Anda di halaman 1dari 2

OPM Mengancam Integrasi Bangsa

Sejarah dan Latar Belakang


Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan gerakan separatis yang dibentuk pada
tahun 1965 dengan tujuan memisahkan diri dari kedaulatan NKRI pada saat itu. Organisasi ini
terbentuk akibat perasaan bahwa Papua sama sekali tidak memiliki hubungan sejarah dengan
Indonesia. Gerakan ini mengklaim bahwa Papua adalah wilayah otonom yang seharusnya
menjadi sebuah negara berdaulat dengan pemerintahan sendiri. Dalam tinta emas sejarah
Indonesia, pembebasan Irian Barat yang kemudian menjadi wilayah kedaulatan NKRI pada
tahun 1963 merupakan otentifikasi kerasnya perjuangan bangsa Indonesia atas kemerdekaan.
Namun ironisnya, dua tahun berselang, gerakan separatis Papua muncul dan ini mengancam
integrasi wilayah NKRI. Selain perihal perasaan tidak adanya hubungan historis dengan NKRI,
kasus-kasus pelanggaran HAM oleh TNI/ABRI di Papua, kesenjangan sosial, diskriminasi
ekonomi dan politik, serta perampasan alam mereka oleh Freeport Sulphur menjadi variabel
pendorong sehingga Free West Papua Campaign ini semakin responsif ingin memisahkan diri.

OPM di Oxford
Free West Papua Campaign melalui situs websitenya,www.freewestpapua.org mengklaim
juga akan membuka kantor di Papua Nugini dan Jerman beberapa bulan ke depan selain di
Oxford, Inggris. Keberadaan kantor OPM di Oxford ini dipelopori oleh Benny Wenda, tokoh
separatis yang berusaha menjadikan isu pembebasan Papua sebagai isu internasional. Michael
Tene, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa pembukaan kantor OPM di
Oxford ditentang keras oleh pihak Kemenlu dan memprotes kebijakan ini melalui duta besar
Inggris, Mark Canning, di Indonesia. Tene menambahkan, tidak ada satupun negara di dunia
yang mendukung gerakan Free West Papuadan bahkan dalam setiap sidang forum PBB tidak
pernah sekalipun menyinggung masalah Papua. Namun, perlu setrategi bijak yang harus
diimplementasikan oleh pemerintah. Kebijakan yang relevan ialah dengan menyelesaikan
konflik internal dan mensosialisasikannya kepada rakyat Papua secara langsung. Menurut Alex
Jemadu, pakar ilmu politik internasional, yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus
merunut ke diplomasi dalam negeri, bukan memprotes keras pihak Inggris karena ini hanya akan
menimbulkan reaksi keras dari pemerintah Inggris tentang Indonesia. Upaya yang harus
dilakukan oleh pemerintah ialah membangun politik hukum yang selama ini terindikasi adanya
diskriminasi dan pelanggaran HAM berat di Papua yang bertujuan agar rakyat Papua
mengurungkan niat memisahkan diri. Ia juga menambahkan ada dualisme perspektif yang harus
dikaji oleh pemerintah , yaitu masalah keutuhan wilayah NKRI dan pelanggaran HAM di Papua.
Artinya harus ada diplomasi domestik, bukan memprotes keras pihak Inggris karena ini hanya
akan memanaskan hubungan harmonis antara Indonesia – Inggris.
Negeri Papua, diperjuangkan lalu dicampakkan
Data yang dilansir oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menunjukkan bahwa ada 6000 pelanggaran HAM di Papua sepanjang 2013. Selain itu, terdapat
300-an mahasiswa Papua yang mengikuti program pemerintah untuk kuliah di Jawa dan
Sumatera, kini telantar karena tidak memiliki biaya. Ini sebuah fakta di mana diskriminasi radikal
telah dirasakan rakyat Papua. Belum lagi perihal PT Freeport Sulphur. Terkait masalah Freeport,
aksi demonstrasi dan “keringat darah” rakyat Papua seperti diabaikan pemerintah Indonesia.
Mereka merasa alam yang mereka miliki dieksploitasi habis-habisan. Pada 1 Mei 1963 Irian
Barat diakui secara de jure sebagai bagian dari wilayah NKRI melalui perjanjian New York yang
mengakhiri konflik dengan Belanda. Namun tampaknya kemenangan Indonesia dalam
memperebutkan negeri Papua hanya sebatas euforia yang berlebihan. Setelah diperjuangkan,
negeri Papua seolah diabaikan begitu saja. Saat pertemuan mahasiswa Hubungan Internasional
se-Indonesia di Padang bulan April kemarin, seorang mahasiswa yang menjadi delegasi dari
Papua mengklaim bahwa rakyat Papua akan memisahkan diri secepatnya jika pemerintah tidak
kunjung memperhatikan nasib mereka, terutama masalah PT Freeport. Meskipun kasus OPM ini
belum mendapat respon di forum internasional, bukan berarti pemerintah Indonesia berdiam diri.
Strategi dan usaha radikal OPM ini adalah untuk menarik perhatian PBB agar kemudian
dijadikan isu internasional di forum PBB dan ketika kasus ini menjadi isu internasional di forum
PBB, probabilitas lebih besar berada di tangan OPM mengingat masifnya tingkat pelanggaran
HAM dan ketidakadilan di Papua di mana pelanggaran HAM merupakan hal yang tabu bagi PBB
dan dunia internasional.

Statemen mengejutkan juga datang dari pihak Kanada yang ternyata mendukung
pelepasan diri negeri Papua menjadi negara Papua dengan otoritas pemerintahan sendiri. Pada
7 Mei 2013 yang lalu,Political Counsellor of Embassy of Canada, Mr. Jonathan Yendall,
memberikan kuliah umum di Auditorium Sutan Balia FISIP Universitas Riau bagi mahasiswa
Hubungan Internasional. Pada saat itu, ada pertanyaan terkait kasus OPM dan Yendall
mengungkapkan bahwa Kanada, Amerika Serikat, dan Australia sempat membahas isu ini dan
mereka sepakat tentang rencana besar Free West Papua Campaign yang gencar memisahkan diri
dari NKRI dengan alasan tingginya jumlah pelanggaran HAM disana. Yendall menambahkan,
jika pertumpahan darah dan diskriminasi masih berlanjut di negeri Papua, bukan tidak mungkin
isu ini akan diangkat menjadi isu internasional dan besar kemungkinan forum internasional akan
berkonsensus tentang pembentukan negara Papua dengan kedaulatan sendiri. Pemerintah
seharusnya melakukan diplomasi domestik dan mengupayakan kesejahteraan serta keadilan di
tanah air Papua adalah variabel penentu keberhasilan dalam penyelesaian kasus ini. Karena
Integrasi nasional adalah hal mutlak.

Anda mungkin juga menyukai