Anda di halaman 1dari 12

Latar Belakang

A. Pengertian Materialitas

Materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing, terutama standar


pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Oleh karena itu, materialitas mempunyai
pengaruh yang mencakup semua aspek audit dalam audit atas laporan keuangan
(Mulyadi, 2002). Materialitas merupakan besarnya nilai yang jika dihilangkan atau
salah saji informasi akuntansi, dapat mengakibatkan perubahan keputusan atau
berpengaruh terhadap informasi tersebut.

1. Konsep Materialitas
Financial Accounting Standars Board mendefinisikan materialitas
(materiality) sebagai besarnya suatu pengabaian salah saji informasi akuntansi
yang dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan seseorang yang
mengandalkan informasi tersebut mungkin berbah atau terpengaruh oleh
penghapusan atau salah saji tersebut.
SA Seksi 312 Risiko Audit dan Materualitas Audit memberikan panduan bagi
auditor dalam mempertimbangkan risiko dan materialitas pada saat perencanaan
dan pelaksanaan audit atas laporan keuangan berdasarkan standar auditing yang
ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Risiko audit dan materialitas
mempengaruhi penerapan standar anditing, khususnya standar pekerjaan lapangan
dan standar pelaporan, serta tercermin dalam laporan auditor bentuk baku. Risiko
audit dan materialitas, bersama dengan hal-hal lain, perlu dipertimbangkan dalam
menentukan sifat, saat, dan lingkup prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil
prosedur tersebut.
Perlu diingat bahwa, jumlah yang material antara satu entitas dan entitas
lainnya adalah berbeda-beda. Sehingga auditor diharapkan memahami betul dari
segi pergerakan bisnis entitas, sifat serta ukuran entitas bukan disamakan dengan
entitas lain meskipun bergerak pada roda bisnis yang sama. Misalnya, ada dua
perusahaan yang sama-sama bergerak di bidang manufaktur, auditor tidak bisa
langsung menentukan materialitas di perusahaan tersebut berdasarkan kesamaan
pergerakan bidang usaha mereka. Bisa jadi, di perusahuan pertama, angka Rp500
juta dapat dikatakan material, namun pada perusahaan yang kedua, nilai Rp500
juta itu belum tentu material. Oleh karena itu, auditor harus menginvestigasi lagi
laporan keuangan entitas tersebut, serta bukti-bukti yang mendukung besar
kecilnya kekayaan entitas dan dari situ dapat ditentukan berapa materialitas yang
dikenakan pada suatu akun tertentu.
Konsep materialitas ini penting karena auditor tidak dapat menjamin
kepada klien atau pemakai laporan keuangan bahwa laporan keuangan auditan
tersebut akurat. Hal tersebut disebabkan oleh auditor tidak memeriksa seluruh
transaksi. Hanya berdasarkan sampling saja. Memeriksa seluruh transaksi
yang terjadi di perusahaan dapat memakan waktu yang sangat lama dan biaya
yang tidak sedikit dan jauh dari manfaat yang dihasilkan. Selain itu, laporan
keuangan berisi pendapat, estimasi, dan pertimbangan tersebut tidak tepat atau
akurat seratus persen. Oleh sebab itu, dalam audit laporan keuangan, Mulyadi
(2002) menyimpulkan bahwa auditor dapat memberikan keyakinan
(assurance) dalam bentuk sebagai berikut.
a. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan
dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas,
digolongkan, dan dikompilasi.
b. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti
audit yang kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk
memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan.
c. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat
(memberikan informasi, dalam hal terdapat perkecualian), bahwa laporan
keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat
salah saji material dari kekeliruan dan kecurangan.

Auditor menerapkan lima Langkah yang saling terkait untuk menetapkan


materialistis, seperti yang diperhatikan pada gambar 8.1 sebagai berikut.
2. Pertimbangan Pendahuluan atas Materialitas
Penilaian ini sering kali disebut sebagai materialitas perencanaan (planning
materially). Materialitas ini berbeda dari tingkat meterialitas yang digunakan
pada penyelesaian audit dalam mengevaluasi temuan audit, karena (1) situasi
yang ada di sekitarnya mungkin berubah, dan (2) informasi tambahan klien
yang diperoleh selama pelaksanaan audit. Misalnya, pada awalnya auditor
meragukan keberlangsungan usaha klien. Namun, ternyata selama audit
berlangsung klien memperoleh sumber pembelanjaan untuk melanjutkan
usahanya. Oleh karena inu, bisa dipastikan bahwa solvabilitas klien menjadi
meningkat pada tahun tersebut. Pada kasus ini tentu saja pada akhirnya
auditor menentukan tingkat materialitas yang lebih tinggi ketimbang
sebelumnya (pada materialitas perencanaan).
Boynton (2006) merumuskan bahwa pada perencanaan audit, auditor
harus menilai materialitas pada dua tingkat sebagai berikut.
a. Tingkat laporan keuangan, karena opini auditor atas kewajaran meluas
sampai ke laporan keuangan secara keseluruhan.
b. Tingkat saldo akun, karena auditor menguji saldo akon dalam memperoleh
kesimpulan keseluruhan atas kewajaran laporan keuangan.

3. Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan


Materialitas laporan keuangan (financial statement materiality) adalah saji
agregat minimum dalam suatu laporan keuangan yang cukup penting untuk
mencegah laporan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip
akuntansi berlaku umum (PABU). Boynton (2006) menyimpulkan bahwa,
pada perencanaan audit, auditor harus mengakui bahwa terdapat lebih dari
satu tingkat materialitas yang berhubungan dengan laporan keuangan. Setiap
laporan pada kenyataannya, dapat memiliki beberapa tingkatan. Bagi laporan
laba-rugi. materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laha
operasi, laba sebelum pajak, atau laba bersih. Bagi neraca, materialitas dapat
didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau ekuitas
pemegang saham. Perlu diingat bahwa, materialitas memiliki hubungan
terbalik dengan bukti audit. Semakin kecil tingkat materialitas yang ditetapkan
oleh auditor, maka semakin banyak pula bukti yang diperlukan. Sebaliknya,
semakin besar tingkat materialitas yang ditentukan, maka semakin sedikit
bukti yang diperlukan. Namun, risiko yang dapat terjadi yaitu apabila pada
tingkat materialitas sebetulnya terdapat salah saji tetapi tidak tersentuh oleh
auditor karena dianggap tidak melampaui batas materialitas. Padahal saldo
tersebut sebetulnya dapat mempengaruhi pendapat auditor atas kewajaran
laporan keuangan entitas.
Suatu pertimbangan pendahuluan atas materialitas pada awalnya
auditor dapat menentukan tingkat agregat (keseluruhan) materialitas untuk
setiap laporan. Sebagai contoh, auditor dapat memperkirakan bahwa jumlah
salah saji material adalah sebesar Rp5 juta untuk laporan laba-rugi dan Rp10
juta untuk neraca. Pada keadaan ini, anditor tidak semestinya menggunakan
materialitas neraca dalam perencanaan audit karena jika salah saji neraca
sebesar Rp10 juta berdampak pula terhadap laporan laba-rugi, sehingga
laporan laba-rugi menjadi salah saji secara material. Oleh karena itu, pada
perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan
terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar
aturan ini dibuat karena (1) laporan keuangan berhubungan antara satu dengan
yang lainnya, dan (2) banyak prosedur yang berkaitan dengan lebih dari satu
laporan keuangan. Sebagai contoh, prosedur audit untuk menentukan apakah
pembelian dengan cara utang pada akhir tahun dicatat dalam periode
akuntansi yang seharusnya memberikan bukti yang tercantum dalam utang
usaha/dagang (laporan posisi keuangan) dan pembelian (laporan laba-rugi).
Pertimbangan awal auditor terhadap materialitas sering kali dibuat
enam sampai dengan sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu,
pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang
dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut didasarkan atas hasil
keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan
perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan kecenderungan
pertumbuhan industri.
Pertimbangan materialitas juga melibatkan pertimbangan kualitatif dan
kuantitatif. Berikut ini disajikan contoh kuantitatif dan kualitatif yang
dilakukan oleh auditor dalam mempertimbangkan materialitas.
a. Faktor kualitatif, hubungan salah saji dengan jumlah kunci dalam laporun,
dalam bentuk:
1) laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan:
2) total aktiva dalam neraca;
3) total ekuitas pemegang saham dalam neraca.
b. Faktor kualitatif, dalam bentuk:
1) kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum
2) kemungkinan terjadinya kecurangan:
3) syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang
mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa rasio keuangan
pada tingkat minimum tertentu;
4) adanya gangguan dalam kecenderungan pertumbuhan laba;
5) sikap manajemen atas integritas laporan keuangan.

Mulyadi (2002) memberikan contoh praktik auditor dalam


menentukan materialitas sebagai berikut, auditor dapat memutuskan bahwa
kombinasi salah saji berjumlah 8% dari laba bersih sebelum pajak dipandang
material untuk laporan laba-rugi. Oleh karena ini, jika kombinasi salah saji
kurang dari 3%, auditor memandangnya sebagai salah saji yang tidak
material. Salah saji yang berada di antara 3% dan 8% memerlukan
pertimbangan auditor untuk memutuskan materialitasnya, Jika misalnya, laba
bersih sebelum pajak yang dipakai sebagai kunci berjumlah Rp100 juta, maka
batas materialitas (materiality borders) untuk laporan laba-rugi berada dalam
kisaran Rp3.000.000 sampai dengan Rp8.000.000. Batas bawah dihitung 3% x
Rp100.000.000 dan batas atas dihitung 8% * Rp100.000.000. Auditor dapat
menerapkan cara yang sama dalam menentukan batas materialitas untuk total
aktiva, aktiva lancar, ekuitas pemegang saham dalam neraca. Misalnya,

1. Untuk total aktiva dalam neraca: Rp41 juta sd.Rp100 juta.


2. Untuk aktiva lancar dalam neraca: Rp25 juta s.d. Rp60 juta
3. Untuk total ekuitas pemegang Rp15jutas.d. Rp45 juta
saham dalam neraca:

Pada surat edaran Bappepam disebutkan bahwa pengertian material


adalah 5% dari jumlah seluruh aktiva untuk akun-akun aktiva, 5% dari jumlah
seluruh kewajiban untuk akun-akun kewajiban, 5% dari jumlah seluruh
ekuitas untuk akun-akun ekuitas, 10% dari pendapatan untuk akun-akun laba
rugi, dan 10% dari laba sebelum pajak untuk pengaruh suatu peristiwa atau
transaksi seperti perubahan estimasi akuntansi.

4. Materialitas pada Tingkat Saldo Akun

Materialitas saldo akun (account balance materiality) adalah salah saji


minimum yang dapat muncul dalam suatu saldo akun hingga dianggap salah
saji material. Salah saji tingkat tersebut dikelan sebagai salah saji yang dapat
ditolerir (tolerable misstatement). Konsep materialitas pada tingkat saldo akun
tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun
material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep
materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi
keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo akun yang tercatat umumnya
mencerminkan batas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh
karena itu, akun dengan saldo yang lebih kecil dibandingkan dengan
materialitas sering kali disebut tidak material terhadap risiko salah saji.
Namun, tidak terdapat batasan terhadap jumlah saldo akun yang diduga
kurang saji (understatement) yang mungkin secara individual tidak material,
atau dapat melampaui batas materialitasnya.
Auditor harus mempertimbangkan hubungan antara materialitas pada
saldo akun dan materialitas pada tingkat laporan keuangan ketika membuat
pertimbangan atas materialitas pada tingkat saldo akun. Pertimbangan ini
harus mengarahkan auditor bahwa apabila ditemukan akun individu tidak
mengandung salah saji secara material, namun ketika digabungkan akan
tersebut mengandung salah saji yang material terhadap laporan keuangan
secara keseluruhan.

5. Mengalokasikan Pertimbangan Pendahuluan


Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan atas materialitas ke
seluruh segmen-segmen yang salah saji dapat ditoleransi perlu dilakukan.
Dalam melakukan alokasi materialitas, auditor harus mempertimbangkan
kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang
harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut. Misalnya, salah saji
lebih (overstatement) kemungkinan lebih besar terdapat pada akun sediaan
ketimbang aset tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit sediaan lebih
mahal ketimbang mengaudit aset tetap. Sebagai contoh, misalnya PT. A
memiliki komposisi aset sebagai berikut.
Auditor memperkirakan bahwa salah saji kemungkinan kecil terdapat
pada kas dan aset tetap. Apabila dilibat dari bentuk fisiknya kas dan aset
memiliki kemungkinan terdapat salah saji. Sedangkan akun persediaan dan
piutang usaha lebih besar memiliki kemungkinan salah saji ketimbang kas dan
aset tetap Misalnya, jika perkiraan awal materialitan laporan keuangan adalah
1% dari total aktiva, atau Rp2.000.000. Auditor tersebut dapat
mempertimbangkan dua alternatif di dalam mengalokasikan materialitas
laporan keuangan ke akun secara individual dengan cara sebagai berikut.

Pada alternatif A, materialitas masih dialokasikan secara proporsional ke


dalam setiap akun. Namun, masalah yang timbul apabila auditor menggunakan
alokasi ini adalah auditor membuang banyak waktu dan biaya untuk mendeteksi akun
yang sebetulnya tidak rentan salah saji. Sebaiknya, auditor dapat menggunakan
alternatif B. dalam hal alokasi materialitas paling besar dialokasikan pada akun
piutang usaha dan persediaan karena akun inilah yang dianggap banyak terdapat salah
saji.

6. Mengestimasi Salah Saji


Mengestimasi salah saji dilakukan dengan cara membandingkannya dengan
pertimbangan pendahuluan. Pada Gambar 8.1, fokus utama pada bahasan ini adalah
langkah pertama dan langkah kedua. Sedangkan tiga langkah terakhir dibahas pada
subbab-subbab selanjutnya.

Ketika melaksanakan prosedur audit untuk setiap segmen audit, auditor


membuat kertas kerja untuk mencatat semua salah saji yang ditemukan. Salah saji
yang ditemukan dalam suatu akun dapat dibedakan menjadi dua jenis (Arens, 2006),
yakni salah saji yang diketahui dan salah saji yang mungkin terjadi. Salah saji yang
diketahui (known misstatement) adalah salah saji dalam akun yang jumlahnya dapat
ditentukan oleh auditor. Sebagai contoh, ketika mengaudit properti, pabrik, dan
peralatan, auditor mungkin mengidentifikasi lease peralatan yang dikapitalisasi,
padahal seharusnya dibebankan karena menipakan lease operasi. Selain itu, salah saji
yang mungkin (likely misstatement) terbagi lagi menjadi dua jenis. Jenis yang
pertama adalah salah saji yang berasal dari perbedaan antara pertimbangan
manajemen dan auditor tentang estimasi saldo akun. Contohnya adalah perbedaan
estimasi penyisihan untuk piutang tak tertagih atau kewajiban garansi. Jenis yang
kedua adalah proyeksi salah saji berdasarkan pengujian auditor atas sampel dari suatu
populasi. Misalnya auditor menemukan salah saji dalam sampel yang terdiri atas 200
barang ketika menguji persediaan. Auditor tersebut menggunakan salah saji tersebut
untuk mengambil kesimpulan atas keseluruhan persediaan yaitu keseluruhan sediaan
mengandung salah saji. Tabel 8.1 menyajikan ringkasan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi penetapan materialitas oleh auditor.
7. Hubungan antara Materialitas dan Bukti Audit
Materialitas merupakan satu di antara berbagai faktor yang mempengaruhi
pertimbangan auditor terhadap kecukupan bukti audit. Perlu diingat, jumlah bukti
audit memiliki hubungan terbalik dengan materialitas. Semakin kecil tingkat
materialitas yang ditetapkan, maka diperlukan bukti audit yang banyak. Namun
sebaliknya, apabila tingkat materialitas yang ditetapkan adalah besar maka, bukti
audit yang diperlukan adalah sedikit.
DAFTAR PUSTAKA

https://heleninfo.wordpress.com/2013/10/18/kode-etik-profesi-akuntan-publik/
https://id.wikipedia.org/wiki/Akuntan_publik di akses 17/10/2015 Kode-etik-profesi-
akuntan-publik.Pdf - IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) http://rose-
mia.blogspot.co.id di akses 17/10/2015

Anda mungkin juga menyukai