Anda di halaman 1dari 32

REFARAT

MANAJEMEN NYERI

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Bagian/SMF Anastesi

Pembimbing
dr. Riza Mulyadi, Sp. An, FIPM

Penyusun
Ulul Azmi : 19174035
Rahmiati : 19174036
Meldi Rosimah : 19174036
Muat Mualiana Bancin : 19174036
Ulfatul Jazila : 19174036
Nadia Zuhra : 19174036

Kepaniteraan Klinik Senior Anastesi


Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa
Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas anugerah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan
judul Management Nyeri. Referat ini penulis susun sebagai bagian dari proses
belajar penulis selama kepaniteraan klinik di SMF Anastesi RSUD Meuraxa.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.
selaku pembimbing karena telah meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan Referat ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih ada keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan dalam penulisan tugas laporan kausus ini. Untuk itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun supaya karya penulis dapat
bermanfaat bagi kita semua kedepannya. Terimakasih.

Aceh Besar, 4 November 2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Fisiologi Nyeri.....................................................................................3
2.2 Mekanisme Nyeri................................................................................5
2.3 Nosisseptor (reseptor Nyeri)................................................................6
2.4 Perjalanan Nyeri ( Nociceptive Pathway )..........................................8
2.5 Mekanisme Kerja Obat Analgetik.......................................................9
2.6 Klasaifikasi Nyeri..............................................................................10
2.7 Penilaian Nyeri..................................................................................14
2.8 Penanganan Nyeri..............................................................................17

BAB III KESIMPULAN.....................................................................................30


DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Konsep Nyeri

Nyeri adalah bentuk penmgalaman sensorik emosiaonal yang tidak


menyenangkan yang menyenangkanyang berhubungan dengan adanya kerusakan
jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Nyeri
menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau
penyakit di dalam tubuh. Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua
asumsi perihal nyeri, yaitu :

- Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak


menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya
kerusakan jaringan yang nyata ( pain with nociception). Keadaan nyeri seperti
ini disebut sebagai nyeri akut.
- Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai
dengan kerusakan jaringan yang nyata ( pain without nociception). Keadaan
nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai
mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme
proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap
suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya
kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk
immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga
sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan
adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien
dapat diketahui, misalnya, nyeri yang dirasakan oleh seorang pada daerah
perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus
buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa
nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses
persalinan sudah dimulai.

1
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah
menyebar ke berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri
yang dirasakanya tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif
atau diagnostik, tetapi akan menambah penderitaannya semakin berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya
tidak saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri
itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia
dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun
lingkungannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Nyeri

Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of


Pain (IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak
menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu
berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri
bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural,
umur dan jenis kelamin.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara
anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang
tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang
berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)

3
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang


terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini
meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif
terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya
bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium
mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat
terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti
orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia)
atau paska pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna,
karena dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres
metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan
memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat
timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti:
A. Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur
dan putus asa
B. Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan
luka
C. Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitas
sehingga meningkatkan kepekaan nyeri
D. Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi,
takikardi
E. Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi,

4
katabolisme

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat


pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua
setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar
operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin,
serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh  jaringan yang rusak
dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan
pada proses transduksi dari nyeri.

2.2 Mekanisme Nyeri


Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya
kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh
stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif.
Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang
otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan
jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi
protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga
stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang
meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan
derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

2.2.1 Sensitisasi Perifer


Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya
perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak
akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat,
ion K +, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine  dan  growth factor . Beberapa komponen diatas akan
langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen
lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif

5
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2  akan mereduksi


ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf
dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai
komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara
bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia
tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer
akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

2.2.2 Sensitisasi Sentral


Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka
transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi.
Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya
hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi
dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu
dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke
medulla spinalis (activity dependent ), kemudian terjadi perubahan
molekuler neuron (transcription dependent ).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas
sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon
perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah
kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam
medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan
munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada
daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif
terhadap rangsangan nyeri.

2.3 Nosisseptor (Reseptor Nyeri )


Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot,
persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung

6
jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu
(panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal,
nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang
cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting ). Nosiseptor
mencegah perambatan sinyal acak ( skrining fungsi) ke SSP untuk
interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan
lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke
pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda
dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi
karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada
kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri
biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut
berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi
pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik
tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.
Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus
panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang
banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai
aktivitas nociceptor-like. Serat –s  erat sensorik mekanoreseptor bisa
diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika
daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia
mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan
mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak
didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar
pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya
merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila
dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan
mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme

7
berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan
nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

2.4 Perjalanan Nyeri ( Nociceptive Pathway )


Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis
kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang
merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat
diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

2.4.1 Proses Transduksi


Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal
pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan
fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan
diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending ) atau organ-organ
tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).
Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau
trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana
prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-
reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti
histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini
dikenal sebagai sensitisasi perifer.

2.4.2 Proses Trasmisi


Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke
medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan
sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama
membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral
serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan
emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps
interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.
Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di

8
cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

2.4.3 Proses Modulasi


Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf
pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara
sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis
merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik
endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat
menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana
kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk
menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah
yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

2.4.4 Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan
menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks
sebagai diskriminasi dari sensorik.

2.5 Mekanisme Kerja Obat Analgetik


Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan
sentral. Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat
pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat
dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja
di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla
spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan
perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat
yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang
lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses
inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain

9
itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap
suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang
mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS
memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator
prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang
positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung,
penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan
dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously  dan constitutive  yang
diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.
COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal
dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi
platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya,
COX-2 bersifat inducible  dan diekspresikan terutama pada tempat trauma
(otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan
kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam
merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi
sentral.

2.6 Klasifikasi Nyeri


Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual
bahkan jika cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya
takut, marah, kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi
bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya
mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri itu sendiri. Salah
satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah
berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi (nosiseptif, nyeri
neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker).

2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik


Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang
terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting  stimulus
istirahat. Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh

10
hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau
nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1  –  6 bulan. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai
penyakit yang life-limiting disease  seperti kanker, end-stage organ
dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik
elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri
punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai
kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi
pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat
pengobatan menjadi lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan
gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat,
diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai
pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul
ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada atau
tidaknya nyeri.

Nyeri Akut Nyeri Kronik

 Lamanya dalam hitungan menit  Lamannya sampai hitungan

 Sensasi tajam menusuk  Sensasi terbakar, tumpul,

 Dibawa oleh serat A-delta  Dibawa oleh serat C


 Ditandai peningkatan BP, nadi,
 Fungsi fisiologi bersifat normal
dan respirasi
 Kausanya spesifik, dapat  Kausanya mungkin jelas
diidentifikasi secara biologis mungkin tidak
 Respon pasien : Fokus pada  Tidak ada keluhan nyeri,
menangis dan mengerang, cemas depresi dan kelelahan
 Tingkah laku menggosok bagian  Tidak ada aktifitas fisik sebagai
yang nyeri respon terhadap nyeri
 Respon terhadap analgesik  Respon terhadap analgesik :
meredakan nyeri secara efektif  sering kurang meredakan nyeri

11
2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropati
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri
neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh
rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi
maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung
jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan
respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat
kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat
yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya
digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang
mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik
terhadap analgesik opioid.

2.6.3 Nyeri Viseral


Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah
permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom
yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti
kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram
sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,
obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama
persalinan.
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks
kontraksi otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang
ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena
invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan
nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri
tajam bila organ padat terkena.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen,
spasme otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu,
saluran empedu, atau ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri
karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi

12
pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan
toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan
sistem saraf simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring
melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang
lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral.
Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian
tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari
empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk
ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls
nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia
miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor.
Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri.

2.6.4 Nyeri Somatik


Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk,
mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit,
jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan
peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi
peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding
parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh
nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit
dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada
peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum
viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri
parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan
lokalisasi dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada
waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks
yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke
rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar
ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai
karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari

13
peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding
abdomen, rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord
pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi langsung pada
permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah.

2.7 Penilaian Nyeri


Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk
menentukan terapi nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian
nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri.
Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien
dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:


2.7.1 Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda,


dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini
berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak,
orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti
dengan bahasa lokal setempat.

Gambar Wong Baker Faces Pain Rating Scale

14
2.7.2 Verbal Rating Scale ( VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan


skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar Verbal Rating Scale

2.7.3 Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978,


dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 0  – 5 atau 0  – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak
ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar Numerical Rating Scale

15
2.7.4 Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun
1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis
(0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat.
Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih
gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan
dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll
dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara
metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif
mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata
tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian
pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS
secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam
bentuk rasio. Nilai VAS antara 0  – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri
yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia.
Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien
merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat
(rescue analgetic).

Gambar Visual Analogue Scale

16
2.8 Penanganan Nyeri
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter
harus memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di
dalam pengelolaan nyeri ini terdapat prinsip- prinsip umum, yaitu :
a. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
b. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
c. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
d. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
e. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
f. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
g. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multi disiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi


nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil.
Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan
farmakologik dan non farmakologik.
Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui
patofisiologi dan pain pathway  sehingga penanganan nyeri dapat
dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia),
pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan
teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).

2.8.1 Farmakologis
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya
analgesik oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan
anestesi lokal dan opioid intraspinal.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu
pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-
obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska
pembedahan.

17
Obat Farmakologis untuk penanganan nyeri

Non Opioid analgetik  Paracetamopl


 NSAID
 Gabapentin, pregabalin
Opioid tipe lemah  Codein
 Tramadol
 Paracetamol yang
dikombinasikan dengan
tramadol ataupun codein
Opioid tipe Kuat  Morfin
 Diamorfin
 Pethidin
 piritramid
Analgetik pembantu  Petamin
 Clonidin

Tabel 2.8.1 Obat Farmakologis untuk penanganan nyeri

Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska


pembedahan berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan penderita yang
direkomendasikan oleh WHO dan WFSA. Dimana terapi analgesia yang
diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah, dapat digunakan sebagai
tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder . Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk
pengobatan nyeri itu terdiri dari :

18
a. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat
analgesik non opiat.
b. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein
c. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai
langkah ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras
yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder  dapat
diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
a. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
b. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah
3-2-1

2.8.1.1 Analgesia Multimodal


Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat
analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai
efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek
samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja.
Dimana analgesi multimodal melakukan intervensi nyeri secara
berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni:
a. Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan AINS
b. Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)
c. Peningkatan proses modulasi dengan opioid

Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang


dimungkinkan dengan penggunaan parasetamol dan AINS sebagai
kombinasi dengan opioid atau anestesi lokal untuk menurunkan tingkat
intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri
paska pembedahan ditingkat sedang sampai berat. Analgesia multimodal
selain harus diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus disertai
dengan inforced mobilization (early ambulation) disertai dengan pemberian
nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation).

19
2.8.1.2 Analgesia Preemptif
Analgesia preemptif artinya mengobati nyeri sebelum
terjadi, terutama ditujukan pada pasien sebelum dilakukan tindakan
operasi (pre-operasi). Pemberian analgesia sebelum onset dari
rangsangan melukai untuk mencegah sensistisasi sentral dan
membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Analgesia preemptif mencegah
kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang
dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan
luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri paska bedah akan sangat
menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri paska pembedahan tanpa
memakai cara analgesia preemptif. Bisa diberikan obat tunggal, misalnya
opioid, ketorolak, maupun dikombinasikan dengan opioid atau AINS
lainnya, dilakukan 20  –  30 menit sebelum tindakan operasi.

2.8.1.3 PCA (Patient Control Analgesia)

Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik


itu sendiri dengan memakai alat (pump), dosis diberikan sesuai dengan
tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA bisa diberikan dengan cara
Intravenous Patient Control Analgesia (IVPCA) atau Patient Control
Epidural Analgesia (PCEA), namun dengan cara ini memerlukan biaya
yang mahal baik peralatan maupun tindakannya

2.8.1.4 Paracetamol
Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan
antipiretik, dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat digunakan
untuk penanganan nyeri berat paska pembedahan dan terapi paliatif pada
pasien-pasien penderita kanker. Onset analgesia dari parasetamol 8 menit
setelah pemberian intravena, efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit dan
durasi analgesia 4 – 6 jam serta waktu pemberian intravena 2 – 15 menit.
Parasetamol termasuk dalam kelas “aniline analgesics” dan termasuk
dalam golongan obat antiinflamasi non steroid (masih ada perbedaan

20
pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang sedikit
dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja
dengan mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat
sintesa prostaglandin). Parasetamol juga lebih baik ditoleransi
dibandingkan aspirin dan obat AINS lainnya pada pasien-pasien
dengan sekresi asam lambung yang berlebihan atau pasien dengan
masa perdarahan yang memanjang.
Dosis pada orang dewasa sebesar 500  –  1000 mg, dengan dosis
maksimum direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol
aman digunakan untuk anak-anak dan orang dewasa.
Mekanisme kerja utama dari parasetamol adalah menghambat
siklooksigenase (COX) dan selektif terhadap COX-2. Analgetik dan
antipiretik dari parasetamol sebaning dengan aspirin dan obat AINS
lainnya, akan tetapi aktifitas anti inflamasi perifernya dibatasi oleh
beberapa faktor, dimana diantaranya terdapat kadar peroksida yang tinggi
di lesi inflamasi. Oleh karena itu selektifitas akan COX-2 tidak secara
signifikan menghambat produksi pro- clotting tromboxane. Parasetamol
menurunkan bentuk oksidasi dari enzim COX, yang melindungi dari
pembentukan kimiawi bentuk pro-inflammatory. Ini juga akan
menurunkan jumlah dari prostaglandin E2 di SSP, akibatnya
menurunkan batas ambang hipotalamus di pusat termoregulasi.
Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang
pertama bekerja dengan cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1).
Enzim COX-3 ini hampir sama dengan enzim COX lainnya dengan
menghasilkan kimiawi pro-inflammatory dan penghambat selektif oleh
parasetamol. Jalur kedua bekerja seperti aspirin dengan memblok
siklooksigenase, dimana didalam lingkungan inflamasi dengan konsentrasi
peroksida yang tinggi dan melindungi aksi kerja parasetamol dalam
keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti bahwa parasetamol tidak memiliki
efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi di SSP dimana
keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti
dari parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan.

21
Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol
dimetabolisme di hati dengan tiga jalur metabolik, yakni glucuronidation
40%, sulfation 20-40% dan N- hydroxylation serta GSH konjugasi 15%,
dengan obat dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal.
Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi
lambung, tidak mempengaruhi koagulasi darah atau fungsi ginjal.
Parasetamol dipercaya aman digunakan pada wanita hamil (tidak
mempengaruhi penutupan ductus arteriosus), tidak seperti efek yang
ditimbulkan oleh penggunaan obat AINS. Tidak seperti aspirin,
parasetamol tidak berhubungan dengan resiko penyebab sindroma Reye
pada anak-anak dengan penyakit virus. Satu-satunya efek samping dari
penggunaan parasetamol adalah resiko terjadi hepatotoksik dan gangguan
gastrointestinal pada penggunaan dosis tinggi, yaitu diatas 20.000 mg
perhari.

2.8.1.5 Ketorolax
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan
anti inflamasi non steroid, yang masuk kedalam golongan derivate
heterocyclic acetic acid dimana secara struktur kimia berhubungan dengan
indometasin. Ketorolak menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi
hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara
intramuskular atau intravena.
Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan
sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak
mempotensiasi aksi nosiseptif dari opioid.

Gambar 2.8.4. Rumus Bangun Ketorolak

(±) – 5 – benzoyl - 2,3 – dihydro - 1H – pyrrolizine – 1 – carboxylic acid, 2


- amino 2 (hydroxymethyl) - 1,3 – propanediol.

22
Mekanisme kerja utama dari ketorolak adalah menghambat sistesa
prostaglandin dengan berperan sebagai penghambat kompetitif dari enzim
siklooksigenase (COX) dan menghasilkan efek analgesia. Seperti
AINS pada umumnya, ketorolak merupakan penghambat COX non
selektif. Efek analgesianya 200  – 800 kali lebih poten dibandingkan
dengan pemberian aspirin, indometasin, naproksen dan fenil
butazon pada beberapa percobaan di hewan.
Sedangkan efek anti inflamasinya kurang dibandingkan efek
analgesianya, dimana efek anti inflamasinya hampir sama dengan
indometasin11,66. Setelah injeksi intramuskular dan intravena, onset
analgesia tercapai dalam waktu 10 menit dengan efek puncak 30 – 60
menit dan durasi analgesia 6  –  8 jam dengan waktu pemberian intravena >
15 detik. Bioavailibilitas dari ketorolak 100% dengan semua jalur
pemberian baik intravena maupun intramuskular. Metabolisme
berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di hati. Obat
dan hasil metabolitnya akan diekskresikan melalui ginjal 90% dan bilier
sekitar 10%66,68. Efek samping dari ketorolak bisa bermacam-macam,
yaitu:
1. Secara umum
Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit
nasal poliposis, asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi
edema laring, anafilaksis, edema lidah, demam dan flushing.
2. Fungsi platelet dan hemostatik
Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen sehingga
mencetuskan agregasi platelet sehingga waktu perdarahan dapat
meningkat pada pasien yang mendapatkan anestesi spinal, akan tetapi tidak
pada pasien yang mendapat anestesi umum. Perbedaan ini dimungkinkan
karena reflek status hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin
karena stress pembedahan berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal.
Dapat juga terjadi purpura, trombositopeni, epistaksis, anemia dan
leukopeni.

23
3. Gastrointestinal
Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual,
muntah, dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.
4. Kardiovaskuler; Hipertensi, palpitasi, pallor dan syncope
5. Dermatologi; Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Stevens-Jhonson,
sindroma Lyell
6. Neurologi Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang,
vertigo, tremor, halusinasi, euforia, insomnia dan gelisah.
7. Pernafasan; Dispnu, asma, edema paru, rhinitis dan batuk
8. Urogenital; Gagal ginjal akut dan poliuri.

2.8.2 Non Farmakologis


Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun
banyak pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang
untuk nyeri yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong
dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik untuk mengatasi
nyeri. Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi
kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun
digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam
penatalaksanaan nyeri.
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan
untuk membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti
menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme
otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri
kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah
laku) dan rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal Cord
Stimulation, Intracerebral Stimulation).

a. Terapi dan Modalitas Fisik


Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi
kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi

24
panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat
non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi
serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri
dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat
menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya
yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan
adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah
tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh
tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi
lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila
dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan
efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari
suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah
melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya
diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan
untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri
punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis
rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri.
Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah
memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah
nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot.
Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan
pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz
bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat

25
memar, spasme otot, dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena
melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas
jangan digunakan setelah cidera traumatik saat masih ada edema dan
peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredekan
nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin,
histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi
dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar,
tersayat, terkilir). Dingin dapat disalurkan dalam bentuk berendam atau
komponen air dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi
dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema
serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek
analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls
nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin
bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri.
b. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi
pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien
perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi
ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan
biofeedback. Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku
menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya
tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga
dan bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang
menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,
ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-
stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan
memfokuskan perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri.
Menonton televisi, membaca buku, mendengar musik, dan melakukan

26
percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk
pengalihan fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan
atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk
mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering
dikombinasikan dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada
bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini
juga bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian
pasien ke bayangan-bayangan yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada
kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter
fisiologik tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar
mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot,
kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.

27
BAB III
KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu


kerusakan atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila
seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut  International
Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri pascaoperasi haruslah dapat
dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen nyeri yang
baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik
tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam
menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid,
OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk
mencapai hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing
individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled
Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif dan
menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan
tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan
ekonomi pasien.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Conn D, Murdoch J. Manajemen Nyeri Akut. In : Kedokteran Perioperatif.


Oxford University Press ; 2000. p.57-69.
2. Guyton, A C & Hall, J E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor Bahasa
Indonesia : Irawati Setiawan Edisi 9. Jakarta: EGC. 1997
3. Jensen MP, Martin SA, Cheung R. The meaning of pain relief in a clinical trial.
The Journal of Pain. 2015 ; 6 (6) : 400-6.
4. Tanra AH. Pengelolaan Nyeri Paska Bedah. Pertemuan Ilmiah Berkala (PIB)
IX IDSAI. Medan ; 2002 : 413.
5. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.
6. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UI, Jakarta, 2001.
7. Conn D, Murdoch J. Manajemen Nyeri Akut. In : Kedokteran Perioperatif.
Oxford University Press ; 2000. p.57-69.

29

Anda mungkin juga menyukai