Anda di halaman 1dari 14

RHINITIS

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9

Annisa Nurul Pertiwi (2013016184)

Ainun Saputri A.M. Tappi (2013016167)

Agnes Delia Lestari (2013016183)

A. Asmaul Husna (2013016087)

Muhammad Rizky (2013016093)

Tasya Egita Queentari (2013016074)

KELAS :

FARMASI B 2020

UNIVERSITAS MULAWARMAN

FAKULTAS FARMASI

2021
PENDAHULUAN

Pengertian
Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling
umum dijumpai. RA didefinisikan sebagai suatu penyakit inflamasi yang dimediasi
imunoglobulin E (IgE) setelah terjadi suatu paparan terhadap membran mukosa
hidung oleh alergen tertentu.

Etiologi
Disebabkan oleh Aeroalergen atau alergen inhalan yang merupakan alergen
yang paling sering menyebabkan RA. Alergen tersebut dapat berasal dari indoor
maupun outdoor, contohnya tungau, binatang peliharaan, serangga, tumbuhan,
pollen, dan mold.

Patofisiologi

Antigen masuk ke dalam tubuh → Dikenali oleh sel B → Memicu


terbentuknya sel plasma → Melepaskan Antibodi IgE → IgE berikatan dengan Fc
reseptor pada sel mast dan basophil → Ikatan IgE dengan reseptor menghasilkan
transduksi sinyal → Peningkatan kadar Ca intraseluler → Pelepasan histamin dari
sel mast dan basophil → Rhinitis alergi.
Selain itu interaksi IgE dengan reseptornya mengakibatkan teraktivasinya
fosfolipase A2, yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga
terbentuklah sejumlah mediator radang. Sehingga pada pengobatannya diperlukan
obat-obat antihistamin dan kostikoteroid

OBAT-OBATAN

A. OBAT AINS
1. Betametason

Struktur Betametason

a. Mekanisme Kerja Obat


Betametason merupakan long acting glukorkotikoid yang bekerja
dengan cara menekan atau mengurangi pembentukan, pelepasan dan
aktivitas mediator inflamasi, termasuk prostaglandin, kinin, histamin,
enzim liposom dan juga mengubah respon imun tubuh (Tatro, 2003).
Betametason merupakan agonis reseptor glukokortikoid. Betametason
menyebabkan perubahan ekspresi genetik pada ikatan kompleksnya
dengan GRE. Aksi antiinflamasi dari kortikosteroid diduga melibatkan
lipocortins, menghambat protein fosfolipase A2, dimana akan
menghambat asam arakidonat, mengatur biosintesis prostaglandin dan
leukotrien. Sistem kekebalan tubuh ditekan oleh kortikosteroid karena
pengurangan fungsi sistem limfatik, pengurangan limfatik, presipitasi
limfositopenia dan gangguan pengikatan antigen-antibodi. Betametason
mengikat transcortin plasma, dan menjadi aktif ketika tidak terikat
transcortin.

b. Farmakokinetik
1) Penyerapan
Mudah diserap dari saluran pencernaan (oral); diserap perkutan
(topikal). Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma puncak: 10-36
menit (IV).
2) Distribusi
Melewati plasenta dan memasuki ASI. Ikatan protein plasma: 64%.
3) Metabolisme
Dimetabolisme terutama di hati.
4) Ekskresi
Melalui urin (<5% sebagai obat yang tidak berubah). Waktu paruh
eliminasi: 6,5 jam.

c. Farmakodinamik
Betamethasone topikal mengurangi inflamasi dengan cara
menstabilisasi membran liposomal leukosit, mencegah pelepasan asam
hidrolase dari leukosit, menghambat akumulasi makrofag pada area
yang radang mengurangi adhesi leukosit pada endotel kapiler,
mengurangi permeabilitas dinding kapiler dan edema, menurunkan
komponen komplemen, antagonis terhadap aktivitas histamin dan
pelepasan kinin dari substrat, dan mengurangi proliferasi fibroblas,
deposisi kolagen, dan pembentukan jaringan parut.

d. Efek Samping
a) Sakit kepala
b) Lelah atau lemas
c) Sulit tidur
d) Sakit perut, mual, atau gangguan pencernaan
e) Perubahan suasana hati terutama pada awal pengobatan
f) Siklus haid tidak teratur
g) Rasa terbakar, gatal, dan bengkak pada kulit yang diolesi atau pada
area penyuntikan

2. Parasetamol
a. Mekanisme Kerja Obat
Parasetamol bekerja secara non selektif dengan menghambat
enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2). Pada cox-1 memiliki efek
cytoprotektif yaitu melindungi mukosa lambung, apabila dihambat akan
terjadi efek samping pada gastrointestinal. Sedangkan ketika cox-2
dihambat akan menyebabkan menurunnya produksi prostaglandin.
Prostaglandin merupakan mediator nyeri, demam dan anti inflamasi.
Sehingga apabila parasetamol menghambat prostaglandin menyebabkan
menurunnya rasa nyeri. Sebagai Antipiretik, parasetamol bekerja
dengan menghambat cox-3 pada hipotalamus.

b. Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu
tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang
lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak telihat pada
obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam
basa.
c. Farmakokinetik
Parasetamol di absorpsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam wakti ½ jam
dan waktu paruh plasma antara 1-3 jam. Dalam plasma, 25%
parasetamol terikat protein plasma. Obat ini di metabolism oleh enzim
mikrosom hati. Sebagian parasetamol (80 %) dikonjugasi dengan asam
glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat.

d. Efek samping
Jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi
hipersensitivitas, ruam kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia,
leukopenia, neutropenia), hipotensi juga dilaporkan pada infus,
PENTING: Penggunaan jangka panjang dan dosis berlebihan atau
overdosis dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat pengobatan pada
keadaan darurat karena keracunan.

B. OBAT NSAID
1. Aspirin
a. Mekanisme Kerja Obat
Mekanisme kerja aspirin terutama adalah penghambatan sintesis
prostaglandin E2 dan tromboksan A2 . Akibat penghambatan ini, maka
ada tiga aksi utama dari aspirin, yaitu: (1) antiinflamasi, karena
penurunan sintesis prostaglandin proinflamasi; (2) analgesik, karena
penurunan prostaglandin E2 akan menyebabkan penurunan sensitisasi
akhiran saraf nosiseptif terhadap mediator pro inflamasi; dan (3)
antipiretik, karena penurunan prostaglandin E2 yang bertanggung jawab
terhadap peningkatan set point pengaturan suhu di hipotalamus. Aspirin
menghambat sintesis platelet melalui asetilasi enzim COX dalam
platelet secara ireversibel. Karena platelet tidak mempunyai nukleus,
maka selama hidupnya platelet tidak mampu membentuk enzim COX
ini. Akibatnya sintesis tromboksan A2 (TXA2) yang berperan besar
dalam agregasi trombosit terhambat. Penggunaan aspirin dosis rendah
regular (81 mg/hari) mampu menghambat lebih dari 95% sintesis TXA2
sehingga penggunaan rutin tidak memerlukan monitoring. Molekul
prostaglandin I2 (PGI2 ) yang bersifat sebagai anti agregasi trombosit
diproduksi oleh endothelium pembuluh darah sistemik. Sel‐sel endotel
ini mempunyai nukleus sehingga mampu mensintesis ulang enzim
COX. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa aspirin dosisrendah
dalam jangka panjang mampu mencegah serangan infark miokard
melalui penghambatan terhadap TXA2 namun tidak terlalu berpengaruh
terhadap PGI2. Selain melalui penghambatan terhadap COX, aspirin
juga mampu mengasetilasi enzim NitricOxide Synthase‐3 (NOS‐3)
yang akan meningkatkan produksi NitricOxide (NO). Nitric Oxide
diketahui bersifatsebagai inhibitor aktivasi platelet, dengan demikian
hal ini menambah informasi mengenai manfaat aspirin sebagai
antiplatelet.

b. Farmakokinetik
1) Absorpsi
Aspirin cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan dan segera
dihidrolisis menjadi asam salisilat, dengan kadar puncak asam
salisilat dalam plasma tercapai dalam 1‐2 jam (Beckman Coulter,
2003). Sediaan tablet salut selaput menunjukkan kecepatan absorpsi
yang bervariasi,dimana konsentrasi puncak dalam plasma tercapai
dalam 4‐6 jam setelah pemberian, namun onset ini dapat tertunda
sampai 8‐12 jam pada dosis tinggi (Chyka et al., 2007). Kecepatan
absorpsi ini dipengaruhi oleh bentuk sediaan, ada tidaknya makanan
dalam lambung,tingkat keasaman lambung, dan faktor
fisiologislainnya.
2) Distribusi
Di dalam sirkulasi, sebanyak 80‐90% salisilat terikat dengan
protein plasma, terutama albumin. Salisilat ini dapat didistribusikan
ke hampir seluruh cairan tubuh dan jaringan, serta mudah melalui
sawar darah plasenta sehingga dapat masuk ke dalam sirkulasi darah
janin. Pada dosis rendah (konsentrasi dalam plasma < 10 mg/ dL),
90%salisilat terikat oleh albumin,sedangkan pada konsentrasi yang
lebih tinggi (> 40 mg/dl), hanya 75% salisilat yang terikat oleh
albumin.
3) Metabolisme
Aspirin dihidrolisis menjadi asam salisilat di dalam sistem
gastrointestinal dan sirkulasi darah (dengan waktu paruh aspirin
15menit). Dalam bentuk asamsalisilat, waktu paruh dalam plasma
dalamdosisterapetik menjadi 2‐4,5 jam, namun dalam dosis yang
berlebihan (overdosis) waktu ini dapat lebih panjang, antara 18
sampai 36 jam. Jadi dapat dikatakan bahwa waktu paruh asam
salisilatini terkait dengan dosis. Semakin tinggi dosis aspirin yang
diminum,makawaktu paruh asam salisilat juga semakin panjang.
Pada pemberian aspirin dosistinggi, jalur metabolisme asam salisilat
menjadi jenuh; akibatnya kadar asam salisilat dalam plasma
meningkat tidak sebanding dengan dosis aspirin yang diberikan.
Karena aspirin segera dihidrolisis sebagai salisilat di dalam tubuh,
maka salisilat inilah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
intoksikasi. Kira‐kira 80% asam salisilat dosis kecil akan
dimetabolisir di hepar, dikonjugasikan dengan glisin membentuk
asam salisil urat, dan dengan asam glukoronat membentuk
asamsalisil glukoronat, dan salisil fenolat glukoronat. Sebagian kecil
dihidroksilasi menjadi asam gentisat (Ijaz et al., 2003). Metabolisme
salisilat ini dapat mengalami saturasi (kejenuhan). Pada orang
dewasa normal,saturasi kinetika salisilat terjadi pada pemberian
aspirin dosis 1‐2 g. Apabila kapasitas metabolisme ini terlampaui,
maka akan menyebabkan waktu paruh asam salisilat dalam plasma
semakin tinggi dan meningkatkan risiko timbulnya efek samping.
Kinetika saturasi salisilat inilah yang berperan besar dalam kasus‐
kasus intoksikasi salisilat.
4) Ekskresi
Ekskresi asam salisilat melalui ginjal sebesar 5,6% sampai
35,6%. Terdapat korelasi positif antara pH urin dengan klirens asam
salisilat, dimana alkalinisasi (peningkatan pH urin) akan
meningkatkan klirens asam salisilat yang selanjutnya meningkatkan
ekskresi asam salisilat melalui urin. Akibatnya waktu paruh asam
salisilat dapat diperpanjang oleh pH urin yang rendah (asam) dan
pada fungsi ginjal yang terganggu. Selain itu pada urin asam,
salisilat berada dalam bentuk tidak terion sehingga direabsorpsi
kembali sehingga menyebabkan konsentrasi salisilat dalam darah
lebih tinggi. Oleh karena itu dinyatakan bahwa ekskresi salisilat
selain dipengaruhi filtrasi glomeruler juga dipengaruhi oleh
reabsorpsi dalam tubulus. Klirens melalui ginjal ini bisa berbeda
nilainya dari nilai standar, tergantung pada pengaruh lokal daerah.
Bahkan variasi kinetika ini berbeda antara laki‐laki dan perempuan
dalam daerah yang sama, dan berbeda pula dengan penduduk dari
daerah yang berbeda. Salisilat diekskresi ke dalamurin melalui
prosesfiltrasi glomeruler dan sekresi aktif tubulus. Ekskresi salisilat
dalam urin adalah dalam bentuk asam salisilat bebas (10%), asam
salisilurat (75%), fenolatsalisilat(10%), asilglukoronat (5%), dan
asam gentisat (1%). (Roy, 2007). Dalam cairan tubuh lain, ekskresi
asam salisilat bervariasi. Ekskresi asam salisilat dalam ASI
dianggap tidak aman sehingga tidak disarankan bagi ibu menyusui.
Ekskresi asam salisilat dan konsentrasinya dalam air mata bervariasi
antara 1% sampai 8% daripada konsentrasi asam salisilat plasma
sebagai anti inflamasi (Kemkes Malaysia, 2001).

c. Farmakodinamik
Penggunaan aspirin sebagai antiinflamasi terutama adalah untuk
pengobatan rheumatoid arthritis, yaitu suatu penyakit kronissistemik
yang melibatkan banyak organ, dan dianggap sebagai penyakit
autoimun. Aspirin mampu mereduksi proses inflamasi di dalam sendi
dan jaringan sehingga mengurangi gejala dan memperbaiki mobilitas
penderita. Meskipun demikian, obat ini tidak mampu menghambat
progresivitas cidera jaringan patologis (Roy, 2007). Jika dengan aspirin
saja belum efektif, maka dapat diganti dengan AINS lain, kortikosteroid,
atau obat yang bersifat diseasemodifying drug. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa jika akan menggunakan kombinasi AINS
dengan obat lain untuk rheumatoid arthritis (misalnya AINS dengan
methotrexate), maka sebaiknya digunakan AINS selain aspirin.

2. Ibuprofen
a. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari obat Ibuprofen adalah menghalangi tubuh
memproduksi prostaglandin, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan
rasa sakit atau peradangan. Sehingga nyeri dan radang menjadi
berkurang, selain itu, ibuprofen juga digunakan sebagai penurun panas.

b. Farmakokinetik
1) Absorpsi
Ibuprofen cepat diabsorpsi, setelah konsumsi per oral.
Bioavailabilitas obat adalah 80%. Ibuprofen lysine, atau garam
ibuprofen lebih cepat diabsorpsi dibandingkan jenis asam ibuprofen.
Konsentrasi puncak ibuprofen lysine, atau garam ibuprofen adalah
sekitar 45 menit, sedangkan asam ibuprofen adalah sekitar 90 menit.
Konsentrasi puncak ibuprofen dalam serum umumnya berlangsung
sekitar 1‒2 jam. Bioavailabilitas obat hampir tidak dipengaruhi oleh
makanan. Juga tidak terdapat interferensi absorpsi ibuprofen,
apabila diberikan bersamaan dengan antasida, baik yang
mengandung aluminium hidroksida, maupun magnesium
hidroksida.
2) Metabolisme
Ibuprofen secara cepat dimetabolisme di dalam hati,
menghasilkan metabolit-metabolit seperti asam propionik fenil
hidroksimetil propil, dan asam propionik fenil karboksipropil.
3) Distribusi
Ibuprofen didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh,
terutama terkonsentrasi dalam cairan sinovial. Keberadaan obat
ibuprofen dalam cairan sinovial adalah lebih lama daripada dalam
plasma. Obat ini terikat pada protein sekitar 90‒99%, terutama
dengan albumin.
4) Eliminasi
Waktu paruh obat dalam serum adalah sekitar 1,8 hingga 2
jam. Ekskresi ibuprofen lengkap dalam 24 jam, setelah dosis
terakhir. Sekitar 45%‒79% dari dosis obat yang diabsorpsi per oral,
ditemukan dalam urine, dalam bentuk metabolit, sedangkan bentuk
ibuprofen bebas atau terkonjugasi, masing-masing adalah sekitar 1%
dan 14%.

c. Farmakodinamik
Secara umum kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi, analgesik
dan antipiretik adalah dengan cara inhibisi pada jalur produksi
prostanoids, seperti prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin I2
(PGI2), yang bertanggungjawab dalam mencetuskan rasa nyeri,
inflamasi dan demam. Ibuprofen menghambat aktivitas enzim
siklooksigenase I dan II, sehingga terjadi reduksi pembentukan
prekursor prostaglandin dan tromboksan. Selanjutnya, akan terjadi
penurunan dari sintesis prostaglandin, oleh enzim sintase prostaglandin.

C. ANTIHISTAMIN H1 BLOKER

1. Promethazine (Antihistamin Generasi Pertama)


a. Mekanisme Kerja Obat
Antihistamin dengan aksi antimuskarinik dan sedatif sedang,
menghambat histamine untuk reseptor H1 dan bekerja secara selektif.
b. Farmakokinetik
1) Penyerapan
Diserap dengan baik di gastrointestinal.
2) Distribusi
Didistribusikan secara luas di dalam tubuh.
3) Metabolisme
Mengalami N- dealkilasi untuk membentuk monodesmethyl-
brompheniramine dan didesmethylbrompheniramine, dan dimeta-
bolisme menjadi turunan asam propionat.
4) Pengeluaran
Melalui urin.
c. Farmakodinamik
Memblock H1 Reseptor pada saluran pernafasan, sehingga
dapat menghambat alergi
d. Efek samping
Karena bekerja secara selektif maka dapat menduduki reseptor
lain, seperti pada pemblock reseptor kolinergik dapat menyebabkan
mulut kering, block reseptor serotonin dapat menyebabkan nafsu makan
meningkat.

2. Cetirizine (Antihistamin Generasi Ke Dua)


a. Mekanisme Kerja Obat
Cetirizine, turunan piperazine dan metabolit dari hydroxyzine,
adalah antihistamin yang kompetitif dan selektif menghambat
H 1 reseptor pada saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran
pernapasan.
b. Farmakokinetik
a) Penyerapan: Cepat diserap dari saluran pencernaan.
b) Distribusi: Masuk ke dalam ASI.
c) Metabolisme: Dimetabolisme secara terbatas di hati.
d) Ekskresi: Terutama melalui urin
c. Farmakodinamik
Memblock H1 Reseptor pada saluran pernafasan, sehingga dapat
menghambat alergi
d. Efek samping
Karena bekerja secara selektif maka dapat menduduki reseptor
lain, seperti pada pemblock reseptor kolinergik dapat menyebabkan
mulut kering, block reseptor serotonin dapat menyebabkan nafsu makan
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Alomedika.

Anonim. (2021). Betamethasone. Diakses pada 20 September 2021, dari


https://www.mims.com/indonesia/drug/info/paracetamol?mtype=generic.

Anonim. (2021). Betamethasone. Diakses pada 21 September 2021, dari


https://www.alomedika.com/obat/obat-topikal-untuk-kulit/antiinflamasi-
dan-antipruritik/betamethasone/farmakologi.

Miladiyah, Isnatin. (2012). Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada Penggunaan


Aspirin sebagai Antireumatik. Sains Medika Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan, (4)2: 213-126.

MIMS Indonesia.

Mukarromah, Anik. (2017). Pengaruh Tingkat Pengetahuan Terhadap Perilaku


Swamedikasi Parasetamol Rasional. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang. makokinet. 10(6): 477–97.

Sobarani, R., A. (2012). Pengaruh Pemberian Curcuma. UMP : Fakultas Farmasi.

Tatro, et al. 2003. A to Z Drug Facts. Facts and Comparisons: San Fransisco.

Anda mungkin juga menyukai