Tanggal 21 April.
Si celana kargo tidak datang. Atau, ia memilih lubang lain untuk bersandar?
Tanggal 22 April.
Si celana kargo tetap tidak datang. Namun saat ia menoleh untuk kesekian kali, berharap celana
warna krem itu muncul, Nayna mendapatkan banyak gumpalan benang kecil di lubang bagian
luar. Dengan bingung ia menghampiri lubang itu, diambilnya benang-benang tersebut, ternyata
sama dengan yang dimilikinya. Lalu saat ia menjulurkan tangan hendak mengambil yang paling
jauh, sebuah sapaan lembut ia dengar.
“Halo,” kata suara itu. Si celana kargo! “Aku kembalikan benang-benangmu,” katanya. Nayna
tercekat. “Dari mana...k au dapatkan ini?” Karena Nayna tahu pasti, angin telah menerbangkan
benang-benangnya.
“Dari tempat kerjaku,” kata si celana kargo ramah. Orang yang melihatnya di luar pabrik,
mungkin akan heran melihat ia menungging di tanah seperti itu. “Aku Salim,” katanya sambil
mengulurkan tangannya ke dalam lubang, “lantai tiga.”
Barulah Nayna mengerti. Salim, pekerja lantai tiga, yang masuk di shift tiga. Sejak tujuh tahun
yang lalu, Rana Plaza memang menjadi bangunan empat lantai. Bisa menampung ribuan
pekerja dalam satu waktu, memenuhi pesanan yang makin laku.
“Nayna,” balasnya, sambil menyambut uluran tangan Salim. “Salam kenal, Nayna,” sahut Salim.
Ia tersenyum lebar, meski hanya nampak sebagian. Saat itu juga Nayna ingin keluar,
memandang Salim dari bawah hingga atas, dari ujung celana kargo ke pemilik senyumnya,
berusaha menata penampilan Salim dalam ingatannya.
Namun, hardikan keras dari pak mandor menghentikan mimpinya. Nayna kembali sibuk bekerja.
Tanggal 23 April.
Mungkin Salim sengaja, berlama-lama berada di dekat lubang. Berbagai posisi kaki Nayna lihat,
dari balik lubang, menandakan pemiliknya sedang gelisah. Gerakannya kadang mengundang
debu masuk, dan Nayna terbatuk. Lalu seolah sadar Nayna kemasukan debu, kaki itu diam
mematung. Nayna tertawa dalam hati melihat tingkah Salim. Lalu kaki itu menghilang. Nayna
merasa kehilangan.
Tidak lama, Salim menyodorkan setangkai bunga lewat lubang. Hanya tangannya yang
mengangsurkan ke dekat kepala Nayna. Untung tidak kena mata. Bunga yang biasa. Namun
sungguh membuat Nayna terharu karenanya. Salim, bahkan wajah Naynapun ia tak jelas
melihat. Hanya sepasang mata yang saling bertatapan, separuh senyum, dan tentu... celana
kargo yang membuat Nayna jatuh cinta.
“Besok, jangan masuk duIu,” bisik Salim. “Temui aku di sini. Lebih mudah menunda masuk
daripada mempercepat keluar,” bisiknya lagi. Jantung Nayna berdebar keras. Bagaimana kalau
pak mandor marah. Bagaimana kalau ia dipecat? Siapa yang membiayai pengobatan ayahnya,
sekolah adiknya... Maka Nayna menggeleng, meski sadar Salim tak akan melihatnya.
“Salim, di sini saja,” balasnya. “Aku takut,” bisiknya. Hening sejenak. Mungkin Salim kecewa.
“Kamu... tak mau melihat aku?” tanya Salim tertahan. Nayna ingin menangis. Tentu Salim, tentu,
aku ingin melihatmu. Tapi lubang ini terlalu kecil untuk memandangmu utuh.
Nayna terdiam. Ia tak mau menjawab tanya Salim. Terdengar suara desahan Salim. Mungkin ia
juga sedang berpikir.
“Nayna, besok seusai kerja, aku akan menjemputmu di sini. Tentu, aku akan berpura-pura
masuk shift kedua. Tunggu aku ya,” kata Salim, terdengar ceria.
Nayna tersenyum. Salim sungguh bisa diandalkan, ia berani memutuskan.
Pukul 8.45.
Suara guruh terdengar dari kejauhan. Salim menengadahkan wajahnya ke langit. Hari cerah, tak
akan hujan. Lalu dari mana suara guruh terdengar? Ia kembali melanjutkan menjemur
pakaiannya, di rumah kontrakan yang ia tempati bersama teman-teman.
Tak lama keributan datang. Orang berteriak-teriak, klakson sepeda motor terdengar bersahutan.
Salim bergegas keluar, ingin tahu ada apa gerangan. Ia bertelanjang dada, hanya celana kargo
yang dipakainya.
“Rana Plaza runtuh!”
Salim tercekat. Nayna!
Ia segera berlari menyusuri Jalan Imandipur. Tak dipedulikannya kakinya yang telanjang
menginjak batu trotoar yang tajam. Mungkin kini telapak kakinya berdarah. Namun hatinya yang
lebih terluka.
Ia menyibak kerumunan. Terseret bersama puluhan orang lainnya yang menghambur ke area
Rana Plaza. Mereka yang mencemaskan orang-orang tersayang yang bekerja di sana.
Salim lemas menatap bangunan yang ambruk separuh itu. Jerit tangis terdengar di mana-mana,
rasa takut dan bingung menerpa. Salim berlari ke tempat pertemuan mereka. Lubangnya sudah
tidak ada. Lebih tepatnya, dinding itu sudah hilang tertimpa dinding-dinding yang ada di atasnya.
Mungkin Tuan Rana terlalu tamak, ia membangun tinggi-tinggi tanpa memperhatikan
keselamatan pegawainya.
“Nayna! NAYNA!” Salim panik memanggil kekasihnya, namun tak ada suara. Ia masih saja
berteriak, berharap Nayna sempat lari menyelamatkan diri, lalu ia hanya akan terlambat muncul
saja.
Namun Nayna tak pernah kelihatan. Salim menunggui proses evakuasi yang berlangsung
lambat. Selain banyaknya korban, kondisi reruntuhan juga menyulitkan proses evakuasi.
Akhirnya tibalah gilirah lantai bawah. Salim ikut membantu menyingkirkan bebatuan. Ia menahan
rasa kaget atas bentuk tubuh yang tertimpa reruntuhan. Mereka yang berada di tengah ruangan
langsung tertimpa lantai atasnya. Lalu tibalah mereka ke tangga yang menghubungkan lantai
bawah tanah dengan lantai satu. Dengan bantuan beberapa orang Salim menyingkirkan tangga
itu. Tampak lebih banyak korban, mungkin mereka mengira kalau sembunyi di bawah tangga
akan lebih aman.
Nayna yang mana?
Salim hanya selintas mengenali selendang Nayna. Ia tak tahu benar wajah Nayna seperti apa. Ia
tak tahu bagaimana caranya menemukan Nayna. Lalu tak sengaja ia menyentuh kantong celana
kargonya. Gumpalan benang itu masih di sana. Apakah mungkin… Nayna juga memilikinya?
Mengenggamnya sampai ajal menjemputnya?
Dengan ragu Salim membuka satu persatu tangan para korban. Di satu sisi ia ingin mengetahui
yang mana Nayna, namun di sisi lain ia berharap tak pernah menemukannya, yang berarti
Nayna mungkin selamat.
Dan ia lemas mengetahui gumpalan benang itu ada di korban yang ketigabelas. Nayna…
Nayna… akhirnya kau bertemu dengan sang pemilik celana kargo tanpa sempat bisa
memandang wajah sedihnya.