Penelusuran dan penelitian terhadap Hukum Islam di masa kerajaan agaknya hanya terbatas pada
wilayah kesultanan, tidak merambah ke karajaan Hindu-Budha. Proses Islamisasi melalui jalur
perdagangan ternyata mempengaruhi cara penduduk asli mengkotak-kotakkan strata. Menurut mereka,
kelompok pedagang ini termasuk orang-orang yang beruntung, karena harta kekayaan yang dimiliki. Hal
ini tidak lepas dari pengkelasan yang dilakukan oleh agama sebelumnya, yaitu Hindhu.Tentunya aturan
kewarisan didasarkan atas Hukum Waris Islam dan diakulturasikan dengan Hukum adat setempat.
Lalu berkembanglah Islam di nusantara ini melalui peran para wali, yang menumpang kapal para
saudagar. Akhirnya tradisi tahkim, warisan dari Zaman Ali bin Abi Thalib pun diperkenalkan ke negeri
ini, prinsip musyawarah dan fatwa mulai menghiasi corak Hukum Adat, terutama di lingkungan
Kesultanan.
Semenjak Kesultanan pertama, Malik Al-Shalih ( w. 1297 M), pola tahkim mulai berkembang
menjadi tauliyah, yakni putusan diserahkan pada Qadhi. Inilah awal mula peradilan Islam di Indonesia
terbentuk.
Rumusan Masalah
3. Bagaimanakah pengaruh agama Islam dalam dinamika hukum Islam kala itu?
Pembahasan
Menurut Seminar Masuknya Islam di Indonesia tahun 1963, diputuskan bahwa Islam masuk ke
Nusantara awal abad ke-7 M. Sejak abad ke-13/14 M, baru Islam dianggap sebagai kekuatan politik dan
Periode tauliyah, para hakim-hakim diangkat oleh raja-raja Islam selaku waliyul’amri.
Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 13/14 M yang di mulai di kerajaan Samudera Pasai.
Penyiaran Islam ini di bawa oleh para pedagang-pedagang dari Hadramaut dan Gujarat India dan
sebagian kecil dari orang-orang Persia. Perkembangan Islam pada masa ini lebih dominan di daerah-
daerah pesisir pantai yang lebih dekat dengan pelabuhan sedangkan di daerah-daerah pedalaman Islam
Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan Islam yang menerapkan hukum pidana Islam.
Menurut Hamka, dari Pasailah dikembangkan faham Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya
di Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka
datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka
Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang.
Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan
itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan
banding kepada ulee balang (pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada
Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas Malikul
Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih (ulama).
Pelaksanaan hukum pidana Islam telah dilaksanakan dikerajaan ini, seperti pelaksanaan hukuman
rajam untuk Meurah Pupoek, seorang anak raja yang terbukti melakukan zina. Pelaksanaan hukum Islam
pada kerajaan ini tidak mengenal jabatan atau golongan, mulai dari keluarga kerajaan sampai rakyat biasa
apabila terbukti melanggar hukum Islam pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya.
Jika dilihat sepintas, peradilan di Samudera Pasai ini memiliki hierarki seperti peradilan di saat
ini, disana ada peradilan tingkat pertama (keuchik), tingkat kedua (ulee balang), dan tingkat akhir (MA).
Meski tidak sekompleks sekarang ini dimana peradilan mencakup ruang lingkup masing-masing seperti
pengadilan militer, pengadilan TU, pengadilan umum, dan pengadilan tinggi. Tetapi peradilan di masa
Kesultanan Samudera Pasai ini telah menjadi embrio peradilan Islam di Indonesia.
Saat diperintah oleh Sultan Agung, peradilan Negara disebut peradilan pradata, yang dipimpin
oleh raja. Pradata sendiri berarti pradatan, yaitu tempat yang terpisah dari serambi masjid. Pradata
dilaksanakan di pendhopo. Pradata ini mengatur perkara publik dan privat. Pradata juga berkembang
menjadi peradilan surambi yaitu memasukkan unsur-unsur dari hukum Islam. Surambi dipimpin oleh
penghulu dan dibantu oleh alim ulama sebagai anggota majelis (lihat di buku Oyo Sunaryo Mukhlas,
Surambi memberikan ruang penyelesaian perkara Adat Jawa. Selain itu juga diberikan ruang
untuk para alim ulama dalam memberikan nasehat kepada Sultan. Di masa Kesultanan Mataram ini telah
dikenal istilah perdata dan pidana, jika dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan
Mataram ini jauh lebih spesifik dan mampu mengakomodasi hukum adat setempat, yakni adat Jawa.
C. Peradilan di Priangan
Priangan, khususnya di Kesultanan Cirebon juga memiliki peradilan, yaitu peradilan agama,
drigama, dan cilaga yang berkewenangan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Peradilan agama
adalah peradilan yang mengusut tuntas perkara agama dengan berdasarkan hukum adat. Sementara
peradilan cilaga, adalah peradilan khusus niaga/ dagang. Jika dibandingkan dengan peradilan Di masa
Samudera Pasai dan Mataram, maka peradilan di Cirebon ini telah sempurna, dilihat dengan adanya
peradilan ekonomi yaitu cilaga, dan peradilan agama. Mungkin hal inilah yang menjadi rujukan bagi
Ketegasan hakim dinilai sebagai posisi sentral dalam menentukan nasib para pihak yang
berselisih. Maka sebagai calon hakim, perlu memenuhi persyaratan ketat yang ditentukan dalam panca
· Kartika, dengan dilambangkan sebagai bintang. Artinya hakim harus bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Seorang hakim bertanggung jawab dalam memutuskan perkara dan kepada
Tuhannya.
· Cakra, dilambangkan sebagai senjata dewa, cakra. Artinya, hakim harus membasmi
· Candra, dilambangkan sebagai bulan. Artinya, hakim harus arif, berwibawa, dan bijaksana
· Sari, dilambangkan sebagai bunga. Artinya hakim harus dapat dicontoh, baik saat
· Tirta, dilambangkan sebagai air. Artinya, hakim harus bersih dari gratifikasi.
Sistem pengadilan di Cirebon dilaksanakan oleh tujuh orang Menteri yang mewakili tiga Sultan,
yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang itu
diputuskan menurut Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilullah.
D. Peradilan di Banten
Pengadilan Islam di Banten dipimpin oleh seorang qadhi sebagai pemutus perkara tunggal.
Dalam hal ini tidak dijelaskan secara gambling bagaimana bentuk peradilan di masa itu, akan tetapi dapat
dilihat bahwa peran qadhi disini sangatlah vital dalam memutuskan perkara. Hal ini sama seperti di jaman
Di banten inilah Islam memang sudah masuk sejak dulu. Meskipun hampir bersamaan memeluk
agama Islam dengan Cirebon, tetapi Cirebon masih terikat dengan norma-norma hukum dan adat
kebiasaan Jawa-kuno. Ini nampak dari perbedaan dalam tata peradilan di kedua kesultanan itu. Pengadilan
di Banten disusun menurut pengertian Islam. jika sebelum tahun 1600 pernah ada bentukan-bentukan
pengadilan yang berdasarkan pada hukum Hindu. Namun saat Sultan Hasanudin memegang kekuasaan,
sudah tidak ada lagi bekas dari hukum hindu. Di abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan,
yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun ada satu hukum / peraturan yang
masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu, bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi,
Maka dapat disimpulkan bahwa meskipun qadhi adalah pemutus perkara tunggal, tetapi masih
Tidak banyak sumber yang menyebutkan sejarah peradilan Islam di Kerajaan Sulawesi. Mungkin
di wilayah kesultanan. Pada masa Sultan Malikus Said, dibentuklah parewa Syara’ (pejabat agama)
sederajat dengan parewa adek (pejabat adat). Parewa Syara’ ini dipimpin oleh seorang qadhi. Secara jalur
kultural, Islam memberikan sumbangan pemikiran bahwa pembentukan kampung harus terdapat langgar
dan imam.
Maka peran qadhi disini sangatlah kuat dalam pemutusan perkara dan menduduki posisi penting
Kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-qadhi, ialah hakim
serta penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugas mereka, terutama adalah menangani masalah-
masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping
menangani masalah-masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana atau
dikenal dengan Had. Tercatat dalam sejarah Banjar, diberlakukannya hukum bunuh terhadap orang Islam
yang murtad, hukum potong tangan untuk mencuri, dan mendera siapa saja yang kedapatan melakukan
zina. Bahkan dalam tatanan hukum kerajaan Banjar telah dikodifikasikan dalam bentuk sederhana,
aturan-aturan hukum yang sepenuhnya berorientasi kepada hukum Islam, kodifikasi itu dikenal kemudian
Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan dalam
kerajaan, tetapi lebih jauh diakui sebagai ‘Ulul Amri kaum muslimin di seluruh kerajaan.
Artinya, di kesultanan Banjar sudah diatur bagaimana mengatasi masalah perdata dan pidana.
Sehingga dengan adanya agama Islam, maka pengaruh hukum Islam sangatlah besar dalam merumuskan
hokum di kesultanan Banjar. Selain kesultanan yang bersifat toleran terhadap peran Islam, mereka juga
1. Struktur Peradilan di kerajaan Samudera Pasai adalah Tingkat pertama dilaksanakan oleh
pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-
perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang
(pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara di kerajaan Mataram, strukturnya ialah Pradata ini
mengatur perkara publik dan privat. Pradata juga berkembang menjadi peradilan surambi yaitu
memasukkan unsur-unsur dari hukum Islam. Surambi dipimpin oleh penghulu dan dibantu oleh alim
2. Kerajaan Cirebon memiliki Peradilan agama, yaitu peradilan yang mengusut tuntas perkara
agama dengan berdasarkan hukum adat dan peradilan cilaga, yaitu peradilan khusus niaga/ dagang .
Kesultanan Banten, memiliki satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim
seorang diri. Namun ada satu hukum / peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu,
bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja.
dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping menangani masalah-
masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana, sementara Kerajaan
Gowwa-Tallo, dibentuk parewa Syara’ (pejabat agama) sederajat dengan parewa adek (pejabat adat).
Parewa Syara’ ini dipimpin oleh seorang qadhi. Prosedur peradilannya sama persis dengan peradilan
Daftar pustaka :
1. Abdul Halim, “Politik Hukum Islam Indonesia.” (Ciputat Press: 2005) hlm. 48