Anda di halaman 1dari 9

Tinjauan Tentang SLE

2.2.1 Definisi

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem                       yang


disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem   imun   dan   
produksi    autoantibodi    yang    berlebihan    (Albar, 2003).

Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein


intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar,
2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

2.2.2   Epidemiologi

SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi        oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif                          yaitu 15 – 64
tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan
usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap
etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000
populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris,
39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan
prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang
kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.2.3 Etiologi

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree
relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-
69%) lebih tinggi daripada saudara kembar            non-identik (2-9%). Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen                 yang berperan antara lain haplotip MHC
terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase
awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV            yang
mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga
dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen
HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di
tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al.,
2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-
cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga
menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan
peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang
akan memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).

2.2.4 Klasifikasi

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.

Discoid Lupus

Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema               yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul          di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya
serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

Systemic Lupus Erythematosus

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein,
1998).

Lupus yang diinduksi oleh obat

Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat

untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing              oleh
tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).

Definitely Possible Unlikely


Hidralazin Antikonvulsan               Propitiourasil Griseofulvin

Prokainamid Fenitoin                         Metimazol Penisilin


Isoniazid Karbamazepin               Penisilinamin Garam emas

Klorpromazin Asam valproat               Sulfasalazin

Metildopa Etosuksimid                   Sulfonamid

β-bloker                         Nitrofurantoin

Propranolol                    Levodopa

Metoprolol                     Litium

Labetalol                        Simetidin

Acebutolol                     Takrolimus

Kaptropil

Lisinopril

Enalapril

Kontrasepsi oral

Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah

2.2.5 Patofisiologi

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan
sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar
seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang
berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen
presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian
diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA
yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat
merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B
dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 
(Epstein, 1998).

Gb.2.1  Patofisiologi SLE (Epstein, 1998)

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu
sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu
sitokin yang diproduksi oleh sel Th2                      yang berfungsi menekan sel Th1
sehingga mengganggu    cell-mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T  (Mok dan Lau, 2003).

Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan
fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas
self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1
menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 
(hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel
limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu
CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan
peningkatan sel B terutama berhubungan dengan  subset CD4+ dan CD45R+. CD4+
membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi CD8+
(Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya
kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan
sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah
bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen
integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ
secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya
DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen
jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan
terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada
membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan
menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan
jaringan (Epstein, 1998).

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun
pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan
berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena 
lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan
defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan
meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks
imun  (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi
radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya
(Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel
keratonosit) atau beberapa obat  (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel
limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel
dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi
sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel,
pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan
CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit
melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan 
sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi  adalah

ikatan dengan autoantibodi  yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang
akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh
makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh
gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

Gb.2.2  Mekanisme apoptosis pada patofisiologi SLE (Bijl et al., 2001)

2.2.6 Kriteria SLE

Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai
selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan
ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :

(1)     Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.

(2)     Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin          yang
melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.

(3)     Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap            cahaya


matahari.

(4)     Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.

(5)     Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri,
bengkak, atau efusi.

(6)     Serositis

a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau
adanya efusi pleura.
b.Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard
atau efusi perikard.

(7)     Kelainan ginjal

a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+

b.Ditemukan  eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.

(8)     Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.

(9)     Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia                   (kurang dari


400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3),                   atau trombositopenia
(kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.

(10)   Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi
antifosfolipid

(11) Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan


imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat                 dan tidak
ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).

2.2.7 Data laboratorium

Anti ds-DNA

Batas normal : 70 – 200 IU/mL

Negatif          : < 70 IU/mL

Positif             :  > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif                      dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk
SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan
penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier.
Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif
pada penyakit SLE yang tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe
dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA).         Anti ss-DNA kurang sensitif
dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks
antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi
merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi baik lokal                   maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).

Antinuclear antibodies (ANA)

Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti            dari suatu sel. ANA
cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE,                   hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan
kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka
penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes
negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan
juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil  tes  positif  maka 
sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien
tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).

Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis,           serum kreatinin, tes fungsi hepar,
kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

2.2.8 Manifestasi klinis

Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,
malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).
Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia  umumnya timbul
mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal
proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan
pergelangan kaki  (Delafuente, 2002).

Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk              kupu-kupu (butterfly
rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang
terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas
(photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain
yang timbul adalah vaskulitis  eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi,
dan fenomena Raynaud                (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada jantung  sering ditandai adanya perikarditis,  miokarditis, gangguan
katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs.
Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya
penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE
(Delafuente, 2002).

Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi

pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan
batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang
tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan
(gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu
dapat pula terjadi  vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali
(Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan
sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang
juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente,
2002).

Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada
sebagian besar pasien  saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif
dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan
tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering
terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada  5%
pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek
dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak
dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan
tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).

Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan                                antibodi


antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin
parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki
perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan
pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL  adalah trombositopenia, pembekuan
darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup
jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia   atau   trombositopenia,   maka  
dapat   terjadi     perdarahan.

Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya
antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi
terus-menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan
mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah
melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur.
Kemungkinan terjadinya preeklamsia  atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga
dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).                          Gejala klinik  pada
kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria.
Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus
nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas
I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas
IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama
perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang
lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi
peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan,
hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).

Anda mungkin juga menyukai