Anda di halaman 1dari 9

MENGEMBANGKAN ETOS KERJA MUSLIM

Calista Septiani, Depit Ardiansah, Mutiara Suryadi


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta
*email:

Abstract

Pendahuluan

Tingkat kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat terkait dengan


kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Semakin tinggi kualitas sumber daya
manusia yang dimiliki suatu bangsa maka semakin maju bangsa tersebut, dan
sebaliknya sebuah bangsa akan ada dalam kondisi mundur ketika kualitas sumber
daya manusia yang dimilikinya rendah.

Kualitas sumber daya manusia juga terkait erat dengan pola pemahaman
mereka terhadap etos kerja yang difahaminya. Demikian juga kemajuan umat islam
dan kemundurannya ternyata dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya terhadap etos
kerja islam yang selama ini difahaminya, yang bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah. Dengan demikian, kemunduran umat islam yang terjadi sekarang ini bisa jadi
karena tingkat pemahaman umat islam terhadap etos kerja islam masih rendah.
Sebagai manusia, kita memiliki takdir yang telah dibuat Allah SWT sejak
sebelum kelahiran (zaman Azali) yang sudah menjadi suatu kepastian sesuai dengan
firman Allah dalam surat al-Hadid. “Tiada suatu kehancuran yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab, sebelum
kami menciptakannya”. (al-Hadid : 22).

Sebagai manusia pula, kita diberikan kebebasan bertanggung jawab atas


semua tindakan yang kita lakukan selama hidup didunia. seperti firman Allah dalam
surat ar-Ra’d : “Sesungguhnya Allah tiadak merubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (ar-Ra’d :
11).

Di dalam Islam, ekonomi merupakan wasilah atau salah satu cara untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini tentunya sesuai dengan yang di
ajarkan Islam bahwasanya harta dan kegiatan ekonomi merupakan amanah dari Allah
SWT sebagai pemiliki mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini
termasuk harta benda, pemilik hakiki kekayaan. Karena itulah orang yang beriman
diperintahkan untuk meningkatkan dan menambah harta mereka melalui jalan yang
sesuai dengan ajaran Islam, seperti dengan cara sedekah bukan dengan cara ribawi
karena sedekah akan meningkatkan efek positif pada harta kekayaan.

Di dunia ini, kita diwajibkan untuk berusaha sebaik-baiknya dalam


menyeimbangkan antara kehidupan di dunia dan pembekalan untuk di akhirat dengan
Al-Qur an dan Al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin yang
mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga
mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan
kerja.

Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu


hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati
besok.”, dan dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari
pada tangan di bawah”, “Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis”, “Mukmin
yang kuat lebih baik dari pada muslim yang lemah”. “Allah menyukai mukmin yang
kuat bekerja.”. Al Qur’an dan Hadis tersebut menganjurkan kepada manusia,
khususnya umat Islam agar memacu diri untuk bekerja keras dan berusaha
semaksimal mungkin, dalam arti seorang muslim harus memiliki etos kerja tinggi
sehingga dapat meraih sukses dan berhasil dalam menempuh kehidupan dunianya di
samping kehidupan akhiratnya.

Namun dalam realitas kehidupan, masih banyak bangsa Indonesia khususnya


umat Islam yang bersikap malas, tidak disiplin, tidak mau kerja keras, dan bekerja
seenaknya. Hal ini didukung kenyataan berupa kebiasaan yang disebut dengan ”jam
karet”, maksudnya kalau mengerjakan sesuatu, sering tidak tepat waktu atau sering
terlambat dan sebagainya. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas
penduduknya umat Islam masih memiliki etos kerja rendah, bahkan ada asumsi yang
mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki etos kerja rendah, disebabkan karena
banyaknya umat Islam yang lebih mementingkan akhirat dibandingkan dunia yang
menyebabkan berkurangnya waktu yang dimiliki seseorang untuk melakukan
aktivitas duniawi.

Padahal, Anjuran untuk bekerja sangat ditekankan oleh Allah SWT dalam Al-
Qur’an yang berbunyi "Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-
Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah :
105). Dan, "Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-
sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya." (QS. Al-Insyiqaq :
6). Dari kedua hadis ini, dapat disimpulkan bahwa bekerja merupakan perintah Allah
yang ditempatkannya sebagai bentuk dari ibadah selama kegiatan atau pekerjaan yang
dilakukan halal dan meniatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam era globalisasi, persaingan kerja dan peningkatan kualifikasi individu


yang semakin tinggi menuntut setiap orang menguasai keahlian dan kemampuan
tertentu untuk menghasilkan daya saing yang tinggi. Keberhasilan dalam persaingan
kerja tidak hanya membutuhkan keahlian dan kemampuan saja tetapi kita juga
dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya jujur, rajin, gigih, setia, dan
transparan, akan tetapi juga senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami
yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Langkah awal meningkatkan etos kerja adalah dengan cara bersyukur kepada
Allah SWT terhadap pekerjaan yang didapat dan mencoba untuk mencintai pekerjaan
yang didapat agar dapat menikmati waktu yang dilalui ketika sedang bekerja,
meningkatkan rasa empati, dan toleransi pada lingkungan pekerjaan, sehingga
pekerjaan yang dilakukan menjadi sesuatu yang semakin disyukuri, semakin mudah
dikerjakan, dan menjadi sesuatu yang membahagiakan bagi pribadi itu sendiri.

Pengertian Etos Kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani etos yang berarti adat kebiasaan, perasaan
dan watak (Asy’arie,1999). Sedangkan pengertian etos menurut Taufiq Abdullah,
adalah aspek evaluatif yang bersifat penilaian diri terhadap kerja yang bersumber
pada identitas diri yang bersifat sakral yakni realitas spiritual keagamaan yang
diyakininya (Abdullah,1982).

Dalam bentuk postulat, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan:

KHI = T, AS (M,A,R,A)

KHI = Kualitas Hidup Islami


T = Tauhid
AS = Amal Shaleh
M = Motivasi
A = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives)
R = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)
A = Action, Actualization.
Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam Islam (bagi kaum
Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini seorang Muslim bahwa bekerja itu
bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga
sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai
ibadah yang sangat luhur.”(Tasmara,1995).

Dengan mengaitkan makna etos kerja dari beberapa sudut pandang yang telah
dikemukakan di atas , maka etos kerja dapat diartikan sebagai sikap diri yang
mendasar terhadap kerja yang merupakan wujud dari kedalaman pemahaman dan
penghayatan religius yang memotivasi seseorang untuk melakukan yang terbaik
dalam suatu pekerjaan. Dengan kata lain, etos kerja adalah semangat kerja yang
dipengaruhi cara pandang seseorang terhadap pekerjaannya yang bersumber pada
nilai-nilai transenden atau nilai-nilai keagamaan yang dianutnya (Hasanah,2009).

Dalam salah satu hadis Rasulullah SAW, bersabda ( Al Bukhari, 1992) :

Oleh karenanya sebuah etos kerja yang sehat dengan diiringi dengan nilai-
nilai islami didalamnya berperan penting dalam memotivasi dan juga mendorong
semangat kerja keras dengan diiringi upaya-upaya positif sehingga tercipta
lingkungan yang baik pula. Lain halnya jika etos kerja yang tinggi namun tidak
disertai dengan dasar-dasar nilai islam didalamnya hanya akan menciptakan sikap
hubbud dunya terhadap hal-hal duniawi yang bersifat fana.

Prinsip-prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam


Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam mengajarkan
bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut:

1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan sebagaimana


dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an, “Dan janganlah kamu mengikuti
sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.” (QS, 17: 36).

2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana dapat


dipahami dari hadis Nabi Saw, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).

3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami
dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati dan hidup untuk
menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang
terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS. Al-Mulk: 67: 2).

4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh karena itu
harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat dipahami dari
firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang
beriman akan melihat pekerjaanmu.” (QS. 9: 105).

5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi. Dari Anas
Ibn Malik (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda, “Apabila
salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya masih ada benih
hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad).

6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan. Di


dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan
sesuatu yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada
orangorang yang berbuat baik dengan kebaikan.” (QS. 53: 31)..
7. Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat
terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai
pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun
akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya
bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah
nilai kerjanya tersebut.

8. Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk


keberadaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang
membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan. “Aku berbuat, maka aku ada”
(Nurcholish, 1992)

9. Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N. Bellah
mengatakan, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan
dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah).
(Bellah, 1970) “Maka bila sembahyang itu telah usai, menyebarlah kamu di bumi,
dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah ingat kepada Allah, agar
kamu berjaya” (QS, al-Jumu‟ah/62: 10)

Problematika Etos Kerja di Era Modern

Sekarang ini, kebanyakan negara-negara berpenduduk Islam termasuk dalam


kategori negara-negara sedang berkembang dan Dunia Ketiga, yaitu kelompok
negara-negara yang pada masa Revolusi Industri tidak ikut serta dalam proses
pembentukan Orde Dunia sekarang yang kapitalis itu. Pada masa itu, kebanyakan
dunia Islam malahan jatuh ke tangan penjajahan dan mengalami eksploitasi ekonomi
oleh sistem kolonialisme (Irham, 2012)

Kapitalisme, menimbulkan pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan


keterbelakangan di lain pihak. Keterbelakangan itu terjadi melalui mekanisme
kolonialisme dan imperialisme. Eksploitasi pada zaman penjajahan itu merupakan
penjelasan atas terjadinya kemiskinan di dunia Islam termasuk Indonesia.
Keterhubungan antara kemiskinan dan kemusliman itu menimbulkan kesimpulan
bahwa etos kerja di kalangan kaum muslim itu rendah (Irham, 2012)

Abad ke-21 ditandai sebagai abad keterbukaan atau abad globalisasi. Abad 21
memiliki banyak perbedaan dengan abad 20 dalam berbagai hal, diantaranya dalam
pekerjaan, hidup bermasyarakat dan aktualisasi diri. Abad 21 ditandai dengan
berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat serta perkembangan otomasi
dimana banyak pekerjaan yang sifatnya pekerjaan rutin dan berulang-ulang mulai
digantikan oleh mesin, baik mesin produksi maupun komputer.

Hal ini menyebabkan dampak yang cukup serius terutama dalam hal etos kerja
setiap individu-nya. Negara Indonesia khususnya terbilang sebagai negara dengan
etos kerja masyarakatnya yang terbilang rendah, cenderung ingin menikmati tanpa
melalui sebuah proses untuk meraih. Terlebih dengan berkembangnya teknologi
innformasi yang sangat pesat sehingga cenderung melakukan sesuatu serba instan.
Sekarang ini marak istilah “mager” ‘malas gerak’ ataupun “jam karet” maksudnya
kalau mengerjakan sesuatu, sering tidak tepat waktu atau sering terlambat dan
sebagainya.

Hal ini menunjukkan kurangnya gairah untuk melakukan sesuatu, berinovasi ,


dan juga semangat dalam bekerja. Tentu saja hal ini bertentangan dengan perintah
agama untuk aktif bekerja. Sebagaimana prinsip dasar etos kerja dalam islam,
bahwasanya pekerjaan dilakukan berdasarkan pada pengetahuan dan keahlian.
Dengan begitu dapat menyebabkan kurang atau terbatasnya pengetahuan dan keahlian
seseorang dengan etos kerja rendah atau terbilang stagnan pada suatu tempat saja dan
tidak berkembang.

Oleh karenanya diperlukan upaya-upaya agar dapat terhindar dari sebuah


kemalasan di era perkembangan teknologi yang pesat ini, diantaranya dengan selalu
bersyukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah SWT dan tidak terlalu berpuas
diri mengingat di atas langit masih ada langit. Dengan begitu mereka akan selalu
merasa kurang dan akan mengerahkan segala upaya guna menjadi lebih baik setiap
harinya. Selain itu mengingat bahwa etos kerja seorang muslim tidak terbatas kepada
etos kerja yang bersifat duniawi namun juga ukhrawi, dimana amal dan perbuatan
yang dilakukan selama di dunia dipertanggung jawabkan nanti di akhirat.

Anda mungkin juga menyukai