Anda di halaman 1dari 4

Penentuan indikator PTM yang salah

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN


Keterangan gambar,
Siswa berpamitan kepada gurunya seusai pembelajaran tatap muka di SDN Pondok Labu 14
Pagi, Jakarta Selatan, Senin (30/08).
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko menilai, cara pemerintah
menentukan daerah yang bisa melaksanakan PTM berdasarkan level PPKM adalah
tidak tepat.
"Jadi salah jika indikator masuk sekolah itu karena level-level PPKM, itukan untuk
mengukur transmisi. Yang benar itu harusnya positivity rate, di bawah 5%, yang tingkat
penyebaran dan resikonya telah kecil," kata Yunis.
Level dalam PPKM ditentukan berdasarkan jumlah transmisi suatu wilayah yang dibagi
dengan tingkat kapasitas respons yang dimiliki.
Contoh, level 1 menunjukan angka kasus konfirmasi positif kurang dari 20 orang per
100 ribu penduduk. Level 2 yaitu 50 orang, level 3 adalah 50-100 orang dan level 4
lebih dari 150 orang per 100 ribu penduduk.
Sementara positivity rate adalah perbandingan jumlah kasus positif dengan jumlah tes
yang dilakukan.
Pada awal Agustus, positivity rate Indonesia sebesar 25% (dari 100 orang yang dites, 25
orang terinfeksi) yang menurun hingga 8% kemarin.
"Jangan sembarangan masuk (sekolah) saja, dengan menggunakan indikator yang
tidak tepat, demi kepuasan orang tua yang tidak bisa mendidik anaknya."
"Kalau terjadi peningkatan lagi, varian delta, siapa yang bertanggung jawab? Kalau
berani lari, banyak, tapi berani tanggu jawab tidak ada," katanya.
Saat dikonfirmasi, Ketua Tim Pakar sekaligus Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-
19 Wiku Adisasmito mengatakan, level PPKM telah memasukkan beragam unsur
pertimbangan secara komperhensif dari aspek indikator epidemiologis hingga kapasitas
respons daerah.
"Khusus terkait indikator yang lebih detil layaknya potensi klaster kasus dan syarat
vaksinasi di area sekolah telah dimasukkan ke dalam unsur teknis operasional PTM
untuk dijadikan pedoman bagi sekolah juga Satgas yang dibentuk di dalamnya agar
berhat-hati," kata Wiku.
Apa kata pemerintah?
Vaksinasi rendah dan potensi klaster sekolah, 'kita
belum siap'
SUMBER GAMBAR,ANTARA
Keterangan gambar,
Petugas medis menyuntikkan vaksin COVID-19 bagi pelajar tingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP) di Taman Sekartaji, Kota Kediri, Jawa Timur, Senin (16/8/2021).
Namun, lembaga pemantau LaporCovid-19 memandang PTM belum tepat
dilaksanakan saat ini. Salah satu alasannya karena tingkat vaksinasi anak sekolah
masih rendah.
"Kita baru 10%, data 29 Agustus kemarin, anak 12-17 tahun yang divaksin. Di tambah,
PTM berbahaya karena berpotensi meningkatkan klaster Covid-19 yang sudah sekuat
tenaga ditekan pemerintah, kita belum siap," kata relawan dari LaporCovid-19, Diah Dwi
Putri.
Diah mencontohkan, sepanjang Januari hingga Agustus 2021, terdapat 129 laporan
warga tentang pembelajaran dan aktivitas tatap muka di sekolah.
Pada bulan Juli 2021, terdapat 29 laporan yang 52% adalah bentuk pelanggaran
protokol kesehatan dan 17% dari laporan itu menimbulkan klaster Covid-19.
Kemudian Agustus, terdapat 34 laporan di mana tiga menimbulkan klaster Covid-19.
Diah mengatakan, pemerintah dapat melakukan PTM ketika positivity rate berada di
bawah 5% dan meningkatkan vaksinasi anak sekolah.
"Sambil menunggu itu, sekolah mempersiapkan PJJ yang kreatif dan efektif. Banyak
cara kok untuk itu. Ini cara yang lebih aman untuk pendidikan dan juga kesehatan,"
katanya.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN


Keterangan gambar,
Sejumlah siswa mengikuti pembelajaran tatap muka di SDN Pondok Labu 14 Pagi, Jakarta
Selatan, Senin (30/08).
Plt. Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek,
Hendarman mengatakan, keputusan pembukaan PTM menjadi kewenangan daerah
yang berkonsultasi dengan Satgas Covid di masing-masing daerah.
"Karena mereka mengetahui kondisi kesiapan, dan daerah yang mendorong
pelaksanaan vaksinasi baik kepada guru dan tenaga pendidik maupun siswa-
siswanya," kata Hendarman.

Anda mungkin juga menyukai