MANAJEMEN NYERI
Pembimbing
dr. Riza Mulyadi, Sp. An, FIPM
Penyusun
Ulul Azmi : 19174035
Rahmiati : 19174036
Meldi Rosimah : 19174036
Muat Mualiana Bancin : 19174036
Ulfatul Jazila : 19174036
Nadia Zuhra : 19174036
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas anugerah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan
judul Management Nyeri. Referat ini penulis susun sebagai bagian dari proses
belajar penulis selama kepaniteraan klinik di SMF Anastesi RSUD Meuraxa.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.
selaku pembimbing karena telah meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan Referat ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih ada keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan dalam penulisan tugas laporan kausus ini. Untuk itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun supaya karya penulis dapat
bermanfaat bagi kita semua kedepannya. Terimakasih.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Fisiologi Nyeri.....................................................................................3
2.2 Mekanisme Nyeri................................................................................5
2.3 Nosisseptor (reseptor Nyeri)................................................................6
2.4 Perjalanan Nyeri ( Nociceptive Pathway )..........................................8
2.5 Mekanisme Kerja Obat Analgetik.......................................................9
2.6 Klasaifikasi Nyeri..............................................................................10
2.7 Penilaian Nyeri..................................................................................14
2.8 Penanganan Nyeri..............................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah
menyebar ke berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri
yang dirasakanya tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif
atau diagnostik, tetapi akan menambah penderitaannya semakin berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya
tidak saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri
itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia
dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun
lingkungannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi
4
katabolisme
5
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
6
jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu
(panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal,
nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang
cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting ). Nosiseptor
mencegah perambatan sinyal acak ( skrining fungsi) ke SSP untuk
interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan
lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke
pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda
dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi
karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada
kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri
biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut
berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi
pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik
tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.
Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus
panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang
banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai
aktivitas nociceptor-like. Serat –s erat sensorik mekanoreseptor bisa
diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika
daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia
mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan
mekanoreseptor A-beta.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak
didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar
pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya
merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila
dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan
mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme
7
berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan
nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.
8
cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
2.4.4 Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan
menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks
sebagai diskriminasi dari sensorik.
9
itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap
suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang
mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS
memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator
prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang
positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung,
penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan
dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang
diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.
COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal
dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi
platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya,
COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma
(otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan
kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam
merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi
sentral.
10
hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau
nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai
penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ
dysfunction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik
elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri
punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai
kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi
pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat
pengobatan menjadi lebih sulit.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan
gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat,
diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai
pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul
ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada atau
tidaknya nyeri.
11
2.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropati
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri
neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh
rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi
maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung
jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan
respon terhadap analgesik opioid atau non opioid.
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat
kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat
yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya
digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang
mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik
terhadap analgesik opioid.
12
pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.
Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan
toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan
sistem saraf simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring
melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang
lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral.
Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian
tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari
empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk
ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls
nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia
miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor.
Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri.
13
peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding
abdomen, rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord
pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi langsung pada
permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah.
14
2.7.2 Verbal Rating Scale ( VRS)
15
2.7.4 Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun
1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis
(0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat.
Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih
gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan
dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll
dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara
metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif
mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata
tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian
pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS
secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam
bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri
yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia.
Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien
merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat
(rescue analgetic).
16
2.8 Penanganan Nyeri
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter
harus memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di
dalam pengelolaan nyeri ini terdapat prinsip- prinsip umum, yaitu :
a. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
b. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
c. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
d. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
e. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
f. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
g. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multi disiplin
2.8.1 Farmakologis
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya
analgesik oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan
anestesi lokal dan opioid intraspinal.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu
pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-
obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska
pembedahan.
17
Obat Farmakologis untuk penanganan nyeri
18
a. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat
analgesik non opiat.
b. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein
c. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai
langkah ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras
yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat
diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
a. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
b. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah
3-2-1
19
2.8.1.2 Analgesia Preemptif
Analgesia preemptif artinya mengobati nyeri sebelum
terjadi, terutama ditujukan pada pasien sebelum dilakukan tindakan
operasi (pre-operasi). Pemberian analgesia sebelum onset dari
rangsangan melukai untuk mencegah sensistisasi sentral dan
membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Analgesia preemptif mencegah
kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang
dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan
luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri paska bedah akan sangat
menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri paska pembedahan tanpa
memakai cara analgesia preemptif. Bisa diberikan obat tunggal, misalnya
opioid, ketorolak, maupun dikombinasikan dengan opioid atau AINS
lainnya, dilakukan 20 – 30 menit sebelum tindakan operasi.
2.8.1.4 Paracetamol
Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan
antipiretik, dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat digunakan
untuk penanganan nyeri berat paska pembedahan dan terapi paliatif pada
pasien-pasien penderita kanker. Onset analgesia dari parasetamol 8 menit
setelah pemberian intravena, efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit dan
durasi analgesia 4 – 6 jam serta waktu pemberian intravena 2 – 15 menit.
Parasetamol termasuk dalam kelas “aniline analgesics” dan termasuk
dalam golongan obat antiinflamasi non steroid (masih ada perbedaan
20
pendapat). Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang sedikit
dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja
dengan mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat
sintesa prostaglandin). Parasetamol juga lebih baik ditoleransi
dibandingkan aspirin dan obat AINS lainnya pada pasien-pasien
dengan sekresi asam lambung yang berlebihan atau pasien dengan
masa perdarahan yang memanjang.
Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan dosis
maksimum direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini parasetamol
aman digunakan untuk anak-anak dan orang dewasa.
Mekanisme kerja utama dari parasetamol adalah menghambat
siklooksigenase (COX) dan selektif terhadap COX-2. Analgetik dan
antipiretik dari parasetamol sebaning dengan aspirin dan obat AINS
lainnya, akan tetapi aktifitas anti inflamasi perifernya dibatasi oleh
beberapa faktor, dimana diantaranya terdapat kadar peroksida yang tinggi
di lesi inflamasi. Oleh karena itu selektifitas akan COX-2 tidak secara
signifikan menghambat produksi pro- clotting tromboxane. Parasetamol
menurunkan bentuk oksidasi dari enzim COX, yang melindungi dari
pembentukan kimiawi bentuk pro-inflammatory. Ini juga akan
menurunkan jumlah dari prostaglandin E2 di SSP, akibatnya
menurunkan batas ambang hipotalamus di pusat termoregulasi.
Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang
pertama bekerja dengan cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1).
Enzim COX-3 ini hampir sama dengan enzim COX lainnya dengan
menghasilkan kimiawi pro-inflammatory dan penghambat selektif oleh
parasetamol. Jalur kedua bekerja seperti aspirin dengan memblok
siklooksigenase, dimana didalam lingkungan inflamasi dengan konsentrasi
peroksida yang tinggi dan melindungi aksi kerja parasetamol dalam
keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti bahwa parasetamol tidak memiliki
efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi di SSP dimana
keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti
dari parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan.
21
Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol
dimetabolisme di hati dengan tiga jalur metabolik, yakni glucuronidation
40%, sulfation 20-40% dan N- hydroxylation serta GSH konjugasi 15%,
dengan obat dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal.
Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi
lambung, tidak mempengaruhi koagulasi darah atau fungsi ginjal.
Parasetamol dipercaya aman digunakan pada wanita hamil (tidak
mempengaruhi penutupan ductus arteriosus), tidak seperti efek yang
ditimbulkan oleh penggunaan obat AINS. Tidak seperti aspirin,
parasetamol tidak berhubungan dengan resiko penyebab sindroma Reye
pada anak-anak dengan penyakit virus. Satu-satunya efek samping dari
penggunaan parasetamol adalah resiko terjadi hepatotoksik dan gangguan
gastrointestinal pada penggunaan dosis tinggi, yaitu diatas 20.000 mg
perhari.
2.8.1.5 Ketorolax
Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan
anti inflamasi non steroid, yang masuk kedalam golongan derivate
heterocyclic acetic acid dimana secara struktur kimia berhubungan dengan
indometasin. Ketorolak menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi
hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara
intramuskular atau intravena.
Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan
sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak
mempotensiasi aksi nosiseptif dari opioid.
22
Mekanisme kerja utama dari ketorolak adalah menghambat sistesa
prostaglandin dengan berperan sebagai penghambat kompetitif dari enzim
siklooksigenase (COX) dan menghasilkan efek analgesia. Seperti
AINS pada umumnya, ketorolak merupakan penghambat COX non
selektif. Efek analgesianya 200 – 800 kali lebih poten dibandingkan
dengan pemberian aspirin, indometasin, naproksen dan fenil
butazon pada beberapa percobaan di hewan.
Sedangkan efek anti inflamasinya kurang dibandingkan efek
analgesianya, dimana efek anti inflamasinya hampir sama dengan
indometasin11,66. Setelah injeksi intramuskular dan intravena, onset
analgesia tercapai dalam waktu 10 menit dengan efek puncak 30 – 60
menit dan durasi analgesia 6 – 8 jam dengan waktu pemberian intravena >
15 detik. Bioavailibilitas dari ketorolak 100% dengan semua jalur
pemberian baik intravena maupun intramuskular. Metabolisme
berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di hati. Obat
dan hasil metabolitnya akan diekskresikan melalui ginjal 90% dan bilier
sekitar 10%66,68. Efek samping dari ketorolak bisa bermacam-macam,
yaitu:
1. Secara umum
Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit
nasal poliposis, asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi
edema laring, anafilaksis, edema lidah, demam dan flushing.
2. Fungsi platelet dan hemostatik
Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen sehingga
mencetuskan agregasi platelet sehingga waktu perdarahan dapat
meningkat pada pasien yang mendapatkan anestesi spinal, akan tetapi tidak
pada pasien yang mendapat anestesi umum. Perbedaan ini dimungkinkan
karena reflek status hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin
karena stress pembedahan berbeda pada anestesi umum dan anestesi spinal.
Dapat juga terjadi purpura, trombositopeni, epistaksis, anemia dan
leukopeni.
23
3. Gastrointestinal
Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual,
muntah, dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis.
4. Kardiovaskuler; Hipertensi, palpitasi, pallor dan syncope
5. Dermatologi; Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Stevens-Jhonson,
sindroma Lyell
6. Neurologi Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang,
vertigo, tremor, halusinasi, euforia, insomnia dan gelisah.
7. Pernafasan; Dispnu, asma, edema paru, rhinitis dan batuk
8. Urogenital; Gagal ginjal akut dan poliuri.
24
panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat
non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi
serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri
dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat
menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya
yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan
adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah
tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh
tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi
lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila
dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan
efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari
suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah
melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya
diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan
untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri
punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis
rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri.
Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah
memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah
nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot.
Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan
pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz
bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat
25
memar, spasme otot, dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena
melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas
jangan digunakan setelah cidera traumatik saat masih ada edema dan
peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredekan
nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin,
histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi
dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar,
tersayat, terkilir). Dingin dapat disalurkan dalam bentuk berendam atau
komponen air dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi
dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema
serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek
analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls
nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin
bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri.
b. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi
pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien
perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi
ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan
biofeedback. Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku
menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya
tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga
dan bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang
menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,
ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-
stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan
memfokuskan perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri.
Menonton televisi, membaca buku, mendengar musik, dan melakukan
26
percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk
pengalihan fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan
atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk
mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering
dikombinasikan dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada
bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini
juga bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian
pasien ke bayangan-bayangan yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada
kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter
fisiologik tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar
mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot,
kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.
27
BAB III
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29