Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KEWARISAN DALAM ISLAM


MATA KULIAH AL ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 4

SYIFA MUBARROK : NIM G2A220028


DIEN AVIANIE :NIM G2A220018

PROGRAM SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak
hukum Islam yang terpenting. Hukum warisan adalah hukum yang
mengatur siapa-siapa saja orang yang bisa mewarisi dan tidak bisa
mewarisi dan tidak bisa mewarisi bagian bagian yang diterima setiap ahli
waris dan cara cara pembagiannya. Dalam hukum kewarisan Islam
penerima harta warisan di dasarkan pada asas Ijbari, yaitu harta warisan
pindah dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT Tanpa
digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.
Kewarisan Islam sebagai bagian dari syari‟at islam dan lebih
khusus lagi sebagai bagian dari aspek muamalah sub hukum perdata,
tidak dapat dipisahkan dengan aspek-aspek lain dari ajaran Islam. Karena
itu, penyusunan kaidah-kaidahnya harus didasarkan pada sumber yang
sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran islam tersebut.
Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur‟an, Sunah Rasul dan Ijtihad.
Ketiga sumber ini pula yang menjadi sumber hukum kewarisan islam.
Penggunaan ketiga sumber ini didasarkan kepada ayat Al-Qur‟an sendiri
dan hadist Nabi.

B. PENGERTIAN
Kata waris berasal dari Bahasa arab yaitu warosa – yarisu-
warisan yang berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang
setelah meninggal dunia.Adapun dalam al-Quran ditemukan banyak kata
warosa yang berarti menggantikan kedudukan ,memberi atau
menganugerahkan, dan menerima warisan.
Dalam literatur hukum islam ditemui beberapa istilah untuk
menemukan hukum kewarisan islam seperti :faraid.Katafaroid
merupakan jamak dari lafdz faridah yang mengandung arti mafrudhoh
yang sama artinya dengan muqodaroh yaitu sesuatu yang ditetapkan
bagiannya secara jelas.Didalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat
dalam Alquran,lebih banyak terdapat bagian yang di tentukan
dibandingkan bagian yang tidak ditentukan.Oleh karena itu hukum ini
dinamakan dengan Faroid.
Secara terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima
dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli waris yang berhak. Dalam
redaksi lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak
mewarisi, penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.
Berbeda dengan definisi diatas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan,
warisan adalah soal apa dan bagaimana pelbagai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup.

C. DALIL DAN PENSYARIATANNYA


Penyusunan waris kaidah-kaidahnya harus didasarkan pada
sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran islam
tersebut. Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur‟an, Sunah Rasul dan
Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi sumber hukum kewarisan
islam. Penggunaan ketiga sumber ini didasarkan kepada ayat Al-Qur‟an
sendiri dan hadist Nabi. Salah satu ayat yang menyinggung tentang hal
ini ialah Al-Qur‟an Surat An-Nisa (QS Al-Nisa‟ [4]:11-12).

َ ْ‫و‬KKَ‫ ۤا ًء ف‬K‫ا ِ ْن ُك َّن نِ َس‬Kَ‫ ظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ ف‬K‫ ُل َح‬K‫لذ َك ِر ِم ْث‬
‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن‬ َّ ِ‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَوْ اَل ِد ُك ْم ل‬
ِ ْ‫يُو‬
‫ك اِ ْن‬ َ Kَ‫ ُدسُ ِم َّما ت‬K‫الس‬
َ ‫ر‬K ُّ ‫ا‬KK‫ ٍد ِّم ْنهُ َم‬K‫ ِّل َوا ِح‬K‫َت َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّصْ فُ ۗ وَاِل َبَ َو ْي ِه لِ ُك‬ ْ ‫ثُلُثَا َما تَ َركَ ۚ َواِ ْن َكان‬
‫ ُدسُ ِم ۢ ْن‬K ‫الس‬ُّ ‫ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه‬K‫ه ِا ْخ‬Kٓ ٗ Kَ‫ث ۚ فَا ِ ْن َكانَ ل‬ ُ ُ‫َكانَ لَهٗ َولَ ٌد ۚ فَا ِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَ ٌد َّو َو ِرثَ ٗ ٓه اَبَ ٰوهُ فَاِل ُ ِّم ِه ال ُّثل‬
‫هّٰللا‬
ِ َ‫ْضةً ِّمن‬ َ ‫ص ْي بِهَٓا اَوْ َد ْي ٍن ۗ ٰابَ ۤا ُؤ ُك ْم َواَ ْبن َۤا ُؤ ُك ۚ ْم اَل تَ ْدرُوْ نَ اَيُّهُ ْم اَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۗ فَ ِري‬ ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬ ِ ‫بَ ْع ِد َو‬
‫ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan
jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua,
maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika
dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak,
bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal)
tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

‫ ُع ِم َّما‬Kُ‫ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ ب‬Kَ‫ك أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد فَإ ِ ْن َكانَ لَه َُّن َول‬
َ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َر‬
َ‫ان‬KK‫إ ِ ْن َك‬Kَ‫ ٌد ف‬Kَ‫ُوصينَ بِهَا أَوْ َدي ٍْن َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َول‬ ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ‫د َو‬Kِ ‫تَ َر ْكنَ ِم ْن بَ ْع‬
‫ث‬ َ Kُ‫ ٌل ي‬K‫انَ َر ُج‬KK‫ا أَوْ َدي ٍْن َوإِ ْن َك‬KKَ‫ونَ بِه‬K‫وص‬
ُ ‫ور‬K ُ ُ‫يَّ ٍة ت‬K‫ص‬ ِ ‫ ِد َو‬K‫ َر ْكتُ ْم ِم ْن بَ ْع‬Kَ‫لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما ت‬
ٌ ‫َكاللَةً أَ ِو ا ْم َرأَةٌ َولَهُ أَ ٌخ أَوْ أُ ْخ‬
َ Kِ‫ت فَلِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ فَإ ِ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن َذل‬
‫ َر َكا ُء‬K‫ك فَهُ ْم ُش‬
‫يَّةً ِمنَ هَّللا ِ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬KK‫ص‬ َ ‫ َر ُم‬KKْ‫ا أَوْ َد ْي ٍن َغي‬KKَ‫ى بِه‬KK‫ُوص‬
ِ ‫ا ٍّر َو‬KK‫ض‬ ِ ُ‫فِي الثُّل‬
ِ ‫ ِد َو‬KKْ‫ث ِم ْن بَع‬
َ ‫يَّ ٍة ي‬KK‫ص‬
١٢(

Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah
(dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar)
hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan
setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-
sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang
dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak
menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah.
Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.(12)

- ‫وْ ُز ْال َع ِظي ُم‬KKَ‫كَ ْالف‬KKِ‫ت تَجْ ِري ِمن تَحْ تِهَا األَ ْنهَا ُر خَالِ ِدينَ فِيهَا َو َذل‬
ٍ ‫تِ ْلكَ حُ دُو ُد هّللا ِ َو َمن يُ ِط ِع هّللا َ َو َرسُولَهُ يُ ْد ِخ ْلهُ َجنَّا‬
١٣

Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah


dan Rasul-Nya, Dia akan Memasukkannya ke dalam surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan
itulah kemenangan yang agung. (13)

Qs. An-Nisaa : 14

ٌ ‫ْص هّللا َ َو َرسُولَهُ َويَتَ َع َّد ُحدُو َدهُ يُ ْد ِخ ْلهُ نَاراً خَالِداً فِيهَا َولَهُ َع َذابٌ ُّم ِه‬
- ١٤- ‫ين‬ ِ ‫ َو َمن يَع‬-
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah Memasukkannya
ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat
azab yang menghinakan.(14)
Qs. An-Nisaa : 8

ْ ُ‫ض َر ْالقِ ْس َمةَ أُوْ ل‬


ُ‫وا ْالقُرْ بَى َو ْاليَتَا َمى َوالمـ َسا ِكينُ فَارْ ُزقُوهُم ِّم ْنه‬ َ ‫َوإِ َذا َح‬

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak


yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (8)

Qs. An-Nisaa : 176

ُ‫ف‬K‫ص‬ ٌ ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أُ ْخ‬


ْ ِ‫ا ن‬KKَ‫ت فَلَه‬ َ ‫ك لَي‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُونَكَ قُ ِل هّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْال َكالَلَ ِة إِ ِن ا ْم ُر ٌؤ هَل‬
ْ ُ‫ان‬K‫ك َوهُ َو يَ ِرثُهَا إِن لَّ ْم يَ ُكن لَّهَا َولَ ٌد فَإِن َكانَتَا ْاثنَتَ ْي ِن فَلَهُ َما الثُّلُثَا ِن ِم َّما تَ َركَ َوإِن َك‬
ً‫ َوة‬K‫وا إِ ْخ‬ َ ‫َما تَ َر‬
١٧٦- ‫وا َوهّللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬ْ ُّ‫ضل‬ِ َ‫ن يُبَيِّنُ هّللا ُ لَ ُك ْم أَن ت‬Kِ ‫رِّ َجاالً َونِ َساء فَلِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ األُنثَيَ ْي‬-

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang Kalālah). Katakanlah,


“Allah Memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika
seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai
saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu)
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudara-nya yang laki-
laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak
mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan
bagian dua saudara perempuan. Allah Menerangkan (hukum ini)
kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (176)
Hadis Nabi Muhammad S.A.W ,Ibnu Mas’ud r.a. berkata
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;
َ َّ‫وْ هُ الن‬KK‫رْ آنَ َو َعلِّ ُم‬KKُ‫وا ْالق‬KK‫ « تَ َعلَّ ُم‬: ‫لَّ َم‬K ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
‫وا‬KK‫ َوتَ َعلَّ ُم‬، ‫اس‬ َ ِ‫قَا َل َر َسوْ ُل هللا‬
ْ ‫ني ا ْم ُر ٌؤ َم ْقبُوْ ضٌ َوإِ َّن ْال ِع ْل َم َسيُ ْقبَضُ َوت‬
َ‫ف‬KKِ‫ ُر ْالفِتَنُ َحتَّى يَ ْختَل‬K َ‫َظه‬ ِّ ِ ‫ فَإ‬، ‫اس‬ َ ِ‫ْالفَ َرائ‬
َ َّ‫ض َو َعلِّ ُموْ هُ الن‬
ُ‫ص ِح ْي ُح اإْل ِ ْسنَا ِد َول َم ْي ُْخ ِر َجه‬ ٌ ‫ض ْي بِهَا » « هَ َذا َح ِدي‬
َ ‫ْث‬ َ ‫ااْل ِ ْثنَا ِن فِي ْالفَ ِر ْي‬
ِ ‫ض ِة اَل يَ ِجدَا ِن َم ْن يَ ْق‬

Dari ibnu Mas’ud ra. Berkata: telah bersabda Rasululloh


Shollallohu ‘alahi wasallam “Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah
kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah
kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut
(wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak,
sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan,
mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup
meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris)
mereka.”(HR. Bukhori dan Muslim, dalam kitab Mustadrok ‘ala
shohihain, No. 8069)

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi s Shallallahu ‘Alaihi


wa Sallam bersabda:

((‫وا‬EE‫ َرةَ تَ َعلَّ ُم‬E‫ا ُه َر ْي‬EEَ‫ا أَب‬EEَ‫سلَّ َم ي‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫قَا َل َر‬: ‫عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرةَ قَا َل‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬
‫سى َو ُه َو أَ َّو ُل ش َْي ٍء يُ ْن َز ُع ِمنْ أُ َّمتِي‬ ْ ِ‫ض َو َعلِّ ُموهَا فَإِنَّهُ ن‬
َ ‫صفُ ا ْل ِع ْل ِم َو ُه َو يُ ْن‬ َ ِ‫))ا ْلفَ َرائ‬

“Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain,


karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan
dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari
umatku.” (HR Ibnu Majah, dalam sunannya. Bab: Anjuran
mempelajari ilmu faraidh, vol: 8, hal: 197, no 2710)

D. TUJUAN WARIS DALAM ISLAM


Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid mengemukakan bahwa tujuan
mempelajari ilmu faroid atau ilmu kewarisan yaitu agar dapat
menyelesaikan masalah harta warisan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan agama, yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, jangan
sampai ada yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris
yang lain

E. ASAS ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM


Hukum kewarisan Islam atau lazim disebut fara>’id}
dalam literatur hukum Islam adalah salah satu bagian dari
keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari orang
yang meninggal kepada orang yang masih hidup.
Sebagai hukum agama yang terutama yang bersumber
kepada wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
saw, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang
dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang
bersumber dari akal manusia. Di samping itu hukum kewarisan
Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda
dengan hukum kewarisan Islam yang lain. Berbagai asas hukum ini
memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam
itu. Hukum kewarisan digali dari keseluruhan ayat hukum dalam
Al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi
Muhammad saw dalam sunnahnya. Dalam pembahasan ini akan
dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta
kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar
jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu.
Asas-asas tersebut adalah:
1. asas ijbari
Asas Ijbari Secara etimologis kata ijbari mengandung arti
paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri
dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta
seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup
dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau
pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa
hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi
terjadi.Dengan perkataan lain, dengan adanya kematian si
pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya,
tanpa terkecuali apakah ahli warisnya suka menerima atau tidak,
demikian juga dengan halnya bagi si pewaris.
Asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :
a. Dari segi peralihan harta
Unsur ijbari dari segi cara peralihan mengandung arti bahwa
harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan
dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Asas ijbari
dalam peralihan ini terdapat dalam firman Allah dalam
surah An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi
seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta
peninggalan orang tua dan karib kerabat. Kata nasib berarti
bagian atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari
pihak lain
b. Dari segi jumlah harta yang beralih
. Dari kata nasib itu dapat dipahami bahwa dalam jumlah
harta yang ditinggalkan si pewaris, di sadari atau tidak telah
terdapat hak ahli waris. Bentuk ijbari dari segi jumlah
berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta
warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris
maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah
atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu
c. Dari segi kepada siapa harta itu beralih
Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa
mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah
ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan
manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukan
orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. Adanya
unsur ijbari dapat dapat dipahami dari kelompok ahli waris
sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat-ayat 11,12 dan
176 surah AnNisa’.17
2. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan
Islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari
kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari garis keturuan
perempuan maupun garis keturunan lakilaki. Asas bilateral ini
dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalam surah Al-
Nisa’ (4) 7, 11, 12 dan 176. Asas bilateral ini juga berlaku pula
untuk kerabat garis ke samping yaitu melalui ayah dan ibu. Dari
ayat-ayat di atas terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu
beralih ke bawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu) dan ke
samping (saudara saudara) dari kedua belah pihak garis
keluarga, yaitu laki-laki perempuan dan menerima warisan dari
dua garis keluarga yaitu dari garis laki-laki dan garis
perempuan. Inilah yang dinamakan asas bilateral.
3. Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara
individual) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat
kepada ahli waris lainnya, dengan demikian bagian yang
diperoleh oleh ahli waris dari harta pewaris, dimiliki secara
perorangan, dan ahli waris yang lainnya tidak ada sangkut paut
sama sekali dengan bagian yang diperoleh tersebut, sehingga
individu masing-masing ahli waris bebas menentukan (berhak
penuh) atas bagian yang diperolehnya. Ketentuan asas
individual ini dapat dijumpai dalam ketentuan AlQur’an surat
An-Nisa’ ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian
masingmasing (ahli waris secara individual) telah ditentukan.20
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan
antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dalam hubungannya
dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang
menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan
keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.Atas
dasar pengertian tersebut di atas terlihat asas keadilan dalam
pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Secara mendasar
dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak
kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana pria, wanita pun
mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan.
Hal ini secara jelas disebutkan dalam AlQur’an surat An-Nis>’
ayat 7 yang menyakan kedudukan laki-laki dan perempuan
dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12,176 surat
AnNis>’ secara rinci di terangkan kesamaan kekuatan hak
menerima warisan antara anak laki-laki dan perempuan, ayah
dan ibu, suami dan istri, saudara laki-laki dan perempuan.
5. Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan
harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan
perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih (dengan
pewarisan) seandainya dia masih hidup. Walau pun ia berhak
untuk mengatur hartanya, hal tersebut semata-mata hanya
sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan untuk
penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia. Dengan
demikian hukum waris Islam tidak mengenalseperti yang
ditemukan dalam ketentuan hukum waris menurut kitab
undang-undang hukum perdata (BW), yang dikenal dengan
pewarisan secara ab intestato dan secara testamen. Memang di
dalam ketentuan hukum Islam dikenal juga istilah wasiat,
namun hukum wasiat terpisah sama sekali dengan persoalan
kewarisan.
BAB II
PEMBAGIAN WARIS

A. Rukun dan syarat Waris


Warisan memiliki tiga unsur rukun:
1. Pewaris atau al-muwarris
Orang yang meninggal dunia dengan mewariskan hartanya.
Syaratnya adalah al-muwaris benar-benar telah meninggal
secara hakiki,secara yuridis (h}ukmy) atau secara takdir
berdasarkan perkiraan.
a. Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat
diketahui dan dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal
dunia.
b. Mati h}ukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui
keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia, ini bisa
terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan
hilang (mafqu>d) tanpa diketahui dimana dan bagaimana
keadaannya. Melalui keputusan hakim, setelah melalui
upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal. Sebagai
keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
c. Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah
meninggal dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang,
atau tujuan lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya.
Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, dan
melahirkan dugaan kuat ia telah meninggal, maka dapat
dikatakan bahwa ia telah meninggal dunia.23 Menurut Amir
Syarifuddin, al-mawaris adalah orang yang telah meninggal
dunia dengan meninggalkan harta yang dapat beralih kepada
keluarga yang masih hidup. Matinya muwaris harus
terpenuhi karena merupakan syarat seseorang dapat
dikatakan muwaris. Hal ini untuk memenuhi kewarisan
akibat kematian. Maka berdasarkan asas ijbari, pewaris
menjelang kematiannya tidak berhak menentukan kepada
siapa harta itu beralih, karena semua ditentukan secara pasti
oleh Allah, walaupun pewaris memiliki satu per tiga untuk
mewasiatkan hartanya
2. Ahli waris atau al-waris
Orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab
perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba sahayanya.
Syaratnya, ahli waris dalam keadaan hidup pada saat al-
muwaris meninggal. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi
yang masih dalam kandungan (al-h}aml). Meskipun masih
berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan
(kontraksi) atau secara lainnya, baginya berhak mendapatkan
warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai
paling sedikit dan paling lama usia kandungan. Ini dimaksudkan
untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.
Ada syarat lain yang harus terpenuhi, yaitu bahwa
antara almuwarris dan al-waris tidak ada halangan untuk
mewarisi.Menurut Sayid Sabiq, ahli waris adalah orang yang
berhak menguasai dan menerima harta waris karena mempunyai
sebab-sebab untuk mewarisi yang dihubungkan dengan
pewaris.Dengan syarat dalam keadaan hidup, diketahui
posisinya sebagai ahli waris dan tidak ada penghalang mewarisi.
Berbeda dengan waris yang hilang (mah}fu>d), maka
pembagian waris dilakukan dengan cara memandang si
mah}fu>d masih hidup, untuk menjaga hak si mah}fu>d apabila
masih hidup. Apabila dalam waktu tertentu si mah}fu>d tidak
datang dan diduga meninggal maka sebagian tersebut dibagi
kepada ahli waris sesuai perbandingan saham masing-masing.
Sedangkan apabila terdapat kasus salah satu ahli waris
adalah anak yang masih dalam kandungan, maka penetapan
keberadaan anak tersebut saat kelahirannya. Oleh sebab itu,
pembagian waris ditangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan
3. Harta warisan atau al-mairus
Harta atau hak yang berpindah dari pewaris kepada ahli waris.
Harta tersebut dapat dikatakan tirkah apabila harta peninggalan
si mayit telah dikurangi biaya perawatan, hutang dan wasiat
yang dibenarkan oleh syara’ untuk diwarisi oleh ahli waris, atau
istilah waris disebut mauru>s.28 Dari pengertian di atas terdapat
perbedaan antara harta waris dengan harta peninggalan. Yang
dimaksud harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan si
mayit (harta pewaris secara keseluruhan), sedangkan harta waris
(tirkah) adalah harta peninggalan secara syara’ berhak dimiliki
ahli waris dan terbatas dari hak orang lain di dalamnya.
Hal yang harus diperhatikan sebelum pembagian harta waris
 Dikeluarkan untuk kebutuhan si mayit, baik itu kain
kafannya, dan pengeluaran lainnya.
 Melunasi hutangnya semasa ia masih hidup, kepada
Allah ataupun manusia.
 Pelaksanaan wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta
waris yang ditinggalkan.

B. Sebab – sebab terjadinya waris dalam Islam


Hal hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga
macam:
1. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang
mewarisi dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran.
Kekerabatan merupakan sebab adanya hak mempusakai yang paling
kuat karena kekerabatan merupakan unsur kausalitas adanya seseorang
yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.30 Seperti kedua orang tua
(ibu-bapak), anak, cucu, dan orang yang bernasab dengan mereka
2. Karena hubungan pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang
sah dan terjadi antara suami istri sekalipun belum terjadi persetubuhan.
Adapun suami istri yang melakukan pernikahan tidak sah tidak
menyebabkan adanya hak waris. Pernikahan yang sah menurut syari’at
Islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki
dengan seorang perempuan selama ikatan pernikahan itu masih terjadi.
Masing-masing pihak adalah teman hidup dan pembantu bagi yang
lain dalam memikul beban hidup bersama. Oleh karena itu Allah
memberikan sebagian tertentu sebagai imbalan pengorbanan dari jerih
payahnya, bila salah satu dari keduanya meninggal dunia dan
meninggalkan harta pusaka. Atas dasar itulah, hak suami maupun istri
tidak dapat terhijab sama sekali oleh ahli waris siapapun. Mereka
hanya dapat terhijab nu>qs}an (dukurangi bagiannya) oleh anak turun
mereka atau oleh ahli waris yang lain
3. Karena wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika
orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang
memerdekakannya berhak mendapatkan warisan. Wala’ yang dapat
dikategorikan sebagai kerabat secara hukum, disebut juga dengan
istilah wala’ul itqi, dan wala’un nikmah. Hal ini karena pemberian
kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya
sebagai hamba sahaya
C. Sebab-Sebab Penghalang Kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan tertutupnya
peluang seseorang untuk mendapatkan warisan.Adapun hal-hal yang dapat
menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan yaitu:
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak
untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu
yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya.baik
budak itu sebagai qinnu>n (budak murni), mudabbar (budak yang
telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab
(budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan
tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak).
Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk
mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak
mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak boleh
mewarisi harta peninggalan. Dasar hukum yang menetapkan
pembunuhan sebagai halangan mewarisi ialah hadits Nabi saw:
َ ‫ ُدهُ فَلَي‬Kَ‫ث َغ ْي ُرهُ َواِ ْن آَانَ لَهُ َوالِ ُدهُ اَوْ َول‬
‫ا‬KK‫ْس لِق‬ ِ ‫َم ْن قَتَ َل قَتِ ْياًل فَإ ِ ْنهُ الَ ي ُِرثُهُ َواِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َو‬
ٌ ‫ار‬
ُ ‫– تِ ٍل ِمي َْر‬
)‫(رواه احمد‬-.‫اث‬
Artinya: “Barang siapa membunuh seorang korban, ia tidak dapat
mempusakainya walaupun si korban itu tidak mempunyai waris
selain dia, dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi
pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan.” (HR.
Ahmad)
Dilarangnya membunuh untuk mewarisi, Orang itu membunuhnya
agar ia dapat segera mewarisinya. Oleh karena itu, ia dilarang
mengambil bahkan ia diqis}as.
3. Perbedaan agama
Yang dimaksud dengan perbedaan agama ialah perbedaan agama
yang menjadi kepercayaan orang yang mewarisi dengan orang
yang diwarisi. Misalnya, agama orang yang mewarisi itu kafir,
sedangkan yang diwarisi beragama Islam, maka orang kafir ini
tidak boleh mewarisi harta peninggalan
Al-Hijab atau Mahjub (terhalang)
Orang yang terkena mahjub ada dua keadaan:

 Pertama, ia terhalang dari mendapatkan waris secara


keseluruhan karena membunuh atau mutrad.
 Kedua, ia terhalang karena gugur atau menpatkan waris tapi
tida secara keseluruhan atu sebagian, karena ada ahli waris
yang lebih berhak untuk menerimanya.
untuk keadaan yang kedua dibagi menjadi dua yaitu:
a. Hijab Hirman (terhalang dan gugur tidak mendapatkan
waris)
b. Hijab Nuqshan (terhalang untuk mendapatkan secara
keseluruhan)

Adapun ahli waris yang tidak terkena mahjub yaitu: Suami


dan Istri, sedangkan yang bisa terkena mahjub dan bisa
memahjubkan ialah:Ayah, Ibu, Anak (lk/pr).
Ahli waris yang terkena Mahjub Hirman diantaranya:

a. Kakek, apabila ada ayah.


b. Nenek, apabila ada Ibu
c. cucu (lk) dari anak (lk), apabila ada anak (lk)
d. Saudara (lk/pr) sekandung, seayah, atau seibu, mahjub
apabila ada anak (lk), cucu (lk) dari anak (lk), dan Ayah.
e. Saudara seibu (lk/pr), bisa mahjub juga oleh Kakek, anak
(pr), cucu (pr) dari anak (lk).
f. Cucu perempuan, apabila ada anak (lk dan pr) lebih dari
satu.
g. Saudara (pr) seayah, apabila ada saudara (pr) sekandung
lebih dari satu.
D. Ahli Waris
 Ahli waris dari laki-laki diantaranya:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki seterusnya ke bawah
3. Ayah
4. Kakek dari ayah dan seterusnya ke atas
5. Saudara kandung laki-laki
6. Saudara laki-laki seayah
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak (lk) dari saudara (lk) kandung
9. Anak (lk) saudara (lk) seayah
10. Paman kandung
11. Paman seayah
12. Anak (lk) paman kandung
13. Anak (lk) paman seayah
14. Suami
15. Mu’tiq (orang yang memerdekakan pewaris, jika dulunya
ia seorangbudak)

 Ahli waris dari perempuan diantaranya:


1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke
bawah
3. Ibu
4. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas
5. Nenek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas
6. Saudari kandung
7. Saudari seayah
8. Saudari seibu
9. Istri
10. Mu’tiqah
E. Jumlah Bagian Ahli Waris (Furudu>l Muqadarah)
Ashabul Furudh atau juga zawil furudh yaitu bagian-bagian yang
telah ditentukan menurut Al-Quran dan hadis
1. Yang mendapat bagian setengah (1/2)
a. Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama
saudaranya.
b. Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada
perempuan.
c. Saudara perempuan yang seibu sebapak jika seorang diri
d. Saudara perempuan sebapak apabila saudara perempuan
seibu sebapak tidak ada dan ia hanya sendiri saja
e. Suami, apabila istrinya yang meninggal dunia tidak
meninggalkan anak dan tidak adapula anak dari anak laki-
laki, baik laki maupun perempuan.

2. Yang mendapat bagian seperempat(1/4)


a. Suami, apabila istrinya meninggal dunia itu meninggalkan
anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, atau
meninggalkan anak dari anak lakilaki atau perempuan.
b. Istri, baik hanya satu orang atau berbilang, jika suami tidak
meninggalkan anak (baik anak laki-laki maupun perempuan)
dan tidak pula anak dari anak laki-laki (baik laki-laki
maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang,
seperti empat itu dibagi rata antara mereka.
3. Yang mendapat bagian seperdelapan
Yaitu istri, baik satu atau berbilang. Mendapat pusaka dari
suaminya seperdelapan dari harta apabila suaminya yang
meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki
maupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki
maupun perempuan.
4. Yang mendapatkan bagian dua pertiga
a. Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila
tidak ada anak laki-laki. Berarti apabila anak perempuan
berbilang, sedangkan anak laki-laki tidak ada, maka mereka
mendapatkan dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
bapak mereka.
b. Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki.
Apabila anak perempuan tidak ada, berarti anak perempuan
dari anak laki-laki yang berbilang itu, maka mereka
mendapat pusaka dari kakek mereka sebanyak dua pertiga
dari harta dari harta.
c. Saudara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang
(dua atau lebih).
d. Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.
5. Yang mendapatkan bagian sepertiga
a. Ibu, apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau
cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak pula meninggalkan
dua orang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, baik
seibu sebapak ataupun sebapak saja, atau seibu saja.
b. Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik
laki-laki maupun perempuan.

6. Yang mendapatkan bagian seperenam


a. Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki,
atau beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki
atau saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak saja atau
seibu saja.
b. Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak
atau anak dari anak laki-laki.
c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada.
d. Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak
perempuan dari anak laki-laki). Mereka mendapat
seperenam dari harta, baik sendiri ataupun berbilang, apabila
bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila anak
perempuan berbilang, maka cucu perempuan tadi tidak
mendapat pusaka.
e. Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak
dari anak lakilaki, sedangkan bapak tidak ada.
f. Untuk seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun
perempuan. Saudara perempuan yang sebapak saja, baik
sendiri ataupun berbilang, apabila beserta saudara
perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara
seibu sebapak berbilang (dua atau lebih), maka saudara
sebapak tidak mendapat pusaka (dengan alasan berdasarkan
ijma’ ulama).
g. Saudara (pr) seayah satu orang atau lebih, apabila ada
saudara (pr) sekandung.

7. Ashobah (Sisa)
Ashobah yaitu adanya ahli waris yang tidak ditetapkan bagian
tapi bisa mendapatkan semua atau sisa harta setelah dibagi untuk
ahli waris yang mendapatkan bagiannya (Ashabul furudh).
1. Keadaan Ashobah
a. Mendapat keseluruhan apabila tidak ada Ashabul
Furudh.
b. Mendapat sisa, apabia bersama ahli waris yang
mendapatkan Ashabul furudh.
c. Mendapatkan sisa, apabila warisan telah habis
dibagi kepada Ashabul Furudh
2. Macam Macam Ashobah
Ada tiga macam ashobah diantaranya:
a. Ashobah binafsih, mendapat sisa karena dirinya
sendiri, tanpa sebab ahli warislain, yaitu semua
ahli waris laki-laki kecuali suami.
b. Ashobah bilghair, mendapat sisa apabila anak (pr),
cucu (pr), saudara (pr) seayah, besama saudara
(lk) mereka masing-masing [QS, 4:176]
c. Ashobah ma’alghoir, mendapat sisa apabila ahli
waris (pr) bersama dengan ahli waris (pr) lain,
yaitu: Seorang saudara (pr) kandung atau lebih
bersama anak perempuan, dan Seoarang saudara
(pr) seayah atau lebih bersama anak (pr) atau cucu
(pr) dari anak (lk).
BAB IV
CONTOH PERHITUNGAN WARIS

Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya seseorang mati dengan


meninggalkan harta warisan sebuah rumah seharga Rp. 6.000.000,- dan
ahli warisnya terdiri dari 2 saudari perempuan sekandung, 3 saudara
perempuan seayah, dan seorang ibu.

      Cara penyelesaiannya sebagai berikut di bawah ini:

Ahli Waris Bahagian Asal Masalah = 6 – 1 = 5

1. Ibu 2. Saudari kandung 3. 1/6 ½ 1/6 1/6 x 6 = 1 ½ x 6 = 3 1/6 x 6 = 1


Saudari seayah

Jumlah saham Jadi asal masalah baru = 5 (asal masalah)

      Dengan demikian maka bagian masing-masing adalah:

1. Ibu mendapat bagian = 1 x 6.000.000,- : 5               = Rp. 1.200.000,-


2. Saudari kandung mendapat : = 3 x 6.000.000,- : 5               = Rp.
3.600.000,-
3. Saudari seayah mendapat : = 1 x 6.000.000,- : 5               = Rp.
1.200.000,-
Jumlah harta keseluruhan = Rp. 6.000.000,-

Kasus diatas ini dapat diselesaikan dengan cara lain seperti perhitungan
di bawah ini:
Cara kedua ini jumlah sisa lebih dari harta warisan, setelah terlebih
dahulu diambil untuk memenuhi bagian masing-masing asg furudh
diberikan lagi kepada mereka menurut perbandingan ketentuan bagian
mereka masing-masing. Seperti contoh dibawah ini:
1. Ibu mendapat         1/6 x Rp. 6.000.000,-  = Rp. 1.000.000,-
2. Saudari kandung   ½ x Rp. 6.000.000,-    = Rp. 3.000.000,-
3. Saudari seayah      1/6 x Rp. 6.000.000,-  = Rp. 1.000.000,-
Jumlah                   = Rp. 5.000.000,-
Jadi sisanya adalah Rp. 6.000.000 –  Rp. 5.000.000 = Rp. 1.000.000
Sisa atau lebih ini diberikan kepada masing-masing ahli waris ash habul
furudh, menurut besar kecilnya perbandingan saham yaitu : 1/6 : ½ : 1/6
=1:3:1
Jumlah perbandingan adalah 1 + 3 + 1 = 5 = 1.000.000,-
Dengan demikian setelah ditashihkan, perolehan masing-masing adalah
sebagai berikut:

1. Ibu                         = Rp. 1.000.000 + 1/5 x Rp. 1.000.000          = Rp.


1.200.000
2. Saudari kandung   = Rp. 3.000.000 + 3/5 x Rp. 1.000.000          = Rp.
3.600.000
3. Saudari ayah          = Rp. 1.000.000 + 1/5 x Rp. 1.000.000          = Rp.
1.200.000
Jumlah keseluruhannya adalah                                                = Rp.
6.000.000
Jelaslah bahwa hasil akhir dari dua perhitungan dalam contoh diatas
sama saja, hanya cara atau jalan penyelesaiannya berlainan namun
demikian cara pertama dalam contoh pertama diatas lebih muda dan
praktis dari lainnya.
Jika diantara ahli waris itu ada yang ditolak untuk menerima radd,
misalnya suami atau istri, maka penyelesaiannya dapat ditempuh salah
satu dari dua cara berikut ini:

Ahli Warist Bahagian Asal Masalah = 12 (lebih 3)

1. Istri 2. Nenek 3. 2 saudari seibu ¼ 1/6 1/3 ¼  x 12 = 3 1/6 x 12 = 2 1/3 x 12 = 4


Jumlah saham seluruhnya =9

Perhitungan tahap pertama :


1. Istri mendapat        3 x Rp. 480.000 : 12   = Rp. 120.000
2. Nenek mendapat    3 x Rp. 480.000 : 12   = Rp.   80.000
3. 2 Saudari seibu      4 x Rp. 480.000 : 12   = Rp. 160.000
Jumlah                   = Rp. 360.000
Adapun harta warisan yang diwarisi berjumlah Rp. 480.000 jadi sisanya
adalah             Rp. 480.000 – Rp. 360.000 = Rp. 120.000
Sisa atau lebih ini di Radd kan kepada nenek dan saudari seibu, secara
sebanding yaitu : 1/6 : 1/3 = 1 : 2
Jumlah perbandingan = 1 + 2 = 3 = Rp. 120.000
Tambahan untuk nenek = 1/3 x Rp. 120.000  Rp. 40.000
Tambahan untuk dua orang saudari seibu = 2/3 x Rp. 120.000 = Rp. 80.000
Dengan demikian penerimaan nenek setelah ditasbihkan secara tuntas =  Rp.
80.000 = Rp. 40.000 – Rp. 120.000.
Penerimaan dua seibu Rp. 160.000 + Rp. 80.000 = Rp. 240.000
Jadi masing-masing mereka menerima Rp. 240.000 : 2 = Rp. 120.000
Dalam hal ini istri tidak menerima tambahan Radd.
Cara kedua, orang yang ditolah menerima Radd diambilkan bagiannya terlebih
dahulu, kemudian sisanya diberikan kepada ash habul furudh yang berhak
menerima Radd, dengan cara saham mereka dijumlahkan lalu diangkat menjadi
asal masalah baru berdasarkan saham-saham mereka lalu jumlah saham-saham
dari asal masalah baru itu dijadikan asal masalah baru dalam Radd.
Dari contoh kasus ini, menurut perhitungan yang kedua ini penyelesaiannya
sebagai berikut di bawah ini:
1. Istri ¼ x 12 = 3 x Rp. 480.000 : 12 = Rp. 120.000 jadi sisa pusaka = Rp.
480.000 – Rp. 120.000 = Rp. 360.000
2. Nenek 1/6 x 12 = 2 Rp. 360.000 : 12 = Rp. 120.000
3. 2 saudari 1/3 x 12 = 4 x Rp. 360.000 : 12 = Rp. 240.000 jadi masing-
masing dua saudari seibu menerima Rp. 240.000 : 2  = Rp. 120.000
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Agama RI.2010. al-Qur’an dan Terjemahnya Bandung: CV


Gema Risalah Press.

Muhibbin, Moh. dan Abdul Wahid,.2009. Hukum Kewarisan Islam sebagai


Pembaruan Hukum Positif di Indonesia Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Abdul Ghofur Anshori.2012. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia:


Eksistensi dan adaptabilitas,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal.
62

Maman Abd Djalal, 2006.Hukum Mawaris, Bandung: CV Pustaka Setia.

Amir Syarifuddin,(2004) Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media,

Suhrawardi K. Lubis, Dkk.1997. Fiqih mawaris, Jakarta: Gaya Mulia


Pratama,

Muhammad Ali Ash Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta:


Gema Insani Press, 1995), 41. 36 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), 30-31.

Anda mungkin juga menyukai