Anda di halaman 1dari 24

POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA:

INDONESIANISASI HUKUM ISLAM*


Oleh:
Kamsi

I. Pengantar
Topik ini didasarkan pada asumsi, bahwa hukum Islam --fikih Indonesia--, didasarkan
pada kepribadian Indonesia sesuai tabiat dan watak Indonesia dengan mengefektifkan ijtihad.1
Itu berarti menjembatani antara pilar ulama dan umara, sekaligus menghubungkan agama dan
negara.2 Dengan demikian fikih Indonesia merupakan bentuk hubungan diadik antara
pendekatan “Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah“ (Fikih) dan “Keindonesiaan“
(Indonesia) itu sendiri.3
Mengindonesiakan hukum Islam (Indonesianization of Islamic law) mengandung dua
kecenderungan; pertama, adalah cita-cita membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia
dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam. Puncaknya ditandai
dengan munculnya konsep fikih (hukum Islam) Indonesia. Kecenderungan kedua adalah
keindonesiaan yang berorientasi konstitusional, yakni memformulasikan hukum Islam dalam
bentuk peraturan perundang-undangan melalui konsensus (Ijma`) ulama Indonesia.4 Dengan
proses demikian hukum Islam menjadi hukum nasional.
Untuk mewujudkan hukum Islam menjadi hukum nasional diperlukan dua syarat, salah
satunya: semua gagasan harus masuk dalam bingkai tata hukum Indonesia ( tanpa perlu
menyebut Islam). Hukum bagi kelompok mayoritas mempunyai prospek untuk diberlakukan,

* Studium General Mahasiswa PPs UMS pada tanggal 8 Februari 2020.


1
Mukti Ali ,“Sambutan“, dalam Nourouzzaman Shiddieqy, Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya,
Biografi, Perjuangan dan Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1997), hlm. vii.
2
Ibid., hlm. iv.
3
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika
(Yogyakarta: Nawesea Press, 2011), hlm. 28.
4
Yudian W. Asmin,“Reorientation of Indonesian Fiqh“,dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fikih
Indonesia: Mengenang Jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994), hlm. 37.
1

dengan tujuan harus selalu dalam rangka memperkuat negara berdasarkan Pancasila. 5
Terminologi Indonesianisasi hukum Islam telah jamak digunakan dalam literatur hukum Islam
di Indonesia seperti terlihat dalam pembahasan Undang–Undang Peradilan Agama di Indonesia
sebagaimana ditulis oleh Mark Cammack.6
Dalam tata hukum di Indonesia, hukum akan dapat diberlakukan jika telah ditetapkan
oleh lembaga negara seperti parlemen, sebaliknya hukum yang belum ditetapkan oleh lembaga
negara yang berwenang secara kategoris tidak dapat disebut hukum meskipun secara harfiyah
disebut hukum.7 Untuk itu, upaya untuk memperjuangkan hukum Islam menjadi hukum positif
merupakan bagian Indonesianisasi hukum Islam. Dengan kata lain Indonesianisasi hukum Islam
yaitu legislasi atau positivisasi hukum Islam melalui instrumen hukum sebagaimana tata hukum
Indonesia yang bisa melahirkan inklusivisme dan toleransi yang dibarengi pluralisme.

Kaitan dengan kontribusi hukum Islam terhadap pembangunan hukum nasional perlu
diformulasikan konsep kesamaan paradigma dalam upaya Indonesianisasi hukum Islam menjadi
hukum Islam sesuai tata hukum Indonesia. Dan dalam forum yang terhormat ini izinkanlah
kami untuk ikut mendorong upaya-upaya tersebut, khususnya Indonesianisasi hukum Islam
menuju positivisasi atau menjadi produk legislasi hukum Islam.

II. Konseptualisasi Indonesianisasi Hukum Islam di Indonesia


UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan
berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat). Hal ini mengisyratkan dengan tegas bahwa hukum
harus memainkan peran yang sangat penting dan menentukan untuk mewujudkan cita-cita
bangsa Indonesia. Di dalamnya sekaligus mengisyaratkan pentingnya politik hukum Islam di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan “ segala badan negara dan peraturan
yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Artinya secara konstitusional hukum Islam tetap berlaku seperti sebelum kemerdekaan.

5
Lihat Akh. Minhaji, “Modern Trendsin Islamic Law: Notes on J.N.D. Anderson’s Life and Thought”, al-
Jami`ah, Vol. 39 No.1. January-Juni 2001, hlm. 271-272.
6
Mark Cammack, “Indonesia's 1989 Religious Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonesianization
of Islam?” dalam Arskal Salim dan Azyumardi A zra (ed.), Shari`a and Polutics in Modern Indonesia, Singapore:
Institute Of Southeast Asian Studies, 2003), hlm. 96.
7
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum: Perbedaan Konsepsi Antara Hukum Barat Dan Hukum Islam” dalam
Jurnal Al-Jami`ah, IAIN Sunan Kaljaga Yogyakarta, No. 63/VI/1999, hlm.35.
2

Penggantian atau perubahan hukum tidaklah mudah dan membutuhkan justifikasi bagi tetap
berlakunya hukum produk kolonial kendati hanya untuk sementara. Rumusan justifikasi yang
demikian jelas memberikan dorongan agar Pemerintah Indonesia segera membuat produk-
produk hukum yang sesuai dengan UUD 1945 dan menghapus semua produk hukum
peninggalan kolonial, terutama yang tidak sejalan dengan UUD 1945.8 Pada waktu yang sama
Pemerintah Indonesia harus menyeleksi hukum-hukum produk kolonial secara cermat jika ada
produk hukum yang tetap dipertahankan karena sangat mungkin di antara produk-produk hukum
kolonial itu memiliki nilai universal sehingga tetap dipertahankan berlakunya di Indonesia. Dasar
konstitusional ini menjadi tugas bangsa Indonesia melalui politik hukum yang berakar pada
filosofi dan budayanya sendiri, satu tugas yang tak ringan karena menyangkut banyak dimensi. 9

Dari sudut pandang hukum, patut disadari bahwa Republik Indonesia yang
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda,
bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Yang
dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih berlaku dalam ketentuan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, bukan
peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula kelanjutan
peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir sebelum terbentuknya negara
Republik Indonesia. 10

Keberadaan dan berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat secara
konstitusional berdasarkan pada tiga alasan. Pertama, alasan filosofis. Ajaran Islam merupakan
pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai
peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila. Kedua, alasan sosiologis.
Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita hukum dan
kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan.

8
Moh. MahfudM.D., Pergulatan Politik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 32
9
Ibid.
10
Yusril Ihza Mahendra, ‘Hukum Islam dan Pengaruhnya terhadap Hukum Nasional Indonesia”, dalam
Seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara oleh Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, pada tanggal 5 Desember 2005.
3

Dan ketiga, alasan yuridis sebagaimana tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 yang
memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.11
Secara umum kedudukan hukum Islam di Indonesia tidak hanya ada dalam Pasal 20 atau 24 UUD
1945 (di samping hukum-hukum lainnya), tetapi secara khusus tercantum juga dalam Pasal 29 ayat (1)
UUD 1945. Maka dalam pembangunan politik hukum nasional kedudukan hukum Islam selain terlihat
sebagaimana disebut di atas, juga terlihat dalam sejumlah aturan-aturan lainnya:

Pertama pada Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang menyatakan bahwa


penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-
faktor agama. Tetapi sampai dengan awal pemerintahan Orde Baru (tanggal 27 Maret 1968) –
saat Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tidak lagi berlaku—tak satupun muncul undang-
undang dalam bidang perkawinan dan kewarisan walaupun Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional telah menyiapkan RUU Peraturan Lengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum
Perkawinan, dan RUU Hukum Waris.12
Kedua, Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahun
Bidang Hukum di dalamnya ditegaskan bahwa hukum Islam merupakan salah satu komponen
tata hukum Indonesia dan menjadi salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional
Indonesia selain hukum adat dan hukum eks Barat.13
Ketiga, Pada Bab IV.A.2. Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999 yang merupakan
produk era reformasi ditegaskan bahwa arah kebijakan hukum nasional, secara garis besar
bersumber hukum adat, hukum agama (dalam hal ini hukum Islam) dan hukum Barat.
Kempat, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.
Dijelaskan bahwa pembangunan hukum nasioanal harus memperhatikan kesadaran hukum dalam
masyarakat dan tuntutan agar pembentukan hukum nasional memenuhi nilai sosiologis yang
sesuai dengan nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Hal ini mengandung pengertian bahwa
pembentukan hukum nasional harus merujuk pada hukum yang hidup di masyarakat. Hukum

11
Abdul Ghani Abdullah, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di
Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, Nomor. 1 tahun V (Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994),
hlm. 94-106.
12
Isma`il Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 135.
13
Muhammad Zainal Abidin, Kedudukan Hukum Islam dalam Negara Republik
Indonesia,http://www.masbied.com/2010/06/04/kedudukan-hukum-islam-dalam-negara-republik-indonesia/.
Diakses tanggal 16 Mei 2011.
4

Islam merupakan hukum yang hidup dalam masyarkat dan dianut oleh mayoritas waraga negara
Republik Indonesia juga merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia dan menjadi
salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional. Untuk itu setiap aturan hukum harus mengikuti
prosedur konstitusional dan sejalan norma hukum serta cita-cita hukum di Indonesia.14

Dengan melihat posisi hukum Islam dari aspek politik yang telah demikian kokoh
tersebut, maka dalam praktek, kita menjumpai hal-hal sebagai berikut: pertama, Peran hukum
Islam dalam mengisi kekosongan hukum positif. Hal ini terlihat dengan diberlakukan hukum
Islam bagi pemeluknya menjadi hukum positif oleh pemerintah melalui pengesahan beberapa
peraturan perundang-undangan.15 Berdasarkan itu hukum Islam telah mengisi kekosongan
hukum bagi umat Islam (lex spesialis) dalam bidang-bidang hukum keluarga, hukum waris,
perwakafan dan zakat. Kedua, Peran hukum Islam memberikan kontribusi dalam sumber nilai
terhadap pembuatan hukum nasioanal. Hukum tersebut berlaku bagi seluruh warga Negara
Indonesia (lex generalis). Sebagai sumber nilai aturan hukum yang akan dibuat, hukum Islam
tidak hanya terbatas pada bidang hukum perdata, tetapi dapat berlaku pula pada bidang hukum
yang lain seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara. Untuk itu
hukum Islam benar-benar berperan sebagai sumber hukum.16

III. Akar Konflik Indonesianisasi Hukum Islam.


Sebagai bagian dari kehidupan manusia di mana pun, mereka tak pernah terbebas dari
konflik, baik dalam skala pribadi, keluaraga maupun kelembagaan17, termasuk lembaga hukum.

14
Didi Kusnadi,“Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum)
dalamhttp:// www.jevuskacom/topic/hukum+islam+di+indonesia+tradisi+pemikiran+politik+hukum+dan+produk.
html. Diakses 15 Mei 2011.
15
Dalam kenyataan sekarang ini terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formal
maupun materiel tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, yaitu (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, (3) Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (4) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun1998 tetang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Bank
Syariah, (5) Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (6) Undang-Undang Nomor 17 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan (7) Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat.
16
LihatIchtiyanto, "Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia," dalam Eddi Rudiana Arief
dkk,, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 1991), hlm.
97
17
Amin Abdullah, Agama dan Resolusi Konflik, disampaikan dalam Kegiatan Seminar Nasional Revitalisasi
Agama Untuk Resolusi Konflik Indonesia, Kerjasama Program Pascasarjana UIN Sunan Kaliaga Dengan
Pemerintah Propinsi Gorontalo, (Yogyakarta: UIN Sunan Kaliaga Yogyakarta, 2008), hlm. 1.
5

Secara historis tersemai konflik dalam problem penenerapan syariat Islam, baik melalui jalur
politik dan konstitusi maupun melalui perjuangan fisik, dan hal itu telah menjadi bagian dari
sejarah panjang perjuangan umat Islam di negeri ini. Namun demikian kenyataan sosial politik
menujukkan bahwa gagasan semacam itu tidak pernah mendapat dukungan mayoritas penduduk
Indonesia. Oleh banyak pengamat fenomena ini dianggap aneh, sebab Indonesia dikenal sebagai
negeri dengan penganut Islam terbesar di dunia. Pertanyaan yang patut kita renungkan:
bagaimana mungkin di negeri yang mayoritas penduduk muslim gagasan penegakkan syariat
Islam tidak pernah mendapat sambutan serius.18

Kenyataan politik menunjukkan bahwa Indonesia secara konstitusional bukan negara


Islam melainkan negara Pancasila. Oleh karenanya, tidaklah mungkin secara formal
kelembagaan umat Islam mewujudkan seutuhnya prinsip Islam tentang hukum terutama dalam
bentuknya yang resmi.19

Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya harus
dirumuskan secara demokratis, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi masyarakat luas
sehingga produk hukumnya sesuai dengan hati nurani rakyat. Jalannya roda kenegaraan tidak
dapat dilepaskan dari bingkai kekuasaan, karena dalam negara terdapat pusat-pusat kekuasaan
yang senantiasa memainkan peranannya sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah
ditentukan. Namun dalam pelaksanaannya satu sama lain sering berbenturan karena kekuasaan
yang dijalankan tersebut berhubungan erat dengan kekuasaan politik yang sedang bermain.
Dalam sebuah negara, kekuasaan hukum dan politik merupakan satu kesatuan yang sulit untuk
dipisahkan, karena semua komponen tersebut senantiasa bermain dalam pelaksanaan roda
kenegaraan dan pemerintahan.20 Karena itu perlu dicari akar konfliknya, yaitu
21
perbedaan tersebut bisa terjadi juga pada upaya positivisasi hukum (Islam).
Hal yang menarik bahkan unik persoalan positivisasi hukum Islamtidak bisa lepas dari
wacana dan perdebatan tentang konsep kebangsaan yang juga membawa gagasan Islam sebagai

18
Ahmad Faissal, “Rekonstruksi Syariat Islam (Kajian Tentang Pandangan Ulama Terhadap Gagasan
Penegakkan Syuar`at Islam Oleh KPPSI di Sulawesi Selatan”, Disertasi Doktor Program Pascasarjana UIN Sunan
Kaliaga, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2004) hlm. 2-3.
19
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum: Perbedaan konsepsi Antara Hukum Barat dan Hukum Islam” hlm. 43
20
Firdaus, “Politik Hukum di Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum)”, dalam Jurrnal
Hukum Islam. Vol. 12 No. 10. September 2005, hlm. 49-50..
21
Amin Abdullah, Agama dan Resolusi Konflik, disampaikan dalam Kegiatan Seminar Nasional Revitalisasi
Agama Untuk Resolusi Konflik Indonesia, hlm. 1.
6

dasar negara dan gagasan lain yang menghendaki berlakunya negara dan hukum lain yang juga
berakar dalam kehidupan rakyat Indonesia.22Berdasarkan catatan sejarah bangkitnya
nasionalisme Indonesia, pada masa tersebut ditandai dengan munculnya pergerakan yang
berjuang melawan kolonial Belanda dan Jepang untuk segera bebas dari cengkeraman penjajah.
Dalam perjuangan ini Islam mempunyai peran penting dalam menentukan eksistensi negeri ini
dan perdebatan tentang apakah negara merdeka kelak berideologi Islam atau non Islam dapat
diikuti dalam catatan-catatan sejarah nasional kita.

Pertama, pada tahun 1916, muncul heboh Jawi Hisworo, yaitu pertarungan politik antara
perjuangan ideologi non Islam melawan Islam. Ketika itu sebuah koran berbahasa Jawa Jawi
Hisworo memuat tulisan yang menghina Nabi Muhammad dengan mengatakannya sebagai
pemabuk dan pemadat yang tentu saja kemudian membangkitkan umat Islam untuk membela
haknya disertai muatan gagasan bahwa masyarakat perlu diatur secara Islam, seperti yang
disyariatkan melalui Nabi Muhammad Saw. Gerakan ini secara gencar disuarakan oleh Sarekat
Islam. Menghadapi reaksi umat Islam seperti ini pada tahun 1918 pendukung Jawi Hisworo
membentuk Panitia Kebangsaan Jawa. Panitia ini mengecam gerakan kelompok Sarekat Islam
dalam kehidupan politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kelompok ini
menandaskan bahwa politik dan agama harus dipisah, sedang kelompok Sarekat Islam justru
ingin mengaitkan politik dengan agama (Islam).

Kedua, Polemik antara Soekarno dan Natsir23 tentang Islam dan Negara. Polemik ini
diawali dari tulisan Soekarno dalam Panji Islam dengan judul Memudakan Pengertian Islam.
Tulisan ini semula dimaksudkan untuk menanggapi tulisan K.H. Mas Mansur yang berjudul
Memperhatikan Gerakan Pemuda di dalam Majalah Adil dan Panji Islam. Tulisan Soekarno
berisi kritik tajam terhadap kekolotan Islam yang dikatakannya perlu dikoreksi pengertian-
pengertiannya. Soekarno mengajak agar paham dan pemikiran Islam selalu diperbaharui dan
tidak dipertahankan secara kolot sebab hukum-hukum Islam itu dapat selalu menyesuaikan

22
Moh. Mahfud MD, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia” dalam Syamsul Anwar, Antologi
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia antara Idealitas dan Realitas, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN Sunan
Kalijaga, 2008), hlm. 60.
23
Polemik antara dua tokoh ini juga terjadi pada masa pascakemerdekan hanya saja objeknya kebijakan
merebut Irian Barat. Mereka berbeda pemikiran strategi politik walaupun mempunyai dampak yang sama, yaitu
ujungnya pada persoalan ideologi antara Nasionalis dengan Islam. Lihat A. Syafii Maarfif, Islam dan Politik di
Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) hlm. 73-
77
7

dengan kultur dan perkembangan keadaan dan dapat cocok dengan kemajuan. Selain itu
Soekarno juga menyinggung hubungan negara dengan agama, yaitu demi kebaikan bahwa
agama dan negara keduanya harus dipisahkan sebagai mana dikemukakan oleh Kemal at-Taturk
pada tahun 1928. Tulisan Soekarno selanjutnya ditanggapi oleh Natsir dengan nama samaran
Muchlis dalam Majalah al-Manar dan Panji Islam dengan judul Perskot dengan melontarkan
keheranannya terhadap Soekarno yang mengagungkan Kemal at-Taturk yang memisahkan
negara dengan agama, dan mengapa pula Soekarno menolak persatuan negara dan agama
dengan alasan tidak ada ijmak. Maka dalam tulisannya Natsir membalik logika Soekarno
tentang ijmak dengan menanyakan, kalau tidak ada ijmak tentang persatuan negara dan agama,
maka adakah ijmak tentang keharusan memisahkan antara agama dan negara. Oleh karena itu
pandangan Soekarno harus ditolak karena tidak ada ijmak.24

Ketiga. Perdebatan formal di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


(BPUPKI) yang dibentuk pada bulan April 1945 maupun dalam Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), suatu badan yang dibentuk untuk menyatakan
kemerdekaan, melakukan pengalihan kekuasaan, mensahkan konstitusi, dan membentuk
pemerintahan bagi Indonesia jika akan merdeka. 25. Di sinilah puncak pertentangan tampak
semakin jelas ketika proses pembentukan dasar negara Republik Indonesia. Pertentangan-
pertentangan seperti ini, selain memang telah ada sebelum Jepang datang, sebenarnya hasil
maksimal dari proses devide et empera yang dilakukan Jepang untuk memperkuat
kedudukannya. 26 Dengan kata lain ketegangan antara golongan Islam dan nasionalis
menjadi jelas ketika Jepang membentuk BPUPKI dan sidang-sidangnya ketika membahas
dasar negara, dengan bentuk kolaborasi dengan beberapa kelompok bangsa Indonesia. Ketika
itu bangsa Indonesia setidak-tidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam kelompok yaitu
elite nasionalis, elite priyayi, dan elite Islam. Dalam melangsungkan kolaborasinya, ketiga

24
Diliar Noer, Gearakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 296.
25
Ibid. hlm. 66.
26
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pedudukan Jepang, alih
bahasa: Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 185.
8

kelompok ini diakomodasi secara bergantian, 27 sehingga sejak itu hubungan politik Islam dan
negara terjadi saling curiga mencurigai yang melahirkan hubungan antagonistik.28

Pada sidang pleno ke-2 tanggal 10-16 Juli 1945 dicapai kesepakatan tentang dasar
negara dan UUD negara yakni Piagam Jakarta dan UUD 1945. Piagam Jakarta yang
dituangkan dalam rancangan Mukadimah mengakomodasi Islam sebagai dasar negara
khusus bagi umat Islam, yang dimasukkan di dalam sila pertama dengan kalimat
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya.”

Terlepas dari isinya yang memang tak diperdebatkan, penyusun Mukadimah


dengan Piagam Jakarta dijelaskan oleh kedua sumber buku secara berbeda. Menurut
keterangan Yamin, Piagam Jakarta itu disusun oleh Panitia Sembilan yang ditunjuk oleh
BPUPKI pada sidang tanggal 1 Juni 1945, 29 tetapi menurut AB Kusuma dikemukakan
bahwa sebenarnya Panitia Sembilan itu tidak pernah dibentuk oleh BPUPKI, melainkan
dibentuk secara spontan dan tidak prosedural oleh Soekarno karena perkembangan situasi
Perang Dunia II yang sedang memanas pada saat itu. Pendapat AB Kusuma ini didasarkan
pada isi pidato Bung Karno sendiri yang meminta maaf kepada sidang BPUPKI karena
telah mengumpulkan 9 orang secara tidak prosedural untuk menyusun rancangan
Pembukaan UUD yang oleh Ir. Soekarno diberi judul “Mukadimah”, oleh Yamin diberi
nama “Piagam Jakarta” dan oleh Dr. Sukiman disebut dengan Gentlemen`s Agreement
karena belum menjadi keputusan BPUPKI. 30.

Perebutan pengaruh politik antar dua kubu, yaitu Islam dan nasionalis tampak ketat
yang demikian terlihat dalam perdebatan pada sidang-sidang di BPUPKI/PPKI. Kelompok
Islam menyatakan bahwa Indonesia kelak harus menjadi negara Islam atau Islam menjadi
ideologi negara. Kelompok nasionalis mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan
nasional. Dalam perkembangan berikutnya kelompok Islam pecah menjadi dua, yaitu kubu
yang tetap ingin ideal dengan cita-cita negara Islam dan kubu yang bersikap akomodatif.
Sementara kelompok Nasionalis pecah menjadi dua juga, yakni nasionalis sekuler dan
27
Ibid., hlm. 209 dan 243.
28
Hubungan Antagonistik, adalah pola hubungan yang mencerminkan hubungan yang hegemonik anatara
Islam dengan pemerintah. Dapat dilihat dalam M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah
Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 9.
29
Moh. Mahfud MD, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia....”, .hlm. 66.
30
MR. AB. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 21.
9

nasionalis agamis. Kelompok Islam akomodasionis inilah yang sekarang bersama dengan
nasionalis agamis berusaha untuk memperjuangkan Islam bukan dari labelnya tetapi
31
substansialnya.

Perdebatan ini merupakan polemik yang tidak pernah berkesudahan sejak


BPUPKI/PPKI pada tahun 1945, masa Orde Lama, masa Orde Baru dan bahkan sampai
pada Orde Reformasi tema ini muncul kembali melalui perdebatan pasal 29 UUD 1945
yang bergulir pada Sidang Tahunan MPR . Dua fraksi partai Islam yaitu Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Bulan Bintang (F-PBB) dalam pemandangan
umum mereka bersikeras untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam batang tubuh
UUD 1945, khususnya pasal 29. Mereka menegaskan dengan ditambahkannya tujuh kata
seperti dalam Piagam Jakarta itu tidak berarti akan terbentuknya negara Islam. 32

IV. Indonesianisasi Hukum Islam Indonesia


Perjalanan hukum Islam dalam tata hukum nasional tidak terlepas dari politik hukum
yang dikembangkan pararel dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Positivisasi
hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun)
merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama
dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan
pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, peranan
elite Islam cukup dominan dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat
legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan. 33Adapun prosedur
pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam
(legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan
negara secara kolektif.

Kekuasaan tersebut juga disebutkan dalam Pasal 20 ayat (4) Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang dan Pasal
21 ayat (2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak

31
Ratno Lukito, Hukum Islam dan Realitas Sosial, (Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN Sunan Kalijaga,
2008), hlm. 61.
32
Arskal Salim and Azyumardi Azra, ‘Introduction The State and Shari`a in the Perspective of Indonesian
Legal Politics’ dalam Arskal Salim and Azyumardi Azra (ed.), Shari`a and Politics in Modern Indonesia,
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hlm. 1.
33
Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976). hIm. 35-48
10

disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.34

Meski demikian baik dari internal maupun eksternal masyarakat Islam hambatan
seringkali muncul. Hal ini dipengaruhi oleh politik hukum --teori receptie--35 dari pemerintah
kolonial Belanda yang diciptakan oleh C. Snouck Hurgronje. Dan realitas politik secara
konstitusional juga harus dipahami bahwa negara kita bukan negara Islam melainkan negara
Pancasila dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, plural yang dihadapkan
pada konfigurasi etnik, agama, dan geografis, maka secara teori pluralistik bahwa masyarakat
majemuk akan dapat membangun sistem sosial politik yang solid dan stabil bilamana mereka
mampu membangun nilai bersama.36

Berkait dengan realitas politik dan konstitusi, muncul berbagai pemikiran atau
pandangan tentang persoalan positivisasi atau legislasi hukum Islam sebagai berikut:
1. Teori Formalistik-Legalistik, penerapan syari’at Islam harus melalui institusi negara
dan syari`at melalui konstitusi harus diusahakan untuk menjaga substansi agama agar
bisa dilaksanakan secara baik. Karenanya secara formalistik harus diperjuangkan,
bagaimana syari`at Islam masuk dalam undang-undang dasar, kemudian diikuti oleh
undang-undang lain.

2. Teori Strukturalistik, Pemikiran strukturalistik dalam penerapan syari`at Islam di


Indonesia menekankan kepada transformasi dalam tatanan sosial dan politik agar
bercorak Islami melalui pendekatan struktural. Pendekatan struktural mensyaratkan
pendekatan politik, lobi atau melalui sosialisasi ide-ide Islam, kemudian menjadi
masukan bagi kebijakan umum.
3. Teori Kulturalistik, pendekatan kultural menekankan transformasi dalam prilaku
sosial agar bercorak Islami. Pendekatan ini hanya mensyaratkan sosialisasi dan
internalisasi syari’at Islam oleh umat Islam sendiri, tanpa dukungan langsung dari
otoritas politik dan institusi negara. Para pendukung pendekatan kultural ini ingin

34
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945 yang telah diamandemen.
35
Teori resepsi dapat dilumpuhkam dengan Iijtihad jama`i atau konsensus jika dilaksanakan dengan
kerjasama yang baik. Lihat Yudian Wahyudi, Ushul Fikih, hlm. 44.
36
Pudjo Suharso, ‘Pluralisme Bangsa Menuju Indonesia Baru’ dalam Khamami Zada-Idy Muzayyad (Ed.),
Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, (Yogyakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Syari`ah IAIN Sunan
Kalijaga bersama Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 147.
11

menjadikan Islam sebagai sumber etika dan moral; sebagai sumber inspirasi dan
motivasi dalam kehidupan bangsa bahkan sebagai faktor komplementer dalam
pembentukan struktur sosial.
4. 4. Teori Subtantialistik-Aplikatif, penerapannya diserahkan kepada umat Islam
sendiri; apakah harus berdasarkan otoritas negara atau bersifat struktural, kultural,
substansial, individu, atau kolektif. Telah menjadi wacana bagaimana menjadikan
hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum
Pancasila.
Untuk melihat hukum Islam dalam tatanan politik hukum di Indonesia, ada beberapa
unsur penting yang saling berhubungan yaitu:

1. Landasan konstitusional, yakni Pancasila dan dioperasionalisasikan secara struktural


dalam UUD 1945.
2. Diimplementasikan norma-norma itu dalam bentuk politik hukum nasional yang
diarahkan kepada perubahan tata hukum untuk menyelenggarakan negara hukum.
3. Perubahan masyarakat, watak alami dan abadi dalam suatu masyarakat, mengalami
perubahan, baik struktur maupun pola budayanya.
4. Perubahan tata hukum itu dilakukan secara nasional, disengaja, berencana, dan
berjangka, yang secara konkret dirumuskan dalam rencana pembangunan nasional di
bidang hukum. Dan ini berhubungan dengan berbagai faktor perubahan dan
kesinambungan hukum Islam.
5. Perubahan itu sebagai hasil interaksi dari berbagai unsur dan potensi masyarakat yang
majemuk, yaitu kalangan elite, untuk mewujudkan norma-norma dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kelima unsur ini memiliki variasi hubungan fungsional (symmetric), hubungan searah
(asymmetric), dan hubungan timbal balik (reciprocal).37

Proses legislasi merupakan perpaduan antara politik hukum nasional dengan kultur
hukum (kesadaran hukum masyarakat). Kedua unsur ini berkait kelidan satu sama lain.
Penyesuaian arah dan tujuan antara keduanya merupakan faktor penentu bagi efektifitas sebuah
legislasi untuk mencapai substansi hukum yang aspiratif sesuai dengan keinginan dan karakter

37
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, hlm. 17.
12

masyarakat, tradisi dan suasana kehidupan keagamaan yang ada di masyarakat. 38 Karena itu
proses legislasi harus memperhatikan prinsip kemanusiaan (humanity), prinsip hak asasi
manusia, dan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law).39 Selain itu prinsip-
prinsip di atas perlu menempatkan negara dan masyarakat dalam dinamika politik yang tidak
saling berbenturan, kompromistik, dan dapat berbagi peran dalam proses pembentukan hukum
(Legisprudence kritik).40 Politik hukum Islam tidak bisa lepas dari model relasi Islam dengan
badan kekuasaan negara.

Hukum adalah produk politik, dan politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh
politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.
Sebagaimana pernah disampaikan oleh Soekarno Presiden Republik Indonesia pertama, produk
hukum dan kebijakan akan bersifat Islam manakala sebagian besar anggota parlemen berasal dari
partai politik yang berasaskan Islam atau orang-orang yang memiliki misi keislaman, maka
keputusan-keputusan parlermen akan diwarnai nilai-nilai ajaran Islam.41

Sebuah keniscayaan bahwa Indonesanisasi hukum Islam dengan langkah legislasi hukum
adalah untuk menuju kodifikasi dan univikasi hukum di Indonesia berhadapan dengan
pluralisme bangsa Indonesia dengan berbagai suku, etnik baik bidang sosial budaya dan politik,
etik serta agama.42 Karena itulah persitegangan antara sistem hukum Islam, Adat dan Barat tidak
dapat dihindari, dan ini telah terjadi sejak zaman pendudukan kolonial di Indonesia.
Persitegangan hukum tersebut tidak jarang berujung pada konflik horizontal maupun vertikal. 43

Ketidak harmonisan adalah akibat dari kebijakan pembangunan hukum nasional yang
mentransplantasikan hukum yang ‘asing’ dengan berbagai cara kepada masyarakat yang
sejatinya mempunyai hukumnya sendiri. Kata asing dalam hal ini dapat dimaknai dalam dua
pengertian, di satu sisi ‘asing’ dapat bersumber dari hukum kaum penjajah yang diterapkan di
38
A.hamid S. Attamimi,”Kedudukan dan Peranan Presiden dalam Fungsi Legislatif Menurut Sistem Politik
Demokrasi Pancasila”. Dalam Mariam Budiharjo dan Ibrahim Ambong (ed), Fungsi Legislatif dalam Sistem politik
Indonesia.(Jakarta :Raja Grafindo Persada.1995) hlm.25
39
Aden Rosadi, Tentang Legislasi dan Politik Hukum di Indonesia, Makalah disampaikan dalam acara
Seminar Nasional STAIN Jurai Siwo Metro, 31 Mei 2016.
40
Ibid.
41
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Djakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964),
I: 407
42
A. Qodri Azizy, Hukum Nasional Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, hlm. 50
43
Lihat proses legislasi RUU Perkawinan Draft UU Tentang Perkawinan dan kini menjadi UU No. 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan.
13

daerah koloninya, dan di sisi lain hukum yang ‘asing’ itu adalah hukum nasional yang menjadi
produk dari unifikasi dan modernisasi hukum, yang mana dua hal tersebut secara langsung
maupun tidak menyingkirkan keragaman hukum rakyat atau anasir sistem hukum yang ada di
luar sistem hukum negara/nasional.44

Selanjutnya dalam rangka Indonesianisasi hukum Islam menuju positivisasi hukum perlu
diperhatikan adanya kaedah-kaedah penuntun nasional45, yaitu:
Pertama hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan karenya
tidak boleh ada hukum yang diskriminatif berdasarkan ikatan primordial, hukum nasional harus
menjaga keutuhan bangsa dan negara baik secara teritori maupun ideologi.
Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah
kebijaksanaan. Pembuatannya harus mencerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukan
dengan cara-cara yang secara hukum atau prosedural fair. Dan tidak cukup dengan demokarasi
tetapi harus disesuaikan dengan falsafah yang mendasarinya.

Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial yang antara lain, ditandai
oleh adanya proteksi khusus oleh negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah agar tidak
dibiarkan bersaing secara bebas btapi tidak pernah seimbang dengan sekelompok kecil bagian
masyarakat yang kuat.

Keempat, tidak boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya
beragam) yang didasarkan ajaran agama tertentu sebab negara hukum Pancasila mengharuskan
tampilnbya hukum yang menjamin toleransi hidup beragama yang berperadaban. Melaului
kaedah-kaedah di atas lahirlah sistem hukum nasional atau sistem hukum Pancasila yang
bercirikan perpaduan antara dua sistem yang bertentangan tetapi dapat di ambil segi-segi
positifnya.

Selain itu upaya Indinesianisasi hukum Islam menuju pembangunan hukum nasional
yang harmonis antara sistem hukum yang ada di Indonesia menjadi peraturan perundang-

44
Mokhammad Najih, Makalah disediakan untuk Conference on “Religion, Law, and Social Stability”
Brighman Young University, Provo, Utah US, 1-4 Oktober 2016.
45
Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’, 2008), hlm. 72.
14

undangan yang diberlakukan oleh negara adalah sangat erat dengan tiga komponen hukum46
yaitu: Substansi hukum (substance rule of the law), peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum;
Struktur hukum (structure of the law), aparatur hukum dan sistem penegakan hukum; Budaya
hukum (legal culture), merupakan penekanan dari sisi budaya secara umum, kebiasaan-
kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang mengarahkan kekuatan sosial dalam
masyarakat. merupakan jiwa atau ruh yang menggerakan hukum sebagai suatu sistem sosial yang
memiliki karakter dan teknik khusus dalam pengkajiannya.
Atas dasar itu, sebagai upaya mengindonesiakan hukum Islam berdasarkan catatan
sejarah ada tiga model atau pola legislasi, yaitu: pertama unifikasi, artinya satu undang-undang
untuk semua golongan adalah suatu langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum
untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional
di negara tersebut. ; kedua diferensiasi, artinya masing-masing golongan mempunyai undang-
undang sendiri; ketiga diferensiasi dalam unifikasi artinya ada satu undang-undang pokok
selanjutnya masing-masing golongan ada undang-undang atau peraturan organiknya sendiri-
sendiri.

Maka untuk mengimplementasikannya yang terpenting bahwa hukum Islam mampu


bersaing dengan sistem hukum yang lain agar menjiwai dan melandasi bagi bangunan hukum
nasional. Menurut Padmo Wahjono sebagaimana dikutip oleh Alamsjah Ratu Prawiranegara,
untuk mewujudkan hukum Islam menjadi hukum nasional diperlukan dua syarat. Pertama
keberanian. Tanpa keberanian, semua gagasan tidak akan jalan. Kedua, semua gagasan harus
masuk dalam bingkai Pancasila. Melalui Pancasila itulah, tanpa perlu terlalu banyak menyebut
Islam, hukum mayoritas mempunyai prospek untuk diberlakukan. Sebab jelas sekali, sila
pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak lain adalah tauhid, Jadi yang diperlukan
adalah orang yang pintar agama sekaligus pintar politik. Dan tema kita harus selalu dalam rangka
memperkuat Negara yang berdasarkan Pancasila.47

46
Lawrence M. Friedman; The Legal System; A Social Scince Prespective, (New York: Russel Sage
Foundation, 1975), hlm. 12 – 16.
47
Alamsjah Ratu Prawiranegara “Strategi Perjuangan Umat Islam di Bidang Hukum” dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H.,
hlm. 244.
15

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat bahwa untuk melakukan reaktualisasi


hukum Islam diperlukan tiga syarat yang harus dipenuhi:

1. Adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim.
2. Adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak
konvensional dari pasangan-pasangan pilihan (antara wahyu dan akal; antara kesatuan
dan keragaman; antara idealisme dan rasionalisme; antara stabilitas dan perubahan).
3. Memahami faktor-faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu
produk pemikran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk
pemikiran hukum. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan
unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan
sendirinya harus diubah. Dengan demikian dinamika hukum Islam terus dapat dijaga dan
dikembangkan.48Sebagaimana diterangkan oeh An-Naim yang menjelaskan bahwa tidak
etis jika sabda Tuhan (agama) dijadikan konstitusi negara karena agama merupakan hak
individu yang memiliki kebebasan yang sama dalam soal ini. Jika dipaksakan menjadi
konstitusi negara tanpa mengakomodir pihak-pihak lain pasti akan terjadi konflik .49
Bebarapa hukum Islam yang masuk dalam pola hubungan antara hukum Islam dengan
hukum nasional50 artinya “hukum Islam” yang diformalisasikan menjadi hukum positif yaitu:
a. Hukum Islam hanya untuk umat Islam:
1) Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 dan
UU No.50 Tahun 2009 tersebut mengandung Asas Personalitas Keislaman;
2) Penyelenggaraan Ibadah Haji diatur dalam UU No. 17 Tahun 1999 jo UU No. 13
tahun 2008;
3) Pengelolaan Zakat diatur dalam U No. 38 tahun 1999 jo No. 23 Tahun 2011 UU No.
38 tahun 1999 ;
4) Wakaf diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004;

48
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998) hlm. 97-102.
49
Abdullah Ahmad An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Mengasikan Masa Depan Syari`ah, hlm. 27.
50
Ichtjanto S.A, ’Prospek Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara dalam Sisitem Politik Hukum di
Indonesia’, dalam Amrullah Ahmad Dkk (Pe1nyusun), Dimensi Hukum Islamdalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), hlm. 183. Dan
Ichtjanto S.A,, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Departenen Agama RI, 2003), hlm. 37.
16

5) Perbankan Syariah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008;


6) Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 jo
Keputusan Menteri Agama No.154 Tahun 1991, adalah sebuah cara untuk
melakukan penataan di bidang perkawinan dan bidang kewarisan bagi umat Islam.
b. Hukum Islam masuk dalam hukum nasional secara umumn yang memerlukan pelaksanaan
khusus.
1) Perkawinan diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang, beserta peraturan
pelaksana, yaitu PP. No. 9 Tahun 1975. Kemudian PP No. 45 Tahun 1990 Tentang
Tatacara Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
2) Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam UU. No. 11 Tahun 2012;
3) Kejahatan Dalam Rumah tangga (KDRT), UU No.32 Tahun 2004, secara substansial
menghendaki adanya perlindungan pihak yang berada dalam lingkup keluarga
mendapat perlindungan baik dari aspek pribadi, maupun dari aspek publik;
4) Pemerintahan Aceh diatur UU No. 11 Tahun 2006, lembaga peradilan secara khusus
di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai bagian dari sistem peradilan
nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah.
c. Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku
untuk setiap warganegara Republik Indonesia, contoh UU No. 23 Tahun 1990 Tentang
Kesehatan.

V. Catatan Akhir
Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah Negara Islam, dan bukan pula Negara
sekuler. Kenyataan politik menunjukkan bahwa secara konstitusional Indonesia merupakan
negara Pancasila. Oleh karenanya, tidaklah mungkin secara formal kelembagaan umat Islam
mewujudkan seutuhnya prinsip Islam tentang hukum terutama dalam bentuknya yang resmi.

Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang bhinneka (Pluralitas), maka
hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang hidup. Hal yang sama juga berlaku
bagi pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri. Negara dapat pula
mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang-bidang tertentu dan menjadikannya
sebagai bagian dari hukum nasional. Untuk itu,semua harus mengikuti prosedur konstitusional
dan sejalan norma hukum serta cita-cita hukum Nasional.
17

Hukum adalah produk politik. Karena itu politik hukum cenderung mendiskripsikan
pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.
Politik Hukum Islam adalah upaya kebijakan pemberlakuan hukum Islam sebagai salah satu
hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan memperhatikan segi kebhinnekaan (Pluralitas).
Dan dalam proses pemberlakuan menuju positivisasi hukum perlu diperhatikan adanya kaedah-
kaedah penuntun nasional yaitu:

Pertama hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan tidak
boleh bersifat diskriminatif berdasarkan ikatan primordial.Hukum nasional harus menjaga
keutuhan bangsa dan negara baik secara ideologi maupun teritori.
Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah
kebijaksanaan. Pembuatannya harus mencerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukan
dengan cara-cara fair, baik secara hukum maupun prosedural. Dan tidak cukup dengan
demokrasi tetapi harus sesuai dengan falsafah yang mendasarinya.
Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial yang antara lain, ditandai
oleh adanya proteksi khusus oleh negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah agar tidak
dibiarkan bersaing secara bebas dengan sekelompok masyarakat yang kuat.
Keempat, tidak boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya
beragam) yang didasarkan pada ajaran agama tertentu. Sebab negara hukum Pancasila
mengharuskan tampilnya hukum yang menjamin toleransi hidup beragama yang berperadaban.
Melaului kaedah-kaedah di atas lahirlah sistem hukum nasional atau sistem hukum Pancasila
yang bercirikan perpaduan antara sistem yang bertentangan tetapi dapat diambil segi-segi
positifnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah proses legislasi. Proses legislasi merupakan
perpaduan antara politik hukum nasional dengan kultur hukum (kesadaran hukum masyarakat).
Kedua unsur ini berkait berkelindan satu sama lain. Penyesuaian arah dan tujuan antara keduanya
merupakan faktor penentu bagi efektifitas sebuah legislasi untuk mencapai substansi hukum
yang aspiratif sesuai keinginan dan karakter masyarakat, tradisi dan suasana kehidupan
keagamaan yang ada di masyarakat. Karena itu proses legislasi harus memperhatikan prinsip
kemanusiaan (humanity), prinsip hak asasi manusia(human rights), dan prinsip persamaan di
depan hukum (equality before the law).
Selain itu prinsip-prinsip di atas perlu persyaratan tertentu, antara lain:
18

1. Adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim.
2. Adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak
konvensional dari pasangan-pasangan pilihan seperti: antara wahyu dan akal; antara
kesatuan dan keragaman; antara idealisme dan rasionalisme; antara stabilitas dan
perubahan.
3. Memahami faktor-faktor politik dan sosio-kultural yang melatarbelakangi lahirnya suatu
produk pemikran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularitas dari produk
pemikiran hukum. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan
unsur-unsur partikularitas yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan
sendirinya harus diubah.

Dengan prinsip dan persyaratan tersebut, kita dapat menempatkan negara dan masyarakat
dalam dinamika politik yang tidak saling berbenturan, kompromistik, dan dapat berbagi peran
dalam proses pembentukan hukum (Legisprudencecritick). Dengan demikian positivisasi hukum
Islam merupakan bagian Indonesianisasi hukum Islam, yaitu legislasi melalui instrumen hukum
dalam tata hukum Indonesia sehingga hubungan antar hukum tidak lagi bersifat diadik, yaitu
antara fikih dan adat (Indonesia) saja, tetapi juga harus bersifat triadik dengan menghadirkan
“dunia ketiga“, yaitu hukum positif Indonesia yang dapat melahirkan inklusivitas dan toleransi
yang dibarengi pluralis dengan diferensiasi dalam univikasi.

Demikanlah mudah-mudahan uraian ini ada manfaatnya, meskipun sudah pasti banyak
retaknya, Wallahu a`lam bisawab.
Wabillahi taufiq wal hidayah
Wassalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yogyakarta, 07 Februari 2020.


19

BIBLIOGRAFI

Abd. Rohim Ghazali&Saleh Partaonan Daulay (ed.), Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif:
70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, Jakarta: Maarif Institute, 2005.

Abdullah, Abdul Ghani, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi
Hukum Islam di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, Nomor. 1 tahun V , Jakarta: al-
Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994.

Abdullah An-Naim, Dekonstruksi Syari`ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan
Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakaerta: LKiS, 1994.

--------------------------, Islam dan Negara Sekuler: Mengasikan Masa Depan Syari`ah, Bandung:
Mizan, 2007.

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islamdalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2008.

Aden Rosadi, Tentang Legislasi dan Politik Hukum di Indonesia, Makalah disampaikan dalam
acara Seminar Nasional STAIN Jurai Siwo Metro, 31 Mei 2016.

Ahmad Faissal, Rekonstruksi Syariat Islam (Kajian Tentang Pandangan Ulama Terhadap
Gagasan Penegakkan Syuar`at Islam Oleh KPPSI di Sulawesi Selatan, Yogyakarta:
Disertasi Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kaliaga, 2004.

Akh Minhaji, “Modern Trends in Islamic Law: Notes on J.N.D. Anderson’s Life and Thought”,
al-Jami`ah, Vol. 39 No.1. January-Juni 2001.

Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, Bandung: Al-Ma’arif. 1976.

Amin Abdullah, Agama dan Resolusi Konflik, disampaikan dalam Kegiatan Seminar Nasional
Revitalisasi Agama Untuk Resolusi Konflik Indonesia, Kerjasama Program Pascasarjana
UIN Sunan Kaliaga Dengan Pemerintah Propinsi Gorontalo, Yogyakarta: UIN Sunan
Kaliaga Yogyakarta, 2008.

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th.
Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H., Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
20

Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.

Arskal Salim and Azyumardi Azra (ed.), Shari`a and Politics in Modern Indonesia, Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2003.

Attamimi, A. Hamid S., “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam


Penyelenggaraan Pemenntah Negara: Suatu Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Disertasi Doktor Universitas
donesia Jakarta: UI, 1990.

Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional,Kompetisi anatara Hukum Islam dan Hukum
umum, Yogyakarta: Gama Media , 2002.

Batubara, M.A., Disertatiom Review, Joko Mirwan Muslim,”‘Islamic Law and Sosial Change
Sosial Change: A Comparative Study of The Institutionalization and Codification of
Islamic Family Law in the Nation State Egypt and Indonesia 1990-1995”

Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pedudukan
Jepang, alih bahasa: Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.

Diliar Noer, Gearakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.

Firdaus, “Politik Hukum di Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum)”, dalam
Jurrnal Hukum Islam. Vol. 12 No. 10. September 2005.

Friedman, Lawrence M., The Legal System; A Social Scince Prespective, New York: Russel
Sage Foundation, 1975

Gibb, H.A.R, The Modern Trends in Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1950.

Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariah Islam, Jakarta: HTI, 2002.

Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI, 2003.

Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Kamsi, Pemikiran Hukum Islamdan Peradilan Agma di Indonesia,Yogyakarta: Cakrawala


Media, 2007.

Khamami Zada-Idy Muzayyad (ed.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia,
Yogyakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Syari`ah IAIN Sunan Kalijaga bersama Pustaka
Pelajar, 1999.

Kusuma MR. AB., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004.
21

Maarfif, A. Syafii, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-
1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.

MD, Moh. Mahfud,.“Politik: Hukum Perbedaan Konsepsi Antara Hukum Barat Dan Hukum
Islam” dalam Jurnal Al-Jami`ah, IAIN Sunan Kaljaga Yogyakarta, No. 63/VI/1999,
hlm.35.

-------------------------., Pergulatan Politik Hukum di Indonesia,Yogyakarta: Gama Media, 1999.

--------------------------, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia” dalam Syamsul


Anwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia antara Idealitas dan Realitas,
Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Mahendra, Yusril Ihza , ‘Hukum Islam dan Pengaruhnya terhadap Hukum Nasional Indonesia”,
dalam Seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara oleh Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, pada tanggal 5 Desember 2005.

Mariam Budiharjo dan Ibrahim Ambong (ed), Fungsi Legislatif dalam Sistem politik
Indonesia.Jakarta :Raja Grafindo Persada.1995.

Mokhammad Najih, Makalah disediakan untuk Conference on “Religion, Law, and Social
Stability” Brighman Young University, Provo, Utah US, 1-4 Oktober 2016.

Mudzhar, H.M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998.

Mukti Ali, “Sambutan“, dalam Nourouzzaman Shiddieqy, Fikih Indonesia: Penggagas dan
Gagasannya, Biografi, Perjuangan dan Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997.

Rais, M.Amin, Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987.

Ratno Lukito, Hukum Islam dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Fakultas Syari`ah UIN Sunan
Kalijaga, 2008

-----------------, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2008.

Rifyal Ka`bah, HukumIslam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Rosyadi, A. Rahamat dan Ahmad, H.M. Rais, Formalisasi Syari`at Islam Dalam Perspektif Tata
Hukum Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia,2004.
22

Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Djakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,
1964.

Tjun Surjaman (ed.), Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1991.

Yudian Wahyudi, Ushul Fiqih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika,
Yogyakarta: Nawesea Press, 2011.

----------------------- ,“Reorientation of Indonesian Fiqh“,dalam Yudian W.Asmin(ed.), Ke


Arah Fikih Indonesia: Mengenang Jasa Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Yogyakarta:
Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994.

Undang-Undang Nomor 1 Ttahun 1974 tentang Perkawinan.

UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang dirubah
dengan UU No.50 Tahun 2009 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama; UU No. 6 Tahun 2006 Tentang Perrubahan , UU No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji,

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Bank Syariah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Kejahatan Dalam Rumah tangga (KDRT),

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang


Nasional Tahun 2005-2025.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

PP Nomor 28 Ttahun 1977 tentang Perwakafan.

Inpres Nomor 1 Ttahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.


23

Anda mungkin juga menyukai