana kondisi yang sedang terjadi atau apa yang sebaiknya terjadi. Oleh karena itu, hal-hal
tersebut akan menjadi masalah bagi kehidupan bernegara ketika konstitusi atau grundnorm itu
bersifat statis tertulis.
Problematika konstitusi tersebut sedang dialami negara Indonesia. Pertama, masalah
sistem pemerintahan negara. Sebenarnya, tidak jelas jika Indonesia benar-benar dibilang sebagai
negara dengan sistem presidensial berdasarkan UUD NRI 1945. Pasalnya, amandemen tersebut
dibangun atas bayang-bayang sistem pemerintahan sebelumnya, yakni parlementer. Akibatnya
kewenangan parlemen pada saat sekarang (presidensial) masih kuat. Contohnya, parlemen
memiliki kekuasaan dalam melakukan pengawasan dan bernegosiasi dengan kebijakan
pemerintah. Itu membuat posisi parlemen (DPR) tak jarang memposisikan dirinya sebagai orang
kuat atas dasar “pengawasan”. Mau masuk bui untuk menemui tersangka korupsi tak kenal waktu,
tidak ada melarang, cukup bilang saja anggota parlemen yang sedang mengemban tugas
pengawasan. Atau mau mengobrak-abrik BUMN juga bisa, tidak ada yang melarang, kan diskresi
BUMN harus mendapat persetujuan parlemen (DPR). Jangankan kedua hal tersebut, dalam
pengangkatan duta besar, kepala kepolisian negara, memilih anggota komisi, deputy senior BI pun
tak lepas dari kekuasaan parlemen. Nah, serasa parlementer banget, bukan?
Kedua, dalam hal keterpisahan antara eksekutif dan legislatif di Indonesia. Idealnya dalam
sistem presidensial terjadi keterpisahan antara kekuasaan eksekutif dengan legislatif dengan jelas.
Namun, di Indonesia eksekutif pun memiliki kekuasaan di ranah legislatif. Pasal 5 Ayat (1) UUD
NRI 1945 setelah perubahan memberikan wewenang kepada presiden untuk mengajukan suatu
RUU. Bahkan, menurut Pasal 23 Ayat (2) UUD NRI 1945 dalam RUU tentang APBN hanya
presiden yang berwenang untuk mengajukan. Ketentuan-ketentuan seperti ini, membuktikan
bahwa sebenarnya fungsi legislasi yang menjadi wewenang DPR tidak mutlak, tetapi lebih pada
fungsi yang dilakukan bersama-sama dengan kedudukan yang setara antara DPR dan Presiden
(joint function). Dengan adanya kesetaraan tersebut maka fungsi legislasi dipegang oleh DPR dan
presiden mulai dari perencanaan sampai persetujuan bersama. Bahkan, setiap RUU harus
mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Apabila disetujui bersama (bersifat
materiil), maka RUU tersebut akan disahkan oleh Presiden (bersifat formil). Adanya hal tersebut
buruk karena kepentingan presiden dengan DPR tidak jarang berbeda bahkan di Indonesia
dipengaruhi kepentingan partai politik masing-masing sehingga parameter urgency tidak jarang
berbeda. Padahal idealnya dalam sistem presidensial, badan legislatif menentukan agendanya
sendiri, membahas dan menyetujui rancangan undang-undang. Hal ini didasarkan pada prinsip
kedaulatan rakyat sehingga merupakan wewenang eksklusif dari badan perwakilan yang berdaulat
untuk menentukan suatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap warga negara
(presumption of liberty of the sovereign people)
Ketiga, sistem bikameral Indonesia yang diatur dalam Pasal 22D UUD NRI 1945 abu-abu
dalam pelaksanaannya. Pada dasarnya, DPD dibentuk sebagai check and balances DPR.
Namun, keterbatasan kewenangan DPD di bawah DPR menyulitkan DPD menjalankan fungsinya
sebagai wakil daerah untuk memperjuangkan kepentingan daerah secara berkelanjutan. Padahal,
peran DPD sangat penting untuk menyalurkan aspirasi dan menjalin hubungan baik daerah ke
pusat. Ketika hubungan daerah dengan pusat buruk akibat keterbatasan wewenang dan aspirasi
yang tidak didengar justru akan membahayakan persatuan dan kesatuan sebagaimana diatur dalam
konstitusi itu sendiri. Hal itu mendasari DPD untuk mengajukan judicial review terhadap UU No.
27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD NRI1945 kepada MK dengan
maksud menguatkan kewenangan DPD. Lalu, dikeluarkan putusan MK No. 92/PUU-X/2012
memberikan optimisme bagi DPD yang menjadi alarm konstitusional agar ke depan penataan
ulang model legislasi lembaga perwakilan yang mengarah pada penguatan fungsi legislasi DPD.
Oleh karena problematika di atas telah menunjukkan ketidaksesuaian nilai yang dianggap
baik dahulu kala dengan nilai yang dianggap baik pada saat ini, maka dapat disimpulkan sekalipun
UUD NRI itu diamandemen, tetapi masih akan ada banyak pasal hal yang dapat berubah di
kemudian hari. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya konstitusi itu ikut tumbuh bersama dengan
kehidupan manusia yang berupa nilai-nilai baik yang sedang berlaku sehingga pada dasarnya jika
UUD NRI (konstitusi yang tertulis) itu pun berubah bukanlah hal yang sakral.
Seharusnya, legislasi dalam membentuk konstitusi tidak bisa sempit dan hanya dimaknai
sebatas UUD NRI 1945 semata karena nilai konstitusi jauh lebih kompleks dari sekedar Undang-
Undang Dasar, tetapi konstitusi mengandung makna berisi nilai-nilai yang harus digali oleh hakim
dalam memutus suatu perkara pada kasus judicial review. Penafsiran konstitusi yang dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lentera dalam gelapnya suatu norma dimana
penafsiran ini untuk memperjelas, membuat terang, dan memberikan kepastian terhadap norma
yang selama ini buram bahwasanya suatu undang-undang dasar tidak hanya dianggap sebagai
suatu documented constitution melainkan dapat bertransformasi menjadi the living constitution.
Terkait dengan interpretasi konstitusi, K.C. Wheare berpendapat bahwa konstitusi itu
bermakna ganda atau tidak begitu jelas, maka perlu ditafsirkan sesuai kebutuhan dan keinginan
bangsa pada saat itu. Begitu juga Chief Justice Hughes, menyatakan bahwa “the constitution is
what the judge say it is!”, sehingga suatu undang-undang dasar tidak hanya dianggap sebagai suatu
dokumen yang statis melainkan dapat bertransformasi selajaknya seorang manusia.
Penulis berpendapat, seharusnya konstitusi itu hidup sesuai dengan kondisi demokrasi
suatu negara. Di Indonesia, sudah menjalankan empat macam konstitusi dalam UUD NRI 1945.
Pada kenyataannya sistem demokrasinya saja yang berubah, tetapi pada dasarnya mukadimah tetap
sama, yakni tujuannya bernegara adil dan makmur dan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran
dalam suatu zaman tidaklah sama caranya (dinamis dan multidimensional). Oleh karena itu,
sebenarnya akan lebih baik jika Indonesia mengubah konstitusinya yang ke living constitution
(nilai-nilai yang hidup pada masyarakat) karena dalam UUD yang telah diamandemen sekalipun
banyak sekali ditemui problematika di antranya apa yang telah saya uraikan di atas. Namun,
menurut saya berlakunya living constitution di Indonesia seharusnya tidak menghapuskan
Pembukaan UUD NRI 1945 dan Pancasila. Kedua hal tersebut juga merupakan pondasi (nilai-nilai
utama) kehidupan bernegara yang sifatnya masih general sehingga untuk mencapainya pun dapat
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Fadila, Jajang Indra. “Perkembangan Kewenangan Mengubah Undang-Undang Dasar”, Jurnal
Cita Hukum1, no.1 (Juni 2014) hal. 137,
https://media.neliti.com/media/publications/40821-ID-perkembangan-kewenangan-
mengubah-undang-undang-dasar-di-indonesia.pdf, diakses pada tanggal 6 Maret 2021.
Hanan, Djayadi. “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,
Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian, https://www.puskapol.ui.ac.id/wp-
content/uploads/2015/02/Makalah-Djayadi-Hanan.pdf, diakses pada tanggal 6 Maret
2021.
Hapsoro, F.L, dan Ismail. (2020). “Interpretasi Konstitusi Dalam Pengujian Konstitusionalitas
Untuk Mewujudkan The Living Constitution”. JALREV, 2 (2) : 139-160.
Setia Putu, “Mengawasi Parlemen”, Tempo, https://kolom.tempo.co/read/1001603/mengawasi-
parlemen, diakses pada tanggal 6 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai