Anda di halaman 1dari 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 CHRONIC KIDNEY DISEASE


A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronic didefinisikan sebagai
kelainan ginjal struktur atau fungsi, yang berlangsung selama ≥ 3 bulan (Dipiro, 2020).

B. Patofisiologi
Paparan setiap faktor resiko dapat menyebabkan berkurangnya massa nefron dan area
filtrasi. Oleh karena itu nefron mengimbangi kondisi tersebut melalui proses autoregulasi.
Hasilnya penurunan tekanan perfusi dan GFR, pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular
meningkat yang memicu vasokonstriksi pada aferen dan eferen arteriol. Kemudian arteri renalis
mengalami penebalan dinding pembuluh darah akibat seringnya menahan tekanan tinggi. Lumen
mengecil yang menyebabkan suplai darah semakin berkurang dan O2 beserta nutrisi lainnya
yang dibutuhkan oleh tubuh berkurang. Hal ini menyebabkan cedera iskemik glomerulus
nefrotik yang akan mengaktifkan sel-sel imun tubuh seperti makrofag yang berinfiltrasi ke
glomerulus yang rusak. Selain itu, faktor pertumbuhan TNF-B1 release yang menyebabkan sel
mesangial ke bentuk immature nya yaitu mesangioblast yang mengeluarkan matrix extracellular.
Ekpansi matrix ekstraselular yang berlebih menyebabkan glomerulosclerosis yang menginisiasi
terbentuknya jaringan parut yang kaku dan keras sehingga menurunkan filtrasi dan permeabilitas
terhadap senyawa-senyawa yang akan di filtrasi.

C. Penatalaksanaan
Ginjal pasien CKD stadium 5 tidak berfungsi baik sehingga membutuhkan terapi
pengganti ginjal untuk bertahan hidup seperti (HD), Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) dan transplantasi ginjal (Nusantara dkk, 2021). Keunggulan penggunaan
CAPD pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir adalah dapat melakukan dialisis
secara mandiri tanpa harus ke rumah sakit dan fungsi ginjal sisa pada pasien CAPD yang lebih
terjaga dibandingkan pasien HD (Lydia, 2020).
1.2 PNEUMONIA
A. Definisi
Pneumonia adalah peradangan paru yang menyebabkan nyeri saat bernafas dan
keterbatasan intake oksigen (Farida dkk, 2017).

B. Patofisiologi
Patogen terhirup sebagai droplet yang terkontaminasi Kemudian percabangan
trakeobronkial memerangkap mikroba di lapisan saluran napas. Makrofag alveolar residen
membersihkan dan membunuh patogen yang terhirup (Kasper et al, 2015). Makrofag menelan
patogen dan memicu molekul sinyal atau sitokin seperti TNF-a, IL-8, dan IL-1 yang
merekrut sel inflamasi seperti neutrofil ke tempat infeksi. Sitokin berfungsi untuk menyajikan
antigen ke sel T yang memicu mekanisme pertahanan seluler dan humoral, mengaktifkan
komplemen dan membentuk antibodi melawan patogen. Hal ini menyebabkan radang parenkim
paru dan membuat lapisan kapiler "bocor", yang menyebabkan penyumbatan eksudatif (Jain et al,
2021). Kebocoran kapiler menyebabkan infiltrat radiografi dan rales terdeteksi pada auskultasi,
dan hipoksemia terjadi akibat pengisian alveolar. Selain itu, beberapa bakteri patogen tampaknya
mengganggu vasokonstriksi hipoksemik yang biasanya terjadi pada alveoli yang berisi cairan,
dan gangguan ini dapat menyebabkan hipoksemia berat. Penurunan pemenuhan kebutuhan akibat
dari kebocoran kapiler, hipoksemia, peningkatan dorongan pernapasan, peningkatan sekresi, dan
kadang-kadang bronkospasme terkait infeksi semuanya menyebabkan dispnea. Jika
cukup parah, perubahan mekanisme paru-paru akibat penurunan pemenuhan dan volume paru-
paru serta pemindahan darah intrapulmonal dapat menyebabkan gagal napas dan kematian pasien
(Kasper et al, 2015).

C. Penatalaksanaan

Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan antibiotik tertentu


terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan
terapi kausal terhadap kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan
antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.
1. 3 EFUSI PLEURA

A. Definisi
Efusi pleura didefinisikan sebagai penimbunan cairan berlebihan dalam rongga
pleura (Lantu dkk, 2016).

B. Patofisiologi

Rongga pleura normal hanya memiliki beberapa mililiter cairan, yang


membantu melumasi gerakan normal ke sanasini selama bernapas. Cairan, udara, dan
partikel dapat bergerak ke rongga pleura dari berbagai bagian tubuh karena tekanannya
yang rendah dan kemampuannya menahan sejumlah besar cairan atau udara (Pranita,
2020). Efusi pleura yaitu sebagai akibat dari peningkatan pembentukan cairan pleura
dalam interstisial paru, pleura parietalis parietalis atau rongga peritoneum atau
oleh karena penurunan pembuangan cairan pleura oleh limfatik pleura parietalis
(Lantu dkk, 2016). Ada dua tipe penyebab utama dari efusi pleura, yaitu efusi pleura
transudatif dan eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh beberapa kombinasi
dari peningkatan tekanan hidrostatik atau berkurangnya tekanan onkotik kapiler;
misalnya gagal jantung, sirosis, dan sindrom nefrotik. Efusi pleura eksudatif
disebabkan oleh proses lokal yang mengakibatkan perubahan pada pembentukan
dan penyerapan cairan pleura; peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
eksudasi cairan, protein, sel, dan komponen serum lainnya Penyebab yang paling
sering terjadi, yaitu pnemonia, malignansi, dan pulmonary embolism, infeksi virus, dan
tuberculosis (Dwianggita, 2016).

C. Penatalaksanaan
Thorasentesis terapeutik ulang sesuai untuk pasien dengan prognosis buruk (<3 bulan)
dan reakumulasi cairan yang rendah. Kateter pleura yang menetap dengan drainase
intermiten biasanya merupakan prosedur pilihan pada efusi pleura ganas. Kateter
pleura yang tinggal di dalam tubuh telah dibuktikan memberikan peredaan gejala
yang signifikan, dan 50% hingga 70% pasien mencapai obliterasi spontan dari rongga
pleura (pleurodesis) setelah 2 hingga 6 minggu (Pranita, 2020).
1.4 EMPYEMA

A. Definisi
Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang berhubungan
dengan terjadinya infeksi paru (Hasan dan Ambarwati, 2018)

B. Patofisiologi
Perkembangan proses empiema dibagi menjadi tiga tahap yaitu eksudatif
sederhana, fibrinopurulen dan organisasi. Pada tahap eksudatif terdapat peningkatan
produksi sitokin proinflamasi seperti interleukin 8 (IL-8) dan tumor necrosis factor a
(TNFa) sehingga menyebabkan peningkatan cairan ke dalam rongga pleura oleh karena
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler. Efusi tersebut akan sembuh secara
spontan dengan terapi antibiotik untuk pneumonia yang mendasari. Tetapi jika terapi
yang diberikan tidak adekuat pada tahap eksudatif maka inflamasi pada parenkim
paru akan terus berlanjut ke tahap fibropurulen yang ditandai dengan
peningkatan cairan pleura dan adanya invasi bakteri pada rongga pleura melalui
endothelium yang rapuh. Invasi bakteri memicu respon imun sehingga mendorong
migrasi neutrophil dan aktivasi jalur koagulasi.
Penekanan aktivitas fibrinolitik disebabkan karena meningkatnya titer
penghambat aktivitas fibrinolitik spesifik seperti plasminogen activator inhibitor
(PAI) 1 dan PAI 2 dan penurunan tissue type plasminogen activator (tPA). Hal ini
mengakibatkan endapan fibrin pada pleura visceralis dan parietalis, sehingga
rongga pleura terbagi oleh sekat fibrin, lokulasi cairan dan adhesi pleura,
membentuk ruangan bersepta-septa yang akan mengganggu drainase dari pus. Terdapat
proliferasi fibroblast dan penebalan pleura. Pada tahap ini lapisan dikedua permukaan
pleura menjadi tebal dan tidak elastis serta jaringan yang bersepta akan semakin
fibrotik, sehingga ekspansi paru menjadi terhamba dan fungsi paru menurun (Hasan
dan Ambarwati, 2019).

C. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan empiema adalah eradikasi infeksi, mengembalikan
sirkulasi cairan pleura normal, paru-paru dapat mengembang, dan mengembalikan
fungsi respirasi normal. Terapi awal terdiri dari pemberian oksigen jika dibutuhkan,
terapi cairan pada kasus dehidrasi, antipiretik, analgesik dan antibiotik. Terapi spesifik
untuk empiema terdiri dari terapi konservatif sampai tindakan pembedahan.

Anda mungkin juga menyukai